Oleh : Nanda Bagus Prakosa
Sebutan Solo sebagai Kota Budaya, tentunya tidak asing lagi di telinga. Memang tidak bisa dipungkiri, kekayaan budaya di Solo sangat melimpah ruah. Sebut saja batik yang sedang booming di dunia fesyen, situs-situs budaya yang eksotik hingga buaian wisata kulinernya, Solo pantas dengan image kota wisata budaya.
Budaya sebagai kekuatan pariwisata di Solo akhirnya diperhatikan juga oleh Pemerintah. Pemerintah sudah melakukan usaha-usaha untuk memajukan pariwisata di Solo melalui event-event berskala lokal, nasional maupun internasional.
Perhelatan besar seperti BSF (Bengawan Solo Festival), WHCC (World Heritage Cities and Conference), SIEM (Solo International Ethnic Music) hingga IKF (International Keroncong Festival) sedikit banyak dapat menunjukkan eksistensi kota Solo sebagai kota Budaya yang berkembang. Bahkan ketika Solo dinobatkan sebagai salah satu Heritage Cities (kota pusaka) di dunia. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Solo adalah salah satu kota Budaya yang mempunyai nilai lebih.
Namun hal itu seakan tercoreng ketika kita melihat apa yang terjadi di Solo beberapa waktu terakhir. Masih segar dalam ingatan kita saat Museum Radya Pustaka geger. Beberapa arca berharga dipalsukan sedang yang asli diperjualbelikan seenaknya. Hal ini sempat menjadi sorotan beberapa media-media besar di Indonesia. Solo yang notabene kota budaya, malah “menjajakan” aset-aset budayanya sendiri.
Hal yang di atas juga dialami oleh benteng Vastenburg. Benteng peninggalan masa penjajahan ini direncanakan berubah fungsi sebagai hotel berbintang. Bahkan kenyataan yang lebih mengejutkan Benteng Vastenburg tersebut telah diprivatisasi. Benteng Vastenburg menjadi satu-satunya dari 300 benteng bersejarah di Indonesia yang dimiliki secara privat.
Kemudian ketika mucul lagi kasus Sriwedari yang bukan milik Negara lagi, seakan masyarakat Solo menjadi kebal terhadap permasalahan ini. Dulu ketika Vastenburg akan dibangun hotel masyarakat berbondong-bondong menolakhal itu dengan tegas. Namun ketika Sriwedari yang merupakan taman budayanya orang Solo diprivatisasi, orang-orang seakan menutup mata. Jangankan untuk prihatin tentang masalah ini, sekedar “mempermasalahkannya” saja itu hanya segelintir orang.
Budaya di kota Solo nampaknya sedang diberi cobaan yang berat. Di tengah terangkatnya nama Solo dengan aset budayanya, kota Solo malah menuai keprihatinan tentang hilangnya aset-aset budaya tersebut satu per satu.
Masalah privatisasi bukanlah satu-satunya rintangan. Beberapa tahun lagi Solo akan lebih “bewarna” dengan gedung-gedung apartemen yang (tentu saja) disertai mall-mall yang menjadi pusat lifestyle. Kehadiran mall-mall tersebut tentunya akan berdampak besar bagi geliat kota Solo. Jika hal ini keterusan maka tak ayal identitas kota Solo sebagai kota Budaya akan menghilang perlahan.
Jadi mulai saat ini cintailah budaya, cintailah Solo apa adanya. Walaupun banyak pemoles yang berdatangan namun tetapkan Solo sebagai identitas kita.
Minggu, Desember 28, 2008
Senin, Desember 22, 2008
WISATA SOLO: PERENCANAAN DAN SUMBER DAYA
Oleh: Johan Bhimo Sukoco
Berbicara masalah pariwisata memang tidak akan ada habisnya jika dikaitkan dengan Kota kecil bernama Surakarta. Diasumsikan kecil oleh penulis karena luas wilayahnya hanya sekitar 44 Km2 saja.Orang lebih fasih mengucapkan Kota kecil ini, Kota Solo. Kota yang terletak diantara 110 45’15’’-110 45’35’’ Bujur timur dan 70’56’’ Lintang selatan ini bahkan memiliki slogan Kota Budaya. Sesuai dengan slogannya, masyarakat di dalamnya memang masih menguri-uri budaya yang ada, khusunya budaya jawa meskipun arus globalisasi mulai bermunculan di dalamnya.Tidak akan terasa kecil lagi jika kita melihat lebih jauh perkembangan pariwisata di kota budaya ini. Mulai dari pusat perbelanjaan, penginapan sekelas hotel berbintang, wisata kuliner atau bahkan keraton atau museum yang ada. Kita lihat saja dari Hotel berbintang yang menyediakan fasilitas penginapan mulai dari bintang satu sampai dengan tiga. Hotel Novotel, Quality, Sahid Kusuma, Sahid Raya Solo, Agas Internasional, Comfort Inn, Riyadi, Asia, Grand Orchid, sampai hotel bintang satu Grand Setia Kawan. Obyek pariwisata yang disediakan tak jauh-jauh dari kebudayaan masyarakat Solo sendiri. Mulai dari Keraton Kasunanan yang dibangun tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono II, Istana Mangkunegaran, Kampung Batik Kauman yang memiliki 30an Home Industri batik dimana telah menjalin kerjasama dengan wisatawan mancanegara(Jepang,Eropa,Asia Tenggara,dan Amerika serikat), Kampung Batik Laweyan, Museum Batik Wuryaningratan, Pasar Triwindu,Pasar Klewer,Taman Rekreasi Sriwedari,sampai Museum Radya Pustaka yang akhir-akhir ini menjadi topic terhangat di dunia berita pertelevisian karena masalah didalamnya. Bagaimana dengan wisata kuliner?Kota ini menyediakan berbagai resto yang akan memanjakan lidah anda. Aria Resto CafĂ©, Diamond, Gudeg Adem ayem, Pecel Solo,Rumah Koe, Nasi liwet Keprabon Banjarsari, dan Galabo (Gladag Langen Boga),merupakan contoh beberapa resto yang dapat anda kunjungi sebagai pecinta makanan.
