Selasa, Juni 17, 2008

Fabregas Hanya Perlu Menunggu

Oleh: Adinda Nusantari*

Menunggu barangkali menjadi sesuatu yang amat menjemukan. Apalagi jika harus mengunggu tanpa sebuah kepastian. Namun, hal ini tidak berlaku bagi seorang Cesc Fabregas. Gelandang asal Arsenal ini memang belum mendapatkan posisi di strarting eleven tim nasional Spanyol. Tetapi ia tetap sabar menanti posisi itu datang padanya. Ia sudah menggenggam satu kepastian bahwa suatu saat ia akan menjadi pemain inti di Tim Matador. Tentu saja ini bukan tanpa alasan. Dengan segala kemampuan dan bakat terpendam yang dimilikinya, Fabregas hanya perlu menunggu untuk menjadi pemain andalan di tim Spanyol.

Pelatih Tim Nasional (Timnas) Spanyol, Luiz Aragones hingga kini masih menempatkan Fabregas sebagai pemain cadangan. Pelatih berusia 63 tahun ini lebi memercayakan posisi gelandang jangkar pada Xavi Hernandez. Baru di saat permainan Spanyol ‘loyo’ dan kehilangan arah, Aragonez memasukkan Fabregas. Dari sini sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa Fabregas memang memiliki "sesuatu" yang dapat menjadi kartu as bagi tim La Furia Roja. Sesuatu itu bisa jadi adalah kemampuan untuk mengatur serangan dan arah permainan, seperti yang berhasil dilakukannya untuk Arsenal.


Aksi Fabregas saat Spanyol menghantam Rusia 4-1 menunjukkan bahwa pemain berusia 21 tahun ini telah mampu membungkam kritik yang dialamatkan padanya. Sebelum EURO 2008 bergulir, Fabregas banyak mendapatkan kritik bahwa dirinya tak bisa bermain maksimal seperti di Arsenal. Selain itu, Fabregas dituding tidak bisa bekerja sama dengan rekan setimnya di timnas. Dalam laga melawan Rusia itu Fabregas mampu membuktikan bahwa anggapan orang salah. Di partai awal Grup D itu Fabregas memberi satu assist saat David Villa mencetak hat-trick. Dan di penghujung laga, Fabregas mencetak satu gol dari sundulan kepala. Yang istimewa, gol itu adalah gol pertamanya bagi tim nasional Spanyol.


Di pertandingan kedua melawan Swedia pun, Fabregas tetap prima. Meski lagi-lagi hanya menjadi pemain pengganti, tetapi ia mampu "menghidupkan" permainan Spanyol yang sempat kurang impresif.

Sebagai pemain profesional, Fabregas sama sekali tidak marah atau kecewa dengan keputusan Aragones yang membangkucadangkannya. Fabregas tahu ia akan mendapatkan posisi inti, tetapi ia harus menunggu. Hal ini mengingatkan pecandu bola akan awal karier cemerlangnya di Arsenal. Saat itu, Arsenal masih dihuni oleh pemain-pemain sekaliber Patrick Veiera dan Robert Pires. Prioritas pelatih Arsenal, Arsene Wenger, jelas kepada Veiera sebagai jenderal lapangan tengah. Fabregaspun harus menunggu untuk mewujudkan mimpinya menggantikan Veiera. Ia tahu ia pasti bisa, tetapi ia harus bersabar.

Seiring bergulirnya waktu, Fabregas akhirnya mendapatkan buah manis kesabarannya. Saat Patrick Veiera hengkang ke Inter Milan, Wenger mulai melirik Fabregas sebagai starter. Kesempatan itupun tak disia-siakan Fabregas. Berangsur-angsur ia mampu menunjukkan bakat terpendamnya. Hingga akhirnya kini posisinya sebagai pengatur serangan Arsenal hampir tak tergantikan. Passing akurat, pintar mengatur serangan, tendangan keras dari lini kedua membuatnya menjadi pemain muda yang diperhitungkan. Terakhir, Fabregas menyabet gelar PFA Young Player of The Year atas permainan gemilangannya di Liga Inggris.

Kini, saat ia dihadapkan pada pillihan untuk menunggu lagi, Fabregas tidak cemas. Ia yakin suatu saat bisa memberikan yang terbaik bagi Tim Matador. Sekali lagi, ia hanya perlu menunggu untuk memperoleh "pengakuan". Dengan usia yang masih muda, tentu saja peluangnya untuk bersinar bersama timnas Spanyol masih terbuka lebar. "Saya sangat yakin dengan hal itu dan kuncinya adalah sabar. Jika saya dapat bekerja keras, suatu hari saya akan menjadi pemimpi timnas seperti di Arsenal," tegas Fabregas yakin.

*Penggemar Sepak Bola, Fans Fabregas.

Minggu, Juni 15, 2008

Melayu, Bangsa yang Tak Pandai Manfaatkan Masa Lalu

Oleh : Pramanti Putri
Judul Buku : Orang Melayu di Zaman yang Berubah
Pengarang : Isjoni
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : I, Oktober 2007
Halaman : xi + 168 halaman
Harga : Rp 27.500, 00

Sejak awal abad ke-17, Melayu berkembang menjadi penguasa seantero Asia Tenggara. Wilayah ini menjadi pusat pengembangan pengetahuan dan perdagangan, hingga memikat bangsa-bangsa mulai dari Cina, Arab, Belanda, dan Portugis untuk singgah barang sejenak. Namun, kejayaan Melayu tampaknya milik generasi masa lalu. Melayu yang sekarang sungguh ironis dan justru identik sebagai bangsa yang tertinggal dan berkubang dengan kemiskinan. Inilah yang menjadi titik tolak Penulis, Isjoni, dalam menguraikan keterpurukan bangsa Melayu.

