Minggu, Desember 28, 2008

Solo, Kota (Komersialisasi) Budaya

Oleh : Nanda Bagus Prakosa


Sebutan Solo sebagai Kota Budaya, tentunya tidak asing lagi di telinga. Memang tidak bisa dipungkiri, kekayaan budaya di Solo sangat melimpah ruah. Sebut saja batik yang sedang booming di dunia fesyen, situs-situs budaya yang eksotik hingga buaian wisata kulinernya, Solo pantas dengan image kota wisata budaya.
Budaya sebagai kekuatan pariwisata di Solo akhirnya diperhatikan juga oleh Pemerintah. Pemerintah sudah melakukan usaha-usaha untuk memajukan pariwisata di Solo melalui event-event berskala lokal, nasional maupun internasional.
Perhelatan besar seperti BSF (Bengawan Solo Festival), WHCC (World Heritage Cities and Conference), SIEM (Solo International Ethnic Music) hingga IKF (International Keroncong Festival) sedikit banyak dapat menunjukkan eksistensi kota Solo sebagai kota Budaya yang berkembang. Bahkan ketika Solo dinobatkan sebagai salah satu Heritage Cities (kota pusaka) di dunia. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Solo adalah salah satu kota Budaya yang mempunyai nilai lebih.
Namun hal itu seakan tercoreng ketika kita melihat apa yang terjadi di Solo beberapa waktu terakhir. Masih segar dalam ingatan kita saat Museum Radya Pustaka geger. Beberapa arca berharga dipalsukan sedang yang asli diperjualbelikan seenaknya. Hal ini sempat menjadi sorotan beberapa media-media besar di Indonesia. Solo yang notabene kota budaya, malah “menjajakan” aset-aset budayanya sendiri.
Hal yang di atas juga dialami oleh benteng Vastenburg. Benteng peninggalan masa penjajahan ini direncanakan berubah fungsi sebagai hotel berbintang. Bahkan kenyataan yang lebih mengejutkan Benteng Vastenburg tersebut telah diprivatisasi. Benteng Vastenburg menjadi satu-satunya dari 300 benteng bersejarah di Indonesia yang dimiliki secara privat.
Kemudian ketika mucul lagi kasus Sriwedari yang bukan milik Negara lagi, seakan masyarakat Solo menjadi kebal terhadap permasalahan ini. Dulu ketika Vastenburg akan dibangun hotel masyarakat berbondong-bondong menolakhal itu dengan tegas. Namun ketika Sriwedari yang merupakan taman budayanya orang Solo diprivatisasi, orang-orang seakan menutup mata. Jangankan untuk prihatin tentang masalah ini, sekedar “mempermasalahkannya” saja itu hanya segelintir orang.
Budaya di kota Solo nampaknya sedang diberi cobaan yang berat. Di tengah terangkatnya nama Solo dengan aset budayanya, kota Solo malah menuai keprihatinan tentang hilangnya aset-aset budaya tersebut satu per satu.
Masalah privatisasi bukanlah satu-satunya rintangan. Beberapa tahun lagi Solo akan lebih “bewarna” dengan gedung-gedung apartemen yang (tentu saja) disertai mall-mall yang menjadi pusat lifestyle. Kehadiran mall-mall tersebut tentunya akan berdampak besar bagi geliat kota Solo. Jika hal ini keterusan maka tak ayal identitas kota Solo sebagai kota Budaya akan menghilang perlahan.
Jadi mulai saat ini cintailah budaya, cintailah Solo apa adanya. Walaupun banyak pemoles yang berdatangan namun tetapkan Solo sebagai identitas kita.



Senin, Desember 22, 2008

WISATA SOLO: PERENCANAAN DAN SUMBER DAYA

Oleh: Johan Bhimo Sukoco
Berbicara masalah pariwisata memang tidak akan ada habisnya jika dikaitkan dengan Kota kecil bernama Surakarta. Diasumsikan kecil oleh penulis karena luas wilayahnya hanya sekitar 44 Km2 saja.Orang lebih fasih mengucapkan Kota kecil ini, Kota Solo. Kota yang terletak diantara 110 45’15’’-110 45’35’’ Bujur timur dan 70’56’’ Lintang selatan ini bahkan memiliki slogan Kota Budaya. Sesuai dengan slogannya, masyarakat di dalamnya memang masih menguri-uri budaya yang ada, khusunya budaya jawa meskipun arus globalisasi mulai bermunculan di dalamnya.Tidak akan terasa kecil lagi jika kita melihat lebih jauh perkembangan pariwisata di kota budaya ini. Mulai dari pusat perbelanjaan, penginapan sekelas hotel berbintang, wisata kuliner atau bahkan keraton atau museum yang ada. Kita lihat saja dari Hotel berbintang yang menyediakan fasilitas penginapan mulai dari bintang satu sampai dengan tiga. Hotel Novotel, Quality, Sahid Kusuma, Sahid Raya Solo, Agas Internasional, Comfort Inn, Riyadi, Asia, Grand Orchid, sampai hotel bintang satu Grand Setia Kawan. Obyek pariwisata yang disediakan tak jauh-jauh dari kebudayaan masyarakat Solo sendiri. Mulai dari Keraton Kasunanan yang dibangun tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono II, Istana Mangkunegaran, Kampung Batik Kauman yang memiliki 30an Home Industri batik dimana telah menjalin kerjasama dengan wisatawan mancanegara(Jepang,Eropa,Asia Tenggara,dan Amerika serikat), Kampung Batik Laweyan, Museum Batik Wuryaningratan, Pasar Triwindu,Pasar Klewer,Taman Rekreasi Sriwedari,sampai Museum Radya Pustaka yang akhir-akhir ini menjadi topic terhangat di dunia berita pertelevisian karena masalah didalamnya. Bagaimana dengan wisata kuliner?Kota ini menyediakan berbagai resto yang akan memanjakan lidah anda. Aria Resto CafĂ©, Diamond, Gudeg Adem ayem, Pecel Solo,Rumah Koe, Nasi liwet Keprabon Banjarsari, dan Galabo (Gladag Langen Boga),merupakan contoh beberapa resto yang dapat anda kunjungi sebagai pecinta makanan.
Kota Surakarta yang terbagi menjadi lima wilayah kecamatan ini memang tengah digodok dalam proses pengembangan pariwisatanya.Mulai menjamurnya pusat perbelanjaan besar di Solo merupakan salah satu bukti betapa sangat dinamisnya kota kecil ini menanggapi adanya arus globalisasi.Mulai dari Matahari Singosaren,Makro,Solo Square,Sami Luwes,Pusat Grosir Solo (PGS),sampai yang paling dibanggakan,Solo Grand Mall atau lidah lebih mengenalnya SGM.Setelah berwisata budaya,wisata kuliner,melepas lelah di hotel dan mengunjungi pusat perbelanjaan,lantas oleh-oleh apa yang hendak dibawa untuk saudara di rumah?Jangan khawatir,Kota ini memiliki beberapa oleh-oleh khas yang dapat “di cangking” untuk orang terdekat anda.Seperti roti lapis Orion Mandarin,Cemilan Ganep’s,aneka jajanan pasar semisal ampyang yang dapat dibeli di pasar-pasar tradisional Solo,sampai yang tidak boleh ditinggalkan dan paling khas,Srabi Notosuman.
Aneka wisata budaya yang ada di kota Solo memang menjadi asset tersendiri bagi pemerintah daerah tentunya.Lantas,apakah kesemuanya itu sudah dikelola dengan baik pemanfaatannya? Berikut ini kutipan yang diambil penulis dari harian Suara Merdeka edisi Rabu,26 Juli 2006:
Semua Berjalan Sendiri-sendiri
 Pengembangan Wisata Solo
SOLO-- Rapat kerja pengembangan pariwisata Solo yang difasilitasi Komisi IV DPRD kemarin menjadi ajang saling menyalahkan antara pelaku wisata dan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya. Para pelaku wisata menilai selama ini kebijakan pengembangan pariwisata tidak jelas. Bahkan setiap instansi berjalan sendiri-sendiri. Biro perjalanan, Asita, perusahaan penerbangan, dan hotel juga berjalan sendiri sehingga upaya menarik wisatawan ke Solo terkendala.
Nah,inilah yang menimbulkan PR besar bagi petinggi-petinggi pemerintahan Kota yang berbatasan utara dengan Karanganyar dan Boyolali ini.Apakah arti beragam wisata Budaya yang penulis sebutkan rinci di atas apabila pengelolaannya asal-asalan saja?Tentu kesemuanya itu tidak akan ada artinya apa-apa jika pengelolaannya tidak terkoordinasi dengan baik.Untuk mencapai tujuan yang efektif tentunya ada perencanaan dan pertimbangan di dalamnya.Begitu pula dengan masalah pariwisata ini.Dengan tujuan menggaet wisatawan sebesar-besarnya untuk menambah pendapatan daerah,tentu pemerintah harus lebih giat dan matang dalam proses perencanaan,termasuk tata kota ataupun koordinasi yang baik antar instansi.
Ternyata ada iktikad yang baik dari pemerintah setempat dalam perencanaan pengelolaan pariwisata di Kota yang terkenal ramah ini.Dalam artikel berita di harian yang sama,tertulis:
Kasubdin Bina Program pada Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Drs Dwiniatno MM mengatakan sudah melakukan upaya untuk meningkatkan industri pariwisata Surakarta.
Pihaknya juga melibatkan para pelaku wisata dalam pengambilan kebijakan. Selain itu, membuat web site pariwisata, pengadaan one touch screen , serta inventarisasi objek wisata.
Berita yang penulis kutip dari Harian Suara Merdeka tersebut memang bertahun edisi 2006.Ini membuktikan perencanaan yang lebih memadai dari pemerintah daerah Surakarta terhadap pengelolaan pariwisata memang berawal di tahun tersebut.Sekarang menginjak akhir tahun 2008 dan menuju 2009.Dapatkah kita melihat perubahan pariwisata yang memadai?bagaimana dengan arus informasi mengenai asset wisata di dalamnya?apakah pengelolaannya telah memperhitungkan asas pengelolaan bebasis focus pengembangan yang bukan berjalan sendiri-sendiri lagi?Hanya kita yang dapat menilainya.




Kamis, Desember 18, 2008

Penegakan Presidensialisme dan Capres Independen

Oleh Adinda Nusantari

Secara konstitusional, sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Namun, sistem yang dijalankan saat ini agaknya masih belum sesuai dengan apa yang tertuang dalam konstitusi. Ada posisi yang saling overlapping antara presidensial dan parlementer.

Hal ini barangkali tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa ini. Dalam perjalanannya, sistem politik Indonesia mengalami beberapa kali pergantian model sistem politik. Antara presidensial dan parlementer. Kekacauan yang pernah timbul akibat kelemahan kedua sistem tersebut tampaknya memunculkan trauma tersendiri bagi bangsa ini. Hingga akhirnya tidak pernah tegas untuk memilih sistem mana yang dijalankan.
Ketika negara ini menganut sistem parlementer di tahun 1950-an, terjadi kekacauan sistem dengan maraknya politik “dagang sapi”. Kala itu Indonesia berganti-ganti pemerintahan. Dari satu pemerintahan perdana menteri ke perdana menteri yang lain.

Pun begitu dengan sistem kendali presiden. Kekuasaan presiden menjadi begitu besar, sampai-sampai menyerupai diktator. Alhasil, meski dalam konstitusi jelas diamanatkan bahwa sistem yang dianut adalah presidensial, namun selalu ada usaha untuk membatasi kekuasaan presiden. Akhirnya, parlemen seakan menjadi pihak oposan bagi presiden. Dan seolah-olah presiden tidak memiliki kuasa di hadapan parlemen.

Padahal dalam sebuah sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, seorang presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer. Di mana dalam sebuah sistem parlementer berlaku adanya moshi tidak percaya dan di sana parpol memegang peranan yang kuat.
Dalam konstruksi presidensialisme peranan parpol tidak sekuat seperti dalam sistem parlementer, sehingga memungkinkan adanya pencalonan kandidat presiden independen. Tradisi capres independen salah satunya ditemukan dalam presidensialisme di Amerika Serikat. Munculnya kandidat di luar parpol dominan - Partai Republik dan Partai Demokrat - pernah terjadi pada masa Presiden Roosevelt tahun 1912, John B Anderson tahun 1980, dan Ross Perot tahun 1992 yang popularitasnya sempat menyaingi kandidat Partai Demokrat Bill Clinton.
Di Indonesia, logika pemerintahan tersebut (antara parlementer dan presidensial) masih tumpang tindih penerapannya dalam sistem politik. Presidensialisme yang diamanatkan konstitusi masih sangat lemah, karena dalam praktiknya tidak jarang justru lebih menonjol seperti parlementarisme. Di sana, suara presiden seringkali kalah oleh parlemen.
Padahal, presiden itu adalah presiden terpilih yang didukung oleh parpol besar. Tapi kenyataannya, ketika memimpin ia seringkali tidak mendapat dukungan dari parpol yang lain. Kebijakan presiden sangat sulit mendapat dukungan politik di parlemen ketika harus bekerjasama dengan lembaga legislatif.
Jika nantinya ada capres independen, bagaimana mereka akan mendapat dukungan parlemen setelah terpilih? Tentu saja akan jauh lebih sulit untuk mendapat dukungan parlemen. Bahkan, bukan tidak mungkin presiden independen akan menjadi bulan-bulanan ketika harus berhadapan dengan parlemen. Meski sebenarnya dalam logika presidensialisme hal ini tidak dibenarkan. Namun, prakteknya itulah yang terjadi di Indonesia.
Sehingga, penguatan sistem presidensial di Indonesia menjadi semacam prasyarat sebelum melangkah lebih jauh dengan membuka peluang bagi capres independen. Tetapi agaknya para “pejuang” capres independen lebih senang langsung memperjuangkannya tanpa prasyarat tersebut.
Saat ini keberadaan capres independen diperjuangkan dengan melakukan uji materiil (judicial review ) UU No. 23/2003. Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dianggap penghalang bagi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden dari jalur independen. Khususnya pasal 1 ayat (6), pasal 5 ayat (1), dan pasal 5 ayat (4), - yang menutup kemungkinan pasangan capres dan cawapres independen - dianggap telah melanggar UUD 1945 pasal 6A ayat (2).
Di tengah pembahasan tersebut, parpol mulai menyatakan ketidaksetujuannya dengan capres independen. Memang belum semua parpol, tetapi setidaknya telah ada tiga parpol besar seperti Golkar, PPP, dan PAN yang lantang menolak. Dan, setidaknya ketiga parpol ini memiliki pengaruh yang besar untuk menghambat laju capres independen.
Penolakan tersebut mengacu pada Pasal 6 UUD 1945. Pasal itu mengharuskan capres melalui parpol. Selain itu, ada anggapan bahwa capres independen tidak mau bersusah payah untuk bersaing dalam Pemilu lantaran tidak perlu bergabung dengan parpol tertentu.
Dengan beragam alasan tersebut, agaknya capres independen menemui jalan yang terjal dalam perjuangannya. Bahkan ketika nanti disahkan, capres independen tetap saja akan menemui masalah dalam posisinya dengan parlemen. Selama landasan presidensialisme belum cukup tegas untuk menjamin kelangsungan “kehidupan” presiden.



