Minggu, November 30, 2008

Pemilu 2009 Dibayang-Bayangi Antipati Pemilih Terhadap Parpol: Bagaimana dengan Pemilih Pemula?

Esti


PEMILIH pemula adalah mereka generasi muda yang berusia 17 tahun atau sudah menikah. Generasi muda adalah kaum yang sarat dengan idealisme. Mereka senantiasa dianggap masih “suci” dari vested interest, belum terkontaminasi kepentingan-kepentingan birokrasi dan kekuasaan. Akan tetapi, sudah menjadi axioma bahwa sering tidak bisa dihindari ketika menjelang pemilihan umum (Pemilu), kaum muda senantiasa menjadi obyek rebutan partai politik dalam pemilu di negara ini.

Kaum muda ialah kaum yang sulit untuk didikte. Bahkan, ada dugaan generasi muda salah satu kelompok yang sulit untuk didekati oleh partai politik. Karena mereka juga mempunyai makna strategis, terutama dalam setiap menghadapi dan melaksanan pemilu. Menurut M. Rusli Karim (1991) ada empat alasan pokok yang menyebabkan generasi muda memiliki makna strategis di dalam pemilu. Pertama, alasan kuantitatif. Kedua, generasi muda diduga merupakan satu segmen pemilih yang memiliki pola tersendiri dan sulit diatur. Ketiga, kekhawatiran bahwa banyak generasi muda akan bersikap “Golput”.

Dengan idealisme yang menggebu-gebu di satu pihak, dan sifat kejiwaan yang masih labil di pihak lain, diduga mereka bisa terombang-ambing oleh tarik-menarik kepentingan organisasi peserta pemilu (OPP) selama masa kampanye. Keempat, klaim masing-masing orsospol bahwa dirinyalah yang paling cocok menjadi wadah penyalur aspirasi dan kepentingan politik generasi muda. Untuk itu, setiap OPP memiliki cara dan gaya tersendiri dalam menggapai pemilih muda.


Memang, generasi muda merupakan potensi strategis, terutama secara kuantitatif, merupakan kelompok pemilih yang relatif banyak jumlahnya dari pemilu ke pemilu. Melihat trend fakta pemilih pemula yang terus menerus naik dari tahun ke tahun, secara niscaya suara tersebut cukup signifikan. Itu sebabnya, masuk akal kalau partai politik dalam pemilu 2009 pun mendekati mereka generasi muda untuk memilih partainya. Sudah tidak bisa dipungkiri, paling tidak secara kuantitatif, kaum muda adalah salah satu elemen suara yang sentral dan strategis dalam pemilu akan datang, di samping mereka juga sentral dan strategis dalam pergumulan kehidupan masyarakat dan bangsa, sehingga beralasan kalau generasi muda menjadi obyek rebutan partai politik.

Persoalannya, cara apa partai politik untuk mendekati mereka kaum muda, agar terlibat dalam partai politik. Dengan kata lain, memberikan suaranya pada pemilu 2009? Strategi apa untuk meyakinkan generasi muda sebagai pemilih pemula agar memanfaatkan suaranya pada pemilu 2009? Akankah generasi muda tidak menggunakan hak suaranya, alias Golput?

GENERASI MUDA dengan jumlah yang relatif cukup signifikan itu, memang secara politik sudah barang tentu menjadi modal (asset), akan tetapi dapat pula menjadi beban. Menjadi asset karena baik itu untuk kepentingan suara partai politik dalam pemilu nanti maupun dalam kehidupan politik negara bangsa, mereka strategis secara potensi. Ini berarti kaum muda mempunyai kemampuan berpikir analitis untuk kepenitngan kehidupan politk negara bangsa yang baik. Dikarenakan, tidak dapat dielakkan, mereka memiliki kecakapan untuk berpikir alternatif untuk disumbangkan (berkontribusi) bagi kehidupan politik negara bangsa ini.

Dengan idealismenya, generasi muda acapkali menghendaki mekanisme kehidupan politik nasional yang terus-menerus melakukan perbaikan. Dengan perkataan lain, implementasi pemerintahan yang demokratis, bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), senantiasa menjadi sandaran ideologinya. Tuntutan reformasi atau pembaharuan politik yang demokratis, adalah salah satu wujudnyata dari pemikiran alternatif kaum muda. Buah pemikirannya tidak ditempatkan pada kepentingan sesaat saja, namun secara niscaya disandarkan pada kepentingan bangsa dan negara di masa akan datang. Semangat merajut hak-hak rakyat atau nilai-nilai keadilan dan demokrasi dalam tataran pergumulan kehidupan politik nasional, acapkali menjadi kiblat perjuangannya.