Kota Surakarta yang terbagi menjadi lima wilayah kecamatan ini memang tengah digodok dalam proses pengembangan pariwisatanya.Mulai menjamurnya pusat perbelanjaan besar di Solo merupakan salah satu bukti betapa sangat dinamisnya kota kecil ini menanggapi adanya arus globalisasi.Mulai dari Matahari Singosaren,Makro,Solo Square,Sami Luwes,Pusat Grosir Solo (PGS),sampai yang paling dibanggakan,Solo Grand Mall atau lidah lebih mengenalnya SGM.Setelah berwisata budaya,wisata kuliner,melepas lelah di hotel dan mengunjungi pusat perbelanjaan,lantas oleh-oleh apa yang hendak dibawa untuk saudara di rumah?Jangan khawatir,Kota ini memiliki beberapa oleh-oleh khas yang dapat “di cangking” untuk orang terdekat anda.Seperti roti lapis Orion Mandarin,Cemilan Ganep’s,aneka jajanan pasar semisal ampyang yang dapat dibeli di pasar-pasar tradisional Solo,sampai yang tidak boleh ditinggalkan dan paling khas,Srabi Notosuman.
Aneka wisata budaya yang ada di kota Solo memang menjadi asset tersendiri bagi pemerintah daerah tentunya.Lantas,apakah kesemuanya itu sudah dikelola dengan baik pemanfaatannya? Berikut ini kutipan yang diambil penulis dari harian Suara Merdeka edisi Rabu,26 Juli 2006:
Semua Berjalan Sendiri-sendiri
Pengembangan Wisata Solo
SOLO-- Rapat kerja pengembangan pariwisata Solo yang difasilitasi Komisi IV DPRD kemarin menjadi ajang saling menyalahkan antara pelaku wisata dan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya. Para pelaku wisata menilai selama ini kebijakan pengembangan pariwisata tidak jelas. Bahkan setiap instansi berjalan sendiri-sendiri. Biro perjalanan, Asita, perusahaan penerbangan, dan hotel juga berjalan sendiri sehingga upaya menarik wisatawan ke Solo terkendala.
Nah,inilah yang menimbulkan PR besar bagi petinggi-petinggi pemerintahan Kota yang berbatasan utara dengan Karanganyar dan Boyolali ini.Apakah arti beragam wisata Budaya yang penulis sebutkan rinci di atas apabila pengelolaannya asal-asalan saja?Tentu kesemuanya itu tidak akan ada artinya apa-apa jika pengelolaannya tidak terkoordinasi dengan baik.Untuk mencapai tujuan yang efektif tentunya ada perencanaan dan pertimbangan di dalamnya.Begitu pula dengan masalah pariwisata ini.Dengan tujuan menggaet wisatawan sebesar-besarnya untuk menambah pendapatan daerah,tentu pemerintah harus lebih giat dan matang dalam proses perencanaan,termasuk tata kota ataupun koordinasi yang baik antar instansi.
Ternyata ada iktikad yang baik dari pemerintah setempat dalam perencanaan pengelolaan pariwisata di Kota yang terkenal ramah ini.Dalam artikel berita di harian yang sama,tertulis:
Kasubdin Bina Program pada Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Drs Dwiniatno MM mengatakan sudah melakukan upaya untuk meningkatkan industri pariwisata Surakarta.
Pihaknya juga melibatkan para pelaku wisata dalam pengambilan kebijakan. Selain itu, membuat web site pariwisata, pengadaan one touch screen , serta inventarisasi objek wisata.
Berita yang penulis kutip dari Harian Suara Merdeka tersebut memang bertahun edisi 2006.Ini membuktikan perencanaan yang lebih memadai dari pemerintah daerah Surakarta terhadap pengelolaan pariwisata memang berawal di tahun tersebut.Sekarang menginjak akhir tahun 2008 dan menuju 2009.Dapatkah kita melihat perubahan pariwisata yang memadai?bagaimana dengan arus informasi mengenai asset wisata di dalamnya?apakah pengelolaannya telah memperhitungkan asas pengelolaan bebasis focus pengembangan yang bukan berjalan sendiri-sendiri lagi?Hanya kita yang dapat menilainya.