Sabtu, Desember 13, 2008

Membaca Kota dalam Komik

Oleh : Nur Heni Widyastuti*

Hampir lima belas tahun saya hidup di “lingkungan rumah yang sama” dan belum pernah pindah sejak saya bersekolah di taman kanak-kanak. Sebelumnya memang berpindah pindah, tapi kala itu saya masih terlalu dini untuk mengerti apa itu bersosialisasi. Setelah saya menyadari akan hal itu, yang sering mengalami perubahan adalah “lingkungan sekolah” dimana saya menimba ilmu, itupun masih dalam ”lingkungan kota yang sama”. Atau kalaupun pergi mengunjungi sanak keluarga masih dalam “lingkungan provinsi yang sama pula”. Namun, bukan berarti saya tidak pernah “kaluar” kemana-mana, hanya saja, mobilitas keluar dari kota tempat saya tibggal, presentasinya masih sangat terbatas jika dibandingkan dominasi “tetap di lingkungan yang sama”.Dalam organisasi yang saya ikuti (LPM VISI FISIP UNS), sering sekali diadakan pemetaan permasalahan-permasalahan yang ada di kota ini, untuk dituangkan dalam sebuah terbitan (Majalah VISI). Walaupun saya sudah lama tinggal di sini, namun saya merasa (mungkin barangkali hanya saya) kurang bisa “membacanya” secara mendalam. Sebenarnya telah banyak pemberitaan, seminar atau penerbitan buku yang diselenggarakan oleh sastrawan, budayawan, lembaga atau instansi-instansi tersentu, yang kesemuanya pasti sangat menarik. Sampai suatu ketika saya menemukan sebuah skripsi yang berjudul “Ruang Publik Perkotaan dalam Komik (Studi Semiotik Representasi Ruang Publik Perkotaan dalam Jogja in Comic)”. Dari situ saya baru menyadari bahwa saya kurang pandai dalam “membaca kota” walaupun saya telah lama tinggal di sana. Dan ternyata ada sebuah media yang lebih menarik untuk membaca kota. Yakni komik.

Saya memang bukan penikmat komik. Saya lebih memilih membaca prosa (tulisan panjang dalam bentuk apapun) daripada pusing mengamati gambar berskat-skat. Terlebih, komik-komik yang ada sekarang (menurut saya) didominasi oleh komik “kekanakan”, walaupun mengangkat “tema orang dewasa”. Tetapi bukan berarti saya menggeneralisasi semuanya, ada juga komik sastra, komik pendidikan politik, atau komik lain yang mengandung unsur edukasi.

Bagi saya yang mengganggap “menggambar itu sulit”, pembuatan komik yang mengangkat tema “berat” merupakan karya yang luar biasa. Saya melihat itu dalam komik-komik yang ada dalam buku Jogja in Comic (walau saya hanya melihat sketnya dan alur ceritanya di internet dan belum membaca semuanya). Dengan imajinasi yang mendekati realita dan alur cerita ringan, membuat pembacaan terhadap kota Jogja menjadi lebih menarik.

Berikut saya cuplikkan sedikit kata pengantar dari St Sunardi** (Ketua Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) yang juga memberikan sambutan dalam Jogja In Comic Exhibition 19 November 2006 silam.

Ruang Publik Boleh Langka, Asal Jangan Ruang Komik

Buku Jogja in Comic merupakan kumpulan lima karya komik terbaik dari Kompetisi Komik yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta pada awal 2006. Komik pertama, “Gobak Sodor Sawijining Komik” menggambarkan rasa frustrasi anak-anak karena ruang ruang bermainnya semakin menyempit, kalau bukan lenyap. Dalam “Kota Seni”, komik kedua, dilukiskan seorang tukang bakso yang ternyata lebih melek seni daripada seorang mahasiswa yang tidak tahu apa yang dilakukan untuk mengisi waktu kosongnya kecuali sibuk membaca buku porno. Komik ketiga, “Marini, Masih Ada Jathilan Yang Lewat”, berisi cerita tentang orang yang sudah terasing dengan seni-seni tradisional. “Selamat Datang di Kota Revolusi”, komik keempat, melukiskan sejarah heroisme Kota Jogja sambil menunjukkan seakan-akan orang-orang Jogja sudah bebas dari penjajah padahal belum. Komik terakhir yang berjudul “Brondoyudo Manyun Binangun” (Plesetan dari Barata Yuda Jaya Binangun) memperlihatkan sisi lain dari Yogyakarta: konflik antar “gang” di Malioboro untuk memperebutkan lahan.

Persoalan ruang bermain anak, kedudukan Jogja yang merana sebagai kota seni, keterasingan orang jaman sekarang dengan seni-seni tradisional, krisis herorisme jaman sekarang, dan keruwetan Malioboro – semuanya bukanlah isu baru, semuanya sudah banyak dibicarakan entah di media, di ruang-ruang seminar, dalam kampanye pilkada, maupun di obrolan ringan di berbagai tempat. Kalau tema-tema itu muncul lagi dalam kumpulan komik ini, hal itu menunjukkan bahwa persoalan-persoalan tersebut memang menjadi persoalan nyata. Isu-isu diangkat kembali lewat medium komik. Hasilnya? Ada nuansa baru. Suasana gemas sangat dominan.

Suasana ini pertama-tama kita rasakan lewat ilustrasi daripada pesan tekstual. Trotoar untuk pejalan kaki sudah diserobot untuk kendaraan bermotor, hiruk pikuk biennal dan events kesenian lainnya ternyata belum berhasil menggugah warga untuk melek seni, Malioboro yang disediakan sebagai wilayah untuk rileks ternyata dikotak-kotak oleh kekuatan-kuatan invisible, dan sebagainya. Dalam perasaan gemas ini para kontributor buku ini mencoba untuk bersikap comical, mengambil jarak, menghela nafas. Jenis komunikasi inilah kiranya yang bisa kita apresiasi dari kehadiran kumpulan komik tentang Jogja….. (dst)

Ada pula kumpulan komik yang berjudul “Jogja, 5,9 skala richter”*** komik yang memuat 18 judul komik. Didalamnya memuat bagaimana para pembuat komik ini membingkai kisah-kisah yang berkaitan dengan gempa Jogja mei 2006 silam.

Keunggulan dari pembacaan kota melalui komik adalah dalam hal imajinasi dan alur plot yang mungkin hasil karangan pembuat. Berbeda dengan prosa (baik yang sastra ataupun berita) yang mengingnkan pembacaan itu secara nyata. Namun ada keinginan yang sama, yakni realitas tentang kota mereka dan pesan yang ingin disampaikan sampai kepada pembaca, walau dengan medium yang berbeda.


* Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005, salah satu pengurus LPM VISI FISIP UNS.

** http://yulibean.multiply.com/journal/item/18/JOGJA_IN_COMIC_EXHIBITION
*** http://martabakomikita.multiply.com/journal/item/94/INFOTAMU_Launching_Komik_Jogja_59_Skala_Richter)



Minggu, November 30, 2008

Pemilu 2009 Dibayang-Bayangi Antipati Pemilih Terhadap Parpol: Bagaimana dengan Pemilih Pemula?

Esti


PEMILIH pemula adalah mereka generasi muda yang berusia 17 tahun atau sudah menikah. Generasi muda adalah kaum yang sarat dengan idealisme. Mereka senantiasa dianggap masih “suci” dari vested interest, belum terkontaminasi kepentingan-kepentingan birokrasi dan kekuasaan. Akan tetapi, sudah menjadi axioma bahwa sering tidak bisa dihindari ketika menjelang pemilihan umum (Pemilu), kaum muda senantiasa menjadi obyek rebutan partai politik dalam pemilu di negara ini.

Kaum muda ialah kaum yang sulit untuk didikte. Bahkan, ada dugaan generasi muda salah satu kelompok yang sulit untuk didekati oleh partai politik. Karena mereka juga mempunyai makna strategis, terutama dalam setiap menghadapi dan melaksanan pemilu. Menurut M. Rusli Karim (1991) ada empat alasan pokok yang menyebabkan generasi muda memiliki makna strategis di dalam pemilu. Pertama, alasan kuantitatif. Kedua, generasi muda diduga merupakan satu segmen pemilih yang memiliki pola tersendiri dan sulit diatur. Ketiga, kekhawatiran bahwa banyak generasi muda akan bersikap “Golput”.

Dengan idealisme yang menggebu-gebu di satu pihak, dan sifat kejiwaan yang masih labil di pihak lain, diduga mereka bisa terombang-ambing oleh tarik-menarik kepentingan organisasi peserta pemilu (OPP) selama masa kampanye. Keempat, klaim masing-masing orsospol bahwa dirinyalah yang paling cocok menjadi wadah penyalur aspirasi dan kepentingan politik generasi muda. Untuk itu, setiap OPP memiliki cara dan gaya tersendiri dalam menggapai pemilih muda.


Memang, generasi muda merupakan potensi strategis, terutama secara kuantitatif, merupakan kelompok pemilih yang relatif banyak jumlahnya dari pemilu ke pemilu. Melihat trend fakta pemilih pemula yang terus menerus naik dari tahun ke tahun, secara niscaya suara tersebut cukup signifikan. Itu sebabnya, masuk akal kalau partai politik dalam pemilu 2009 pun mendekati mereka generasi muda untuk memilih partainya. Sudah tidak bisa dipungkiri, paling tidak secara kuantitatif, kaum muda adalah salah satu elemen suara yang sentral dan strategis dalam pemilu akan datang, di samping mereka juga sentral dan strategis dalam pergumulan kehidupan masyarakat dan bangsa, sehingga beralasan kalau generasi muda menjadi obyek rebutan partai politik.

Persoalannya, cara apa partai politik untuk mendekati mereka kaum muda, agar terlibat dalam partai politik. Dengan kata lain, memberikan suaranya pada pemilu 2009? Strategi apa untuk meyakinkan generasi muda sebagai pemilih pemula agar memanfaatkan suaranya pada pemilu 2009? Akankah generasi muda tidak menggunakan hak suaranya, alias Golput?

GENERASI MUDA dengan jumlah yang relatif cukup signifikan itu, memang secara politik sudah barang tentu menjadi modal (asset), akan tetapi dapat pula menjadi beban. Menjadi asset karena baik itu untuk kepentingan suara partai politik dalam pemilu nanti maupun dalam kehidupan politik negara bangsa, mereka strategis secara potensi. Ini berarti kaum muda mempunyai kemampuan berpikir analitis untuk kepenitngan kehidupan politk negara bangsa yang baik. Dikarenakan, tidak dapat dielakkan, mereka memiliki kecakapan untuk berpikir alternatif untuk disumbangkan (berkontribusi) bagi kehidupan politik negara bangsa ini.

Dengan idealismenya, generasi muda acapkali menghendaki mekanisme kehidupan politik nasional yang terus-menerus melakukan perbaikan. Dengan perkataan lain, implementasi pemerintahan yang demokratis, bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), senantiasa menjadi sandaran ideologinya. Tuntutan reformasi atau pembaharuan politik yang demokratis, adalah salah satu wujudnyata dari pemikiran alternatif kaum muda. Buah pemikirannya tidak ditempatkan pada kepentingan sesaat saja, namun secara niscaya disandarkan pada kepentingan bangsa dan negara di masa akan datang. Semangat merajut hak-hak rakyat atau nilai-nilai keadilan dan demokrasi dalam tataran pergumulan kehidupan politik nasional, acapkali menjadi kiblat perjuangannya.

Memang, tidak jarang hambatan-hambatan untuk merealisasikan perjuangan itu, setidaknya, sering muncul pula dari diri mereka kaum muda sendiri yang kurang serius untuk mengasah dan mengemas potensinya, di samping lintang pukang yang datang dari luar dirinya (seperti lingkungan dan setting politik negara bangsa). Dalam arti, kaum muda kurang siap mental, tidak cakap, dan masih “bau kencur”, padahal yang niscaya diakui dan disadari, potensi kaum muda benar-benar akan menjadi potensi yang ideal bermakna, manakala tidak terbius sekedar romantisme.

Setting politik pun memberi andil terhadap eksistensi kaum muda. Di mana “tarik tambang” setting politik mempunyai relevansi yang erat dan bahkan tidak bisa diabaikan dalam menciptakan peluang partisipasi politik yang demokratis dan penuh suasana keterbukaan di satu sisi. Sedangkan di sisi lain, bisa saja kaum muda tenggelam oleh kehidupan politik yang tidak demkratis, alias keterbukaan dan partisipasi untuk mereka kaum muda ruang geraknya dipersempit. Dengan begitu, kualitas politik yang demokratis berpaut dalam menumbuhkembangkan potensi karya dan kreasi kaum muda dalam pergulatan kehidupan politik negara bangsa.