Memang, tidak jarang hambatan-hambatan untuk merealisasikan perjuangan itu, setidaknya, sering muncul pula dari diri mereka kaum muda sendiri yang kurang serius untuk mengasah dan mengemas potensinya, di samping lintang pukang yang datang dari luar dirinya (seperti lingkungan dan setting politik negara bangsa). Dalam arti, kaum muda kurang siap mental, tidak cakap, dan masih “bau kencur”, padahal yang niscaya diakui dan disadari, potensi kaum muda benar-benar akan menjadi potensi yang ideal bermakna, manakala tidak terbius sekedar romantisme.

Setting politik pun memberi andil terhadap eksistensi kaum muda. Di mana “tarik tambang” setting politik mempunyai relevansi yang erat dan bahkan tidak bisa diabaikan dalam menciptakan peluang partisipasi politik yang demokratis dan penuh suasana keterbukaan di satu sisi. Sedangkan di sisi lain, bisa saja kaum muda tenggelam oleh kehidupan politik yang tidak demkratis, alias keterbukaan dan partisipasi untuk mereka kaum muda ruang geraknya dipersempit. Dengan begitu, kualitas politik yang demokratis berpaut dalam menumbuhkembangkan potensi karya dan kreasi kaum muda dalam pergulatan kehidupan politik negara bangsa.

Itu sebabnya, pemuda sebisa mungkin senantiasa mengurangi rintangan-rintangan yang terdapat dalam dirinya, seperti kepentingan-kepentingan pribadi, karena sesungguhnya harus disadari kaum muda adalah kritis dan tidak mudah didikte atau dipuaskan.

PEMILU sebagai salah satu sarana partisipasi politik semua warga negara yang telah mempuyai hak untuk memilih, dapat dijadikan sebagai wahana pendidikan politk dan menegakkan nilai-nilai demokrasi..

Itu sebabnya, makna penting partisipasi politik generasi muda, secara niscaya kadarnya harus senantiasa disandarkan pada kepentingan-kepentigan yang komprehensif. Maksudnya, sikap kritis kaum muda dalam melihat segala dimensi kehidupan sosial politik, ekonomi, dan sosial budaya, agar menjadi input yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga komitmen perjuangannya mau tidak mau bersentuhan dengan kepentingan demokratisasi di negara ini. Dan meminjam kata-kata Rusli Karim, bisa tidaknya pemilihan menjadi sarana demokratisasi tergantung pada hakekat pemilu dalam tataran kepolitikan kita. Dengan demikian, politik keseimbangan dalam segenap matra kehidupan berbangsa dan bernegara, kian signifikan.

Membekali kualitas diri adalah potensi modal dasarnya. Sehingga kalau memang kaum muda tidak mau “ketiggalan kereta” dalam deretan kepolitikan Indonesia, paling tidak terdapat dua ketrampilan yang harus dikembangkan oleh generasi muda, yaitu kemampuan intelektual dan pengembangan ketrampilan sebagai insan politik.

Kemampuan intelektual dan pengembangan ketrampilan sebagai insan politik, jelas harus dimiliki kaum muda. Artinya, kaum muda secara mental siap mengembangkan daya nalar kritisnya, dan siap pula menghadapi pergulatan-pergulatan kehidupan yang semakin kompleks, agar keseyogiaan kapabiltas politik pemuda menjadi asset dalam menerjuni gelanggang politik.

Menarik untuk diteluntik, mengenai peranan generasi muda secara individu sebagai calon elit politik bangsa dan negara di masa datang. Juga keterkaitannya dengan pemilu 2009, mereka secara kuntitatif merupakan jumlah suara yang signifikan, artinya pemuda memainkan peranan yang penting di dalam pemilu nanti.

Pertama, pemilu dijadikan sebagai sarana pendidikan politik, karena dengan pemilu setidaknya berlangsung komunikasi poliitk antara elit partai dengan mereka kaum muda khususnya. Kedua, sebagai partisipasi netral yang mendambakan tegaknya tatanan demokratis dalam segala aspek kehidupan. Mereka bisa terlibat dalam kampanye, diskusi, dan sejenisnya.