Berbicara masalah pariwisata memang tidak akan ada habisnya jika dikaitkan dengan Kota kecil bernama Surakarta. Diasumsikan kecil oleh penulis karena luas wilayahnya hanya sekitar 44 Km2 saja.Orang lebih fasih mengucapkan Kota kecil ini, Kota Solo. Kota yang terletak diantara 110 45’15’’-110 45’35’’ Bujur timur dan 70’56’’ Lintang selatan ini bahkan memiliki slogan Kota Budaya. Sesuai dengan slogannya, masyarakat di dalamnya memang masih menguri-uri budaya yang ada, khusunya budaya jawa meskipun arus globalisasi mulai bermunculan di dalamnya.Tidak akan terasa kecil lagi jika kita melihat lebih jauh perkembangan pariwisata di kota budaya ini. Mulai dari pusat perbelanjaan, penginapan sekelas hotel berbintang, wisata kuliner atau bahkan keraton atau museum yang ada. Kita lihat saja dari Hotel berbintang yang menyediakan fasilitas penginapan mulai dari bintang satu sampai dengan tiga. Hotel Novotel, Quality, Sahid Kusuma, Sahid Raya Solo, Agas Internasional, Comfort Inn, Riyadi, Asia, Grand Orchid, sampai hotel bintang satu Grand Setia Kawan. Obyek pariwisata yang disediakan tak jauh-jauh dari kebudayaan masyarakat Solo sendiri. Mulai dari Keraton Kasunanan yang dibangun tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono II, Istana Mangkunegaran, Kampung Batik Kauman yang memiliki 30an Home Industri batik dimana telah menjalin kerjasama dengan wisatawan mancanegara(Jepang,Eropa,Asia Tenggara,dan Amerika serikat), Kampung Batik Laweyan, Museum Batik Wuryaningratan, Pasar Triwindu,Pasar Klewer,Taman Rekreasi Sriwedari,sampai Museum Radya Pustaka yang akhir-akhir ini menjadi topic terhangat di dunia berita pertelevisian karena masalah didalamnya. Bagaimana dengan wisata kuliner?Kota ini menyediakan berbagai resto yang akan memanjakan lidah anda. Aria Resto CafĂ©, Diamond, Gudeg Adem ayem, Pecel Solo,Rumah Koe, Nasi liwet Keprabon Banjarsari, dan Galabo (Gladag Langen Boga),merupakan contoh beberapa resto yang dapat anda kunjungi sebagai pecinta makanan.
Kota Surakarta yang terbagi menjadi lima wilayah kecamatan ini memang tengah digodok dalam proses pengembangan pariwisatanya.Mulai menjamurnya pusat perbelanjaan besar di Solo merupakan salah satu bukti betapa sangat dinamisnya kota kecil ini menanggapi adanya arus globalisasi.Mulai dari Matahari Singosaren,Makro,Solo Square,Sami Luwes,Pusat Grosir Solo (PGS),sampai yang paling dibanggakan,Solo Grand Mall atau lidah lebih mengenalnya SGM.Setelah berwisata budaya,wisata kuliner,melepas lelah di hotel dan mengunjungi pusat perbelanjaan,lantas oleh-oleh apa yang hendak dibawa untuk saudara di rumah?Jangan khawatir,Kota ini memiliki beberapa oleh-oleh khas yang dapat “di cangking” untuk orang terdekat anda.Seperti roti lapis Orion Mandarin,Cemilan Ganep’s,aneka jajanan pasar semisal ampyang yang dapat dibeli di pasar-pasar tradisional Solo,sampai yang tidak boleh ditinggalkan dan paling khas,Srabi Notosuman.
Aneka wisata budaya yang ada di kota Solo memang menjadi asset tersendiri bagi pemerintah daerah tentunya.Lantas,apakah kesemuanya itu sudah dikelola dengan baik pemanfaatannya? Berikut ini kutipan yang diambil penulis dari harian Suara Merdeka edisi Rabu,26 Juli 2006:
Semua Berjalan Sendiri-sendiri
Pengembangan Wisata Solo
SOLO-- Rapat kerja pengembangan pariwisata Solo yang difasilitasi Komisi IV DPRD kemarin menjadi ajang saling menyalahkan antara pelaku wisata dan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya. Para pelaku wisata menilai selama ini kebijakan pengembangan pariwisata tidak jelas. Bahkan setiap instansi berjalan sendiri-sendiri. Biro perjalanan, Asita, perusahaan penerbangan, dan hotel juga berjalan sendiri sehingga upaya menarik wisatawan ke Solo terkendala.
Nah,inilah yang menimbulkan PR besar bagi petinggi-petinggi pemerintahan Kota yang berbatasan utara dengan Karanganyar dan Boyolali ini.Apakah arti beragam wisata Budaya yang penulis sebutkan rinci di atas apabila pengelolaannya asal-asalan saja?Tentu kesemuanya itu tidak akan ada artinya apa-apa jika pengelolaannya tidak terkoordinasi dengan baik.Untuk mencapai tujuan yang efektif tentunya ada perencanaan dan pertimbangan di dalamnya.Begitu pula dengan masalah pariwisata ini.Dengan tujuan menggaet wisatawan sebesar-besarnya untuk menambah pendapatan daerah,tentu pemerintah harus lebih giat dan matang dalam proses perencanaan,termasuk tata kota ataupun koordinasi yang baik antar instansi.