Itu sebabnya, pemuda sebisa mungkin senantiasa mengurangi rintangan-rintangan yang terdapat dalam dirinya, seperti kepentingan-kepentingan pribadi, karena sesungguhnya harus disadari kaum muda adalah kritis dan tidak mudah didikte atau dipuaskan.

PEMILU sebagai salah satu sarana partisipasi politik semua warga negara yang telah mempuyai hak untuk memilih, dapat dijadikan sebagai wahana pendidikan politk dan menegakkan nilai-nilai demokrasi..

Itu sebabnya, makna penting partisipasi politik generasi muda, secara niscaya kadarnya harus senantiasa disandarkan pada kepentingan-kepentigan yang komprehensif. Maksudnya, sikap kritis kaum muda dalam melihat segala dimensi kehidupan sosial politik, ekonomi, dan sosial budaya, agar menjadi input yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga komitmen perjuangannya mau tidak mau bersentuhan dengan kepentingan demokratisasi di negara ini. Dan meminjam kata-kata Rusli Karim, bisa tidaknya pemilihan menjadi sarana demokratisasi tergantung pada hakekat pemilu dalam tataran kepolitikan kita. Dengan demikian, politik keseimbangan dalam segenap matra kehidupan berbangsa dan bernegara, kian signifikan.

Membekali kualitas diri adalah potensi modal dasarnya. Sehingga kalau memang kaum muda tidak mau “ketiggalan kereta” dalam deretan kepolitikan Indonesia, paling tidak terdapat dua ketrampilan yang harus dikembangkan oleh generasi muda, yaitu kemampuan intelektual dan pengembangan ketrampilan sebagai insan politik.

Kemampuan intelektual dan pengembangan ketrampilan sebagai insan politik, jelas harus dimiliki kaum muda. Artinya, kaum muda secara mental siap mengembangkan daya nalar kritisnya, dan siap pula menghadapi pergulatan-pergulatan kehidupan yang semakin kompleks, agar keseyogiaan kapabiltas politik pemuda menjadi asset dalam menerjuni gelanggang politik.

Menarik untuk diteluntik, mengenai peranan generasi muda secara individu sebagai calon elit politik bangsa dan negara di masa datang. Juga keterkaitannya dengan pemilu 2009, mereka secara kuntitatif merupakan jumlah suara yang signifikan, artinya pemuda memainkan peranan yang penting di dalam pemilu nanti.

Pertama, pemilu dijadikan sebagai sarana pendidikan politik, karena dengan pemilu setidaknya berlangsung komunikasi poliitk antara elit partai dengan mereka kaum muda khususnya. Kedua, sebagai partisipasi netral yang mendambakan tegaknya tatanan demokratis dalam segala aspek kehidupan. Mereka bisa terlibat dalam kampanye, diskusi, dan sejenisnya.

Ketiga, menjadi wasit baik formal maupun informal. Harus ada sebanyak mungkin generasi muda yang bersedia secara sukarela, baik menjadi saksi langsung atau saksi pendamping, agar pemilu terhindar dari manipulasi dan intimidasi. Keempat, menjatuhkan pilihan, dalam arti mencoblos tanda gambar (dan nama seseorang dari parpol dan anggota DPD). Memilih atau mencoblos, tentu sangat diharapkan dari mereka.
Seiring dengan harapan agar pemuda menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2009, pemilih pemula sebaiknya tidak memutuskan golput (golongan putih) dalam Pemilihan Umum 2009. Bila memang, kaum muda berkehendak berkontribusi mengubah kondisi bangsa dan negara yang carut marut saat ini, tentu salah satu caranya adalah justru dengan memberikan hak suaranya dalam pemilu.

Memang, mengkhawatiran kaum muda/pemilih pemula tidak menggunakan hak pilihnya, karena beberapa pertimbangan, di antaranya, tidak mempercayai lagi partai politik yang ada sekarang ini; kedua, diprediksikan oleh kaum muda bahwa hasil pemilu yang akan datang tidak akan jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya (pemilu 2004). Di samping itu, tidak menggunakan hak pilihnya alias golput dari pemilu ke pemilu suaranya cukup berarti bagi kesinambungan kehidupan negara bangsa ini.

Pergeseran ideologi golput dari polarisasi terhadap rezim kini justru antipati terhadap partai politik. Persoalannya, mencoblos atau tidaknya pemilih pemula khususnya, memang sangat tergantung pada kualitas partai politik meyakinkan mereka untuk berkontribusi dengan salah satunya menggunakan hak suaranya untuk menentukan figur-figur pemimpin masa depan kehidupan politik nasional. Dengan demikian, pemilu yang merupakan “kontrak sosial” dalam perubahan dan pembaharuan politik yang sehat dan baik, demi kepentingan negara bangsa ini, mau tidak mau sudah seyogianya pemilu tidak dijadikan ajang “penipuan kolektif” partai politik terhadap rakyat. Artinya, rakyat tidak hanya sekedar dijadikan obyek untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya, tetapi, kepentingan rakyat harus menjadi prioritasnya.


Senin, November 17, 2008

Ketakutan-ketakutan konyol pasca pengesahan UU Pornografi

Pro dan kontra pasca disahkannya Rancangan Undang-Undang(RUU) Pornografi menjadi Undang-Undang masih saja mewarnai dinamika masyarakat.Khususnya para pekerja media dan lingkupnya.Adanya kesimpang siuran arus informasi mengenai apa sebenarnya isi dari Undang-undang ini menjadikan mereka beranggapan UU tersebut nantinya akan menghambat kinerja mereka di dalam bentuk penanyangan cetak,visual,ataupun audio-visual.Aturan baku dari pemerintah ini tentu saja nantinya akan menjadi batu sandung tersendiri dalam kebebasan pers itu sendiri.Spekulasi-spekulasi yang mengarah pada kontra pasca pengesahan RUU Pornografi semacam ini memang santer terdengar di telinga penulis.
Ketakutan-ketakutan semacam ini muncul seiring adanya arus globalisasi di dunia media.Banyak media-media massa yang ikut larut terjerembab ke dalam arus pornografi daripada mempertahankan idealis mereka sebagai mediator informasi.Sebagai faktanya,tidak sedikit dari program-program visual yang mempertontonkan adegan-adegan vulgar(-dimana syarat berbau pornografi) yang menjamur di ranah media elektronik semacam televisi.Meskipun di sudut kiri atau kanan atas telah tercantum kode “Dewasa” ataupun “Bimbingan Orang tua(BO)”, toh tentu penonton tidak akan menggubrisnya.Dapat diibaratkan setali tiga uang dengan tayangan film-film yang diawal adegan terpampang jelas tulisan peringatan:”Tujuh belas tahun keatas”.Akan sangat bodoh sekali jika pemerintah tetap mempertahankan peringatan dini tersebut.Bukan bermaksud membandingkan,akan tetapi bukanlah lebih baik pemberian peringatan pada label Obat nyamuk cair,”Waspada:Tidak untuk diminum”.Bukankah begitu?Obat nyamuk cair tentu tidak akan diminum karena ada indikasi membahayakan bila menelannya.Harusnya masyarakat juga mampu membedakan mana yang layak untuk dikonsumsi dan mana yang tidak dari media-media yang bergerak di bidang jurnalistik tersebut.

Nampaknya opini-opini semacam yang disampaikan penulis di awal topic harus segera dibuang jauh-jauh dari pemikiran kita.Pers merupakan lembaga sosial dan sekaligus wahana komunikasi massa.Memang didalam kinerjanya dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 mengenai kemerdekaan berpendapat.Lantas hendaknya kita tinjau kembali dan aplikasikan pada Kode Etik Jurnalistik pasal 2 poin 3 tentang pertanggungjawaban,yang berbunyi:
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan:
a.hal-hal yang sifatnya destruktif dan dapat merugikan negara dan bangsa;
b.hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan;
c.hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila,agama dan kepercayaan atau keyakinan seseorang atau sesuatu golongan yang dilindungi undang-undang.
Beranjak dari isi pasal tersebut,pekerja-pekerja media harusnya segera membuang ketakutan-ketakutan adanya pengekangan akibat akan adanya batu sandung dalam kebebasan penayangan program jurnalis.Pornografi dalam pokok bahasan ini,tentu akan berbenturan dengan Kode etik diatas jika penayangannya dilanjutkan.Tatanan kehidupan bangsa akan kacau dan timbul dampak pelecehan kesusilaan di masyarakat.
Segala macam bentuk penayangan yang berhubungan dengan pelanggaran batasan Undang-undang Pornografi ini tentulah mendapatkan sanksinya tersendiri.Seringkali dalam perumusan kebijakan akan menuai konsekuensi.Begitu pula dengan undang-undang ini yang perlu diwaspadai penyelenggaraannya.Ada indikasi adanya Pungutan liar(Pungli) dan penegakan hukum oleh massa jika pengawasannya tidak dilakukan oleh oknum yang berwajib.Inilah bentuk ketakutan-ketakutan lain dari para pekerja media.
Hendaknya kita menaggapi permasalahan pasca disahkannya UU pornografi ini dengan pemikiran positif.Tentu pemerintah telah mempunyai kebijakan dan penelusuran konsekuensi adanya undang-undang ini jauh-jauh sebelum disahkannya.Sebagai pekerja media ataupun masyarakat awam hendaknya pula menilik balik pengertian pers pancasila di negara kita.Pada sidang pleno ke 25 Dewan Pers di Solo tanggal 7 dan 8 Desember 1981 merumuskan pengertian pers pancasila,yakni: pers yang orientasi,sikap,dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Beranjak dari pengertian tersebut,marilah kita bersama-sama memulai pembersihan media dari virus-virus pornografi yang tentu akan mengganggu kehidupan kesusilaan bangsa beradab ini.Jika pemerintah melalui pejabat-pejabatnya rela menahan kantuk demi menggodok Undang-undang ini,seyogyanya kita sebagai masyarakat yang taat hukum hendaklah ikut menaatinya sekaligus mengenalkannya dari lingkungan terdekat disamping berperan didalam pengawasannya.Di sinilah sebenarnya fungsi kontrol dari pers ataupun media masa diperlukan.Lantas,masih relevankah ketakutan-ketakutan itu ada?
JOHAN BHIMO SUKOCO
*)Penulis adalah Staff Bidang Usaha LPM VISI FISIP UNS
dan pecinta kebebasan kepenulisan.


Jumat, November 14, 2008

Pengesahan RUU Pornografi : Pagar Kawat Kebebasan (atau kebablasan) Pers

Lagi-lagi antara pemerintah dan pers bersitegang, kali ini tentang pro-kontra Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Porno Aksi. RUU ini, konon katanya memiliki celah di beberapa pasal yang nantinya akan membuat kebebasan beberapa kelompok terbelenggu, termasuk pegiat pers.

Hal tersebut diamini oleh Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara. Hal itu, menurut Sabam, karena adanya beberapa pasal karet yang bersifat menjebak, dan sewaktu-waktu bisa menjerat pekerja pers ke dalam perkara hukum pidana. (Harian Sinar Harapan, Jumat, 31 Oktober 2008)

Lebih lanjut, Sabam merujuk pada Pasal 1 ayat 1 sebagai pasal yang harus dicermati oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam industri media massa. Pada Pasal 1 ayat 1 UU Pornografi, jelas tertulis: Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal demikian menurut Sabam adalah pasal yang masih sangat bias dan dapat mengundang beragam penafsiran terhadap definisi pornografi, kecabulan dan eksploitasi seksual.

Saya mengerti apa yang dirisaukan oleh beliau. Terkadang pers menggunakan daya tarik seks dalam memuat beritanya untuk menjaring konsumennya. Kebiasan pengertian pornografi, kecabulan dan eksploitasi seksual ini jelas-jelas sangat membentur pihak pers, karena secara otomatis pers yang menyebarluaskan hal itu, akan langsung terjerat pasal 1.

Pemerintah membuat UU tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan masukan dari masyarakat, DPR dalam hal ini sebagai legislator menggodok peraturan absurd—UU Anti pornografi dan Pornoaksi—tersebut yang berdasarkan tinjauan langsungnya ke lapangan dan mendapatkan banyak penyimpangan yang dilakukan pers dalam hal pelanggaran norma kesusilaan.

Mungkin kita masih dapat mengingat beberapa judul ini : tabloid Lipstick, Bos, WOW, Playboy, X-File, Blitz, Selebriti Indonesia, Sexy, Populer, Liberty, Male Emporium, FHM, EHM, Maxim, dll. Sekelumit bacaan—siapa juga yang baca, bukannya melihat gambarnya saja??—yang bisa dibilang melanggar noma kesusilaan tadi.

Kalau dipikir-pikir, apa sih maunya pemerintah?? Bukankah mereka yang mengizinkan tabloid tersebut beredar—semacam playboy dan sejenisnya—walau banyak pihak yang menentang. Namun sekarang, pemerintah membuat UU yang absurd tadi dengan alasan terjadi pelanggaran norma-norma—kau yang mulai kau yang mengakhiri (lirik “jatuh-bangun”, sebuah tembang dangdut)—. Bak menelan ludah sendiri. Bukankah lebih efektif bila pemerintah langsung menonaktifkan perusahan tersebut dan perkara Habis.

Meminjam kata milik Thomas Jefferson, “Jika disuruh memilih antara pemerintah tanpa pers atau pers tanpa pemerintah, maka sedikit pun tidak ragu, saya akan memilih terakhir”. Mungkin agak klise, namun cukup relevan dengan kondisi negeri pada saat ini.

Masyarakat masih cerdas
Saya percaya akan kemampuan masyarakat dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya. Perlahan namun pasti, masyarakat mampu memilih yang, masyarakat mampu memilih yang terbaik untuk mereka. Kalimat barusan saya tulis bukan tanpa alasan, lho. Menurut data SPS (maaf saya lupa singkatan dari apa) dari 800 media cetak yang mengantongi izin (sejak pembuatan SIUP dipermudah, 1999), namun yang bertahan sampai sekarang hanya sekitar setengahnya, yaitu 400 perusahaan. Kesimpulan yang dapat saya ambil, pasar—dalam hal ini adalah masyarakat—masih memiliki kendali dalam menyaring media yang masih layak untuk beredar. Seperti miniatur hukum rimba.

