Oleh: Rini Setiyowati
Mahasiswa merupakan salah satu elemen penting dalam menggerakkan sebuah perubahan. Seorang yang telah tamat menyelesaikan masa studi SMA yang kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu ke Perguruan Tinggi (PT) atau setingkat inilah yang kemudian kita sebut sebagai mahasiswa. Ketika mereka mulai/telah menyandang predikat itu, mereka akan dihadapkan pada banyak persoalan yang pada gilirannya akan membuat mereka turut ikut masuk sebagai anggota salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus yang bersangkutan, misalnya.
Dan bila kita tilik, salah satu UKM tersebut adalah Pers Mahasiswa (Persma). Tentu saja input sangat mempengaruhi perkembangan UKM selanjutnya, yang dalam hal ini adalah persma. Namun, seiring berjalannya waktu input tsb akan digodok oleh para pengurus dan pegiat persma tersebut. Hasilnya tak dapat ditentukan dalam hitungan hari, karena itu butuh sebuah proses untuk menjadikan sesuatu menjadi matang. Namun, membuat proses menuju kematangan menjadi lebih cepat juga sangat diperlukan.
Pers Mahasiswa yang sering disebut dengan persma dalam perkembangannya juga mengalami pasang surut. Perkembangan di sini adalah perkembangan tiap Persma itu sendiri. Berbagai hal turut menjadi faktor penyebabnya. Seperti yang kita ketahui bersama, bila para penggerak persma adalah seorang yang menyandang status mahasiswa. Menyandang predikat sebagai mahasiswa inilah yang kemudian menjadi titik pangkal sebagai bagian dari faktor penentu pasang surutnya perkembangan persma dewasa ini.
Mengapa dikatakan sebagai titik pangkal?Hal ini dikarenakan mental yang melekat pada mahasiswa kini. Sekarang ini, seorang mahasiswa lebih cenderung studi oriented, sehingga mereka terjebak dalam rutinitas sehari-hari. Dan virus studi oriented ini juga yang sedang menjangkiti sebagian para pegiat persma. Ketika mereka mulai berkiblat pada studi saja maka sudah jelas akan mempengaruhi kondisi internal persma di mana ia bernaung.
Bila kita mau berpikir lebih jauh, satu virus mampu meruntuhkan banyak hal, misalnya saja seperti tadi, virus studi oriented. Pada gilirannya virus ini menyebabkan seorang pegiat persma akan cenderung mementingkan permasalahan perkuliahannya. Sehingga ia lebih sering meninggalkan tanggungjawabnya di dalam persma yang bersangkutan. Bayangkan saja bila mayoritas pegiat persma seperti ini, maka kekritisan dan ‘taring’ persma yang bersangkutan akan hilang sedikit demi sedikit.. Sungguh kondisi yang memprihatinkan.
Karena itulah, ada hal-hal yang tetap perlu diperhatikan oleh orang-orang yang bernanung di dalam persma itu. Pertama, terkait proker oriented. Di dalam sebuah persma tentu dibagi menjadi beberapa bidang. Kecenderungan sekarang ini, mereka hanya melaksanakan hal-hal yang menjadi proker bidangnya masing-masing. Begitu proker selesai, ya sudah tanggung jawab mereka juga selesai. Padahal tidak sesingkat itu. Mereka harus tetap berpikir untuk persma di mana ia berada. Menyelesaikan proker di bidangnya belum menjadi jaminan keberlangsungan kegiatan keorganisasian berjalan dengan semestinya.
Selanjutanya, adalah refleksi serta transfer of knowledge. Segala yang telah dilakukan oleh para penggerak persma dibutuhkan sebuah refleksi. Karena refleksi merupakan sebuah evalusi diri. Ini menjadi hal yang elementer. Kenapa dikatakan elementer? Ya, karena untuk mengukur keberhasilan dan sejauh mana kita mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi sebelumnyaa serta apakah sudah ada perubahan. Maka dari itu perlu juga sebuah transfer of knowledge. Agar kesepemahaman serta kesinambungan dapat tetap terjaga. Sehingga tidak ada satu hal yang ‘miss’ terutama dalam sebuah pergantian generasi.
Ketiga, penyadaran bersama bila para pegiat persma A, B, C atau persma manapun, mereka adalah bagian dari pers mahasiswa yang memegang peran yang vital. Penyadaran bagi para pegiat di dalamnya tampaknya harus di perlebar. Bila mereka tidak hanya terikat sebagai anggota persma tertentu. Lebih dari itu mereka telah terpilih sebagai penggerak sebuah pers mahasiswa.
Selanjutnya adalah jangan melupakan sejarah. Yang namanya sejarah pasti sudah terjadi dan berlalu. Namun, sejarah menyimpan nilai-nilai yang tak kalah pentingnya. Sebuah organisasi pun harus tetap ingat akan sejarah yang pernah diukir para pendahulu mereka. Bila para pegiat persma tsb tak pernah belajar dari sejarah yang lalu bahkan mulai melupakan sejarahnya sendiri, bukan tidak mungkin mereka hanya akan merasa sebagai seorang robot yang bergerak dalam persma.
Minggu, Mei 25, 2008
Minggu, Mei 18, 2008
Menyoal PKM di FISIP yang Sepi Peminat
Minimnya minat mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dalam mengikuti kegiatan ilmiah dikeluhkan oleh banyak pihak. Adanya Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) sebagai salah satu ajang pengembangan kreativitas ditanggapi hanya sebatas angin lalu oleh sebagian mahasiswa FISIP. Bahkan sebagian dari mereka tidak mengetahui tentang PKM itu sendiri. Sosialisasinya pun cenderung dirasa masih kurang.
“PKM itu apa?” itulah ungkapan mahasiswa Sosiologi 2006 FISIP UNS Salami ketika ditanya mengenai PKM pada Jumat (28/3) di depan ruang dosen Sosiologi. Dia sama sekali tidak mengetahui hal tersebut bahkan itu kali pertama dia mendengarnya. Bukan hanya Salami, sejumlah mahasiswa FISIP mengeluhkan kurangnya sosialisasi tentang PKM di FISIP, sehingga berpengaruh pada minat mereka dalam mengikutinya.
