Minggu, September 21, 2008

Blog Ormawa UNS dan Search Engine Optimization

Oleh: Haris Firdaus

Mulai September 2008, Pusat Komputer (Puskom) Universitas Sebelas Maret (UNS) membuat sebuah “gebrakan” dengan memberikan fasilitas blog—berupa domain tumpangan di uns.ac.id—kepada seluruh organisasi mahasiswa di UNS.

Ketika pertama kali mengetahui rencana tersebut, saya sempat bertanya-tanya: apa tujuan dari langkah ini? Sekadar ikut-ikutan tren ngeblog yang sedang mewabah atau ada tujuan lain yang lebih baik? Didorong rasa penasaran, saya sempat melakukan googling untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tapi, saya tak menemukan jawaban yang cukup memuaskan. Sejumlah blog yang saya datangi, termasuk blog resmi milik UNS yang dibuat dalam rangka penyuksesan rencana itu (http://ormawa.uns.ac.id) tak memberikan banyak penjelasan.

Jawaban yang memuaskan baru muncul dari Kepala Puskom Dr. Sutanto, S.Si, DEA pada saat ia memberi pengantar dalam acara “Pelatihan Blog untuk Ormawa”, Jumat, 19 September lalu. Ternyata, langkah Puskom UNS memberikan fasilitas blog untuk ormawa—melalui domain ormawa.uns.ac.id—berkaitan dengan impian besar UNS menjadi World Class University.

Untuk menuju World Class University, kata Sutanto, salah satu langkah yang harus diambil adalah mengenalkan UNS ke seluruh dunia. Dan, cara paling mudah dan efisien untuk mengenalkan UNS adalah melalui internet. Lebih dari itu, kata Sutanto, keterkenalan di dunia maya sekaligus juga menjadi penanda apakah sebuah universitas layak menjadi World Class University atau tidak. Sebab, sifat internet yang global dan tanpa sekat, membuat keterkenalan sebuah universitas di dunia internet berkorelasi positif dengan keterkenalan di seluruh pelosok dunia ini.

Di dalam internet, pihak yang “paling berkuasa” adalah search engine. Siapa yang dikenali oleh mesin pencari semacam Google atau Yahoo, dialah yang akan dikenal. Logika macam inilah yang kemudian diikuti oleh Sutanto dan timnya. Mereka kemudian merancang sebuah rencana strategis yang diberi nama “Search Engine Optimization” atau SEO. SEO adalah sebuah langkah besar dan panjang dengan target membuat UNS lebih dikenal di jagat maya.

Selama ini, menurut Sutanto, rekam jajak UNS di dunia maya belum membahagiakan. Jumlah kunjungan ke website resmi UNS—seperti dicatat oleh Alexa—belum bisa dibanggakan. UNS masih terpaut amat jauh dengan universitas yang hanya berjarak sekian puluh kilometer dengannya: Universitas Gajah Mada, Yogayakarta. Rekam jajak versi mesin penghitung semacam Alexa ini berpengaruh terhadap peringkat UNS di Situs Webometrics. Dalam situs yang melakukan perangkingan terhadap universitas berdasarkan “keterkenalannya” di jagat maya itu, UNS ada di peringkat 4.681 dari 5.000 universitas yang dicatat—Webometrics hanya merangking sampai angka 5.000 dari keseluruhan universitas di dunia yang jumlahnya amat banyak, lebih dari 16.000.

Angka 4.681 itu, yang dipublikasikan pada Juli 2008 ini, sebenarnya sudah merupakan peningkatan dari waktu sebelumnya karena sebelum itu UNS sama sekali tak masuk dalam daftar Webometrics. Namun peringkat ini masih kalah dengan sejumlah universitas lain di Indonesia seperti, UGM, ITB, UI, Universitas Airlangga, dan lain-lain. Sebagai gambaran, UGM berada di peringkat 819, ITB di peringkat 826, UI di peringkat 1291 dan 1652 (karena menggunakan dua alamat web yang berbeda), dan Universitas Airlangga ada di peringkat 3.040. Salah satu target besar Sutanto dan timnya adalah membuat UNS, pada Januari 2009, bisa "mengalahkan" rangking Universitas Airlangga.

Mewujudkan targetan itu jelas bukan sesuatu yang mudah. Membuat UNS makin terkenal di internet mengharuskan makin banyaknya informasi tentang universitas tersebut yang disebarkan—dan juga diakses—melalui internet. Sutanto memang telah membentuk tim khusus untuk SEO. Tapi tim kecil setangguh apapun akan sangat sulit mewujudkan ambisi itu jika ia bekerja sendirian. Diperlukan cukup banyak orang untuk menyebarkan sekaligus mengakses informasi tentang UNS dalam waktu yang rutin dan tidak hanya secara sporadis. Bagaimanapun, jagat internet bukan milik segelintir ahli. Jagat itu milik orang-orang biasa yang jumlahnya banyak. Di internet, manusia-manusia biasa yang banyak itulah yang mengambil peranan lebih besar.