Hal itu juga saya rasakan. Sekitar tahun 2001-2004 (zaman saya masih SMP-pertengahan SMA), dengan mudah saya dapati tabloid-tabloid “mesum” seperti Lipstick, Bos, WOW, X-File, Sexy, Populer, dan Liberty terpampang secara gamblang di pinggir jalan pasar Pondok Gede. Namun, secara tidak sadar, perlahan jumlah tabloid tersebut makin lama semakin mundur teratur. Sampai dari yang biasanya tabloid tersebut menjadi display di kaki lima, alih-alih malah hilang dari peredaran—sekitar 2004 ke atas--. Apalagi yang menyebabkan hal ini terjadi selain hukum rimba.

Pasar terbukti berkuasa, masyarakat lebih cerdas dari yang dikira. Silent majority memiliki kemampuan kontrol tanpa harus mengeluarkan peraturan perundangan atau memerlukan aparat yang garang untuk mengawasi atau bersikap sewenang-wenang.

Pers yang beredar mengambarkan tingkat intelektualitas masyarakat di dalamnya, maka dari itu mari kita berikan produk yang berkualitas untuk masyarakat Indonesia. VIVA LA VISI!!!!


Oleh : Wahyu Amaru Shakur

UU Pornografi Masih Menyisakan Kontroversi

Tanggal 30 Oktober 2008 silam, bagi sebagian kelompok masyarakat merupakan klimaks perjuangan mereka dalam mendukung diratifikasikannya UU Pornografi, meskipun sempat diwarnai aksi walk out oleh beberapa wakil rakyat yang menolaknya. Harapan mereka, dengan hadirnya UU Pornografi mampu menjadi benteng ekses negatif pergeseran norma kesusilaan yang semakin menjadi-jadi di tengah gerusan kapitalisme global. UU Pornografi juga sebagai instrumen untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari eksploitasi seksual.
Tetapi di sisi lain, dengan disahkannya UU Pornografi ini, kontroversi dari berbagai LSM feminisme dan kelompok lain tetap teguh menolak pengesahan DPR tersebut. Masyarakat Bali contohnya, mereka terus menolak UU Pornografi dan merencanakan pengajuan peninjauan kembali (PK). Menurut perspektif mereka, UU ini bersikap diskriminatif dan multiinterpretasi.
Konkretnya, pada Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada UU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang.
Untuk menyikapi perseteruan ini, hendaklah kita sebagai civitas akademika mampu menempatkan diri dengan baik. Masing-masing pihak memiliki asumsi yang kuat demi kemaslahatan bersama juga. Sekarang, yang harus kita lakukan bukannya mengikuti arus tetapi tanpa pemaknaan. Hendaknya kita mengambil sisi positif dari kedua pihak. Di satu sisi, mulailah dari sekarang kita memelihara moral dan norma kesusilaan agar tak terseret hukum. Di sisi lain, adat istiadat yang sebelumnya terancam diboikot akibat adanya UU Pornografi, sebenarnya dapat terus kita pertahankan eksistensinya meskipun akan mengalami distorsi demi melestarikan nilai orisinalitasnya.

Opini Civitas Akademika:

Heni Widyastuti, Mahasiswi FISIP UNS
“Setuju dengan diratifikasikannya UU Pornografi. Sekarang kan banyak anak-anak kecil yang mudah mengakses gambar-gambar yang tidak pantas dilihat anak seusia mereka. Hal ini telah berlangsung dan akan terus berlangsung menggerogoti moral generasi muda. Solusinya, dibutuhkan sarana untuk menjaga agar moral bangsa terjaga, salah satunya dengan UU Pornografi ini. Namun, banyak yang menolak disahkannya UU ini dengan alasan multitafsir. Sebaiknya, makna pornografi lebih dirinci sejelas-jelasnya untuk tiap-tiap pasal.”

Asiska Riviyastuti, Aktivis Dewan Mahasiswa FISIP UNS
“ Seharusnya pihak DPR lebih bijak. DPR merupakan wakil rakyat jadi DPR harus mendengarkan dan mempertimbangkan suara rakyat. Kalau masyarakat masih ada yang kontra mengenai suatu hal yang akan ditetapkan oleh DPR, seharusnya jangan langsung ditetapkan dan disahkan. Tetapi, dengar dulu pendapat yang kontra, diajak berdialog dengan masyarakat yang kontra, diberi pemahaman atau mencari jalan tengah agar tidak terjadi suatu permasalahan di belakangnya kelak.”

Ivan Andi Muhtarom, Aktivis KAMMI
”Saya sepakat dengan pengesahan UU Pornografi, karena hal itu menurut dapat menjaga moral bangsa Indonesia. Walaupun banyak pro dan kontra, tetapi seharusnya keputusan tersebut tetap dapat dijalankan sesuai prosedur yang berlaku.”

Pramanti Putri

Sabtu, November 08, 2008

We are Sorry...

Selaku pengurus Blog lpm Visi tercinta ini, kami mohon maaf sebesar - besarnya posting belum dapat up date lagi. Untuk selanjutnya (mulai November ini) posting di blog sifatnya akan lebih tematis.
Jadi jangan takut untuk tetap berkreasi melalui tulisan - tulisan hebatmu teman - teman!
hidup PERSMA!!!


*litbang perkasa
penulis adalah seorang newbie di dunia blog. Jadi belum bisa berkomentar banyak. Harap maklum.

Minggu, September 21, 2008

Blog Ormawa UNS dan Search Engine Optimization

Oleh: Haris Firdaus

Mulai September 2008, Pusat Komputer (Puskom) Universitas Sebelas Maret (UNS) membuat sebuah “gebrakan” dengan memberikan fasilitas blog—berupa domain tumpangan di uns.ac.id—kepada seluruh organisasi mahasiswa di UNS.

Ketika pertama kali mengetahui rencana tersebut, saya sempat bertanya-tanya: apa tujuan dari langkah ini? Sekadar ikut-ikutan tren ngeblog yang sedang mewabah atau ada tujuan lain yang lebih baik? Didorong rasa penasaran, saya sempat melakukan googling untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tapi, saya tak menemukan jawaban yang cukup memuaskan. Sejumlah blog yang saya datangi, termasuk blog resmi milik UNS yang dibuat dalam rangka penyuksesan rencana itu (http://ormawa.uns.ac.id) tak memberikan banyak penjelasan.

Jawaban yang memuaskan baru muncul dari Kepala Puskom Dr. Sutanto, S.Si, DEA pada saat ia memberi pengantar dalam acara “Pelatihan Blog untuk Ormawa”, Jumat, 19 September lalu. Ternyata, langkah Puskom UNS memberikan fasilitas blog untuk ormawa—melalui domain ormawa.uns.ac.id—berkaitan dengan impian besar UNS menjadi World Class University.

Untuk menuju World Class University, kata Sutanto, salah satu langkah yang harus diambil adalah mengenalkan UNS ke seluruh dunia. Dan, cara paling mudah dan efisien untuk mengenalkan UNS adalah melalui internet. Lebih dari itu, kata Sutanto, keterkenalan di dunia maya sekaligus juga menjadi penanda apakah sebuah universitas layak menjadi World Class University atau tidak. Sebab, sifat internet yang global dan tanpa sekat, membuat keterkenalan sebuah universitas di dunia internet berkorelasi positif dengan keterkenalan di seluruh pelosok dunia ini.

Di dalam internet, pihak yang “paling berkuasa” adalah search engine. Siapa yang dikenali oleh mesin pencari semacam Google atau Yahoo, dialah yang akan dikenal. Logika macam inilah yang kemudian diikuti oleh Sutanto dan timnya. Mereka kemudian merancang sebuah rencana strategis yang diberi nama “Search Engine Optimization” atau SEO. SEO adalah sebuah langkah besar dan panjang dengan target membuat UNS lebih dikenal di jagat maya.

Selama ini, menurut Sutanto, rekam jajak UNS di dunia maya belum membahagiakan. Jumlah kunjungan ke website resmi UNS—seperti dicatat oleh Alexa—belum bisa dibanggakan. UNS masih terpaut amat jauh dengan universitas yang hanya berjarak sekian puluh kilometer dengannya: Universitas Gajah Mada, Yogayakarta. Rekam jajak versi mesin penghitung semacam Alexa ini berpengaruh terhadap peringkat UNS di Situs Webometrics. Dalam situs yang melakukan perangkingan terhadap universitas berdasarkan “keterkenalannya” di jagat maya itu, UNS ada di peringkat 4.681 dari 5.000 universitas yang dicatat—Webometrics hanya merangking sampai angka 5.000 dari keseluruhan universitas di dunia yang jumlahnya amat banyak, lebih dari 16.000.

Angka 4.681 itu, yang dipublikasikan pada Juli 2008 ini, sebenarnya sudah merupakan peningkatan dari waktu sebelumnya karena sebelum itu UNS sama sekali tak masuk dalam daftar Webometrics. Namun peringkat ini masih kalah dengan sejumlah universitas lain di Indonesia seperti, UGM, ITB, UI, Universitas Airlangga, dan lain-lain. Sebagai gambaran, UGM berada di peringkat 819, ITB di peringkat 826, UI di peringkat 1291 dan 1652 (karena menggunakan dua alamat web yang berbeda), dan Universitas Airlangga ada di peringkat 3.040. Salah satu target besar Sutanto dan timnya adalah membuat UNS, pada Januari 2009, bisa "mengalahkan" rangking Universitas Airlangga.

Mewujudkan targetan itu jelas bukan sesuatu yang mudah. Membuat UNS makin terkenal di internet mengharuskan makin banyaknya informasi tentang universitas tersebut yang disebarkan—dan juga diakses—melalui internet. Sutanto memang telah membentuk tim khusus untuk SEO. Tapi tim kecil setangguh apapun akan sangat sulit mewujudkan ambisi itu jika ia bekerja sendirian. Diperlukan cukup banyak orang untuk menyebarkan sekaligus mengakses informasi tentang UNS dalam waktu yang rutin dan tidak hanya secara sporadis. Bagaimanapun, jagat internet bukan milik segelintir ahli. Jagat itu milik orang-orang biasa yang jumlahnya banyak. Di internet, manusia-manusia biasa yang banyak itulah yang mengambil peranan lebih besar.

Salah satu langkah yang telah ditempuh sebagai penjabaran SEO adalah meng-online-kan sejumlah kegiatan akademik seperti pengumuman SPMB, pengurusan KRS, publikasi penelitian dan tugas akhir, serta sejumlah aktivitas akademis lain. Dengan memindahkan kegiatan-kegiatan macam itu ke internet—melalui website milik UNS atau fakultas-fakultas di UNS—jelas akan terjadi peningkatan jumlah pengakses informasi tentang UNS di jagat maya. Pertambahan ini berkorelasi positif dengan keterkenalan UNS. Tapi, langkah itu belum cukup. Sebab, kegiatan akademis seperti itu tak berlangsung dalam waktu yang rutin sehingga angka pengakses bisa tiba-tiba anjlok jika tak bertepatan dengan kegiatan akademis khusus.

Pada posisi itulah, saya kira, tercetus ide untuk membuat “Gerakan Nge-Blog Se-UNS”. Gerakan ini dimulai dengan memberi fasilitas berupa domain tumpangan kepada karyawan dan dosen UNS sehingga mereka bisa membuat blog. Saya tak tahu sejak kapan gerakan ini dimulai tapi sudah ada sejumlah staff UNS yang ngeblog memanfaatkan domain staff.uns.ac.id—termasuk Sutanto. Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan memberi fasilitas serupa pada organisasi mahasiswa di UNS agar mereka bisa memiliki blog institusi.

Gerakan ngeblog dengan domain yang menumpang di uns.ac.id ini jelas akan berpengaruh terhadap rangking UNS di mata search engine. Semakin banyak mereka yang ngeblog dengan domain tumpangan itu, akan makin banyak info soal UNS tersebar dan juga diakses sehingga nama universitas ini akan makin dikenal oleh search engine. Kondisi inilah yang akan meningkatkan peringkat UNS di antara seluruh universitas di dunia berdasar versi Webometrics.
***

Bagaimana efektivitas gerakan macam itu? Saya tak tahu. Sutanto dan timnya mungkin juga tak tahu. Sebab, seperti telah disebut, gerakan ini melibatkan jumlah orang yang banyak dan tak ada intervensi birokratis yang bisa dilakukan sehingga prediksi pasti hampir mustahil didapat. Paling-paling, seperti yang sudah sempat terdengar, Puskom UNS hanya bisa mendorong agar gerakan itu menuai sukses dengan mengadakan semacam lomba bagi ormawa yang telah memiliki blog institusi di ormawa.uns.ac.id.

Aktor-aktor utama yang bermain dalam gerakan itu adalah mahasiswa-mahasiswa dan staf UNS kebanyakan. Orang-orang yang mungkin saja “anonim” inilah yang akan menentukan efektivitas rencana besar Puskom UNS. Karena itu pula, Puskom UNS harus terus memotivasi massa besar ini agar mereka tetap melakukan aktivitas ngeblog dalam jangka waktu yang rutin dan lama.

Kendala terbesar dari gerakan yang melibatkan jumlah massa amat banyak ini adalah kemauan dan ketahanan dari para aktivis ormawa—juga para staff UNS—untuk membuat blog dan secara rutin mengisinya. Bagaimanapun, menurut saya, ngeblog bukan aktivitas yang instan. Diperlukan ketabahan tersendiri untuk tetap menjadi blogger yang baik dan mampu bertahan lama. Sebab, manfaat kegiatan ngeblog seringkali tak bisa didapatkan secara cepat dan mudah. Untuk membuat blog kita dikunjungi dan tulisan kita dibaca pun, kadang-kadang butuh waktu yang lama. Oleh karena itulah, ngeblog kadangkala bisa menjadi sebuah kegiatan yang membuat bosan atau putus asa.