Seperti yang diakui mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (AN) 2005 Kurniawati saat ditemui di Jembatan Asmara, Jumat (28/3), “Sebenarnya saya pengen ikut, cuma penempelan selebarannya itu mepet.” Mahasiswa Sosiologi 2007 Ardi Maulana juga merasakan bahwa sosialisasi tentang PKM dirasa masih kurang. Sependapat dengannya, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2007 Mia Ajeng Yulivia juga mengatakan hal yang sama. “Kayaknya sosialisasinya kurang, belum banyak yang tahu juga,” ungkap Mia.
Inilah beberapa gambaran tentang tanggapan mahasiswa terhadap PKM di FISIP. Dalam buku informasi bidang kemahasiswaan, PKM berada di bawah naungan Unit Pengembangan Kreatifitas dan Penalaran Mahasiswa (UPKPM) Student Center (SC) UNS.
PKM merupakan wahana untuk menumbuhkembangkan kreatifitas, sikap ilmiah, sikap profesional, sikap peduli serta peka terhadap masyarakat dan lingkungan. PKM bertujuan memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif, sebagai bekal pembentukan pribadi yang unggul sesuai profesinya.
Masih dalam buku tersebut, hasil yang diharapkan berupa temuan kreatif mahasiswa yang dapat menunjang pelaksanaan pembangunan di lingkungan kampus, perkotaan, dan pedesaan. Ruang lingkup PKM yaitu PKM Penelitian (PKMP), PKM Penerapan Teknologi (PKMT), PKM Kewirausahaan (PKMK), PKM Pengabdian pada Masyarakat (PKMM) dan PKM Penulisan Ilmiah (PKMI).
Kemahasiswaan : Sosialisasi Sudah Ada
Ketika dikonfirmasi Acta Diurna mengenai sosialisasi PKM di FISIP, Kepala Bagian Kemahasiswaan FISIP Okta Triswantara, S.IP mengaku telah melakukan sosialisasi. Ia melakukannya dengan menempel selebaran yang berasal dari SC pusat di papan pengumuman. Ia juga menambahkan baru tahun ini pihaknya melakukan sosialisasi dengan road show.
Acara tersebut bertajuk Road to PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) yang diadakan oleh UPKPM pada 14 Februari 2008 bertempat di Aula FISIP UNS. Menurut Okta, minat mahasiswa sendiri kurang dalam menghadiri road show tersebut. “Dari seratus mahasiswa yang diharap menghadiri sosialisasi PKM, hanya 45 yang hadir,” papar Okta saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (27/3).
Senada dengan pendapat Okta, Pembantu Dekan (PD) III Dra. Suyatmi M.S, saat ditemui di ruang Dekanat, Selasa (1/4), mengatakan sosialisasi dengan penempelan dirasa kurang efektif. “Sosialisasi juga dilakukan dengan road show karena kalau sosialisasi tersebut hanya sebatas di papan-papan pengumuman dirasa kurang efektif,” jelas Suyatmi.
Menanggapi PKM di FISIP, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2006 Dian Kukuh Purnandi menyatakan sosialisasi memang sudah ada. Namun, kata Kukuh, kendalanya justru terletak pada mahasiswa itu sendiri yang kurang aktif dalam mencari informasi. “Informasi sebenarnya sudah ada melalui papan pengumuman. Namun letaknya tidak strategis, penampilannya juga kurang menarik.” Ujar Kukuh.
Sedikitnya mahasiswa FISIP yang mengikuti PKM dibenarkan oleh Ketua Jurusan (Kajur) Ilmu Komunikasi Dra. Prahastiwi Utari, P.hD saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (1/4). “Sedikitnya mahasiswa yang ikut PKM itu karena kurangnya informasi,” ujarnya.
Prahastiwi sudah melakukan berbagai inisiatif untuk merangsang minat mahasiswa dalam mengikuti PKM, seperti pemberian insentif bagi proposal yang diajukan ke Jurusan. Menurutnya, itu sebuah penghargaan dan perhatian khusus dari jurusan untuk mahasiswa.
Keaktifan mahasiswa dalam mengikuti PKM sebenarnya memberi banyak dampak positif. Masih penuturan Prahastiwi, “Ikut PKM banyak keuntungannya, ambil pengalaman sebagai team work. Selain itu juga belajar membuat proposal agar kedepannya skripsi lancar.”
Prahastiwi sangat menekankan bahwa kunci keberhasilan mengikuti PKM adalah karena adanya komitmen yang tinggi dari dosen dan mahasiswa. Namun, ia juga mengaku bahwa tidak banyak dosen Ilmu Komunikasi yang konsen dengan PKM. “Untuk membimbing PKM butuh waktu khusus dan interes dari masing-masing dosen. Kalau memang ada waktu dan punya interes terhadap bidang yang dikerjakan oleh mahasiswa, ya dosen bisa membimbing,” jelas Prahastiwi.
Suyatmi juga mengungkapkan keprihatinan tentang sedikitnya mahasiswa FISIP yang mengikuti PKM bila dibandingkan dengan tiga atau empat tahun yang lalu. “Hal ini disebabkan karena mayoritas staf pengajar meneruskan studinya, sehingga kurang maksimal dalam membimbing mahasiswa,” ungkapnya.
Kajur AN Drs. Sudharto, M.Si saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (4/4), berpendapat hal yang paling mendasar dari keaktifan mahasiswa dalam mengikuti PKM adalah minat baca. Menurutnya jika minat bacanya bagus maka secara otomatis mahasiswa akan aktif dalam kegiatan-kegiatan kreatifitas seperti PKM ini.
Pihaknya juga merasa prihatin dengan fenomena menurunnya minat mahasiswa terhadap PKM. “Mahasiswa semangat kalau demonstrasi, tapi kalau ikut PKM kok nggak ada semangatnya,” tandas Sudharto.
Salah satu tim UPKPM yang sekaligus dosen AN Drs. Sonhaji M. Si, juga menyatakan kurangnya animo mahasiswa terhadap adanya PKM. Sosialisasinya pun menurut Sonhaji juga masih kurang.