Salah satu langkah yang telah ditempuh sebagai penjabaran SEO adalah meng-online-kan sejumlah kegiatan akademik seperti pengumuman SPMB, pengurusan KRS, publikasi penelitian dan tugas akhir, serta sejumlah aktivitas akademis lain. Dengan memindahkan kegiatan-kegiatan macam itu ke internet—melalui website milik UNS atau fakultas-fakultas di UNS—jelas akan terjadi peningkatan jumlah pengakses informasi tentang UNS di jagat maya. Pertambahan ini berkorelasi positif dengan keterkenalan UNS. Tapi, langkah itu belum cukup. Sebab, kegiatan akademis seperti itu tak berlangsung dalam waktu yang rutin sehingga angka pengakses bisa tiba-tiba anjlok jika tak bertepatan dengan kegiatan akademis khusus.

Pada posisi itulah, saya kira, tercetus ide untuk membuat “Gerakan Nge-Blog Se-UNS”. Gerakan ini dimulai dengan memberi fasilitas berupa domain tumpangan kepada karyawan dan dosen UNS sehingga mereka bisa membuat blog. Saya tak tahu sejak kapan gerakan ini dimulai tapi sudah ada sejumlah staff UNS yang ngeblog memanfaatkan domain staff.uns.ac.id—termasuk Sutanto. Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan memberi fasilitas serupa pada organisasi mahasiswa di UNS agar mereka bisa memiliki blog institusi.

Gerakan ngeblog dengan domain yang menumpang di uns.ac.id ini jelas akan berpengaruh terhadap rangking UNS di mata search engine. Semakin banyak mereka yang ngeblog dengan domain tumpangan itu, akan makin banyak info soal UNS tersebar dan juga diakses sehingga nama universitas ini akan makin dikenal oleh search engine. Kondisi inilah yang akan meningkatkan peringkat UNS di antara seluruh universitas di dunia berdasar versi Webometrics.
***

Bagaimana efektivitas gerakan macam itu? Saya tak tahu. Sutanto dan timnya mungkin juga tak tahu. Sebab, seperti telah disebut, gerakan ini melibatkan jumlah orang yang banyak dan tak ada intervensi birokratis yang bisa dilakukan sehingga prediksi pasti hampir mustahil didapat. Paling-paling, seperti yang sudah sempat terdengar, Puskom UNS hanya bisa mendorong agar gerakan itu menuai sukses dengan mengadakan semacam lomba bagi ormawa yang telah memiliki blog institusi di ormawa.uns.ac.id.

Aktor-aktor utama yang bermain dalam gerakan itu adalah mahasiswa-mahasiswa dan staf UNS kebanyakan. Orang-orang yang mungkin saja “anonim” inilah yang akan menentukan efektivitas rencana besar Puskom UNS. Karena itu pula, Puskom UNS harus terus memotivasi massa besar ini agar mereka tetap melakukan aktivitas ngeblog dalam jangka waktu yang rutin dan lama.

Kendala terbesar dari gerakan yang melibatkan jumlah massa amat banyak ini adalah kemauan dan ketahanan dari para aktivis ormawa—juga para staff UNS—untuk membuat blog dan secara rutin mengisinya. Bagaimanapun, menurut saya, ngeblog bukan aktivitas yang instan. Diperlukan ketabahan tersendiri untuk tetap menjadi blogger yang baik dan mampu bertahan lama. Sebab, manfaat kegiatan ngeblog seringkali tak bisa didapatkan secara cepat dan mudah. Untuk membuat blog kita dikunjungi dan tulisan kita dibaca pun, kadang-kadang butuh waktu yang lama. Oleh karena itulah, ngeblog kadangkala bisa menjadi sebuah kegiatan yang membuat bosan atau putus asa.

Tapi, tren ngeblog memang sedang mewabah. Ada sebuah gerakan yang menargetkan jumlah blog di Indonesia menjadi satu juta pada akhir tahun ini. Saya tak tahu adakah targetan itu akan tercapai, seperti halnya saya tak tahu apakah operasi “Search Engine Optimization” yang digelar Puskom UNS akan berhasil atau tidak. Kita lihat saja nanti.

Penulis adalah Anggota LPM VISI FISIP UNS

Jumat, September 19, 2008

Menilik Kembali Efektifitas Sistem Pemilihan Langsung dalam Pilkada

Oleh: Pramuji Ari Mulyo*

Pada Januari lalu, jantung Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), sempat koma, lantaran ribuan massa pendukung salah satu calon Gubernur Sulsel meluapkan kemarahan dan kekecewaannya akibat pemerintah dinilai lamban dalam merespons terpilihnya sang calon hasil pilkada. Masa pendukung Gubernur Sulsel itu merasa khawatir akan timbul konflik yang disulut oleh pihak yang tidak bertanggung jawab jika jabatan Gubernur Sulsel itu tidak segera dikukuhkan oleh pemerintah.