Tapi, tren ngeblog memang sedang mewabah. Ada sebuah gerakan yang menargetkan jumlah blog di Indonesia menjadi satu juta pada akhir tahun ini. Saya tak tahu adakah targetan itu akan tercapai, seperti halnya saya tak tahu apakah operasi “Search Engine Optimization” yang digelar Puskom UNS akan berhasil atau tidak. Kita lihat saja nanti.

Penulis adalah Anggota LPM VISI FISIP UNS

Jumat, September 19, 2008

Menilik Kembali Efektifitas Sistem Pemilihan Langsung dalam Pilkada

Oleh: Pramuji Ari Mulyo*

Pada Januari lalu, jantung Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), sempat koma, lantaran ribuan massa pendukung salah satu calon Gubernur Sulsel meluapkan kemarahan dan kekecewaannya akibat pemerintah dinilai lamban dalam merespons terpilihnya sang calon hasil pilkada. Masa pendukung Gubernur Sulsel itu merasa khawatir akan timbul konflik yang disulut oleh pihak yang tidak bertanggung jawab jika jabatan Gubernur Sulsel itu tidak segera dikukuhkan oleh pemerintah.

Peristiwa semacam itu ternyata terjadi secara sporadis di berbagai wilayah Indonesia. Berbagai media banyak menyoroti tentang persoalan tersebut. Kita tidak bisa berkilah, karena memang itulah kenyataan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Peristiwa-peristiwa yang membuat mata kita nanar tersebut merupakan salah satu contoh dari keterpurukan moral demokrasi elite politik yang enggan mengalah.

Menurut penuturan Anggota KPU Endang Sulastri, yang dilansir dari Indonesia Views menyebutkan bahwa, “Perilaku politik yang kurang siap menerima kekalahan menjadi salah satu penyebab munculnya sengketa pilkada. Sikap ini membuat tim sukses dan peserta pilkada selalu mencari celah untuk melakukan gugatan sehingga apa pun hasil pilkada, akan terus menuai gugatan.” Kita sendiri, dengan keterbatasan yang ada, kadang menyeletuk penilaian yang keluar dari lisan kita dan menilai bahwa ada ketidaktransparanan dalam mekanisme pilkada, terutama dalam hal transparansi penghitungan suara. Asumsi kita ternyata tidak sepenuhnya keliru. Buktinya dalam beberapa pemberitaan di koran-koran dituliskan beberapa kasus-kasus yang merujuk kesana.

Budaya yang tidak mau mengalah dari elite politik menjadi salah satu penyebab mencuatnya konflik pilkada di beberapa wilayah. Ditambah lagi, unsur tidak mau rugi dari para calon semakin memperuncing permasalahan. Antara pemenang dan yang kalah dalam pemilihan pikada tersebut hanya tipis perbedaannya. Jika kalah dalam pemilihan, terbayanglah kerugian finansial yang cukup besar calon tersebut, betapa tidak, untuk bisa menjadi calon yang unggul, setidaknya diperlukan coast yang tidak sedikit. Sementara yang menang dalam pemilihan, pasti berusaha untuk mencari jalan agar uang yang dikeluarkan dalam jumlah besar itu kembali di tangannya.

Maka, ketika mengalami kekalahan, sang calon tidak akan rela begitu saja melepaskan kekalahannya itu. Dewasa ini terlahir sebuh tren baru dengan modus yang memanfaatkan kekuatan hukum itu sendiri. Di mana rata-rata, calon yang kalah selalu melayangkan gugatan hasil pilkada melalui Mahkamah Agung (MA). Dengan harapan, tentunya, hasil pilkada dapat diubah melalui kewenangan dan putusan MA itu sendiri. Kondisi ini memunculkan stigma bahwa hasil pilkada dapat diutak-atik dengan menyerahkan kasus pilkada di tangan MA. Ini yang bahaya karena hasil pilkada ada di tangan MA. Sementara mainstream dalam pikiran kita muncul stigma bahwa lembaga hukum kita lemah, lekat dengan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Biar bagaimanapun tak pelik melihat awal persoalan itu.

Sejak 2005 hingga 2008 ini, setidaknya tercatat sudah 340 pilkada digelar di berbgai daerah. Bahkan, sepanjang 2008 akan digelar sebanyak 160 pilkada di beberapa daerah. Bisa kita bayangkan berapa banyak uang yang kita hambur-hamburkan untuk menyukseskan pilkada itu. Toh pada kenyataannya di bilang sukses ya tidak sukses-sukses amat. Pilkada yang sudah digelar itu mayoritas justru membawa kerugian, ujung-ujungnya menimbulkan masalah atau konflik. Kisruh pilkada memang sudah go public terjadi di negeri yang sedang membangun sistem demokrasi.

Premanisme Politik dalam Pilkada
Strategi politik kini seakan dikendalikan oleh penyewa preman bayaran. Campur tangan mereka dianggap dapat memberikan kelancaran dalam meraih target politik. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selama pilkada berlangsung, disinyalir tak lepas dari ulah para preman. Mereka disewa oleh pihak yang tidak fair menerima kekalahan, agar membuat kericuhan yang berbuntut pada tindak brutal pengrusakan-pengrusakan. Anehnya siapa yang terlibat atau siapa yang menjadi dalang di balik kerusuhan itu benar-benar tidak terlacak. Atau mungkin sebenarnya sudah terlacak, tetapi tak berani menindak. Kericuhan itu dibiarkan berlalu dan selesai dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Alangkah mudahnya menyulut emosi dan melempar fitnah di saat menjelang pemilihan. Di saat orang ingin memperjuangkan aspirasi mereka. Bagi pemilik target yang berkepentingan dalam pilkada, secara logika penggunaan tenaga preman jauh lebih memberikan efisiensi. Tak ayal, sering terjadi pemaksaan aspirasi yang digulirkan melalui teror dan kerusuhan kepada rakyat biasa. Bukankah pelaku teror dan kerusuhan itu melanggar hukum dan seharusnya dihukum? Kenapa pembuat teror tersebut jarang untuk bisa ditangkap atau diadili?

Mungkin mereka--“preman-preman politik”-- itu memiliki taring yang lebih tajam dibandingkan dengan lembaga hukum kita. Singkatnya sindikat preman-preman politik itu lebih canggih. Barangkali dalam blue print program pencapaian dan pematangan dari strategi politik teror mereka telah dipersiapkan antisipasi untuk mengelabuhi berbagai pihak yang mencium kecurigaan terhadap apa yang telah mereka lakukan. Sehingga jika ada bahaya mengancam mereka sudah bersiap siaga sebelumnya.

Bangsa kita ini telah mengalami deregulasi tatanan hukum dan deregulasi pembinaanhukum. Kita ini sedang kehilangan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Persangkaan adanya mafiaperadilan pada kenyataannya mafia peradilan itu kini semakin jauh berdampak dan telahmerebak menjadi mafia politik,
seperti kutil yang telah menjadi kanker. Mereka yang menyewa jasa para preman-preman itu berarti kejahatannya jauh melebihi preman yang ia sewa.

Artinya, fungsional dari premanisme itu telah menjalar sampai kepada masalah sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Mereka hadir dalam ranah kehidupan yang paling kecil hingga kehidupan bernegara yang kompleks. Bayangan mafia politik ini sangat menakutkan karena kriminalitas itu telah menjarah sampai ke berbagai lini persoalan masyarakat.

Coba bayangkan, kala tokoh kriminal menjadi wakil rakyat. Apa yang akan terjadi selanjutnya. Peranan mereka dalam pemerintahan telah menjadi panutan bagi para pencoleng-pencoleng kecil. Mana mungkin pemimpin yang buruk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bijaksana. Cara-cara keliru yang digunakan sebagai mekanisme politik pada akhirnya tetap akan berbalik menciptakan kemudaratan yang lebih besar bagi sistem itu sendiri.

Mungkinkah menindak mereka, bapak yang terhormat, yang juga punya title preman itu, sedangkan mereka itu telah menjadi anggota DPR yang mulia? Mereka terkenal di mana-mana. Mereka sering muncul di televisi. Mereka punya banyak relasi dan punya power yang besar. Membayangkan hal itu, bulu kuduk pasti menegang, hati menjadi ciut dan nafas tersengal. Merinding rasanya, belum terjadi apa yang ingin dilakukan untuk menuntut keadilan, belum-belum sudah terbayang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi. Setiap perkataan yang ingin diutarakan kepada mereka, tertelan kembali sebelum sempat bersua. Siapa yang berani mengutik-utik mereka.

Demikianlah premanisme politik semakin diminati. Tak ayal preman-preman naik daun. Preman kampung mulai bergengsi dengan hand phone, semakin brutal, semakin disegani, semakin sibuk, semakin laris. Kini orang bangga menjadi preman, apalagi menjadi tokoh preman.

Cermin Politik dalam Pilkada
Menurut hemat saya, perilaku partai politik dan politisi itu tak lain dan tak bukan adalah cerminan peradaban kita sendiri sebagai bangsa secara keseluruhan. Dan karenanya, menjadi tanggung jawab kita semua juga secara tanggung renteng. Masalah kepartaian mendasar yang kita hadapi adalah tidak adanya belahan ideologis yang jelas dan relevan, terkait dengan bagaimana mengelola republik ini menuju kemakmuran.

Kita yang berada di daerah, sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh agar didengarkan oleh banyak orang meskipun dengan cara yang tidak benar. Segala cara dihalalkan yang penting untuk memenangkan prosesi pemilihan. Sementara, hal ini lah yang menggejala di berbagai daerah. Dimanakah letak hati nurani kita semua.

Parpol seharusnya berfungsi sebagai perwakilan yang gigih memperjuangkan nasib rakyat. Namun demikian, dalam tataran politik kita , sosok parpol sangat parah, perilakunya belum jadi solusi melainkan jadi bagian dari masalah. Melihat realitasnya, tuduhan pun muncul, mereka telah menjadikan lembaga legislatif sebagai sarana memuluskan keinginan pemerintah dan tempat bargain untuk mendapatkan sesuatu. Tidak sensitif terhadap problem-problem yang tengah dihadapi rakyat. Begitulah inti dari berbagai artikel yang telah dimuat di berbagai media.

Masalah dunia politik kita melulu diwarnai oleh kepentingan politik kekuasaan (state politic) dan sedikit sekali berbicara kepentingan politik pemilih (people’s politics). Kemudian konstalasi pemilih kita di era reformasi cenderung tidak berubah dan mengulang situasi tahun 1955. Sebagai rakyat kecil, kita patut prihatin dengan parpol yang duduk di dewan perwakilan yang dengan gampangnya menghambur-hamburkan uang negara. Uang negara ya berarti uang rakyat juga. Berbagai bencana yang melanda negeri ini, mulai dari kemiskinan, busung lapar dan bencana alam seharusnya menjadi perhatian utama, karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pilihan langsung dalam pilkada ini merupakan potret mental para pemimpin kita. Jika ada kesempatan yang baik, tidak mereka gunakan untuk melakukan kebaikan. Buktinya kekuasaan yang mereka miliki tidak digunakan untuk membantu orang kecil. Mereka lupa akan tujuan reformasi. Itu artinya, elit politik lokal terbukti belum siap menghadapi perubahan sistem demokrasi tersebut.

*Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2005

Menilik Satu Tahun Kinerja Dekanat

Dekan terpilih periode 2007-2011 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tepat satu tahun menjabat pada 16 Mei 2008. Dalam satu tahun kinerjanya, sejumlah mahasiswa belum merasakan adanya progres yang berarti terhadap FISIP.

Novi Kurniawati, mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (AN) 2005 ketika ditemui di depan gedung Keluarga Mahasiswa (KM) FISIP (13/6) mengungkapkan bahwa selama satu tahun ini Dekanat sudah melakukan perbaikan di FISIP, tetapi masih belum terasa progress-nya. ”Di Bidang I saja masih belum jelas kurikulum yang dipakai, Bidang II meskipun sudah ada pembenahan sarana prasarana, tetapi kebersihan belum terwujud. Bidang III soal jaringan alumni FISIP juga belum kuat,” tambahnya

Masih menurut Novi, selama ini Dekanat dirasa kurang menyerap aspirasi mahasiswa dan berimbas pada kurang terinternalisasikannya visi dan misi mereka. Senada dengan Novi, Dian Kukuh Purnandi, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2006 ketika diwawancarai Acta Diurna (16/6) di aula FISIP menyatakan, secara umum kinerja Dekanat sudah cukup baik meskipun masih ada beberapa kekurangan.

”Manajerial dan prasarana sudah baik, misalnya saja pembagian job desk birokrasi FISIP dan ruang perpustakaan yang tertata disertai AC, dan peraturan ujian yang sudah tegas. Namun masih ada kekurangan, seperti pernyataan yang berbeda dari dekan maupun pembantu dekan yang lain sehingga membingungkan mahasiswa. Ini berarti arus informasi dari Dekanat masih kurang,” ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan Mufti Anas mahasiswa AN 2005 ketika ditemui pada Rabu (18/6), bahwa kinerja Dekanat satu tahun pertama masih perlu perbaikan. ”Sebenarnya sudah cukup bagus, namun dalam pelaksanaan kebijakan masih kurang melibatkan mahasiswa, padahal mahasiswa adalah objek dari kebijakan tersebut,” ujarnya.

Dekanat: Sudah Lakukan Pembenahan
Menanggapi mahasiswa yang menyatakan bahwa Dekanat belum memiliki progress yang berarti, Dekan FISIP Drs. Supriyadi, SN. SU yang ditemui di ruangannya (14/6) mengatakan, ”Kami baru menjabat satu tahun, jadi memang masih ada kekurangan di sana-sini yang semuanya itu terbentur pada masalah waktu dan biaya, sehingga progres masih belum terlihat jelas.”

Sedangkan untuk internalisasi visi dan misi yang dikeluhkan mahasiswa, Supriyadi mengaku sudah memberikan solusi melalui sharing dan diskusi dengan mahasiswa. ”Saya sering diundang sharing dan diskusi dengan mahasiswa, yang dari sinilah saya menyerap aspirasi mereka untuk kemudian saya gunakan dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan,” ujarnya.