Solusi : Perlu Ditingkatkan lagi
Sebagai antisipasi dalam mengatasi animo mahasiswa FISIP yang belum optimal dalam mengikuti PKM, Sonhaji memberikan contoh. “Di Fakultas MIPA ada salah satu dosen yang juga anggota UPKPM yang mewajibkan mahasiswanya untuk menulis proposal,” ungkapnya.
Untuk mengejar ketertinggalannya dari Komunikasi dan Sosiologi yang telah lebih dulu terlibat jauh dalam PKM, pihak AN punya solusi tersendiri. Solusi itu, kata Sudharto, yaitu dengan mengadakan workshop untuk peralihan dana-dana hibah. “Workshop ini berwujud kegiatan seperti pengenalan, pelatihan serta pengangkatan isu-isu sebagai gambaran sebelum mahasiswa ikut serta dalam PKM,” paparnya.
Sedangkan menurut Kajur Sosiologi Dra. Hj. Trisni Utami, M. Si, menghimbau kepada setiap dosen agar melibatkan mahasiswa dalam penelitiannya. “Dengan demikian, kalau di FISIP ada 90 dosen maka akan ada juga 90 penelitian dari mahasiswa,” tutur Trisni saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (3/4).
PD III juga menghimbau para Ketua Jurusan untuk mensosialisasikan PKM kepada para dosen yang diteruskan pada mahasiswa. Diharapkan mereka melakukan kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) untuk melakukan pembinaan secara rutin. Misalnya, kata Suyatmi, dengan melakukan penjelasan dan training sehingga hal ini akan berpengaruh besar terhadap kreatifitas mahasiswa.
Di sisi lain mahasiswa berharap agar sosialisasi PKM lebih ditingkatkan lagi. “Sosialisasi PKM ditingkatkan saja lebih dulu, biar mahasiswa banyak yang ikut,” harap Mia. Namun Kukuh juga mengatakan mahasiswa sebaiknya harus aktif mencari informasi. Ia juga berharap pihak jurusan lebih mendukung kegiatan ilmiah seperti PKM ini. (Nosi, Alina, Latif)
Keterangan Tambahan:
Dari data yang berhasil dihimpun Acta Diurna dari Kemahasiswaan Pusat, menunjukkan sedikitnya minat mahasiswia FISIP dalam mengikuti PKM dibanding dengan fakultas lain. Berikut hasilnya:
Proposal PKM DIPA UNS 2008
Fakultas PKMM PKMP PKMK PKMT Jumlah
Kedokteran 6 17 0 0 23
MIPA 5 45 1 16 67
KIP 18 15 0 2 35
Ekonomi 2 2 0 0 4
Sastra dan Seni Rupa 4 20 0 0 24
ISIP 7 9 1 0 17
Teknik 4 15 1 2 22
Hukum 2 2 1 0 6
Pertanian 23 36 12 0 71
Jumlah 71 162 16 20 269
“PKM itu apa?” itulah ungkapan mahasiswa Sosiologi 2006 FISIP UNS Salami ketika ditanya mengenai PKM pada Jumat (28/3) di depan ruang dosen Sosiologi. Dia sama sekali tidak mengetahui hal tersebut bahkan itu kali pertama dia mendengarnya. Bukan hanya Salami, sejumlah mahasiswa FISIP mengeluhkan kurangnya sosialisasi tentang PKM di FISIP, sehingga berpengaruh pada minat mereka dalam mengikutinya.
Seperti yang diakui mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (AN) 2005 Kurniawati saat ditemui di Jembatan Asmara, Jumat (28/3), “Sebenarnya saya pengen ikut, cuma penempelan selebarannya itu mepet.” Mahasiswa Sosiologi 2007 Ardi Maulana juga merasakan bahwa sosialisasi tentang PKM dirasa masih kurang. Sependapat dengannya, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2007 Mia Ajeng Yulivia juga mengatakan hal yang sama. “Kayaknya sosialisasinya kurang, belum banyak yang tahu juga,” ungkap Mia.
Inilah beberapa gambaran tentang tanggapan mahasiswa terhadap PKM di FISIP. Dalam buku informasi bidang kemahasiswaan, PKM berada di bawah naungan Unit Pengembangan Kreatifitas dan Penalaran Mahasiswa (UPKPM) Student Center (SC) UNS.
PKM merupakan wahana untuk menumbuhkembangkan kreatifitas, sikap ilmiah, sikap profesional, sikap peduli serta peka terhadap masyarakat dan lingkungan. PKM bertujuan memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif, sebagai bekal pembentukan pribadi yang unggul sesuai profesinya.
Masih dalam buku tersebut, hasil yang diharapkan berupa temuan kreatif mahasiswa yang dapat menunjang pelaksanaan pembangunan di lingkungan kampus, perkotaan, dan pedesaan. Ruang lingkup PKM yaitu PKM Penelitian (PKMP), PKM Penerapan Teknologi (PKMT), PKM Kewirausahaan (PKMK), PKM Pengabdian pada Masyarakat (PKMM) dan PKM Penulisan Ilmiah (PKMI).
Kemahasiswaan : Sosialisasi Sudah Ada
Ketika dikonfirmasi Acta Diurna mengenai sosialisasi PKM di FISIP, Kepala Bagian Kemahasiswaan FISIP Okta Triswantara, S.IP mengaku telah melakukan sosialisasi. Ia melakukannya dengan menempel selebaran yang berasal dari SC pusat di papan pengumuman. Ia juga menambahkan baru tahun ini pihaknya melakukan sosialisasi dengan road show.
Acara tersebut bertajuk Road to PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) yang diadakan oleh UPKPM pada 14 Februari 2008 bertempat di Aula FISIP UNS. Menurut Okta, minat mahasiswa sendiri kurang dalam menghadiri road show tersebut. “Dari seratus mahasiswa yang diharap menghadiri sosialisasi PKM, hanya 45 yang hadir,” papar Okta saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (27/3).
Senada dengan pendapat Okta, Pembantu Dekan (PD) III Dra. Suyatmi M.S, saat ditemui di ruang Dekanat, Selasa (1/4), mengatakan sosialisasi dengan penempelan dirasa kurang efektif. “Sosialisasi juga dilakukan dengan road show karena kalau sosialisasi tersebut hanya sebatas di papan-papan pengumuman dirasa kurang efektif,” jelas Suyatmi.