Peristiwa semacam itu ternyata terjadi secara sporadis di berbagai wilayah Indonesia. Berbagai media banyak menyoroti tentang persoalan tersebut. Kita tidak bisa berkilah, karena memang itulah kenyataan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Peristiwa-peristiwa yang membuat mata kita nanar tersebut merupakan salah satu contoh dari keterpurukan moral demokrasi elite politik yang enggan mengalah.

Menurut penuturan Anggota KPU Endang Sulastri, yang dilansir dari Indonesia Views menyebutkan bahwa, “Perilaku politik yang kurang siap menerima kekalahan menjadi salah satu penyebab munculnya sengketa pilkada. Sikap ini membuat tim sukses dan peserta pilkada selalu mencari celah untuk melakukan gugatan sehingga apa pun hasil pilkada, akan terus menuai gugatan.” Kita sendiri, dengan keterbatasan yang ada, kadang menyeletuk penilaian yang keluar dari lisan kita dan menilai bahwa ada ketidaktransparanan dalam mekanisme pilkada, terutama dalam hal transparansi penghitungan suara. Asumsi kita ternyata tidak sepenuhnya keliru. Buktinya dalam beberapa pemberitaan di koran-koran dituliskan beberapa kasus-kasus yang merujuk kesana.

Budaya yang tidak mau mengalah dari elite politik menjadi salah satu penyebab mencuatnya konflik pilkada di beberapa wilayah. Ditambah lagi, unsur tidak mau rugi dari para calon semakin memperuncing permasalahan. Antara pemenang dan yang kalah dalam pemilihan pikada tersebut hanya tipis perbedaannya. Jika kalah dalam pemilihan, terbayanglah kerugian finansial yang cukup besar calon tersebut, betapa tidak, untuk bisa menjadi calon yang unggul, setidaknya diperlukan coast yang tidak sedikit. Sementara yang menang dalam pemilihan, pasti berusaha untuk mencari jalan agar uang yang dikeluarkan dalam jumlah besar itu kembali di tangannya.

Maka, ketika mengalami kekalahan, sang calon tidak akan rela begitu saja melepaskan kekalahannya itu. Dewasa ini terlahir sebuh tren baru dengan modus yang memanfaatkan kekuatan hukum itu sendiri. Di mana rata-rata, calon yang kalah selalu melayangkan gugatan hasil pilkada melalui Mahkamah Agung (MA). Dengan harapan, tentunya, hasil pilkada dapat diubah melalui kewenangan dan putusan MA itu sendiri. Kondisi ini memunculkan stigma bahwa hasil pilkada dapat diutak-atik dengan menyerahkan kasus pilkada di tangan MA. Ini yang bahaya karena hasil pilkada ada di tangan MA. Sementara mainstream dalam pikiran kita muncul stigma bahwa lembaga hukum kita lemah, lekat dengan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Biar bagaimanapun tak pelik melihat awal persoalan itu.

Sejak 2005 hingga 2008 ini, setidaknya tercatat sudah 340 pilkada digelar di berbgai daerah. Bahkan, sepanjang 2008 akan digelar sebanyak 160 pilkada di beberapa daerah. Bisa kita bayangkan berapa banyak uang yang kita hambur-hamburkan untuk menyukseskan pilkada itu. Toh pada kenyataannya di bilang sukses ya tidak sukses-sukses amat. Pilkada yang sudah digelar itu mayoritas justru membawa kerugian, ujung-ujungnya menimbulkan masalah atau konflik. Kisruh pilkada memang sudah go public terjadi di negeri yang sedang membangun sistem demokrasi.

Premanisme Politik dalam Pilkada
Strategi politik kini seakan dikendalikan oleh penyewa preman bayaran. Campur tangan mereka dianggap dapat memberikan kelancaran dalam meraih target politik. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selama pilkada berlangsung, disinyalir tak lepas dari ulah para preman. Mereka disewa oleh pihak yang tidak fair menerima kekalahan, agar membuat kericuhan yang berbuntut pada tindak brutal pengrusakan-pengrusakan. Anehnya siapa yang terlibat atau siapa yang menjadi dalang di balik kerusuhan itu benar-benar tidak terlacak. Atau mungkin sebenarnya sudah terlacak, tetapi tak berani menindak. Kericuhan itu dibiarkan berlalu dan selesai dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Alangkah mudahnya menyulut emosi dan melempar fitnah di saat menjelang pemilihan. Di saat orang ingin memperjuangkan aspirasi mereka. Bagi pemilik target yang berkepentingan dalam pilkada, secara logika penggunaan tenaga preman jauh lebih memberikan efisiensi. Tak ayal, sering terjadi pemaksaan aspirasi yang digulirkan melalui teror dan kerusuhan kepada rakyat biasa. Bukankah pelaku teror dan kerusuhan itu melanggar hukum dan seharusnya dihukum? Kenapa pembuat teror tersebut jarang untuk bisa ditangkap atau diadili?