Ternyata ada iktikad yang baik dari pemerintah setempat dalam perencanaan pengelolaan pariwisata di Kota yang terkenal ramah ini.Dalam artikel berita di harian yang sama,tertulis:
Kasubdin Bina Program pada Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Drs Dwiniatno MM mengatakan sudah melakukan upaya untuk meningkatkan industri pariwisata Surakarta.
Pihaknya juga melibatkan para pelaku wisata dalam pengambilan kebijakan. Selain itu, membuat web site pariwisata, pengadaan one touch screen , serta inventarisasi objek wisata.
Berita yang penulis kutip dari Harian Suara Merdeka tersebut memang bertahun edisi 2006.Ini membuktikan perencanaan yang lebih memadai dari pemerintah daerah Surakarta terhadap pengelolaan pariwisata memang berawal di tahun tersebut.Sekarang menginjak akhir tahun 2008 dan menuju 2009.Dapatkah kita melihat perubahan pariwisata yang memadai?bagaimana dengan arus informasi mengenai asset wisata di dalamnya?apakah pengelolaannya telah memperhitungkan asas pengelolaan bebasis focus pengembangan yang bukan berjalan sendiri-sendiri lagi?Hanya kita yang dapat menilainya.
Kamis, Desember 18, 2008
Penegakan Presidensialisme dan Capres Independen
Oleh Adinda Nusantari
Secara konstitusional, sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Namun, sistem yang dijalankan saat ini agaknya masih belum sesuai dengan apa yang tertuang dalam konstitusi. Ada posisi yang saling overlapping antara presidensial dan parlementer.
Hal ini barangkali tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa ini. Dalam perjalanannya, sistem politik Indonesia mengalami beberapa kali pergantian model sistem politik. Antara presidensial dan parlementer. Kekacauan yang pernah timbul akibat kelemahan kedua sistem tersebut tampaknya memunculkan trauma tersendiri bagi bangsa ini. Hingga akhirnya tidak pernah tegas untuk memilih sistem mana yang dijalankan.
Ketika negara ini menganut sistem parlementer di tahun 1950-an, terjadi kekacauan sistem dengan maraknya politik “dagang sapi”. Kala itu Indonesia berganti-ganti pemerintahan. Dari satu pemerintahan perdana menteri ke perdana menteri yang lain.
Pun begitu dengan sistem kendali presiden. Kekuasaan presiden menjadi begitu besar, sampai-sampai menyerupai diktator. Alhasil, meski dalam konstitusi jelas diamanatkan bahwa sistem yang dianut adalah presidensial, namun selalu ada usaha untuk membatasi kekuasaan presiden. Akhirnya, parlemen seakan menjadi pihak oposan bagi presiden. Dan seolah-olah presiden tidak memiliki kuasa di hadapan parlemen.
Padahal dalam sebuah sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, seorang presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer. Di mana dalam sebuah sistem parlementer berlaku adanya moshi tidak percaya dan di sana parpol memegang peranan yang kuat.
Dalam konstruksi presidensialisme peranan parpol tidak sekuat seperti dalam sistem parlementer, sehingga memungkinkan adanya pencalonan kandidat presiden independen. Tradisi capres independen salah satunya ditemukan dalam presidensialisme di Amerika Serikat. Munculnya kandidat di luar parpol dominan - Partai Republik dan Partai Demokrat - pernah terjadi pada masa Presiden Roosevelt tahun 1912, John B Anderson tahun 1980, dan Ross Perot tahun 1992 yang popularitasnya sempat menyaingi kandidat Partai Demokrat Bill Clinton.
Di Indonesia, logika pemerintahan tersebut (antara parlementer dan presidensial) masih tumpang tindih penerapannya dalam sistem politik. Presidensialisme yang diamanatkan konstitusi masih sangat lemah, karena dalam praktiknya tidak jarang justru lebih menonjol seperti parlementarisme. Di sana, suara presiden seringkali kalah oleh parlemen.
Padahal, presiden itu adalah presiden terpilih yang didukung oleh parpol besar. Tapi kenyataannya, ketika memimpin ia seringkali tidak mendapat dukungan dari parpol yang lain. Kebijakan presiden sangat sulit mendapat dukungan politik di parlemen ketika harus bekerjasama dengan lembaga legislatif.
Jika nantinya ada capres independen, bagaimana mereka akan mendapat dukungan parlemen setelah terpilih? Tentu saja akan jauh lebih sulit untuk mendapat dukungan parlemen. Bahkan, bukan tidak mungkin presiden independen akan menjadi bulan-bulanan ketika harus berhadapan dengan parlemen. Meski sebenarnya dalam logika presidensialisme hal ini tidak dibenarkan. Namun, prakteknya itulah yang terjadi di Indonesia.
Sehingga, penguatan sistem presidensial di Indonesia menjadi semacam prasyarat sebelum melangkah lebih jauh dengan membuka peluang bagi capres independen. Tetapi agaknya para “pejuang” capres independen lebih senang langsung memperjuangkannya tanpa prasyarat tersebut.