Menanggapi PKM di FISIP, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2006 Dian Kukuh Purnandi menyatakan sosialisasi memang sudah ada. Namun, kata Kukuh, kendalanya justru terletak pada mahasiswa itu sendiri yang kurang aktif dalam mencari informasi. “Informasi sebenarnya sudah ada melalui papan pengumuman. Namun letaknya tidak strategis, penampilannya juga kurang menarik.” Ujar Kukuh.
Sedikitnya mahasiswa FISIP yang mengikuti PKM dibenarkan oleh Ketua Jurusan (Kajur) Ilmu Komunikasi Dra. Prahastiwi Utari, P.hD saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (1/4). “Sedikitnya mahasiswa yang ikut PKM itu karena kurangnya informasi,” ujarnya.
Prahastiwi sudah melakukan berbagai inisiatif untuk merangsang minat mahasiswa dalam mengikuti PKM, seperti pemberian insentif bagi proposal yang diajukan ke Jurusan. Menurutnya, itu sebuah penghargaan dan perhatian khusus dari jurusan untuk mahasiswa.
Keaktifan mahasiswa dalam mengikuti PKM sebenarnya memberi banyak dampak positif. Masih penuturan Prahastiwi, “Ikut PKM banyak keuntungannya, ambil pengalaman sebagai team work. Selain itu juga belajar membuat proposal agar kedepannya skripsi lancar.”
Prahastiwi sangat menekankan bahwa kunci keberhasilan mengikuti PKM adalah karena adanya komitmen yang tinggi dari dosen dan mahasiswa. Namun, ia juga mengaku bahwa tidak banyak dosen Ilmu Komunikasi yang konsen dengan PKM. “Untuk membimbing PKM butuh waktu khusus dan interes dari masing-masing dosen. Kalau memang ada waktu dan punya interes terhadap bidang yang dikerjakan oleh mahasiswa, ya dosen bisa membimbing,” jelas Prahastiwi.
Suyatmi juga mengungkapkan keprihatinan tentang sedikitnya mahasiswa FISIP yang mengikuti PKM bila dibandingkan dengan tiga atau empat tahun yang lalu. “Hal ini disebabkan karena mayoritas staf pengajar meneruskan studinya, sehingga kurang maksimal dalam membimbing mahasiswa,” ungkapnya.
Kajur AN Drs. Sudharto, M.Si saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (4/4), berpendapat hal yang paling mendasar dari keaktifan mahasiswa dalam mengikuti PKM adalah minat baca. Menurutnya jika minat bacanya bagus maka secara otomatis mahasiswa akan aktif dalam kegiatan-kegiatan kreatifitas seperti PKM ini.
Pihaknya juga merasa prihatin dengan fenomena menurunnya minat mahasiswa terhadap PKM. “Mahasiswa semangat kalau demonstrasi, tapi kalau ikut PKM kok nggak ada semangatnya,” tandas Sudharto.
Salah satu tim UPKPM yang sekaligus dosen AN Drs. Sonhaji M. Si, juga menyatakan kurangnya animo mahasiswa terhadap adanya PKM. Sosialisasinya pun menurut Sonhaji juga masih kurang.
Solusi : Perlu Ditingkatkan lagi
Sebagai antisipasi dalam mengatasi animo mahasiswa FISIP yang belum optimal dalam mengikuti PKM, Sonhaji memberikan contoh. “Di Fakultas MIPA ada salah satu dosen yang juga anggota UPKPM yang mewajibkan mahasiswanya untuk menulis proposal,” ungkapnya.
Untuk mengejar ketertinggalannya dari Komunikasi dan Sosiologi yang telah lebih dulu terlibat jauh dalam PKM, pihak AN punya solusi tersendiri. Solusi itu, kata Sudharto, yaitu dengan mengadakan workshop untuk peralihan dana-dana hibah. “Workshop ini berwujud kegiatan seperti pengenalan, pelatihan serta pengangkatan isu-isu sebagai gambaran sebelum mahasiswa ikut serta dalam PKM,” paparnya.
Sedangkan menurut Kajur Sosiologi Dra. Hj. Trisni Utami, M. Si, menghimbau kepada setiap dosen agar melibatkan mahasiswa dalam penelitiannya. “Dengan demikian, kalau di FISIP ada 90 dosen maka akan ada juga 90 penelitian dari mahasiswa,” tutur Trisni saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (3/4).
PD III juga menghimbau para Ketua Jurusan untuk mensosialisasikan PKM kepada para dosen yang diteruskan pada mahasiswa. Diharapkan mereka melakukan kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) untuk melakukan pembinaan secara rutin. Misalnya, kata Suyatmi, dengan melakukan penjelasan dan training sehingga hal ini akan berpengaruh besar terhadap kreatifitas mahasiswa.
Di sisi lain mahasiswa berharap agar sosialisasi PKM lebih ditingkatkan lagi. “Sosialisasi PKM ditingkatkan saja lebih dulu, biar mahasiswa banyak yang ikut,” harap Mia. Namun Kukuh juga mengatakan mahasiswa sebaiknya harus aktif mencari informasi. Ia juga berharap pihak jurusan lebih mendukung kegiatan ilmiah seperti PKM ini. (Nosi, Alina, Latif)
Keterangan Tambahan:
Dari data yang berhasil dihimpun Acta Diurna dari Kemahasiswaan Pusat, menunjukkan sedikitnya minat mahasiswia FISIP dalam mengikuti PKM dibanding dengan fakultas lain. Berikut hasilnya:
Proposal PKM DIPA UNS 2008
Fakultas PKMM PKMP PKMK PKMT Jumlah
Kedokteran 6 17 0 0 23
MIPA 5 45 1 16 67
KIP 18 15 0 2 35
Ekonomi 2 2 0 0 4
Sastra dan Seni Rupa 4 20 0 0 24
ISIP 7 9 1 0 17
Teknik 4 15 1 2 22
Hukum 2 2 1 0 6
Pertanian 23 36 12 0 71
Jumlah 71 162 16 20 269
Mahasiswa AN dan Sosiologi Ragukan Dana Laboratorium
Penarikan dana laboratorium (lab) yang harus dibayarkan tiap semester bagi mahasiswa Administrasi Negara (AN) dan Sosiologi angkatan 2007 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) menimbulkan keraguan bagi mahasiswa bersangkutan. Mereka merasa keberatan atas penarikan dana tersebut karena sebagian besar dari mereka mengaku belum mendapat sosialisasi mengenai kejelasan penggunaan lab.