Mungkin mereka--“preman-preman politik”-- itu memiliki taring yang lebih tajam dibandingkan dengan lembaga hukum kita. Singkatnya sindikat preman-preman politik itu lebih canggih. Barangkali dalam blue print program pencapaian dan pematangan dari strategi politik teror mereka telah dipersiapkan antisipasi untuk mengelabuhi berbagai pihak yang mencium kecurigaan terhadap apa yang telah mereka lakukan. Sehingga jika ada bahaya mengancam mereka sudah bersiap siaga sebelumnya.

Bangsa kita ini telah mengalami deregulasi tatanan hukum dan deregulasi pembinaanhukum. Kita ini sedang kehilangan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Persangkaan adanya mafiaperadilan pada kenyataannya mafia peradilan itu kini semakin jauh berdampak dan telahmerebak menjadi mafia politik,
seperti kutil yang telah menjadi kanker. Mereka yang menyewa jasa para preman-preman itu berarti kejahatannya jauh melebihi preman yang ia sewa.

Artinya, fungsional dari premanisme itu telah menjalar sampai kepada masalah sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Mereka hadir dalam ranah kehidupan yang paling kecil hingga kehidupan bernegara yang kompleks. Bayangan mafia politik ini sangat menakutkan karena kriminalitas itu telah menjarah sampai ke berbagai lini persoalan masyarakat.

Coba bayangkan, kala tokoh kriminal menjadi wakil rakyat. Apa yang akan terjadi selanjutnya. Peranan mereka dalam pemerintahan telah menjadi panutan bagi para pencoleng-pencoleng kecil. Mana mungkin pemimpin yang buruk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bijaksana. Cara-cara keliru yang digunakan sebagai mekanisme politik pada akhirnya tetap akan berbalik menciptakan kemudaratan yang lebih besar bagi sistem itu sendiri.

Mungkinkah menindak mereka, bapak yang terhormat, yang juga punya title preman itu, sedangkan mereka itu telah menjadi anggota DPR yang mulia? Mereka terkenal di mana-mana. Mereka sering muncul di televisi. Mereka punya banyak relasi dan punya power yang besar. Membayangkan hal itu, bulu kuduk pasti menegang, hati menjadi ciut dan nafas tersengal. Merinding rasanya, belum terjadi apa yang ingin dilakukan untuk menuntut keadilan, belum-belum sudah terbayang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi. Setiap perkataan yang ingin diutarakan kepada mereka, tertelan kembali sebelum sempat bersua. Siapa yang berani mengutik-utik mereka.

Demikianlah premanisme politik semakin diminati. Tak ayal preman-preman naik daun. Preman kampung mulai bergengsi dengan hand phone, semakin brutal, semakin disegani, semakin sibuk, semakin laris. Kini orang bangga menjadi preman, apalagi menjadi tokoh preman.

Cermin Politik dalam Pilkada
Menurut hemat saya, perilaku partai politik dan politisi itu tak lain dan tak bukan adalah cerminan peradaban kita sendiri sebagai bangsa secara keseluruhan. Dan karenanya, menjadi tanggung jawab kita semua juga secara tanggung renteng. Masalah kepartaian mendasar yang kita hadapi adalah tidak adanya belahan ideologis yang jelas dan relevan, terkait dengan bagaimana mengelola republik ini menuju kemakmuran.

Kita yang berada di daerah, sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh agar didengarkan oleh banyak orang meskipun dengan cara yang tidak benar. Segala cara dihalalkan yang penting untuk memenangkan prosesi pemilihan. Sementara, hal ini lah yang menggejala di berbagai daerah. Dimanakah letak hati nurani kita semua.

Parpol seharusnya berfungsi sebagai perwakilan yang gigih memperjuangkan nasib rakyat. Namun demikian, dalam tataran politik kita , sosok parpol sangat parah, perilakunya belum jadi solusi melainkan jadi bagian dari masalah. Melihat realitasnya, tuduhan pun muncul, mereka telah menjadikan lembaga legislatif sebagai sarana memuluskan keinginan pemerintah dan tempat bargain untuk mendapatkan sesuatu. Tidak sensitif terhadap problem-problem yang tengah dihadapi rakyat. Begitulah inti dari berbagai artikel yang telah dimuat di berbagai media.

Masalah dunia politik kita melulu diwarnai oleh kepentingan politik kekuasaan (state politic) dan sedikit sekali berbicara kepentingan politik pemilih (people’s politics). Kemudian konstalasi pemilih kita di era reformasi cenderung tidak berubah dan mengulang situasi tahun 1955. Sebagai rakyat kecil, kita patut prihatin dengan parpol yang duduk di dewan perwakilan yang dengan gampangnya menghambur-hamburkan uang negara. Uang negara ya berarti uang rakyat juga. Berbagai bencana yang melanda negeri ini, mulai dari kemiskinan, busung lapar dan bencana alam seharusnya menjadi perhatian utama, karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pilihan langsung dalam pilkada ini merupakan potret mental para pemimpin kita. Jika ada kesempatan yang baik, tidak mereka gunakan untuk melakukan kebaikan. Buktinya kekuasaan yang mereka miliki tidak digunakan untuk membantu orang kecil. Mereka lupa akan tujuan reformasi. Itu artinya, elit politik lokal terbukti belum siap menghadapi perubahan sistem demokrasi tersebut.

*Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2005

Menilik Satu Tahun Kinerja Dekanat

Dekan terpilih periode 2007-2011 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tepat satu tahun menjabat pada 16 Mei 2008. Dalam satu tahun kinerjanya, sejumlah mahasiswa belum merasakan adanya progres yang berarti terhadap FISIP.

Novi Kurniawati, mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (AN) 2005 ketika ditemui di depan gedung Keluarga Mahasiswa (KM) FISIP (13/6) mengungkapkan bahwa selama satu tahun ini Dekanat sudah melakukan perbaikan di FISIP, tetapi masih belum terasa progress-nya. ”Di Bidang I saja masih belum jelas kurikulum yang dipakai, Bidang II meskipun sudah ada pembenahan sarana prasarana, tetapi kebersihan belum terwujud. Bidang III soal jaringan alumni FISIP juga belum kuat,” tambahnya

Masih menurut Novi, selama ini Dekanat dirasa kurang menyerap aspirasi mahasiswa dan berimbas pada kurang terinternalisasikannya visi dan misi mereka. Senada dengan Novi, Dian Kukuh Purnandi, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2006 ketika diwawancarai Acta Diurna (16/6) di aula FISIP menyatakan, secara umum kinerja Dekanat sudah cukup baik meskipun masih ada beberapa kekurangan.

”Manajerial dan prasarana sudah baik, misalnya saja pembagian job desk birokrasi FISIP dan ruang perpustakaan yang tertata disertai AC, dan peraturan ujian yang sudah tegas. Namun masih ada kekurangan, seperti pernyataan yang berbeda dari dekan maupun pembantu dekan yang lain sehingga membingungkan mahasiswa. Ini berarti arus informasi dari Dekanat masih kurang,” ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan Mufti Anas mahasiswa AN 2005 ketika ditemui pada Rabu (18/6), bahwa kinerja Dekanat satu tahun pertama masih perlu perbaikan. ”Sebenarnya sudah cukup bagus, namun dalam pelaksanaan kebijakan masih kurang melibatkan mahasiswa, padahal mahasiswa adalah objek dari kebijakan tersebut,” ujarnya.

Dekanat: Sudah Lakukan Pembenahan
Menanggapi mahasiswa yang menyatakan bahwa Dekanat belum memiliki progress yang berarti, Dekan FISIP Drs. Supriyadi, SN. SU yang ditemui di ruangannya (14/6) mengatakan, ”Kami baru menjabat satu tahun, jadi memang masih ada kekurangan di sana-sini yang semuanya itu terbentur pada masalah waktu dan biaya, sehingga progres masih belum terlihat jelas.”

Sedangkan untuk internalisasi visi dan misi yang dikeluhkan mahasiswa, Supriyadi mengaku sudah memberikan solusi melalui sharing dan diskusi dengan mahasiswa. ”Saya sering diundang sharing dan diskusi dengan mahasiswa, yang dari sinilah saya menyerap aspirasi mereka untuk kemudian saya gunakan dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan,” ujarnya.

Kurangnya kesadaran baik dari dosen, karyawan, dan mahasiswa diakui Supriyadi juga menjadi salah satu kendala dalam melaksanakan program kerjanya. ”Ketika dosen, karyawan, dan mahasiswa menyadari akan peran dan tanggung jawab mereka, saya pikir program kerja ini akan berjalan lancar,” ujar Supriyadi.

Menanggapi pernyataan dari Supriyadi, Wahyu Setya Budi mahasiswa Ilmu Komunikasi 2005 ketika ditemui di Public Space (24/6) mengatakan bahwa mahasiswa jangan terlalu disalahkan. ”Bagaimana yang di belakang, tergantung yang di depan. Bagaimana mahasiswa, tergantung pihak Dekanat dalam memimpin,” ujarnya.
Budi juga mengatakan bahwa sharing yang diadakan pihak Dekanat hanya dilakukan pada awal kinerjanya saja, selanjutnya tidak ada tindak lanjut lagi. Ia pun menambahkan bila masalah biaya dan waktu seharusnya tidak menjadi kendala. ”Seharusnya biaya tidak dijadikan permasalahan karena mereka tidak bekerja kepada mahasiswa melainkan mengabdi kepada mahasiswa, kalau kerja kan kepada negara,” tuturnya.

Selain Budi, Arnold Meka mahasiswa AN 2005 ketika ditemui di gedung KM (24/6) menyatakan bahwa seharusnya Dekanat jangan menyalahkan mahasiswa, tapi lebih introspeksi dengan apa yang sudah Dekanat berikan untuk mahasiswa. ”Harmonisasi antara dekan dan pembantu dekan dalam pelaksanaan kebijakan saja masih kurang padahal kinerja Dekanat belum bisa dimulai tanpa tim yang solid,” tambahnya.