Ketiga, menjadi wasit baik formal maupun informal. Harus ada sebanyak mungkin generasi muda yang bersedia secara sukarela, baik menjadi saksi langsung atau saksi pendamping, agar pemilu terhindar dari manipulasi dan intimidasi. Keempat, menjatuhkan pilihan, dalam arti mencoblos tanda gambar (dan nama seseorang dari parpol dan anggota DPD). Memilih atau mencoblos, tentu sangat diharapkan dari mereka.
Seiring dengan harapan agar pemuda menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2009, pemilih pemula sebaiknya tidak memutuskan golput (golongan putih) dalam Pemilihan Umum 2009. Bila memang, kaum muda berkehendak berkontribusi mengubah kondisi bangsa dan negara yang carut marut saat ini, tentu salah satu caranya adalah justru dengan memberikan hak suaranya dalam pemilu.

Memang, mengkhawatiran kaum muda/pemilih pemula tidak menggunakan hak pilihnya, karena beberapa pertimbangan, di antaranya, tidak mempercayai lagi partai politik yang ada sekarang ini; kedua, diprediksikan oleh kaum muda bahwa hasil pemilu yang akan datang tidak akan jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya (pemilu 2004). Di samping itu, tidak menggunakan hak pilihnya alias golput dari pemilu ke pemilu suaranya cukup berarti bagi kesinambungan kehidupan negara bangsa ini.

Pergeseran ideologi golput dari polarisasi terhadap rezim kini justru antipati terhadap partai politik. Persoalannya, mencoblos atau tidaknya pemilih pemula khususnya, memang sangat tergantung pada kualitas partai politik meyakinkan mereka untuk berkontribusi dengan salah satunya menggunakan hak suaranya untuk menentukan figur-figur pemimpin masa depan kehidupan politik nasional. Dengan demikian, pemilu yang merupakan “kontrak sosial” dalam perubahan dan pembaharuan politik yang sehat dan baik, demi kepentingan negara bangsa ini, mau tidak mau sudah seyogianya pemilu tidak dijadikan ajang “penipuan kolektif” partai politik terhadap rakyat. Artinya, rakyat tidak hanya sekedar dijadikan obyek untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya, tetapi, kepentingan rakyat harus menjadi prioritasnya.


Senin, November 17, 2008

Ketakutan-ketakutan konyol pasca pengesahan UU Pornografi

Pro dan kontra pasca disahkannya Rancangan Undang-Undang(RUU) Pornografi menjadi Undang-Undang masih saja mewarnai dinamika masyarakat.Khususnya para pekerja media dan lingkupnya.Adanya kesimpang siuran arus informasi mengenai apa sebenarnya isi dari Undang-undang ini menjadikan mereka beranggapan UU tersebut nantinya akan menghambat kinerja mereka di dalam bentuk penanyangan cetak,visual,ataupun audio-visual.Aturan baku dari pemerintah ini tentu saja nantinya akan menjadi batu sandung tersendiri dalam kebebasan pers itu sendiri.Spekulasi-spekulasi yang mengarah pada kontra pasca pengesahan RUU Pornografi semacam ini memang santer terdengar di telinga penulis.
Ketakutan-ketakutan semacam ini muncul seiring adanya arus globalisasi di dunia media.Banyak media-media massa yang ikut larut terjerembab ke dalam arus pornografi daripada mempertahankan idealis mereka sebagai mediator informasi.Sebagai faktanya,tidak sedikit dari program-program visual yang mempertontonkan adegan-adegan vulgar(-dimana syarat berbau pornografi) yang menjamur di ranah media elektronik semacam televisi.Meskipun di sudut kiri atau kanan atas telah tercantum kode “Dewasa” ataupun “Bimbingan Orang tua(BO)”, toh tentu penonton tidak akan menggubrisnya.Dapat diibaratkan setali tiga uang dengan tayangan film-film yang diawal adegan terpampang jelas tulisan peringatan:”Tujuh belas tahun keatas”.Akan sangat bodoh sekali jika pemerintah tetap mempertahankan peringatan dini tersebut.Bukan bermaksud membandingkan,akan tetapi bukanlah lebih baik pemberian peringatan pada label Obat nyamuk cair,”Waspada:Tidak untuk diminum”.Bukankah begitu?Obat nyamuk cair tentu tidak akan diminum karena ada indikasi membahayakan bila menelannya.Harusnya masyarakat juga mampu membedakan mana yang layak untuk dikonsumsi dan mana yang tidak dari media-media yang bergerak di bidang jurnalistik tersebut.