Saat ini keberadaan capres independen diperjuangkan dengan melakukan uji materiil (judicial review ) UU No. 23/2003. Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dianggap penghalang bagi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden dari jalur independen. Khususnya pasal 1 ayat (6), pasal 5 ayat (1), dan pasal 5 ayat (4), - yang menutup kemungkinan pasangan capres dan cawapres independen - dianggap telah melanggar UUD 1945 pasal 6A ayat (2).
Di tengah pembahasan tersebut, parpol mulai menyatakan ketidaksetujuannya dengan capres independen. Memang belum semua parpol, tetapi setidaknya telah ada tiga parpol besar seperti Golkar, PPP, dan PAN yang lantang menolak. Dan, setidaknya ketiga parpol ini memiliki pengaruh yang besar untuk menghambat laju capres independen.
Penolakan tersebut mengacu pada Pasal 6 UUD 1945. Pasal itu mengharuskan capres melalui parpol. Selain itu, ada anggapan bahwa capres independen tidak mau bersusah payah untuk bersaing dalam Pemilu lantaran tidak perlu bergabung dengan parpol tertentu.
Dengan beragam alasan tersebut, agaknya capres independen menemui jalan yang terjal dalam perjuangannya. Bahkan ketika nanti disahkan, capres independen tetap saja akan menemui masalah dalam posisinya dengan parlemen. Selama landasan presidensialisme belum cukup tegas untuk menjamin kelangsungan “kehidupan” presiden.
Secara konstitusional, sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Namun, sistem yang dijalankan saat ini agaknya masih belum sesuai dengan apa yang tertuang dalam konstitusi. Ada posisi yang saling overlapping antara presidensial dan parlementer.
Hal ini barangkali tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa ini. Dalam perjalanannya, sistem politik Indonesia mengalami beberapa kali pergantian model sistem politik. Antara presidensial dan parlementer. Kekacauan yang pernah timbul akibat kelemahan kedua sistem tersebut tampaknya memunculkan trauma tersendiri bagi bangsa ini. Hingga akhirnya tidak pernah tegas untuk memilih sistem mana yang dijalankan.
Ketika negara ini menganut sistem parlementer di tahun 1950-an, terjadi kekacauan sistem dengan maraknya politik “dagang sapi”. Kala itu Indonesia berganti-ganti pemerintahan. Dari satu pemerintahan perdana menteri ke perdana menteri yang lain.
Pun begitu dengan sistem kendali presiden. Kekuasaan presiden menjadi begitu besar, sampai-sampai menyerupai diktator. Alhasil, meski dalam konstitusi jelas diamanatkan bahwa sistem yang dianut adalah presidensial, namun selalu ada usaha untuk membatasi kekuasaan presiden. Akhirnya, parlemen seakan menjadi pihak oposan bagi presiden. Dan seolah-olah presiden tidak memiliki kuasa di hadapan parlemen.
Padahal dalam sebuah sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, seorang presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer. Di mana dalam sebuah sistem parlementer berlaku adanya moshi tidak percaya dan di sana parpol memegang peranan yang kuat.
Dalam konstruksi presidensialisme peranan parpol tidak sekuat seperti dalam sistem parlementer, sehingga memungkinkan adanya pencalonan kandidat presiden independen. Tradisi capres independen salah satunya ditemukan dalam presidensialisme di Amerika Serikat. Munculnya kandidat di luar parpol dominan - Partai Republik dan Partai Demokrat - pernah terjadi pada masa Presiden Roosevelt tahun 1912, John B Anderson tahun 1980, dan Ross Perot tahun 1992 yang popularitasnya sempat menyaingi kandidat Partai Demokrat Bill Clinton.
Di Indonesia, logika pemerintahan tersebut (antara parlementer dan presidensial) masih tumpang tindih penerapannya dalam sistem politik. Presidensialisme yang diamanatkan konstitusi masih sangat lemah, karena dalam praktiknya tidak jarang justru lebih menonjol seperti parlementarisme. Di sana, suara presiden seringkali kalah oleh parlemen.
Padahal, presiden itu adalah presiden terpilih yang didukung oleh parpol besar. Tapi kenyataannya, ketika memimpin ia seringkali tidak mendapat dukungan dari parpol yang lain. Kebijakan presiden sangat sulit mendapat dukungan politik di parlemen ketika harus bekerjasama dengan lembaga legislatif.
Jika nantinya ada capres independen, bagaimana mereka akan mendapat dukungan parlemen setelah terpilih? Tentu saja akan jauh lebih sulit untuk mendapat dukungan parlemen. Bahkan, bukan tidak mungkin presiden independen akan menjadi bulan-bulanan ketika harus berhadapan dengan parlemen. Meski sebenarnya dalam logika presidensialisme hal ini tidak dibenarkan. Namun, prakteknya itulah yang terjadi di Indonesia.
Sehingga, penguatan sistem presidensial di Indonesia menjadi semacam prasyarat sebelum melangkah lebih jauh dengan membuka peluang bagi capres independen. Tetapi agaknya para “pejuang” capres independen lebih senang langsung memperjuangkannya tanpa prasyarat tersebut.