Pernyataan mengenai salah satu kendala dalam mewujudkan program kerja Dekanat yang berasal dari mahasiswa juga dibenarkan oleh Suyatmi. Ketika ditemui di ruangannya (13/6) ia menyatakan kendala yang dibidanginya justru dari mahasiswa sendiri. ”Susah sekali menggerakkan mahasiswa, apalagi untuk terlibat dalam lomba-lomba ilmiah,” paparnya.

Menyikapi pernyataan Suyatmi, Arnold mengatakan bila mahasiswa tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. ”Dekanat masih kurang dalam mensosialisasikan kegiatan-kegiatan ilmiah, jadi jangan terus menyalahkan mahasiswa, apalagi hanya segelintir dosen saja yang mengarahkan mahasiswa untuk melakukan kegiatan ilmiah seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM),” ungkapnya.

Sedangkan terkait dengan kebersihan yang dipermasalahkan mahasiswa, PD II Drs. Marsudi M.S menyatakan mahasiswa lah yang kurang bertanggung jawab dalam penggunaan fasilitas yang disediakan. ”Seharusnya mahasiswa bisa menjaga fasilitas yang sudah ada, misalnya tidak mencoret-mencoret dinding dan kursi,” tegasnya.
Menjawab tentang penjagaan kebersihan fasilitas kampus, Arnold pun mengiyakan bila kesadaran mahasiswa masih kurang. ”Memang kesadaran mahasiswa dalam menjaga kebersihan masih kurang, tapi saya harap perawatan kebersihan fasilitas kampus untuk mahasiswa dan birokrat tidak dibedakan,” ujarnya.

FISIP EMAS Entah Kapan Akan Terwujud
Salah satu Visi Dekanat adalah menuju FISIP EMAS (Acta Diurna No 6/VII/2007). Namun, melihat banyaknya keluhan dari mahasiswa untuk tahun pertama kinerja Dekanat, ternyata menyisakan tanda tanya di benak mahasiswa tentang kapan terwujudnya FISIP EMAS tersebut.

FISIP EMAS seperti yang dicita-citakan Supriyadi yaitu keadaan masyarakat kampus yang ideal dan harmonis di bidang akademik dan non akademik, menurut mahasiswa ternyata juga belum terealisasi.

”Menurut saya FISIP EMAS ini belum terwujud. Di bidang akademik dan non akademik saya rasa tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Kita lihat saja bidang akademik tidak ada kemajuan yang jelas, non akademik juga sama kondisinya,” ungkap Novi.
Ke depannya, mahasiswa berharap agar Dekanat bisa lebih baik dari sebelumnya. ”Dekanat bisa lebih kreatif dan inovatif untuk mengembangkan FISIP, mengenai jaringan alumni juga dikuatkan dulu, karena para alumni ini adalah aset besar FISIP yang bisa dimanfaatkan,” kata Novi.

Bahkan di sisi lain Supriyadi pun tak tahu kapan FISIP EMAS akan terwujud. ”Saya sendiri juga belum bisa menentukan kapan FISIP EMAS terwujud. Fondasi FISIP EMAS ini mulai saya terapkan misalnya dengan penertiban dan pendisiplinan dosen, karyawan dan mahasiswa sehingga ini bisa menjadi salah satu cara saya untuk mencapai FISIP EMAS itu,” tegasnya.

Semoga saja dengan adanya masukan ataupun keluhan dari mahasiswa, pihak Dekanat melakukan perbaikan guna mewujudkan FISIP EMAS dan menjadikan FISIP lebih baik lagi kedepannya. Menjaring aspirasi mahasiswa dapat menjadi salah satu cara untuk melakukan pembenahan. “Aspirasi dari mahasiswa dan Jurusan harus didengar dan disatukan serta diadakan dialog terbuka agar semua permasalahan jelas dan tidak menimbulkan perdebatan, dan saya harap arus informasi dari Dekanat diperbaiki agar tidak membingungkan mahasiswa,” ujar Kukuh.

Tidak jauh berbeda dengan Kukuh, Anas pun juga berharap untuk pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, diharapkan Dekanat agar lebih sering mengadakan hearing dengan mahasiswa. ”Saya harap Dekanat lebih sering melakukan hearing agar setiap kebijakannya tidak merugikan pihak yang lainnya,” ungkapnya. (Alina, Wynna, Imas)

Mahasiswa Tak Rela Lepas Osmaru

Berdasar Surat Keputusan (SK) Rektor No. 299/H27/HK.KM/2008, sistem pelaksanaan Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMARU) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, bulan Agustus mendatang akan mengalami perubahan. Perubahan ini terlihat dari konsep acara serta materi OSMARU yang lebih bersifat akademik.

Mengenai turunnya SK Rektor ini, Pembantu Dekan (PD) III sekaligus Ketua Panitia OSMARU Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS 2008 Dra. Suyatmi, MS. berpendapat. ”Alasan turunnya kebijakan baru ini karena adanya laporan dari tim monitoring OSMARU bahwa materi OSMARU dari mahasiswa melenceng dari nilai etika dan norma akademik SK Rektor,” paparnya.