Nampaknya opini-opini semacam yang disampaikan penulis di awal topic harus segera dibuang jauh-jauh dari pemikiran kita.Pers merupakan lembaga sosial dan sekaligus wahana komunikasi massa.Memang didalam kinerjanya dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 mengenai kemerdekaan berpendapat.Lantas hendaknya kita tinjau kembali dan aplikasikan pada Kode Etik Jurnalistik pasal 2 poin 3 tentang pertanggungjawaban,yang berbunyi:
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan:
a.hal-hal yang sifatnya destruktif dan dapat merugikan negara dan bangsa;
b.hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan;
c.hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila,agama dan kepercayaan atau keyakinan seseorang atau sesuatu golongan yang dilindungi undang-undang.
Beranjak dari isi pasal tersebut,pekerja-pekerja media harusnya segera membuang ketakutan-ketakutan adanya pengekangan akibat akan adanya batu sandung dalam kebebasan penayangan program jurnalis.Pornografi dalam pokok bahasan ini,tentu akan berbenturan dengan Kode etik diatas jika penayangannya dilanjutkan.Tatanan kehidupan bangsa akan kacau dan timbul dampak pelecehan kesusilaan di masyarakat.
Segala macam bentuk penayangan yang berhubungan dengan pelanggaran batasan Undang-undang Pornografi ini tentulah mendapatkan sanksinya tersendiri.Seringkali dalam perumusan kebijakan akan menuai konsekuensi.Begitu pula dengan undang-undang ini yang perlu diwaspadai penyelenggaraannya.Ada indikasi adanya Pungutan liar(Pungli) dan penegakan hukum oleh massa jika pengawasannya tidak dilakukan oleh oknum yang berwajib.Inilah bentuk ketakutan-ketakutan lain dari para pekerja media.
Hendaknya kita menaggapi permasalahan pasca disahkannya UU pornografi ini dengan pemikiran positif.Tentu pemerintah telah mempunyai kebijakan dan penelusuran konsekuensi adanya undang-undang ini jauh-jauh sebelum disahkannya.Sebagai pekerja media ataupun masyarakat awam hendaknya pula menilik balik pengertian pers pancasila di negara kita.Pada sidang pleno ke 25 Dewan Pers di Solo tanggal 7 dan 8 Desember 1981 merumuskan pengertian pers pancasila,yakni: pers yang orientasi,sikap,dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Beranjak dari pengertian tersebut,marilah kita bersama-sama memulai pembersihan media dari virus-virus pornografi yang tentu akan mengganggu kehidupan kesusilaan bangsa beradab ini.Jika pemerintah melalui pejabat-pejabatnya rela menahan kantuk demi menggodok Undang-undang ini,seyogyanya kita sebagai masyarakat yang taat hukum hendaklah ikut menaatinya sekaligus mengenalkannya dari lingkungan terdekat disamping berperan didalam pengawasannya.Di sinilah sebenarnya fungsi kontrol dari pers ataupun media masa diperlukan.Lantas,masih relevankah ketakutan-ketakutan itu ada?
JOHAN BHIMO SUKOCO
*)Penulis adalah Staff Bidang Usaha LPM VISI FISIP UNS
dan pecinta kebebasan kepenulisan.


Jumat, November 14, 2008

Pengesahan RUU Pornografi : Pagar Kawat Kebebasan (atau kebablasan) Pers

Lagi-lagi antara pemerintah dan pers bersitegang, kali ini tentang pro-kontra Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Porno Aksi. RUU ini, konon katanya memiliki celah di beberapa pasal yang nantinya akan membuat kebebasan beberapa kelompok terbelenggu, termasuk pegiat pers.