Saat ini keberadaan capres independen diperjuangkan dengan melakukan uji materiil (judicial review ) UU No. 23/2003. Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dianggap penghalang bagi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden dari jalur independen. Khususnya pasal 1 ayat (6), pasal 5 ayat (1), dan pasal 5 ayat (4), - yang menutup kemungkinan pasangan capres dan cawapres independen - dianggap telah melanggar UUD 1945 pasal 6A ayat (2).
Di tengah pembahasan tersebut, parpol mulai menyatakan ketidaksetujuannya dengan capres independen. Memang belum semua parpol, tetapi setidaknya telah ada tiga parpol besar seperti Golkar, PPP, dan PAN yang lantang menolak. Dan, setidaknya ketiga parpol ini memiliki pengaruh yang besar untuk menghambat laju capres independen.
Penolakan tersebut mengacu pada Pasal 6 UUD 1945. Pasal itu mengharuskan capres melalui parpol. Selain itu, ada anggapan bahwa capres independen tidak mau bersusah payah untuk bersaing dalam Pemilu lantaran tidak perlu bergabung dengan parpol tertentu.
Dengan beragam alasan tersebut, agaknya capres independen menemui jalan yang terjal dalam perjuangannya. Bahkan ketika nanti disahkan, capres independen tetap saja akan menemui masalah dalam posisinya dengan parlemen. Selama landasan presidensialisme belum cukup tegas untuk menjamin kelangsungan “kehidupan” presiden.
Sabtu, Desember 13, 2008
Membaca Kota dalam Komik
Oleh : Nur Heni Widyastuti*
Hampir lima belas tahun saya hidup di “lingkungan rumah yang sama” dan belum pernah pindah sejak saya bersekolah di taman kanak-kanak. Sebelumnya memang berpindah pindah, tapi kala itu saya masih terlalu dini untuk mengerti apa itu bersosialisasi. Setelah saya menyadari akan hal itu, yang sering mengalami perubahan adalah “lingkungan sekolah” dimana saya menimba ilmu, itupun masih dalam ”lingkungan kota yang sama”. Atau kalaupun pergi mengunjungi sanak keluarga masih dalam “lingkungan provinsi yang sama pula”. Namun, bukan berarti saya tidak pernah “kaluar” kemana-mana, hanya saja, mobilitas keluar dari kota tempat saya tibggal, presentasinya masih sangat terbatas jika dibandingkan dominasi “tetap di lingkungan yang sama”.Dalam organisasi yang saya ikuti (LPM VISI FISIP UNS), sering sekali diadakan pemetaan permasalahan-permasalahan yang ada di kota ini, untuk dituangkan dalam sebuah terbitan (Majalah VISI). Walaupun saya sudah lama tinggal di sini, namun saya merasa (mungkin barangkali hanya saya) kurang bisa “membacanya” secara mendalam. Sebenarnya telah banyak pemberitaan, seminar atau penerbitan buku yang diselenggarakan oleh sastrawan, budayawan, lembaga atau instansi-instansi tersentu, yang kesemuanya pasti sangat menarik. Sampai suatu ketika saya menemukan sebuah skripsi yang berjudul “Ruang Publik Perkotaan dalam Komik (Studi Semiotik Representasi Ruang Publik Perkotaan dalam Jogja in Comic)”. Dari situ saya baru menyadari bahwa saya kurang pandai dalam “membaca kota” walaupun saya telah lama tinggal di sana. Dan ternyata ada sebuah media yang lebih menarik untuk membaca kota. Yakni komik.
Saya memang bukan penikmat komik. Saya lebih memilih membaca prosa (tulisan panjang dalam bentuk apapun) daripada pusing mengamati gambar berskat-skat. Terlebih, komik-komik yang ada sekarang (menurut saya) didominasi oleh komik “kekanakan”, walaupun mengangkat “tema orang dewasa”. Tetapi bukan berarti saya menggeneralisasi semuanya, ada juga komik sastra, komik pendidikan politik, atau komik lain yang mengandung unsur edukasi.
Bagi saya yang mengganggap “menggambar itu sulit”, pembuatan komik yang mengangkat tema “berat” merupakan karya yang luar biasa. Saya melihat itu dalam komik-komik yang ada dalam buku Jogja in Comic (walau saya hanya melihat sketnya dan alur ceritanya di internet dan belum membaca semuanya). Dengan imajinasi yang mendekati realita dan alur cerita ringan, membuat pembacaan terhadap kota Jogja menjadi lebih menarik.
Berikut saya cuplikkan sedikit kata pengantar dari St Sunardi** (Ketua Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) yang juga memberikan sambutan dalam Jogja In Comic Exhibition 19 November 2006 silam.
