Jumat, Juni 15, 2012

the key



The Key

“Meeeeoooonnggg…”
“Sebentar sayang, bapak lagi ada kerjaan, nanti sore kamu juga bakal makan enak”. Sahutku sambil mengelus kucing yang sudah kuanggap anak sendiri. Kucing kampung yang kuberi nama monki. Aneh bukan, kucing kok diberi nama monyet.
“Tiga buah lima belas ribu” sambil menyerahkan hasil pekerjaanku kepada pelangganku. Ya, aku seorang tukang kunci. Hanya seorang tukang kunci. Banyak asam pahit yang kutelan karena aku menjadi seorang tukang kunci. Karena aku tukang kunci, aku bisa membantu orang-orang kembali membuka pintunya yang terpisah dengan kunci aslinya. Walaupun hanya dengan satu tangan aku mengerjakannya. Karena aku tukang kunci, aku berpisah dengan istri dan anak perempuanku yang katanya tidak tahan menahan rasa malu memiliki seorang suami maupun bapak sepertiku. Cacat dan berkawan dengan kunci yang tidak bisa menentukan pintu masa depan.

negeriku


Negeriku, Dengarlah!

Negeriku.. Apa kabarmu?
Aku harap kau masih dalam keadaan baik,
tetap indah mempesona seperti alammu yang cantik dan kekayaan budayamu yang memukau
Oh ya, Negeriku.. aku ingin bercerita..
Aku melihat tempat yang saaaangat bagus di sini.. dengan gemerlap real estate dan segala fasilitas serta hiruk pikuknya
Sungguh membuatku takjub..
Tapi..
Mengapa di sini aku melihat pemandangan ironis?
Antara real estate dengan pemukiman kumuh..
di bantaran sungai, kolong-kolong jembatan, bahkan pinggiran rel kereta api..
Mengapa aku melihat orang compang-camping tidur tanpa alas di jalanan?
Mengapa aku melihat anak-anak berseragam menjajakan koran?
Dan mengapa aku harus melihat tubuh-tubuh mungil itu meminta-minta di jalanan?
Negeriku..
Sungguh aku senang, melihat penghunimu hidup dalam kemakmuran, dengan gelimang harta dan tahta..
Sungguh aku senang melihat kemajuan pembangunan bangsa ini..
Tapi.. kalau boleh aku jujur, aku lebih bahagia jika kesenjangan sosial itu tidak yang se-menyakitkan ini