Dari segi etika, berdasar pantauan tim monitoring, terdapat fakultas yang melakukan OSMARU menjurus ke pembodohan. “Misalnya, ada fakultas yang menyuruh mahasiswa barunya memakai kaos kaki selen, rambut yang dikuncir tidak teratur, ada yang masih membentak-bentak mahasiswa baru, ini tidak berhubungan dengan intelektual,” tandas Suyatmi.

Sedangkan penyimpangan norma akademik, Suyatmi mengeluhkan minimnya alokasi waktu untuk penyampaian materi Bidang I Akademik yang hanya 20 menit. “Dengan waktu sesempit ini, membahas Bidang I misalnya sistem siakad, tidak efektif.” Bahkan menurutnya, materi dan waktu dalam OSMARU yang dibuat mahasiswa tahun-tahun lalu lebih didominasi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

“Sehingga, setelah mereka menjadi mahasiswa, mereka tidak tahu bagaimana dan apa Sistem Kredit Semester (SKS), bahkan apa itu Pembimbing Akademik (PA), bagaimana kehidupan di perguruan tinggi mereka tidak tahu. Mereka juga tidak paham bagaimana menyelesaikan studi dengan cepat,” tambahnya.

Terkait dengan adanya pemberitaan penyimpangan OSMARU, untuk FISIP sendiri dinyatakan tidak terjadi penyimpangan. Hal ini disampaikan salah seorang anggota Dewan Mahasiswa (Dema) FISIP Wahyu yang juga turut menjadi tim monitoring OSMARU 2007. “Saya tidak menemukan adanya kasus kekerasan dan pembodohan di OSMARU 2007. Bahkan di lembar evaluasi tim monitoring juga tidak tercantum tentang laporan penyimpangan tersebut,” tegasnya.

Meskipun di FISIP tidak terjadi penyimpangan OSMARU, PD I FISIP Drs. Priyanto Susiloadi, M. Si. , selaku perwakilan FISIP dalam Rapat Bersama Pembantu Rektor (PR) I dan PR III UNS, yang membahas perbaikan SK OSMARU terbaru pada April lalu menyatakan persetujuannya dengan SK Rektor tersebut. “Dalam rapat ini, saya menempatkan diri bukan atas nama fakultas saja, tetapi atas nama universitas. Sehingga, saya mendukung kebijakan universitas dalam mengeluarkan SK OSMARU baru,” ujarnya.

Reaksi Ormawa
Menanggapi kebijakan baru ini, para pegiat Ormawa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di FISIP tidak tinggal diam. Mereka mengadakan pertemuan antar Keluarga Mahasiswa (KM) pada Rabu (14/5) untuk membahas tentang OSMARU 2008 dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP UNS sebagai fasilitatornya.

Forum ini dihadiri oleh beberapa Ormawa, seperti Kine Klub, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), LPM VISI, dan Dema. “Dalam pertemuan ini, teman-teman UKM merasa tidak terima karena kurang dilibatkan dalam kepanitiaan OSMARU yang lebih didominasi fakultas,” jelas Menteri Dalam Negeri (Mendagri) BEM FISIP UNS Novi Kurniawati.

Dari pertemuan antar UKM tersebut menghasilkan dua pernyataan sikap. “Pertama, mahasiswa menuntut agar dilibatkan secara full dalam kepanitiaan OSMARU, baik secara teknis maupun konsep. Yang kedua, teman-teman UKM diberikan wadah untuk sosialisasi di OSMARU. Sebab dalam jadwal dan materi OSMARU yang dibuat oleh pihak universitas, sosialisasi UKM fakultas hanya akan ditampilkan dalam bentuk display saja, hal ini tidak disetujui oleh teman-teman UKM,” papar Novi.

Tuntutan ini dilatarbelakangi karena PD III hanya melibatkan 20-30 mahasiswa yang masuk dalam kepanitiaan serta tidak dilibatkannya mahasiswa dalam merumuskan konsep acara OSMARU. “Kita (mahasiswa-red) hanya ditawari untuk masuk ke dalam kepanitiaan, dilibatkan hanya secara teknis saja, “ tambah Novi.

Selain itu, menurut Novi, bila dilihat dari jadwal dan materi OSMARU 2008, pihak fakultas hanya akan memberikan materi yang bersifat akademis saja seperti materi tentang visi misi UNS. “Seharusnya akademis ditafsirkan bukan hanya pemberian materi saja, tetapi yang lebih kreatif, tidak hanya satu arah,” imbuhnya.

Pandangan Novi, di luar materi akademis masih ada hal yang penting untuk disampaikan dalam OSMARU nantinya. ”Seperti diskusi dan organisasi, inilah yang ingin mahasiswa tampilkan, bukan akademis saja. Bukan hanya kuliah tetapi ikut berorganisasi, pengabdian kepada masyarakat. Dan hal-hal seperti ini yang akan kita perjuangkan dalam konsep acara OSMARU,” kata Novi.