Ruang Publik Boleh Langka, Asal Jangan Ruang Komik
Buku Jogja in Comic merupakan kumpulan lima karya komik terbaik dari Kompetisi Komik yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta pada awal 2006. Komik pertama, “Gobak Sodor Sawijining Komik” menggambarkan rasa frustrasi anak-anak karena ruang ruang bermainnya semakin menyempit, kalau bukan lenyap. Dalam “Kota Seni”, komik kedua, dilukiskan seorang tukang bakso yang ternyata lebih melek seni daripada seorang mahasiswa yang tidak tahu apa yang dilakukan untuk mengisi waktu kosongnya kecuali sibuk membaca buku porno. Komik ketiga, “Marini, Masih Ada Jathilan Yang Lewat”, berisi cerita tentang orang yang sudah terasing dengan seni-seni tradisional. “Selamat Datang di Kota Revolusi”, komik keempat, melukiskan sejarah heroisme Kota Jogja sambil menunjukkan seakan-akan orang-orang Jogja sudah bebas dari penjajah padahal belum. Komik terakhir yang berjudul “Brondoyudo Manyun Binangun” (Plesetan dari Barata Yuda Jaya Binangun) memperlihatkan sisi lain dari Yogyakarta: konflik antar “gang” di Malioboro untuk memperebutkan lahan.
Persoalan ruang bermain anak, kedudukan Jogja yang merana sebagai kota seni, keterasingan orang jaman sekarang dengan seni-seni tradisional, krisis herorisme jaman sekarang, dan keruwetan Malioboro – semuanya bukanlah isu baru, semuanya sudah banyak dibicarakan entah di media, di ruang-ruang seminar, dalam kampanye pilkada, maupun di obrolan ringan di berbagai tempat. Kalau tema-tema itu muncul lagi dalam kumpulan komik ini, hal itu menunjukkan bahwa persoalan-persoalan tersebut memang menjadi persoalan nyata. Isu-isu diangkat kembali lewat medium komik. Hasilnya? Ada nuansa baru. Suasana gemas sangat dominan.
Suasana ini pertama-tama kita rasakan lewat ilustrasi daripada pesan tekstual. Trotoar untuk pejalan kaki sudah diserobot untuk kendaraan bermotor, hiruk pikuk biennal dan events kesenian lainnya ternyata belum berhasil menggugah warga untuk melek seni, Malioboro yang disediakan sebagai wilayah untuk rileks ternyata dikotak-kotak oleh kekuatan-kuatan invisible, dan sebagainya. Dalam perasaan gemas ini para kontributor buku ini mencoba untuk bersikap comical, mengambil jarak, menghela nafas. Jenis komunikasi inilah kiranya yang bisa kita apresiasi dari kehadiran kumpulan komik tentang Jogja….. (dst)
Ada pula kumpulan komik yang berjudul “Jogja, 5,9 skala richter”*** komik yang memuat 18 judul komik. Didalamnya memuat bagaimana para pembuat komik ini membingkai kisah-kisah yang berkaitan dengan gempa Jogja mei 2006 silam.
Keunggulan dari pembacaan kota melalui komik adalah dalam hal imajinasi dan alur plot yang mungkin hasil karangan pembuat. Berbeda dengan prosa (baik yang sastra ataupun berita) yang mengingnkan pembacaan itu secara nyata. Namun ada keinginan yang sama, yakni realitas tentang kota mereka dan pesan yang ingin disampaikan sampai kepada pembaca, walau dengan medium yang berbeda.
* Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005, salah satu pengurus LPM VISI FISIP UNS.
** http://yulibean.multiply.com/journal/item/18/JOGJA_IN_COMIC_EXHIBITION
*** http://martabakomikita.multiply.com/journal/item/94/INFOTAMU_Launching_Komik_Jogja_59_Skala_Richter)
Hampir lima belas tahun saya hidup di “lingkungan rumah yang sama” dan belum pernah pindah sejak saya bersekolah di taman kanak-kanak. Sebelumnya memang berpindah pindah, tapi kala itu saya masih terlalu dini untuk mengerti apa itu bersosialisasi. Setelah saya menyadari akan hal itu, yang sering mengalami perubahan adalah “lingkungan sekolah” dimana saya menimba ilmu, itupun masih dalam ”lingkungan kota yang sama”. Atau kalaupun pergi mengunjungi sanak keluarga masih dalam “lingkungan provinsi yang sama pula”. Namun, bukan berarti saya tidak pernah “kaluar” kemana-mana, hanya saja, mobilitas keluar dari kota tempat saya tibggal, presentasinya masih sangat terbatas jika dibandingkan dominasi “tetap di lingkungan yang sama”.Dalam organisasi yang saya ikuti (LPM VISI FISIP UNS), sering sekali diadakan pemetaan permasalahan-permasalahan yang ada di kota ini, untuk dituangkan dalam sebuah terbitan (Majalah VISI). Walaupun saya sudah lama tinggal di sini, namun saya merasa (mungkin barangkali hanya saya) kurang bisa “membacanya” secara mendalam. Sebenarnya telah banyak pemberitaan, seminar atau penerbitan buku yang diselenggarakan oleh sastrawan, budayawan, lembaga atau instansi-instansi tersentu, yang kesemuanya pasti sangat menarik. Sampai suatu ketika saya menemukan sebuah skripsi yang berjudul “Ruang Publik Perkotaan dalam Komik (Studi Semiotik Representasi Ruang Publik Perkotaan dalam Jogja in Comic)”. Dari situ saya baru menyadari bahwa saya kurang pandai dalam “membaca kota” walaupun saya telah lama tinggal di sana. Dan ternyata ada sebuah media yang lebih menarik untuk membaca kota. Yakni komik.