Sebagian mahasiswa AN dan Sosiologi angkatan 2007 mengeluhkan tentang penarikan dana lab sebesar Rp 75.000,- yang harus dibayarkan setiap awal semester. Hal ini seperti diungkapkan oleh mahasiswa Sosiologi 2007 Diyah Hardiyati Khasanah saat ditanyai Acta Diurna di mushola FISIP, Rabu (26/3). “Iya, angkatan 2007 ini memang harus bayar uang lab tiap semester, tidak seperti tahun-tahun yang lalu,” jelas Diyah.
Diyah mengaku sudah menggunakan lab pada semester pertama, mata kuliah Komputer Dasar. Namun dirinya menjadi ragu mengenai pemanfaatan dana lab untuk semester ke dua ini dan semester berikutnya. Karena sejauh ini, Diyah mengaku belum mendapat sosialisasi apa pun perihal pemanfaatan dana lab yang mesti ia bayarkan tiap semester itu.
Pada saat bersamaan Acta Diurna berhasil meliput mahasiswa Sosiologi 2005 Anik Yunianingsih. “Angkatan saya hanya membayar dana lab sebesar Rp 75.000,- pada semester pertama saja kok,” ungkap Anik saat ditemui di mushola FISIP, Rabu (26/3). Sistem pembayaran dana lab yang berbeda ini membuat Diyah merasa keberatan. “Ya iyalah keberatan, mendingan masuk kantong sendiri, kan belum tahu nanti menggunakan lab lagi atau gak,” keluh Diyah.
Tidak jauh berbeda dengan mahasiswa Sosiologi angkatan 2007, mahasiswa AN angkatan 2007 juga mengeluhkan hal demikian. “Saya merasa keberatan mengenai pembayaran uang lab yang mesti dibayar tiap semester. Padahal angkatan sebelumnya hanya semester satu, keberatannya karena implementasinya kurang jelas,” ungkap mahasiswa AN 2007 Nuuraeni Matina, saat ditemui di depan Ruang Dosen Sosiologi, Senin (21/3).
Ditambah lagi dengan pernyataan mahasiswa Administrasi Negara 2007 Farisda Nurjayanti saat ditemui di mushola FISIP, Senin (21/3). “Kalau memang lab itu ada, sebenarnya tidak keberatan. Tapi kalaupun ada, lab AN itu berupa apa ya?” tanyanya dengan keraguan. Perbedaan pembayaran dana lab angkatan 2007 dengan angkatan sebelumnya dan ketidakoptimalan penggunaan lab inilah yang menimbulkan keraguan dalam diri mahasiswa. Mereka meminta kejelasan tentang alokasi dana sebesar Rp 75.000,- yang dibayarkan tiap semester tersebut.
Dana Lab Merupakan Kebijkakan Pusat
Menurut buku Pedoman Fakultas 2005/2006, laboratorium/studio merupakan perangkat penunjang pelaksanaan pendidikan pada Jurusan dalam pendidikan akademik dan atau profesional. Laboratorium/studio mempunyai tugas melakukan kegiatan dalam cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian tertentu sebagai penunjang pelaksanaan tugas pokok Jurusan sesuai dengan ketentuan bidang yang bersangkutan.
Masih dalam buku tersebut, di FISIP UNS keberadaan laboratorium/studio mengacu pada Jurusan, oleh karena itu setiap Jurusan mempunyai laboratorium/studio yang dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggungjawab kepada Ketua Jurusan (Kajur).
Ketika Acta Diurna mengkonfirmasi perihal dana lab ini kepada Kajur AN Drs. Sudarto, M. Si. di ruang kerjanya, Senin (1/4), dia menanggapi penarikan dana lab tersebut bukan merupakan kebijakan Jurusan. “Saya belum bisa menjawab secara tuntas karena saya tidak mengajukan dana laboratorium tersebut pada saat itu,” jelas Sudarto.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Dekan FISIP UNS Drs. Supriyadi, SN., SU ketika dikonfirmasi di ruang Dekanat, Rabu (2/4). “Dana lab itu kan yang menarik Pusat, bukan Fakultas. Jadi artinya persoalan lab itu yang mengurus Pusat,” jelasnya. Fakultas, kata Supriyadi, tidak ikut campur tangan mengenai dana tersebut.
Ia juga mengatakan Fakultas hanya menyelenggarakan dan merawat apa yang telah dibangun oleh Universitas saja. Misalnya, tutur Supriyadi, untuk merawat laboratorium komputer, dibutuhkan biaya untuk membeli perlengkapan seperti tinta, kertas dan sebagainya.
Namun Kajur Sosiologi Dra. Hj. Trisni Utami, M. Si. menyatakan hal yang berbeda saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (15/4). Ia dengan tegas mengatakan kewenangan untuk merealisasikan lab tersebut diserahkan pada Jurusan masing-masing. Kebijakan ini, jelas Trisni, berlaku untuk semua Jurusan dan Program Studi (Prodi) yang ada di UNS, bukan hanya Jurusan AN dan Sosiologi. “Dana ini dibayarkan melalui rekening Rektor dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan Jurusan dan Prodi masing-masing. Agar semua Jurusan dan Prodi memiliki laboratorium untuk aktualisasi ilmu,” paparnya.
Trisni juga mengungkapkan bahwa mahasiswa Sosiologi angkatan 2007 ini memang direncanakan berbeda dengan angkatan sebelumnya. “Angkatan kali ini akan diberikan praktek lapangan ke masyarakat agar memiliki pengalaman ke luar selain kuliah di kelas,” jelasnya.