Kurangnya kesadaran baik dari dosen, karyawan, dan mahasiswa diakui Supriyadi juga menjadi salah satu kendala dalam melaksanakan program kerjanya. ”Ketika dosen, karyawan, dan mahasiswa menyadari akan peran dan tanggung jawab mereka, saya pikir program kerja ini akan berjalan lancar,” ujar Supriyadi.

Menanggapi pernyataan dari Supriyadi, Wahyu Setya Budi mahasiswa Ilmu Komunikasi 2005 ketika ditemui di Public Space (24/6) mengatakan bahwa mahasiswa jangan terlalu disalahkan. ”Bagaimana yang di belakang, tergantung yang di depan. Bagaimana mahasiswa, tergantung pihak Dekanat dalam memimpin,” ujarnya.
Budi juga mengatakan bahwa sharing yang diadakan pihak Dekanat hanya dilakukan pada awal kinerjanya saja, selanjutnya tidak ada tindak lanjut lagi. Ia pun menambahkan bila masalah biaya dan waktu seharusnya tidak menjadi kendala. ”Seharusnya biaya tidak dijadikan permasalahan karena mereka tidak bekerja kepada mahasiswa melainkan mengabdi kepada mahasiswa, kalau kerja kan kepada negara,” tuturnya.

Selain Budi, Arnold Meka mahasiswa AN 2005 ketika ditemui di gedung KM (24/6) menyatakan bahwa seharusnya Dekanat jangan menyalahkan mahasiswa, tapi lebih introspeksi dengan apa yang sudah Dekanat berikan untuk mahasiswa. ”Harmonisasi antara dekan dan pembantu dekan dalam pelaksanaan kebijakan saja masih kurang padahal kinerja Dekanat belum bisa dimulai tanpa tim yang solid,” tambahnya.

Pernyataan mengenai salah satu kendala dalam mewujudkan program kerja Dekanat yang berasal dari mahasiswa juga dibenarkan oleh Suyatmi. Ketika ditemui di ruangannya (13/6) ia menyatakan kendala yang dibidanginya justru dari mahasiswa sendiri. ”Susah sekali menggerakkan mahasiswa, apalagi untuk terlibat dalam lomba-lomba ilmiah,” paparnya.

Menyikapi pernyataan Suyatmi, Arnold mengatakan bila mahasiswa tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. ”Dekanat masih kurang dalam mensosialisasikan kegiatan-kegiatan ilmiah, jadi jangan terus menyalahkan mahasiswa, apalagi hanya segelintir dosen saja yang mengarahkan mahasiswa untuk melakukan kegiatan ilmiah seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM),” ungkapnya.

Sedangkan terkait dengan kebersihan yang dipermasalahkan mahasiswa, PD II Drs. Marsudi M.S menyatakan mahasiswa lah yang kurang bertanggung jawab dalam penggunaan fasilitas yang disediakan. ”Seharusnya mahasiswa bisa menjaga fasilitas yang sudah ada, misalnya tidak mencoret-mencoret dinding dan kursi,” tegasnya.
Menjawab tentang penjagaan kebersihan fasilitas kampus, Arnold pun mengiyakan bila kesadaran mahasiswa masih kurang. ”Memang kesadaran mahasiswa dalam menjaga kebersihan masih kurang, tapi saya harap perawatan kebersihan fasilitas kampus untuk mahasiswa dan birokrat tidak dibedakan,” ujarnya.

FISIP EMAS Entah Kapan Akan Terwujud
Salah satu Visi Dekanat adalah menuju FISIP EMAS (Acta Diurna No 6/VII/2007). Namun, melihat banyaknya keluhan dari mahasiswa untuk tahun pertama kinerja Dekanat, ternyata menyisakan tanda tanya di benak mahasiswa tentang kapan terwujudnya FISIP EMAS tersebut.

FISIP EMAS seperti yang dicita-citakan Supriyadi yaitu keadaan masyarakat kampus yang ideal dan harmonis di bidang akademik dan non akademik, menurut mahasiswa ternyata juga belum terealisasi.

”Menurut saya FISIP EMAS ini belum terwujud. Di bidang akademik dan non akademik saya rasa tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Kita lihat saja bidang akademik tidak ada kemajuan yang jelas, non akademik juga sama kondisinya,” ungkap Novi.
Ke depannya, mahasiswa berharap agar Dekanat bisa lebih baik dari sebelumnya. ”Dekanat bisa lebih kreatif dan inovatif untuk mengembangkan FISIP, mengenai jaringan alumni juga dikuatkan dulu, karena para alumni ini adalah aset besar FISIP yang bisa dimanfaatkan,” kata Novi.

Bahkan di sisi lain Supriyadi pun tak tahu kapan FISIP EMAS akan terwujud. ”Saya sendiri juga belum bisa menentukan kapan FISIP EMAS terwujud. Fondasi FISIP EMAS ini mulai saya terapkan misalnya dengan penertiban dan pendisiplinan dosen, karyawan dan mahasiswa sehingga ini bisa menjadi salah satu cara saya untuk mencapai FISIP EMAS itu,” tegasnya.

Semoga saja dengan adanya masukan ataupun keluhan dari mahasiswa, pihak Dekanat melakukan perbaikan guna mewujudkan FISIP EMAS dan menjadikan FISIP lebih baik lagi kedepannya. Menjaring aspirasi mahasiswa dapat menjadi salah satu cara untuk melakukan pembenahan. “Aspirasi dari mahasiswa dan Jurusan harus didengar dan disatukan serta diadakan dialog terbuka agar semua permasalahan jelas dan tidak menimbulkan perdebatan, dan saya harap arus informasi dari Dekanat diperbaiki agar tidak membingungkan mahasiswa,” ujar Kukuh.

Tidak jauh berbeda dengan Kukuh, Anas pun juga berharap untuk pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, diharapkan Dekanat agar lebih sering mengadakan hearing dengan mahasiswa. ”Saya harap Dekanat lebih sering melakukan hearing agar setiap kebijakannya tidak merugikan pihak yang lainnya,” ungkapnya. (Alina, Wynna, Imas)

Mahasiswa Tak Rela Lepas Osmaru

Berdasar Surat Keputusan (SK) Rektor No. 299/H27/HK.KM/2008, sistem pelaksanaan Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMARU) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, bulan Agustus mendatang akan mengalami perubahan. Perubahan ini terlihat dari konsep acara serta materi OSMARU yang lebih bersifat akademik.

Mengenai turunnya SK Rektor ini, Pembantu Dekan (PD) III sekaligus Ketua Panitia OSMARU Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS 2008 Dra. Suyatmi, MS. berpendapat. ”Alasan turunnya kebijakan baru ini karena adanya laporan dari tim monitoring OSMARU bahwa materi OSMARU dari mahasiswa melenceng dari nilai etika dan norma akademik SK Rektor,” paparnya.

Dari segi etika, berdasar pantauan tim monitoring, terdapat fakultas yang melakukan OSMARU menjurus ke pembodohan. “Misalnya, ada fakultas yang menyuruh mahasiswa barunya memakai kaos kaki selen, rambut yang dikuncir tidak teratur, ada yang masih membentak-bentak mahasiswa baru, ini tidak berhubungan dengan intelektual,” tandas Suyatmi.

Sedangkan penyimpangan norma akademik, Suyatmi mengeluhkan minimnya alokasi waktu untuk penyampaian materi Bidang I Akademik yang hanya 20 menit. “Dengan waktu sesempit ini, membahas Bidang I misalnya sistem siakad, tidak efektif.” Bahkan menurutnya, materi dan waktu dalam OSMARU yang dibuat mahasiswa tahun-tahun lalu lebih didominasi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

“Sehingga, setelah mereka menjadi mahasiswa, mereka tidak tahu bagaimana dan apa Sistem Kredit Semester (SKS), bahkan apa itu Pembimbing Akademik (PA), bagaimana kehidupan di perguruan tinggi mereka tidak tahu. Mereka juga tidak paham bagaimana menyelesaikan studi dengan cepat,” tambahnya.

Terkait dengan adanya pemberitaan penyimpangan OSMARU, untuk FISIP sendiri dinyatakan tidak terjadi penyimpangan. Hal ini disampaikan salah seorang anggota Dewan Mahasiswa (Dema) FISIP Wahyu yang juga turut menjadi tim monitoring OSMARU 2007. “Saya tidak menemukan adanya kasus kekerasan dan pembodohan di OSMARU 2007. Bahkan di lembar evaluasi tim monitoring juga tidak tercantum tentang laporan penyimpangan tersebut,” tegasnya.

Meskipun di FISIP tidak terjadi penyimpangan OSMARU, PD I FISIP Drs. Priyanto Susiloadi, M. Si. , selaku perwakilan FISIP dalam Rapat Bersama Pembantu Rektor (PR) I dan PR III UNS, yang membahas perbaikan SK OSMARU terbaru pada April lalu menyatakan persetujuannya dengan SK Rektor tersebut. “Dalam rapat ini, saya menempatkan diri bukan atas nama fakultas saja, tetapi atas nama universitas. Sehingga, saya mendukung kebijakan universitas dalam mengeluarkan SK OSMARU baru,” ujarnya.

Reaksi Ormawa
Menanggapi kebijakan baru ini, para pegiat Ormawa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di FISIP tidak tinggal diam. Mereka mengadakan pertemuan antar Keluarga Mahasiswa (KM) pada Rabu (14/5) untuk membahas tentang OSMARU 2008 dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP UNS sebagai fasilitatornya.

Forum ini dihadiri oleh beberapa Ormawa, seperti Kine Klub, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), LPM VISI, dan Dema. “Dalam pertemuan ini, teman-teman UKM merasa tidak terima karena kurang dilibatkan dalam kepanitiaan OSMARU yang lebih didominasi fakultas,” jelas Menteri Dalam Negeri (Mendagri) BEM FISIP UNS Novi Kurniawati.

Dari pertemuan antar UKM tersebut menghasilkan dua pernyataan sikap. “Pertama, mahasiswa menuntut agar dilibatkan secara full dalam kepanitiaan OSMARU, baik secara teknis maupun konsep. Yang kedua, teman-teman UKM diberikan wadah untuk sosialisasi di OSMARU. Sebab dalam jadwal dan materi OSMARU yang dibuat oleh pihak universitas, sosialisasi UKM fakultas hanya akan ditampilkan dalam bentuk display saja, hal ini tidak disetujui oleh teman-teman UKM,” papar Novi.

Tuntutan ini dilatarbelakangi karena PD III hanya melibatkan 20-30 mahasiswa yang masuk dalam kepanitiaan serta tidak dilibatkannya mahasiswa dalam merumuskan konsep acara OSMARU. “Kita (mahasiswa-red) hanya ditawari untuk masuk ke dalam kepanitiaan, dilibatkan hanya secara teknis saja, “ tambah Novi.

Selain itu, menurut Novi, bila dilihat dari jadwal dan materi OSMARU 2008, pihak fakultas hanya akan memberikan materi yang bersifat akademis saja seperti materi tentang visi misi UNS. “Seharusnya akademis ditafsirkan bukan hanya pemberian materi saja, tetapi yang lebih kreatif, tidak hanya satu arah,” imbuhnya.

Pandangan Novi, di luar materi akademis masih ada hal yang penting untuk disampaikan dalam OSMARU nantinya. ”Seperti diskusi dan organisasi, inilah yang ingin mahasiswa tampilkan, bukan akademis saja. Bukan hanya kuliah tetapi ikut berorganisasi, pengabdian kepada masyarakat. Dan hal-hal seperti ini yang akan kita perjuangkan dalam konsep acara OSMARU,” kata Novi.

Menjawab opini dari pegiat Ormawa yang merasa tidak dilibatkan, Rabu (21/5) Suyatmi turut angkat bicara. “Sebenarnya, mahasiswa juga masih berperan dalam kepanitiaan. Justru fakultas ingin mengarahkan mahasiswa dalam mengorganisir OSMARU,” tandasnya. Menurutnya, mahasiswa akan dimasukkan ke dalam lima bidang. Diantaranya, bidang kesekretariatan (5 orang), acara (12 orang), konsumsi (3 orang), Pertolongan Pertama pada Kecelakaan/P3K (6 orang), dan tim monitoring (3 orang). “Semua UKM memiliki kesempatan yang sama untuk masuk ke dalam kepanitiaan. Dema dan BEM yang diberi wewenang untuk mencari panitia dari mahasiswa,”ujarnya.

Audiensi Mahasiswa dan Dekanat
Setelah sempat gagal melakukan pertemuan bersama, akhirnya Jumat (30/5) di Gedung Keluarga Mahaisiwa (KM), mahasiswa menggelar pertemuan dengan pihak Dekanat yang diwakili Suyatmi. Dalam pertemuan yang dihadiri beberapa perwakilan dari UKM FISIP, pihak mahasiswa menyampaikan tuntutan agar diberi kewenangan membentuk panitia informal dalam OSMARU tanggal 21-23 Agustus 2008 mendatang, serta keterlibatan dalam pembuatan konsep acara OSMARU.

Menanggapi tuntutan dari mahasiswa, Suyatmi, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (4/6), menyetujui usulan tersebut. “Hanya saja, sebenarnya Dekanat meminta 29 mahasiswa sebagai panitia yang tercatat dalam SK OSMARU. Bila jumlahnya lebih dari itu, sebenarnya tidak efektif. Namun, bila mahasiswa meminta jumlah yang lebih, mereka tetap bisa jadi panitia tetapi jumlah diluar 29 orang tidak masuk dalam SK Dekan,” tegasnya.

Selain itu, Suyatmi juga menerima tuntutan mahasiswa untuk ikut berpartisipasi membentuk konsep acara dalam penyampaian materi. ”Dekanat masih memiliki kepercayaan kepada mahasiswa, jadi mahasiswa diberi kebebasan membentuk konsep acara yang lebih kreatif, lalu diajukan ke saya. Baru kemudian diadakan rapat bersama seluruh panitia OSMARU untuk membahasnya,” katanya.