Saya memang bukan penikmat komik. Saya lebih memilih membaca prosa (tulisan panjang dalam bentuk apapun) daripada pusing mengamati gambar berskat-skat. Terlebih, komik-komik yang ada sekarang (menurut saya) didominasi oleh komik “kekanakan”, walaupun mengangkat “tema orang dewasa”. Tetapi bukan berarti saya menggeneralisasi semuanya, ada juga komik sastra, komik pendidikan politik, atau komik lain yang mengandung unsur edukasi.
Bagi saya yang mengganggap “menggambar itu sulit”, pembuatan komik yang mengangkat tema “berat” merupakan karya yang luar biasa. Saya melihat itu dalam komik-komik yang ada dalam buku Jogja in Comic (walau saya hanya melihat sketnya dan alur ceritanya di internet dan belum membaca semuanya). Dengan imajinasi yang mendekati realita dan alur cerita ringan, membuat pembacaan terhadap kota Jogja menjadi lebih menarik.
Berikut saya cuplikkan sedikit kata pengantar dari St Sunardi** (Ketua Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) yang juga memberikan sambutan dalam Jogja In Comic Exhibition 19 November 2006 silam.
Ruang Publik Boleh Langka, Asal Jangan Ruang Komik
Buku Jogja in Comic merupakan kumpulan lima karya komik terbaik dari Kompetisi Komik yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta pada awal 2006. Komik pertama, “Gobak Sodor Sawijining Komik” menggambarkan rasa frustrasi anak-anak karena ruang ruang bermainnya semakin menyempit, kalau bukan lenyap. Dalam “Kota Seni”, komik kedua, dilukiskan seorang tukang bakso yang ternyata lebih melek seni daripada seorang mahasiswa yang tidak tahu apa yang dilakukan untuk mengisi waktu kosongnya kecuali sibuk membaca buku porno. Komik ketiga, “Marini, Masih Ada Jathilan Yang Lewat”, berisi cerita tentang orang yang sudah terasing dengan seni-seni tradisional. “Selamat Datang di Kota Revolusi”, komik keempat, melukiskan sejarah heroisme Kota Jogja sambil menunjukkan seakan-akan orang-orang Jogja sudah bebas dari penjajah padahal belum. Komik terakhir yang berjudul “Brondoyudo Manyun Binangun” (Plesetan dari Barata Yuda Jaya Binangun) memperlihatkan sisi lain dari Yogyakarta: konflik antar “gang” di Malioboro untuk memperebutkan lahan.
Persoalan ruang bermain anak, kedudukan Jogja yang merana sebagai kota seni, keterasingan orang jaman sekarang dengan seni-seni tradisional, krisis herorisme jaman sekarang, dan keruwetan Malioboro – semuanya bukanlah isu baru, semuanya sudah banyak dibicarakan entah di media, di ruang-ruang seminar, dalam kampanye pilkada, maupun di obrolan ringan di berbagai tempat. Kalau tema-tema itu muncul lagi dalam kumpulan komik ini, hal itu menunjukkan bahwa persoalan-persoalan tersebut memang menjadi persoalan nyata. Isu-isu diangkat kembali lewat medium komik. Hasilnya? Ada nuansa baru. Suasana gemas sangat dominan.
Suasana ini pertama-tama kita rasakan lewat ilustrasi daripada pesan tekstual. Trotoar untuk pejalan kaki sudah diserobot untuk kendaraan bermotor, hiruk pikuk biennal dan events kesenian lainnya ternyata belum berhasil menggugah warga untuk melek seni, Malioboro yang disediakan sebagai wilayah untuk rileks ternyata dikotak-kotak oleh kekuatan-kuatan invisible, dan sebagainya. Dalam perasaan gemas ini para kontributor buku ini mencoba untuk bersikap comical, mengambil jarak, menghela nafas. Jenis komunikasi inilah kiranya yang bisa kita apresiasi dari kehadiran kumpulan komik tentang Jogja….. (dst)
Ada pula kumpulan komik yang berjudul “Jogja, 5,9 skala richter”*** komik yang memuat 18 judul komik. Didalamnya memuat bagaimana para pembuat komik ini membingkai kisah-kisah yang berkaitan dengan gempa Jogja mei 2006 silam.
Keunggulan dari pembacaan kota melalui komik adalah dalam hal imajinasi dan alur plot yang mungkin hasil karangan pembuat. Berbeda dengan prosa (baik yang sastra ataupun berita) yang mengingnkan pembacaan itu secara nyata. Namun ada keinginan yang sama, yakni realitas tentang kota mereka dan pesan yang ingin disampaikan sampai kepada pembaca, walau dengan medium yang berbeda.
* Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005, salah satu pengurus LPM VISI FISIP UNS.
** http://yulibean.multiply.com/journal/item/18/JOGJA_IN_COMIC_EXHIBITION
*** http://martabakomikita.multiply.com/journal/item/94/INFOTAMU_Launching_Komik_Jogja_59_Skala_Richter)
Langganan:
Postingan (Atom)