Karena itulah dana tersebut dibutuhkan untuk membuat laboratorium yang menurut Trisni akan direaliasasikan secara bertahap. Mengenai laboratorium Jurusan Sosiologi yang direncanakan tersebut, Trisni menyebutkan berupa Laboratorium Pemberdayaan, Perkotaan, Politik dan Permasalahan Sosial. “Selain itu ada juga praktik pendampingan bagi mahasiswa,” tuturnya.
Sedangkan untuk Jurusan AN, Sudarto belum dapat menjelaskan tujuan dari penarikan dana laboratorium tersebut. Sudarto hanya menghimbau agar mahasiswa tidak memandang pengertian laboratorium terbatas pada suatu ruangan dengan segala peralatannya. “Laboratorium itu yang penting ada kegiatan, misalnya desa binaan, mendatangkan pakar mata kuliah tertentu dan sebagainya,” tegasnya.
Terkait dengan hal ini Pembantu Dekan II Drs. Marsudi, MS juga membenarkan lab itu tidak hanya berupa ruang yang dapat dilihat secara fisik saja. Namun, kata Marsudi, juga bisa berupa terjun ke masyarakat. “Misalnya saja Laboratorium Kebijakan Publik dan Laboratorium Kajian Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat,” paparnya saat ditemui di Ruang Dekanat, Rabu (23/4).
Marsudi yang dulu juga pernah menjabat menjadi Kajur AN mengatakan ke dua lab tersebut bukan berwujud ruangan di FISIP, namun ada di dalam masyarakat. “Kegiatan tersebut lebih banyak diwujudkan pada penelitian-peneltian di masyarakat,” tutur Marsudi
Pengadaan Lab Harap Segera Direalisasikan
Ketika ditanya mengenai harapannya, Farisda mengungkapkan agar pengadaan lab segera direalisasikan. “Jika laboratorium itu tidak segera direalisasikan, mungkin sebaiknya kebijakan tersebut dihilangkan saja, dan dikembalikan seperti tahun-tahun sebelumnya,” tutur Farisda. Hal senada juga disampaikan Nuuraeni yang mengharapkan agar dana lab yang ia bayarkan tiap semester tersebut benar-benar di realisasikan untuk kepentingan mahasiswa.
Menanggapi hal ini Sudarto menjelaskan dana lab memang harus dialokasikan. Karena, kata Sudarto, kalau tidak dipakai dana tersebut akan menjadi hak milik negara. “Kalau tidak dipakai, ya dananya akan hangus dan menjadi hak milik negara,” jelas Sudarto.
Trisni menambahkan pada Acta Diurna bahwa dana lab tersebut dari mahasiswa dan dalam penggunaannya sepenuhnya untuk kepentingan mahasiswa. Ia juga mengatakan setiap angkatan pasti akan mendapat kesempatan menggunakan Laboratorium. Trisni juga menegaskan, “Dana itu tidak akan lari ke mana-mana kok.” (Wida, Intan, Ansyor)
Sebagian mahasiswa AN dan Sosiologi angkatan 2007 mengeluhkan tentang penarikan dana lab sebesar Rp 75.000,- yang harus dibayarkan setiap awal semester. Hal ini seperti diungkapkan oleh mahasiswa Sosiologi 2007 Diyah Hardiyati Khasanah saat ditanyai Acta Diurna di mushola FISIP, Rabu (26/3). “Iya, angkatan 2007 ini memang harus bayar uang lab tiap semester, tidak seperti tahun-tahun yang lalu,” jelas Diyah.
Diyah mengaku sudah menggunakan lab pada semester pertama, mata kuliah Komputer Dasar. Namun dirinya menjadi ragu mengenai pemanfaatan dana lab untuk semester ke dua ini dan semester berikutnya. Karena sejauh ini, Diyah mengaku belum mendapat sosialisasi apa pun perihal pemanfaatan dana lab yang mesti ia bayarkan tiap semester itu.
Pada saat bersamaan Acta Diurna berhasil meliput mahasiswa Sosiologi 2005 Anik Yunianingsih. “Angkatan saya hanya membayar dana lab sebesar Rp 75.000,- pada semester pertama saja kok,” ungkap Anik saat ditemui di mushola FISIP, Rabu (26/3). Sistem pembayaran dana lab yang berbeda ini membuat Diyah merasa keberatan. “Ya iyalah keberatan, mendingan masuk kantong sendiri, kan belum tahu nanti menggunakan lab lagi atau gak,” keluh Diyah.
Tidak jauh berbeda dengan mahasiswa Sosiologi angkatan 2007, mahasiswa AN angkatan 2007 juga mengeluhkan hal demikian. “Saya merasa keberatan mengenai pembayaran uang lab yang mesti dibayar tiap semester. Padahal angkatan sebelumnya hanya semester satu, keberatannya karena implementasinya kurang jelas,” ungkap mahasiswa AN 2007 Nuuraeni Matina, saat ditemui di depan Ruang Dosen Sosiologi, Senin (21/3).
Ditambah lagi dengan pernyataan mahasiswa Administrasi Negara 2007 Farisda Nurjayanti saat ditemui di mushola FISIP, Senin (21/3). “Kalau memang lab itu ada, sebenarnya tidak keberatan. Tapi kalaupun ada, lab AN itu berupa apa ya?” tanyanya dengan keraguan. Perbedaan pembayaran dana lab angkatan 2007 dengan angkatan sebelumnya dan ketidakoptimalan penggunaan lab inilah yang menimbulkan keraguan dalam diri mahasiswa. Mereka meminta kejelasan tentang alokasi dana sebesar Rp 75.000,- yang dibayarkan tiap semester tersebut.
Dana Lab Merupakan Kebijkakan Pusat
Menurut buku Pedoman Fakultas 2005/2006, laboratorium/studio merupakan perangkat penunjang pelaksanaan pendidikan pada Jurusan dalam pendidikan akademik dan atau profesional. Laboratorium/studio mempunyai tugas melakukan kegiatan dalam cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian tertentu sebagai penunjang pelaksanaan tugas pokok Jurusan sesuai dengan ketentuan bidang yang bersangkutan.