Buku ini pada permulaan halaman, mengungkapkan sejarah permulaan bangsa Melayu. Sedangkan pengertian Melayu sendiri merupakan suatu ras yang menempati daerah Semenanjung Malaya hingga ke Nusantara. Orang Melayu zaman dulu dikenal sebagai bangsa maritim yang bermukim di pesisir, yang sarat akan penyebaran pengetahuan. Diceritakan juga, orang Melayu merupakan bangsa “penakluk” dan merupakan pedagang perantara yang lihai sekaligus pembawa ajaran Agama Islam ke seluruh Nusantara dan Asia Tenggara.


Di balik masa keemasannya, seperti yang diulas di buku ini, bangsa Melayu menyimpan potensi tersembunyi yang membuat mereka mendominasi hegemoni dan kebudayaan, bahkan menjadi pilar kebudayaan dunia. Karsa berbudaya bangsa Melayu tercermin dari budi bahasa mereka yang terbuka, akomodatif, adaptif, juga mengandung nilai-nilai luhur, diantaranya ialah senantiasa hidup rukun dan damai dengan bangsa lain. Seperti ungkapan “Duduk sama rendah, tegak sama tinggi”, bangsa Melayu menjunjung tinggi rasa persamaan dan toleransi.

Di samping kekuatan maritim dan perdagangannya, aspek Islami bangsa Melayu sangat kental. Islam berperan sangat besar dalam membentuk pemikiran orang Melayu, yang terlihat jelas pada kebudayannya. Penulis mengutip filosofi yang dianut bangsa Melayu, “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Hal ini menyiratkan bahwa segala gagasan dan perilaku bangsa Melayu bersandar atas ajaran Islam yang kuat.

Namun, kehidupan orang Melayu berubah drastis sejak kedatangan imperialisme Barat. Ucapan-ucapan penjajah yang mengatakan bahwa orang Melayu itu pemalas, etos kerja rendah, suka hidup santai, membuat bangsa Melayu merasa rendah diri. Faktor inilah yang menurut Penulis mampu menghancurkan psikis bangsa Melayu, bahkan dapat mematikan keyakinan dan motivasi berjuang yang kemudian membuat bangsa Melayu semakin tergusur ke pinggir (menjadi masyarakat marjinal).

Di samping itu, orang Melayu tampaknya tidak dapat memanfaatkan peluang dan berpartisipasi dalam globalisasi. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan politik Melayu yang seharusnya bersikap protektif terhadap basis ekonominya, tetapi justru berorientasi pada pertumbuhan dan ekonomi global yang diusung bangsa Barat. Wrong policy ini tentu saja akan semakin menjerumuskan Melayu yang notabene basis ekonominya masih lemah. Sehingga, aspek ekonomi Melayu bukannya dikuasai oleh tuan rumah, tetapi malah dikuasai oleh kelompok-kelompok di luar bangsa Melayu.

Selain mengupas kemunduran orang-orang Melayu, Penulis juga menyertakan solusi. Untuk dapat mengikis prototype buruk mengenai generasi Melayu terdahulu, perlu dilakukan evolusi pemikiran kearah yang progresif. Generasi muda Melayu hendaknya ditanamkan kebiasaan cara bersaing yang sehat dalam bertindak. Dengan persaingan ini, mampu memotivasi bangsa Melayu untuk lebih percaya diri, optimis dan berusaha memperbaiki diri sendiri. Ke depannya, Penulis berharap agar jiwa entrepreunership generasi muda Melayu lebih berkembang sehingga masyarakat mampu memiliki keunggulan bersaing tiada henti mengalahkan bangsa Barat.

Buku ini cukup bagus dalam menyumbang pengetahuan sejarah dan perkembangan kebudayaan bangsa Melayu. Melalui buku ini, Isjoni menguraikan seluk beluk orang Melayu tidak hanya di permukaan yang terekspos saja, melainkan hingga ke titik poros berkembangnya suatu masyarakat, yakni bermula dari tata adat yang dijunjung bangsa ini. Terutama bagi bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari ras Melayu, perjalanan bangsa Melayu dapat dijadikan landasan pacu bagi kita untuk lebih berorientasi ke depan.

Tak ada gading yang tak retak. Buku ini hanya mengungkapkan jejak-jejak “kekalahan” Melayu generasi terdahulu. Meskipun Penulis menyertakan solusi sebagai alternatif jawaban, tetapi disayangkan tidak diuraikan sampai sejauh mana langkah-langkah yang telah ditempuh generasi muda bangsa Melayu dalam proses kebangkitannya. Sehingga, di zaman yang telah berubah ini, seolah-olah orang Melayu hanya diam menyesali sejarah pahitnya.

Dalam pemaparannya, Isjoni juga seringkali menulis dengan menggunakan ejaan bahasa Melayu ,yang mana tidak disertai dengan pengertiannya. Selain itu, masih banyak terdapat kesalahan teknis penulisan. Meskipun ini merupakan perkara kecil, tetapi cukup membingungkan pembaca dalam menyelami inti sari buku.