Hal tersebut diamini oleh Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara. Hal itu, menurut Sabam, karena adanya beberapa pasal karet yang bersifat menjebak, dan sewaktu-waktu bisa menjerat pekerja pers ke dalam perkara hukum pidana. (Harian Sinar Harapan, Jumat, 31 Oktober 2008)

Lebih lanjut, Sabam merujuk pada Pasal 1 ayat 1 sebagai pasal yang harus dicermati oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam industri media massa. Pada Pasal 1 ayat 1 UU Pornografi, jelas tertulis: Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal demikian menurut Sabam adalah pasal yang masih sangat bias dan dapat mengundang beragam penafsiran terhadap definisi pornografi, kecabulan dan eksploitasi seksual.

Saya mengerti apa yang dirisaukan oleh beliau. Terkadang pers menggunakan daya tarik seks dalam memuat beritanya untuk menjaring konsumennya. Kebiasan pengertian pornografi, kecabulan dan eksploitasi seksual ini jelas-jelas sangat membentur pihak pers, karena secara otomatis pers yang menyebarluaskan hal itu, akan langsung terjerat pasal 1.

Pemerintah membuat UU tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan masukan dari masyarakat, DPR dalam hal ini sebagai legislator menggodok peraturan absurd—UU Anti pornografi dan Pornoaksi—tersebut yang berdasarkan tinjauan langsungnya ke lapangan dan mendapatkan banyak penyimpangan yang dilakukan pers dalam hal pelanggaran norma kesusilaan.

Mungkin kita masih dapat mengingat beberapa judul ini : tabloid Lipstick, Bos, WOW, Playboy, X-File, Blitz, Selebriti Indonesia, Sexy, Populer, Liberty, Male Emporium, FHM, EHM, Maxim, dll. Sekelumit bacaan—siapa juga yang baca, bukannya melihat gambarnya saja??—yang bisa dibilang melanggar noma kesusilaan tadi.

Kalau dipikir-pikir, apa sih maunya pemerintah?? Bukankah mereka yang mengizinkan tabloid tersebut beredar—semacam playboy dan sejenisnya—walau banyak pihak yang menentang. Namun sekarang, pemerintah membuat UU yang absurd tadi dengan alasan terjadi pelanggaran norma-norma—kau yang mulai kau yang mengakhiri (lirik “jatuh-bangun”, sebuah tembang dangdut)—. Bak menelan ludah sendiri. Bukankah lebih efektif bila pemerintah langsung menonaktifkan perusahan tersebut dan perkara Habis.

Meminjam kata milik Thomas Jefferson, “Jika disuruh memilih antara pemerintah tanpa pers atau pers tanpa pemerintah, maka sedikit pun tidak ragu, saya akan memilih terakhir”. Mungkin agak klise, namun cukup relevan dengan kondisi negeri pada saat ini.

Masyarakat masih cerdas
Saya percaya akan kemampuan masyarakat dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya. Perlahan namun pasti, masyarakat mampu memilih yang, masyarakat mampu memilih yang terbaik untuk mereka. Kalimat barusan saya tulis bukan tanpa alasan, lho. Menurut data SPS (maaf saya lupa singkatan dari apa) dari 800 media cetak yang mengantongi izin (sejak pembuatan SIUP dipermudah, 1999), namun yang bertahan sampai sekarang hanya sekitar setengahnya, yaitu 400 perusahaan. Kesimpulan yang dapat saya ambil, pasar—dalam hal ini adalah masyarakat—masih memiliki kendali dalam menyaring media yang masih layak untuk beredar. Seperti miniatur hukum rimba.

Hal itu juga saya rasakan. Sekitar tahun 2001-2004 (zaman saya masih SMP-pertengahan SMA), dengan mudah saya dapati tabloid-tabloid “mesum” seperti Lipstick, Bos, WOW, X-File, Sexy, Populer, dan Liberty terpampang secara gamblang di pinggir jalan pasar Pondok Gede. Namun, secara tidak sadar, perlahan jumlah tabloid tersebut makin lama semakin mundur teratur. Sampai dari yang biasanya tabloid tersebut menjadi display di kaki lima, alih-alih malah hilang dari peredaran—sekitar 2004 ke atas--. Apalagi yang menyebabkan hal ini terjadi selain hukum rimba.

Pasar terbukti berkuasa, masyarakat lebih cerdas dari yang dikira. Silent majority memiliki kemampuan kontrol tanpa harus mengeluarkan peraturan perundangan atau memerlukan aparat yang garang untuk mengawasi atau bersikap sewenang-wenang.

Pers yang beredar mengambarkan tingkat intelektualitas masyarakat di dalamnya, maka dari itu mari kita berikan produk yang berkualitas untuk masyarakat Indonesia. VIVA LA VISI!!!!