Masih dalam buku tersebut, di FISIP UNS keberadaan laboratorium/studio mengacu pada Jurusan, oleh karena itu setiap Jurusan mempunyai laboratorium/studio yang dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggungjawab kepada Ketua Jurusan (Kajur).
Ketika Acta Diurna mengkonfirmasi perihal dana lab ini kepada Kajur AN Drs. Sudarto, M. Si. di ruang kerjanya, Senin (1/4), dia menanggapi penarikan dana lab tersebut bukan merupakan kebijakan Jurusan. “Saya belum bisa menjawab secara tuntas karena saya tidak mengajukan dana laboratorium tersebut pada saat itu,” jelas Sudarto.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Dekan FISIP UNS Drs. Supriyadi, SN., SU ketika dikonfirmasi di ruang Dekanat, Rabu (2/4). “Dana lab itu kan yang menarik Pusat, bukan Fakultas. Jadi artinya persoalan lab itu yang mengurus Pusat,” jelasnya. Fakultas, kata Supriyadi, tidak ikut campur tangan mengenai dana tersebut.
Ia juga mengatakan Fakultas hanya menyelenggarakan dan merawat apa yang telah dibangun oleh Universitas saja. Misalnya, tutur Supriyadi, untuk merawat laboratorium komputer, dibutuhkan biaya untuk membeli perlengkapan seperti tinta, kertas dan sebagainya.
Namun Kajur Sosiologi Dra. Hj. Trisni Utami, M. Si. menyatakan hal yang berbeda saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (15/4). Ia dengan tegas mengatakan kewenangan untuk merealisasikan lab tersebut diserahkan pada Jurusan masing-masing. Kebijakan ini, jelas Trisni, berlaku untuk semua Jurusan dan Program Studi (Prodi) yang ada di UNS, bukan hanya Jurusan AN dan Sosiologi. “Dana ini dibayarkan melalui rekening Rektor dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan Jurusan dan Prodi masing-masing. Agar semua Jurusan dan Prodi memiliki laboratorium untuk aktualisasi ilmu,” paparnya.
Trisni juga mengungkapkan bahwa mahasiswa Sosiologi angkatan 2007 ini memang direncanakan berbeda dengan angkatan sebelumnya. “Angkatan kali ini akan diberikan praktek lapangan ke masyarakat agar memiliki pengalaman ke luar selain kuliah di kelas,” jelasnya.
Karena itulah dana tersebut dibutuhkan untuk membuat laboratorium yang menurut Trisni akan direaliasasikan secara bertahap. Mengenai laboratorium Jurusan Sosiologi yang direncanakan tersebut, Trisni menyebutkan berupa Laboratorium Pemberdayaan, Perkotaan, Politik dan Permasalahan Sosial. “Selain itu ada juga praktik pendampingan bagi mahasiswa,” tuturnya.
Sedangkan untuk Jurusan AN, Sudarto belum dapat menjelaskan tujuan dari penarikan dana laboratorium tersebut. Sudarto hanya menghimbau agar mahasiswa tidak memandang pengertian laboratorium terbatas pada suatu ruangan dengan segala peralatannya. “Laboratorium itu yang penting ada kegiatan, misalnya desa binaan, mendatangkan pakar mata kuliah tertentu dan sebagainya,” tegasnya.
Terkait dengan hal ini Pembantu Dekan II Drs. Marsudi, MS juga membenarkan lab itu tidak hanya berupa ruang yang dapat dilihat secara fisik saja. Namun, kata Marsudi, juga bisa berupa terjun ke masyarakat. “Misalnya saja Laboratorium Kebijakan Publik dan Laboratorium Kajian Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat,” paparnya saat ditemui di Ruang Dekanat, Rabu (23/4).
Marsudi yang dulu juga pernah menjabat menjadi Kajur AN mengatakan ke dua lab tersebut bukan berwujud ruangan di FISIP, namun ada di dalam masyarakat. “Kegiatan tersebut lebih banyak diwujudkan pada penelitian-peneltian di masyarakat,” tutur Marsudi
Pengadaan Lab Harap Segera Direalisasikan
Ketika ditanya mengenai harapannya, Farisda mengungkapkan agar pengadaan lab segera direalisasikan. “Jika laboratorium itu tidak segera direalisasikan, mungkin sebaiknya kebijakan tersebut dihilangkan saja, dan dikembalikan seperti tahun-tahun sebelumnya,” tutur Farisda. Hal senada juga disampaikan Nuuraeni yang mengharapkan agar dana lab yang ia bayarkan tiap semester tersebut benar-benar di realisasikan untuk kepentingan mahasiswa.
Menanggapi hal ini Sudarto menjelaskan dana lab memang harus dialokasikan. Karena, kata Sudarto, kalau tidak dipakai dana tersebut akan menjadi hak milik negara. “Kalau tidak dipakai, ya dananya akan hangus dan menjadi hak milik negara,” jelas Sudarto.
Trisni menambahkan pada Acta Diurna bahwa dana lab tersebut dari mahasiswa dan dalam penggunaannya sepenuhnya untuk kepentingan mahasiswa. Ia juga mengatakan setiap angkatan pasti akan mendapat kesempatan menggunakan Laboratorium. Trisni juga menegaskan, “Dana itu tidak akan lari ke mana-mana kok.” (Wida, Intan, Ansyor)
Kamis, Mei 15, 2008
Internet Killed The Video Star
Oleh: Wahyu
Masih terngiang sebuah lagu yang dinyanyikan oleh The Buggles yang judulnya “Video Killed The Radio Star”. Lagu ini sempat populer dua dekade lalu tepatnya tahun 1981 dan video klip band ini merupakan video klip pertama yang diudarakan oleh MTV. Bisa dibilang kalau lagu ini merupakan sebuah tonggak sejarah baru di dunia teknologi media, karena menjadi langkah awal dari MTV untuk merebut hati anak muda dan menjadikan MTV sebagai “kiblat” baru pergaulan mereka, menggantikan radio yang telah lama menyumpal telinga mereka. Seperti kata The Buggles : video killed the radio star.