Akan tetapi, ia menambahkan, bila penyampaian acara materi tidak boleh keluar dari acuan yang diberikannya. ”Kebebasan membuat konsep acara ini khusus bidang III (Kemahasiswaan) saja dan penyampaiannya nanti tidak boleh keluar dari buku pedoman Kemahasiswaan Universitas,” tegasnya. Sedangkan untuk penyampaian materi pada bidang I (Akademik), Suyatmi menegaskan tidak akan ada keterlibatan mahasiswa, dengan kata lain disampaikan langsung oleh Priyanto selaku pengampu bidang ini dengan dibantu oleh dosen yang berkompeten.

Menanggapi tuntutan mahasiswa mengenai sosialisasi UKM yang hanya berupa display, Suyatmi memberikan saran. ”Untuk sosialisasi UKM, mereka bisa membuat stand-stand di luar aula dan nantinya mahasiswa baru bisa diberi waktu untuk mengunjungi stand-stand itu. Sebenarnya pengenalan UKM melalui layar juga sudah efektif,” terangnya. Di sisi lain, pihak mahasiswa yang diwakili oleh Novi pun akhirnya menyepakati usulan Suyatmi. ”Mengenai display UKM, mau dibentuk seperti apa itu diserahkan kepada mahasiswa konsepnya. Karena itulah akhirnya kami ( UKM-red) menyepakati usulan tersebut,” jawabnya.

Setelah tuntutan dari mahasiswa dipenuhi, pihak BEM segera melakukan persiapan. “Untuk merekrut panitia dari mahasiswa, kita akan melakukan proses rekruitmen dengan proses fit and proper test, yaitu melalui screening. Dan hingga saat ini, Kamis (19/6) telah terbentuk kepanitiaan mahasiswa yang terdiri dari 10 Steering Committee (SC) dan 56 Organizing Committee (OC), yang selanjutnya akan membahas konsep pelaksanaan acara OSMARU lebih lanjut ” papar Novi.

Agar terjalin koordinasi yang baik dalam pelaksanaan acara OSMARU mendatang, Suyatmi mengharapkan adanya kerjasama seluruh komponen fakultas. ”Mahasiswa jangan mengabaikan pihak dosen, Dekanat, dan staf administrasi selaku panitia dari fakultas. Sebaliknya, staf administrasi, dosen, dan Dekanat tetap menghargai dan mengharapkan mahasiswa, agar mahasiswa dapat menjadi contoh bagi mahasiswa baru,” ujar Suyatmi. (Putri,Nosi,Laura)

Selasa, Juni 17, 2008

Fabregas Hanya Perlu Menunggu

Oleh: Adinda Nusantari*

Menunggu barangkali menjadi sesuatu yang amat menjemukan. Apalagi jika harus mengunggu tanpa sebuah kepastian. Namun, hal ini tidak berlaku bagi seorang Cesc Fabregas. Gelandang asal Arsenal ini memang belum mendapatkan posisi di strarting eleven tim nasional Spanyol. Tetapi ia tetap sabar menanti posisi itu datang padanya. Ia sudah menggenggam satu kepastian bahwa suatu saat ia akan menjadi pemain inti di Tim Matador. Tentu saja ini bukan tanpa alasan. Dengan segala kemampuan dan bakat terpendam yang dimilikinya, Fabregas hanya perlu menunggu untuk menjadi pemain andalan di tim Spanyol.

Pelatih Tim Nasional (Timnas) Spanyol, Luiz Aragones hingga kini masih menempatkan Fabregas sebagai pemain cadangan. Pelatih berusia 63 tahun ini lebi memercayakan posisi gelandang jangkar pada Xavi Hernandez. Baru di saat permainan Spanyol ‘loyo’ dan kehilangan arah, Aragonez memasukkan Fabregas. Dari sini sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa Fabregas memang memiliki "sesuatu" yang dapat menjadi kartu as bagi tim La Furia Roja. Sesuatu itu bisa jadi adalah kemampuan untuk mengatur serangan dan arah permainan, seperti yang berhasil dilakukannya untuk Arsenal.


Aksi Fabregas saat Spanyol menghantam Rusia 4-1 menunjukkan bahwa pemain berusia 21 tahun ini telah mampu membungkam kritik yang dialamatkan padanya. Sebelum EURO 2008 bergulir, Fabregas banyak mendapatkan kritik bahwa dirinya tak bisa bermain maksimal seperti di Arsenal. Selain itu, Fabregas dituding tidak bisa bekerja sama dengan rekan setimnya di timnas. Dalam laga melawan Rusia itu Fabregas mampu membuktikan bahwa anggapan orang salah. Di partai awal Grup D itu Fabregas memberi satu assist saat David Villa mencetak hat-trick. Dan di penghujung laga, Fabregas mencetak satu gol dari sundulan kepala. Yang istimewa, gol itu adalah gol pertamanya bagi tim nasional Spanyol.


Di pertandingan kedua melawan Swedia pun, Fabregas tetap prima. Meski lagi-lagi hanya menjadi pemain pengganti, tetapi ia mampu "menghidupkan" permainan Spanyol yang sempat kurang impresif.

Sebagai pemain profesional, Fabregas sama sekali tidak marah atau kecewa dengan keputusan Aragones yang membangkucadangkannya. Fabregas tahu ia akan mendapatkan posisi inti, tetapi ia harus menunggu. Hal ini mengingatkan pecandu bola akan awal karier cemerlangnya di Arsenal. Saat itu, Arsenal masih dihuni oleh pemain-pemain sekaliber Patrick Veiera dan Robert Pires. Prioritas pelatih Arsenal, Arsene Wenger, jelas kepada Veiera sebagai jenderal lapangan tengah. Fabregaspun harus menunggu untuk mewujudkan mimpinya menggantikan Veiera. Ia tahu ia pasti bisa, tetapi ia harus bersabar.

Seiring bergulirnya waktu, Fabregas akhirnya mendapatkan buah manis kesabarannya. Saat Patrick Veiera hengkang ke Inter Milan, Wenger mulai melirik Fabregas sebagai starter. Kesempatan itupun tak disia-siakan Fabregas. Berangsur-angsur ia mampu menunjukkan bakat terpendamnya. Hingga akhirnya kini posisinya sebagai pengatur serangan Arsenal hampir tak tergantikan. Passing akurat, pintar mengatur serangan, tendangan keras dari lini kedua membuatnya menjadi pemain muda yang diperhitungkan. Terakhir, Fabregas menyabet gelar PFA Young Player of The Year atas permainan gemilangannya di Liga Inggris.

Kini, saat ia dihadapkan pada pillihan untuk menunggu lagi, Fabregas tidak cemas. Ia yakin suatu saat bisa memberikan yang terbaik bagi Tim Matador. Sekali lagi, ia hanya perlu menunggu untuk memperoleh "pengakuan". Dengan usia yang masih muda, tentu saja peluangnya untuk bersinar bersama timnas Spanyol masih terbuka lebar. "Saya sangat yakin dengan hal itu dan kuncinya adalah sabar. Jika saya dapat bekerja keras, suatu hari saya akan menjadi pemimpi timnas seperti di Arsenal," tegas Fabregas yakin.

*Penggemar Sepak Bola, Fans Fabregas.

Minggu, Juni 15, 2008

Melayu, Bangsa yang Tak Pandai Manfaatkan Masa Lalu

Oleh : Pramanti Putri
Judul Buku : Orang Melayu di Zaman yang Berubah
Pengarang : Isjoni
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : I, Oktober 2007
Halaman : xi + 168 halaman
Harga : Rp 27.500, 00

Sejak awal abad ke-17, Melayu berkembang menjadi penguasa seantero Asia Tenggara. Wilayah ini menjadi pusat pengembangan pengetahuan dan perdagangan, hingga memikat bangsa-bangsa mulai dari Cina, Arab, Belanda, dan Portugis untuk singgah barang sejenak. Namun, kejayaan Melayu tampaknya milik generasi masa lalu. Melayu yang sekarang sungguh ironis dan justru identik sebagai bangsa yang tertinggal dan berkubang dengan kemiskinan. Inilah yang menjadi titik tolak Penulis, Isjoni, dalam menguraikan keterpurukan bangsa Melayu.

Buku ini pada permulaan halaman, mengungkapkan sejarah permulaan bangsa Melayu. Sedangkan pengertian Melayu sendiri merupakan suatu ras yang menempati daerah Semenanjung Malaya hingga ke Nusantara. Orang Melayu zaman dulu dikenal sebagai bangsa maritim yang bermukim di pesisir, yang sarat akan penyebaran pengetahuan. Diceritakan juga, orang Melayu merupakan bangsa “penakluk” dan merupakan pedagang perantara yang lihai sekaligus pembawa ajaran Agama Islam ke seluruh Nusantara dan Asia Tenggara.


Di balik masa keemasannya, seperti yang diulas di buku ini, bangsa Melayu menyimpan potensi tersembunyi yang membuat mereka mendominasi hegemoni dan kebudayaan, bahkan menjadi pilar kebudayaan dunia. Karsa berbudaya bangsa Melayu tercermin dari budi bahasa mereka yang terbuka, akomodatif, adaptif, juga mengandung nilai-nilai luhur, diantaranya ialah senantiasa hidup rukun dan damai dengan bangsa lain. Seperti ungkapan “Duduk sama rendah, tegak sama tinggi”, bangsa Melayu menjunjung tinggi rasa persamaan dan toleransi.

Di samping kekuatan maritim dan perdagangannya, aspek Islami bangsa Melayu sangat kental. Islam berperan sangat besar dalam membentuk pemikiran orang Melayu, yang terlihat jelas pada kebudayannya. Penulis mengutip filosofi yang dianut bangsa Melayu, “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Hal ini menyiratkan bahwa segala gagasan dan perilaku bangsa Melayu bersandar atas ajaran Islam yang kuat.

Namun, kehidupan orang Melayu berubah drastis sejak kedatangan imperialisme Barat. Ucapan-ucapan penjajah yang mengatakan bahwa orang Melayu itu pemalas, etos kerja rendah, suka hidup santai, membuat bangsa Melayu merasa rendah diri. Faktor inilah yang menurut Penulis mampu menghancurkan psikis bangsa Melayu, bahkan dapat mematikan keyakinan dan motivasi berjuang yang kemudian membuat bangsa Melayu semakin tergusur ke pinggir (menjadi masyarakat marjinal).

Di samping itu, orang Melayu tampaknya tidak dapat memanfaatkan peluang dan berpartisipasi dalam globalisasi. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan politik Melayu yang seharusnya bersikap protektif terhadap basis ekonominya, tetapi justru berorientasi pada pertumbuhan dan ekonomi global yang diusung bangsa Barat. Wrong policy ini tentu saja akan semakin menjerumuskan Melayu yang notabene basis ekonominya masih lemah. Sehingga, aspek ekonomi Melayu bukannya dikuasai oleh tuan rumah, tetapi malah dikuasai oleh kelompok-kelompok di luar bangsa Melayu.

Selain mengupas kemunduran orang-orang Melayu, Penulis juga menyertakan solusi. Untuk dapat mengikis prototype buruk mengenai generasi Melayu terdahulu, perlu dilakukan evolusi pemikiran kearah yang progresif. Generasi muda Melayu hendaknya ditanamkan kebiasaan cara bersaing yang sehat dalam bertindak. Dengan persaingan ini, mampu memotivasi bangsa Melayu untuk lebih percaya diri, optimis dan berusaha memperbaiki diri sendiri. Ke depannya, Penulis berharap agar jiwa entrepreunership generasi muda Melayu lebih berkembang sehingga masyarakat mampu memiliki keunggulan bersaing tiada henti mengalahkan bangsa Barat.

Buku ini cukup bagus dalam menyumbang pengetahuan sejarah dan perkembangan kebudayaan bangsa Melayu. Melalui buku ini, Isjoni menguraikan seluk beluk orang Melayu tidak hanya di permukaan yang terekspos saja, melainkan hingga ke titik poros berkembangnya suatu masyarakat, yakni bermula dari tata adat yang dijunjung bangsa ini. Terutama bagi bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari ras Melayu, perjalanan bangsa Melayu dapat dijadikan landasan pacu bagi kita untuk lebih berorientasi ke depan.

Tak ada gading yang tak retak. Buku ini hanya mengungkapkan jejak-jejak “kekalahan” Melayu generasi terdahulu. Meskipun Penulis menyertakan solusi sebagai alternatif jawaban, tetapi disayangkan tidak diuraikan sampai sejauh mana langkah-langkah yang telah ditempuh generasi muda bangsa Melayu dalam proses kebangkitannya. Sehingga, di zaman yang telah berubah ini, seolah-olah orang Melayu hanya diam menyesali sejarah pahitnya.

Dalam pemaparannya, Isjoni juga seringkali menulis dengan menggunakan ejaan bahasa Melayu ,yang mana tidak disertai dengan pengertiannya. Selain itu, masih banyak terdapat kesalahan teknis penulisan. Meskipun ini merupakan perkara kecil, tetapi cukup membingungkan pembaca dalam menyelami inti sari buku.

Minggu, Mei 25, 2008

Terjebak Dalam Rutinitas

Oleh: Rini Setiyowati

Mahasiswa merupakan salah satu elemen penting dalam menggerakkan sebuah perubahan. Seorang yang telah tamat menyelesaikan masa studi SMA yang kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu ke Perguruan Tinggi (PT) atau setingkat inilah yang kemudian kita sebut sebagai mahasiswa. Ketika mereka mulai/telah menyandang predikat itu, mereka akan dihadapkan pada banyak persoalan yang pada gilirannya akan membuat mereka turut ikut masuk sebagai anggota salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus yang bersangkutan, misalnya.