Oleh : Wahyu Amaru Shakur

UU Pornografi Masih Menyisakan Kontroversi

Tanggal 30 Oktober 2008 silam, bagi sebagian kelompok masyarakat merupakan klimaks perjuangan mereka dalam mendukung diratifikasikannya UU Pornografi, meskipun sempat diwarnai aksi walk out oleh beberapa wakil rakyat yang menolaknya. Harapan mereka, dengan hadirnya UU Pornografi mampu menjadi benteng ekses negatif pergeseran norma kesusilaan yang semakin menjadi-jadi di tengah gerusan kapitalisme global. UU Pornografi juga sebagai instrumen untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari eksploitasi seksual.
Tetapi di sisi lain, dengan disahkannya UU Pornografi ini, kontroversi dari berbagai LSM feminisme dan kelompok lain tetap teguh menolak pengesahan DPR tersebut. Masyarakat Bali contohnya, mereka terus menolak UU Pornografi dan merencanakan pengajuan peninjauan kembali (PK). Menurut perspektif mereka, UU ini bersikap diskriminatif dan multiinterpretasi.
Konkretnya, pada Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada UU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang.
Untuk menyikapi perseteruan ini, hendaklah kita sebagai civitas akademika mampu menempatkan diri dengan baik. Masing-masing pihak memiliki asumsi yang kuat demi kemaslahatan bersama juga. Sekarang, yang harus kita lakukan bukannya mengikuti arus tetapi tanpa pemaknaan. Hendaknya kita mengambil sisi positif dari kedua pihak. Di satu sisi, mulailah dari sekarang kita memelihara moral dan norma kesusilaan agar tak terseret hukum. Di sisi lain, adat istiadat yang sebelumnya terancam diboikot akibat adanya UU Pornografi, sebenarnya dapat terus kita pertahankan eksistensinya meskipun akan mengalami distorsi demi melestarikan nilai orisinalitasnya.

Opini Civitas Akademika:

Heni Widyastuti, Mahasiswi FISIP UNS
“Setuju dengan diratifikasikannya UU Pornografi. Sekarang kan banyak anak-anak kecil yang mudah mengakses gambar-gambar yang tidak pantas dilihat anak seusia mereka. Hal ini telah berlangsung dan akan terus berlangsung menggerogoti moral generasi muda. Solusinya, dibutuhkan sarana untuk menjaga agar moral bangsa terjaga, salah satunya dengan UU Pornografi ini. Namun, banyak yang menolak disahkannya UU ini dengan alasan multitafsir. Sebaiknya, makna pornografi lebih dirinci sejelas-jelasnya untuk tiap-tiap pasal.”

Asiska Riviyastuti, Aktivis Dewan Mahasiswa FISIP UNS
“ Seharusnya pihak DPR lebih bijak. DPR merupakan wakil rakyat jadi DPR harus mendengarkan dan mempertimbangkan suara rakyat. Kalau masyarakat masih ada yang kontra mengenai suatu hal yang akan ditetapkan oleh DPR, seharusnya jangan langsung ditetapkan dan disahkan. Tetapi, dengar dulu pendapat yang kontra, diajak berdialog dengan masyarakat yang kontra, diberi pemahaman atau mencari jalan tengah agar tidak terjadi suatu permasalahan di belakangnya kelak.”

Ivan Andi Muhtarom, Aktivis KAMMI
”Saya sepakat dengan pengesahan UU Pornografi, karena hal itu menurut dapat menjaga moral bangsa Indonesia. Walaupun banyak pro dan kontra, tetapi seharusnya keputusan tersebut tetap dapat dijalankan sesuai prosedur yang berlaku.”

Pramanti Putri

Sabtu, November 08, 2008

We are Sorry...

Selaku pengurus Blog lpm Visi tercinta ini, kami mohon maaf sebesar - besarnya posting belum dapat up date lagi. Untuk selanjutnya (mulai November ini) posting di blog sifatnya akan lebih tematis.
Jadi jangan takut untuk tetap berkreasi melalui tulisan - tulisan hebatmu teman - teman!
hidup PERSMA!!!


*litbang perkasa
penulis adalah seorang newbie di dunia blog. Jadi belum bisa berkomentar banyak. Harap maklum.