Menjawab opini dari pegiat Ormawa yang merasa tidak dilibatkan, Rabu (21/5) Suyatmi turut angkat bicara. “Sebenarnya, mahasiswa juga masih berperan dalam kepanitiaan. Justru fakultas ingin mengarahkan mahasiswa dalam mengorganisir OSMARU,” tandasnya. Menurutnya, mahasiswa akan dimasukkan ke dalam lima bidang. Diantaranya, bidang kesekretariatan (5 orang), acara (12 orang), konsumsi (3 orang), Pertolongan Pertama pada Kecelakaan/P3K (6 orang), dan tim monitoring (3 orang). “Semua UKM memiliki kesempatan yang sama untuk masuk ke dalam kepanitiaan. Dema dan BEM yang diberi wewenang untuk mencari panitia dari mahasiswa,”ujarnya.

Audiensi Mahasiswa dan Dekanat
Setelah sempat gagal melakukan pertemuan bersama, akhirnya Jumat (30/5) di Gedung Keluarga Mahaisiwa (KM), mahasiswa menggelar pertemuan dengan pihak Dekanat yang diwakili Suyatmi. Dalam pertemuan yang dihadiri beberapa perwakilan dari UKM FISIP, pihak mahasiswa menyampaikan tuntutan agar diberi kewenangan membentuk panitia informal dalam OSMARU tanggal 21-23 Agustus 2008 mendatang, serta keterlibatan dalam pembuatan konsep acara OSMARU.

Menanggapi tuntutan dari mahasiswa, Suyatmi, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (4/6), menyetujui usulan tersebut. “Hanya saja, sebenarnya Dekanat meminta 29 mahasiswa sebagai panitia yang tercatat dalam SK OSMARU. Bila jumlahnya lebih dari itu, sebenarnya tidak efektif. Namun, bila mahasiswa meminta jumlah yang lebih, mereka tetap bisa jadi panitia tetapi jumlah diluar 29 orang tidak masuk dalam SK Dekan,” tegasnya.

Selain itu, Suyatmi juga menerima tuntutan mahasiswa untuk ikut berpartisipasi membentuk konsep acara dalam penyampaian materi. ”Dekanat masih memiliki kepercayaan kepada mahasiswa, jadi mahasiswa diberi kebebasan membentuk konsep acara yang lebih kreatif, lalu diajukan ke saya. Baru kemudian diadakan rapat bersama seluruh panitia OSMARU untuk membahasnya,” katanya.

Akan tetapi, ia menambahkan, bila penyampaian acara materi tidak boleh keluar dari acuan yang diberikannya. ”Kebebasan membuat konsep acara ini khusus bidang III (Kemahasiswaan) saja dan penyampaiannya nanti tidak boleh keluar dari buku pedoman Kemahasiswaan Universitas,” tegasnya. Sedangkan untuk penyampaian materi pada bidang I (Akademik), Suyatmi menegaskan tidak akan ada keterlibatan mahasiswa, dengan kata lain disampaikan langsung oleh Priyanto selaku pengampu bidang ini dengan dibantu oleh dosen yang berkompeten.

Menanggapi tuntutan mahasiswa mengenai sosialisasi UKM yang hanya berupa display, Suyatmi memberikan saran. ”Untuk sosialisasi UKM, mereka bisa membuat stand-stand di luar aula dan nantinya mahasiswa baru bisa diberi waktu untuk mengunjungi stand-stand itu. Sebenarnya pengenalan UKM melalui layar juga sudah efektif,” terangnya. Di sisi lain, pihak mahasiswa yang diwakili oleh Novi pun akhirnya menyepakati usulan Suyatmi. ”Mengenai display UKM, mau dibentuk seperti apa itu diserahkan kepada mahasiswa konsepnya. Karena itulah akhirnya kami ( UKM-red) menyepakati usulan tersebut,” jawabnya.

Setelah tuntutan dari mahasiswa dipenuhi, pihak BEM segera melakukan persiapan. “Untuk merekrut panitia dari mahasiswa, kita akan melakukan proses rekruitmen dengan proses fit and proper test, yaitu melalui screening. Dan hingga saat ini, Kamis (19/6) telah terbentuk kepanitiaan mahasiswa yang terdiri dari 10 Steering Committee (SC) dan 56 Organizing Committee (OC), yang selanjutnya akan membahas konsep pelaksanaan acara OSMARU lebih lanjut ” papar Novi.

Agar terjalin koordinasi yang baik dalam pelaksanaan acara OSMARU mendatang, Suyatmi mengharapkan adanya kerjasama seluruh komponen fakultas. ”Mahasiswa jangan mengabaikan pihak dosen, Dekanat, dan staf administrasi selaku panitia dari fakultas. Sebaliknya, staf administrasi, dosen, dan Dekanat tetap menghargai dan mengharapkan mahasiswa, agar mahasiswa dapat menjadi contoh bagi mahasiswa baru,” ujar Suyatmi. (Putri,Nosi,Laura)