Dan bila kita tilik, salah satu UKM tersebut adalah Pers Mahasiswa (Persma). Tentu saja input sangat mempengaruhi perkembangan UKM selanjutnya, yang dalam hal ini adalah persma. Namun, seiring berjalannya waktu input tsb akan digodok oleh para pengurus dan pegiat persma tersebut. Hasilnya tak dapat ditentukan dalam hitungan hari, karena itu butuh sebuah proses untuk menjadikan sesuatu menjadi matang. Namun, membuat proses menuju kematangan menjadi lebih cepat juga sangat diperlukan.


Pers Mahasiswa yang sering disebut dengan persma dalam perkembangannya juga mengalami pasang surut. Perkembangan di sini adalah perkembangan tiap Persma itu sendiri. Berbagai hal turut menjadi faktor penyebabnya. Seperti yang kita ketahui bersama, bila para penggerak persma adalah seorang yang menyandang status mahasiswa. Menyandang predikat sebagai mahasiswa inilah yang kemudian menjadi titik pangkal sebagai bagian dari faktor penentu pasang surutnya perkembangan persma dewasa ini.

Mengapa dikatakan sebagai titik pangkal?Hal ini dikarenakan mental yang melekat pada mahasiswa kini. Sekarang ini, seorang mahasiswa lebih cenderung studi oriented, sehingga mereka terjebak dalam rutinitas sehari-hari. Dan virus studi oriented ini juga yang sedang menjangkiti sebagian para pegiat persma. Ketika mereka mulai berkiblat pada studi saja maka sudah jelas akan mempengaruhi kondisi internal persma di mana ia bernaung.

Bila kita mau berpikir lebih jauh, satu virus mampu meruntuhkan banyak hal, misalnya saja seperti tadi, virus studi oriented. Pada gilirannya virus ini menyebabkan seorang pegiat persma akan cenderung mementingkan permasalahan perkuliahannya. Sehingga ia lebih sering meninggalkan tanggungjawabnya di dalam persma yang bersangkutan. Bayangkan saja bila mayoritas pegiat persma seperti ini, maka kekritisan dan ‘taring’ persma yang bersangkutan akan hilang sedikit demi sedikit.. Sungguh kondisi yang memprihatinkan.

Karena itulah, ada hal-hal yang tetap perlu diperhatikan oleh orang-orang yang bernanung di dalam persma itu. Pertama, terkait proker oriented. Di dalam sebuah persma tentu dibagi menjadi beberapa bidang. Kecenderungan sekarang ini, mereka hanya melaksanakan hal-hal yang menjadi proker bidangnya masing-masing. Begitu proker selesai, ya sudah tanggung jawab mereka juga selesai. Padahal tidak sesingkat itu. Mereka harus tetap berpikir untuk persma di mana ia berada. Menyelesaikan proker di bidangnya belum menjadi jaminan keberlangsungan kegiatan keorganisasian berjalan dengan semestinya.

Selanjutanya, adalah refleksi serta transfer of knowledge. Segala yang telah dilakukan oleh para penggerak persma dibutuhkan sebuah refleksi. Karena refleksi merupakan sebuah evalusi diri. Ini menjadi hal yang elementer. Kenapa dikatakan elementer? Ya, karena untuk mengukur keberhasilan dan sejauh mana kita mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi sebelumnyaa serta apakah sudah ada perubahan. Maka dari itu perlu juga sebuah transfer of knowledge. Agar kesepemahaman serta kesinambungan dapat tetap terjaga. Sehingga tidak ada satu hal yang ‘miss’ terutama dalam sebuah pergantian generasi.

Ketiga, penyadaran bersama bila para pegiat persma A, B, C atau persma manapun, mereka adalah bagian dari pers mahasiswa yang memegang peran yang vital. Penyadaran bagi para pegiat di dalamnya tampaknya harus di perlebar. Bila mereka tidak hanya terikat sebagai anggota persma tertentu. Lebih dari itu mereka telah terpilih sebagai penggerak sebuah pers mahasiswa.

Selanjutnya adalah jangan melupakan sejarah. Yang namanya sejarah pasti sudah terjadi dan berlalu. Namun, sejarah menyimpan nilai-nilai yang tak kalah pentingnya. Sebuah organisasi pun harus tetap ingat akan sejarah yang pernah diukir para pendahulu mereka. Bila para pegiat persma tsb tak pernah belajar dari sejarah yang lalu bahkan mulai melupakan sejarahnya sendiri, bukan tidak mungkin mereka hanya akan merasa sebagai seorang robot yang bergerak dalam persma.

Minggu, Mei 18, 2008

Menyoal PKM di FISIP yang Sepi Peminat

Minimnya minat mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dalam mengikuti kegiatan ilmiah dikeluhkan oleh banyak pihak. Adanya Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) sebagai salah satu ajang pengembangan kreativitas ditanggapi hanya sebatas angin lalu oleh sebagian mahasiswa FISIP. Bahkan sebagian dari mereka tidak mengetahui tentang PKM itu sendiri. Sosialisasinya pun cenderung dirasa masih kurang.

“PKM itu apa?” itulah ungkapan mahasiswa Sosiologi 2006 FISIP UNS Salami ketika ditanya mengenai PKM pada Jumat (28/3) di depan ruang dosen Sosiologi. Dia sama sekali tidak mengetahui hal tersebut bahkan itu kali pertama dia mendengarnya. Bukan hanya Salami, sejumlah mahasiswa FISIP mengeluhkan kurangnya sosialisasi tentang PKM di FISIP, sehingga berpengaruh pada minat mereka dalam mengikutinya.

Seperti yang diakui mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (AN) 2005 Kurniawati saat ditemui di Jembatan Asmara, Jumat (28/3), “Sebenarnya saya pengen ikut, cuma penempelan selebarannya itu mepet.” Mahasiswa Sosiologi 2007 Ardi Maulana juga merasakan bahwa sosialisasi tentang PKM dirasa masih kurang. Sependapat dengannya, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2007 Mia Ajeng Yulivia juga mengatakan hal yang sama. “Kayaknya sosialisasinya kurang, belum banyak yang tahu juga,” ungkap Mia.

Inilah beberapa gambaran tentang tanggapan mahasiswa terhadap PKM di FISIP. Dalam buku informasi bidang kemahasiswaan, PKM berada di bawah naungan Unit Pengembangan Kreatifitas dan Penalaran Mahasiswa (UPKPM) Student Center (SC) UNS.

PKM merupakan wahana untuk menumbuhkembangkan kreatifitas, sikap ilmiah, sikap profesional, sikap peduli serta peka terhadap masyarakat dan lingkungan. PKM bertujuan memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif, sebagai bekal pembentukan pribadi yang unggul sesuai profesinya.
Masih dalam buku tersebut, hasil yang diharapkan berupa temuan kreatif mahasiswa yang dapat menunjang pelaksanaan pembangunan di lingkungan kampus, perkotaan, dan pedesaan. Ruang lingkup PKM yaitu PKM Penelitian (PKMP), PKM Penerapan Teknologi (PKMT), PKM Kewirausahaan (PKMK), PKM Pengabdian pada Masyarakat (PKMM) dan PKM Penulisan Ilmiah (PKMI).

Kemahasiswaan : Sosialisasi Sudah Ada
Ketika dikonfirmasi Acta Diurna mengenai sosialisasi PKM di FISIP, Kepala Bagian Kemahasiswaan FISIP Okta Triswantara, S.IP mengaku telah melakukan sosialisasi. Ia melakukannya dengan menempel selebaran yang berasal dari SC pusat di papan pengumuman. Ia juga menambahkan baru tahun ini pihaknya melakukan sosialisasi dengan road show.

Acara tersebut bertajuk Road to PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) yang diadakan oleh UPKPM pada 14 Februari 2008 bertempat di Aula FISIP UNS. Menurut Okta, minat mahasiswa sendiri kurang dalam menghadiri road show tersebut. “Dari seratus mahasiswa yang diharap menghadiri sosialisasi PKM, hanya 45 yang hadir,” papar Okta saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (27/3).

Senada dengan pendapat Okta, Pembantu Dekan (PD) III Dra. Suyatmi M.S, saat ditemui di ruang Dekanat, Selasa (1/4), mengatakan sosialisasi dengan penempelan dirasa kurang efektif. “Sosialisasi juga dilakukan dengan road show karena kalau sosialisasi tersebut hanya sebatas di papan-papan pengumuman dirasa kurang efektif,” jelas Suyatmi.

Menanggapi PKM di FISIP, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2006 Dian Kukuh Purnandi menyatakan sosialisasi memang sudah ada. Namun, kata Kukuh, kendalanya justru terletak pada mahasiswa itu sendiri yang kurang aktif dalam mencari informasi. “Informasi sebenarnya sudah ada melalui papan pengumuman. Namun letaknya tidak strategis, penampilannya juga kurang menarik.” Ujar Kukuh.

Sedikitnya mahasiswa FISIP yang mengikuti PKM dibenarkan oleh Ketua Jurusan (Kajur) Ilmu Komunikasi Dra. Prahastiwi Utari, P.hD saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (1/4). “Sedikitnya mahasiswa yang ikut PKM itu karena kurangnya informasi,” ujarnya.

Prahastiwi sudah melakukan berbagai inisiatif untuk merangsang minat mahasiswa dalam mengikuti PKM, seperti pemberian insentif bagi proposal yang diajukan ke Jurusan. Menurutnya, itu sebuah penghargaan dan perhatian khusus dari jurusan untuk mahasiswa.
Keaktifan mahasiswa dalam mengikuti PKM sebenarnya memberi banyak dampak positif. Masih penuturan Prahastiwi, “Ikut PKM banyak keuntungannya, ambil pengalaman sebagai team work. Selain itu juga belajar membuat proposal agar kedepannya skripsi lancar.”

Prahastiwi sangat menekankan bahwa kunci keberhasilan mengikuti PKM adalah karena adanya komitmen yang tinggi dari dosen dan mahasiswa. Namun, ia juga mengaku bahwa tidak banyak dosen Ilmu Komunikasi yang konsen dengan PKM. “Untuk membimbing PKM butuh waktu khusus dan interes dari masing-masing dosen. Kalau memang ada waktu dan punya interes terhadap bidang yang dikerjakan oleh mahasiswa, ya dosen bisa membimbing,” jelas Prahastiwi.

Suyatmi juga mengungkapkan keprihatinan tentang sedikitnya mahasiswa FISIP yang mengikuti PKM bila dibandingkan dengan tiga atau empat tahun yang lalu. “Hal ini disebabkan karena mayoritas staf pengajar meneruskan studinya, sehingga kurang maksimal dalam membimbing mahasiswa,” ungkapnya.

Kajur AN Drs. Sudharto, M.Si saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (4/4), berpendapat hal yang paling mendasar dari keaktifan mahasiswa dalam mengikuti PKM adalah minat baca. Menurutnya jika minat bacanya bagus maka secara otomatis mahasiswa akan aktif dalam kegiatan-kegiatan kreatifitas seperti PKM ini.

Pihaknya juga merasa prihatin dengan fenomena menurunnya minat mahasiswa terhadap PKM. “Mahasiswa semangat kalau demonstrasi, tapi kalau ikut PKM kok nggak ada semangatnya,” tandas Sudharto.

Salah satu tim UPKPM yang sekaligus dosen AN Drs. Sonhaji M. Si, juga menyatakan kurangnya animo mahasiswa terhadap adanya PKM. Sosialisasinya pun menurut Sonhaji juga masih kurang.

Solusi : Perlu Ditingkatkan lagi
Sebagai antisipasi dalam mengatasi animo mahasiswa FISIP yang belum optimal dalam mengikuti PKM, Sonhaji memberikan contoh. “Di Fakultas MIPA ada salah satu dosen yang juga anggota UPKPM yang mewajibkan mahasiswanya untuk menulis proposal,” ungkapnya.

Untuk mengejar ketertinggalannya dari Komunikasi dan Sosiologi yang telah lebih dulu terlibat jauh dalam PKM, pihak AN punya solusi tersendiri. Solusi itu, kata Sudharto, yaitu dengan mengadakan workshop untuk peralihan dana-dana hibah. “Workshop ini berwujud kegiatan seperti pengenalan, pelatihan serta pengangkatan isu-isu sebagai gambaran sebelum mahasiswa ikut serta dalam PKM,” paparnya.

Sedangkan menurut Kajur Sosiologi Dra. Hj. Trisni Utami, M. Si, menghimbau kepada setiap dosen agar melibatkan mahasiswa dalam penelitiannya. “Dengan demikian, kalau di FISIP ada 90 dosen maka akan ada juga 90 penelitian dari mahasiswa,” tutur Trisni saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (3/4).

PD III juga menghimbau para Ketua Jurusan untuk mensosialisasikan PKM kepada para dosen yang diteruskan pada mahasiswa. Diharapkan mereka melakukan kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) untuk melakukan pembinaan secara rutin. Misalnya, kata Suyatmi, dengan melakukan penjelasan dan training sehingga hal ini akan berpengaruh besar terhadap kreatifitas mahasiswa.

Di sisi lain mahasiswa berharap agar sosialisasi PKM lebih ditingkatkan lagi. “Sosialisasi PKM ditingkatkan saja lebih dulu, biar mahasiswa banyak yang ikut,” harap Mia. Namun Kukuh juga mengatakan mahasiswa sebaiknya harus aktif mencari informasi. Ia juga berharap pihak jurusan lebih mendukung kegiatan ilmiah seperti PKM ini. (Nosi, Alina, Latif)

Keterangan Tambahan:
Dari data yang berhasil dihimpun Acta Diurna dari Kemahasiswaan Pusat, menunjukkan sedikitnya minat mahasiswia FISIP dalam mengikuti PKM dibanding dengan fakultas lain. Berikut hasilnya:
Proposal PKM DIPA UNS 2008

Fakultas PKMM PKMP PKMK PKMT Jumlah
Kedokteran 6 17 0 0 23
MIPA 5 45 1 16 67
KIP 18 15 0 2 35
Ekonomi 2 2 0 0 4
Sastra dan Seni Rupa 4 20 0 0 24
ISIP 7 9 1 0 17
Teknik 4 15 1 2 22
Hukum 2 2 1 0 6
Pertanian 23 36 12 0 71
Jumlah 71 162 16 20 269