Mau tidak mau bintang-bintang radio terasa seperti “terbunuh” ketika video-video mengalihkan perhatian banyak orang kala itu. Video memang merupakan inovasi baru dalam dunia komunikasi terutama di blantika musik transisi dari Trend audio yang berubah menjadi audio visual. Hal tersebut agak banyak meredupkan ketenaran bintang-bintang radio yang merajai dunia permusikan kala itu. Televisipun menjadi jalur utama untuk orang-orang yang ingin menggapai ketenaran.
Kehadiran media massa memang sangat mempengaruhi kehidupan manusia seperti yang terjadi pada kasus munculnya televisi. Namun... hey...hey... itu sudah terjadi tahun lalu berpuluh-puluh, dan sekarang sudah muncul eranya buat internet.
Kehadiran internet dengan segala fasilitas yang dibawanya membuat karya yang kita buat bisa diketahui oleh orang-orang satu planet ini dan dengan kekonektifitasannya pula, internet membuat orang-orang makin kreatif untuk menunjukan keberadaannya di planet ini. Jadi mulai sekarang perlahan hilangkan anggapan pada pikiranmu bahwasanya bila ingin terkenal harus masuk televisi. Satu lagi jalur menuju ketenaran terbuka lebar. Yups, internet kill the video star.
Arctic Monkeys contohnya, band asal Inggris ini untuk mencapai ketenarannya, mereka menggunakan media internet. Lewat myspace, mereka memperkenalkan Single debutnya yaitu “i bet that you look good on the dance floor”. Tidak disangka-tidak dinyana lagu tersebut menjadi lagu yang paling banyak di-download di dunia dan merajai tangga lagu Inggris dalam waktu singkat, jadi engak heran kalau mereka mendapat Mercury Prize, sebuah penghargaan musik bergengsi di Inggris.
Belum lama ini juga ada suatu inovasi baru yang dilakukan pemusik di dunia internet. Radiohead melakukan sebuah langkah yang cukup gila, mereka keluar dari major label dan memutuskan untuk menjual album terbaru mereka In Rainbow di internet dan menjualnya dengan harga “sak karepmu dewe” alias terserah pengunduh yang ingin mengunduh lagu tersebut. Edan po piye tho mas Thom?? Hal tersebut, menurut Thom yorke pentolan Radiohead sebagai reaksi bandnya atas pengekangan yang dilakukan oleh labelnya yang tidak suka atas ide penjualan musik yang diusulkan Radiohead.
Pemusik dalam negeri juga melakukan ada yang booming karena internet. Salah satunya Gaby yang konon dia meninggal setelah meng-up load lagunya jauh kau pergi. Lagu tersebut terkenal setelah banyak orang mssengunduhnya dari situs blog. Berbagai cerita juga menyelimuti lagu yang semakin meroket itu, bahkan ada yang bilang kalau dia sempat “dihantui” oleh Gaby setelah mendengar lagu tersebut, ada juga stasiun radio yang enggan memutar lagu tersebut di malam hari, katanya banyak kejadian mistis kalau hal itu dilakukan. Hii.. Terlepas dari hal itu, saya salut atas kesuksesan lagu tersebut, dan teman-teman juga bisa menguduh lagu tersebut dengan mudah karena sudah banyak situs di internet yang menyediakan lagu tersebut secara gratis.
Orang-orang akan makin kreatif bila mereka memanfaatkan segenap fasilitas yang ada, walaupun hal itu merupakan hal yang baru yang belum dicoba orang lain. Selama hal tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku, kenapa tidak?
Hal inilah yang menjadi kunci sukses tokoh-tokoh diatas. Bagaimana mereka berani mencoba, bagaimana mereka melihat peluang baru, dan bagaimana mereka melawan pakem yang ada. Hal tersebut bisa dijadikan suatu pelajaran buat kita yang ingin keberadaan kita diketahui oleh orang banyak.
Yups... Patut dicoba. Secara internet dapat diakses oleh setiap orang di planet ini. Kamu bisa menuangkan segala buah pikiranmu kepada khalayak, daripada terpendam terus dan tidak membawa faedah sama sekali. Lebih baik tuangkan segala kreasimu di dunia virtual ini. Jadi, selamat ber-surfing internet ria.
Masih terngiang sebuah lagu yang dinyanyikan oleh The Buggles yang judulnya “Video Killed The Radio Star”. Lagu ini sempat populer dua dekade lalu tepatnya tahun 1981 dan video klip band ini merupakan video klip pertama yang diudarakan oleh MTV. Bisa dibilang kalau lagu ini merupakan sebuah tonggak sejarah baru di dunia teknologi media, karena menjadi langkah awal dari MTV untuk merebut hati anak muda dan menjadikan MTV sebagai “kiblat” baru pergaulan mereka, menggantikan radio yang telah lama menyumpal telinga mereka. Seperti kata The Buggles : video killed the radio star.
Mau tidak mau bintang-bintang radio terasa seperti “terbunuh” ketika video-video mengalihkan perhatian banyak orang kala itu. Video memang merupakan inovasi baru dalam dunia komunikasi terutama di blantika musik transisi dari Trend audio yang berubah menjadi audio visual. Hal tersebut agak banyak meredupkan ketenaran bintang-bintang radio yang merajai dunia permusikan kala itu. Televisipun menjadi jalur utama untuk orang-orang yang ingin menggapai ketenaran.
Kehadiran media massa memang sangat mempengaruhi kehidupan manusia seperti yang terjadi pada kasus munculnya televisi. Namun... hey...hey... itu sudah terjadi tahun lalu berpuluh-puluh, dan sekarang sudah muncul eranya buat internet.
Kehadiran internet dengan segala fasilitas yang dibawanya membuat karya yang kita buat bisa diketahui oleh orang-orang satu planet ini dan dengan kekonektifitasannya pula, internet membuat orang-orang makin kreatif untuk menunjukan keberadaannya di planet ini. Jadi mulai sekarang perlahan hilangkan anggapan pada pikiranmu bahwasanya bila ingin terkenal harus masuk televisi. Satu lagi jalur menuju ketenaran terbuka lebar. Yups, internet kill the video star.
Arctic Monkeys contohnya, band asal Inggris ini untuk mencapai ketenarannya, mereka menggunakan media internet. Lewat myspace, mereka memperkenalkan Single debutnya yaitu “i bet that you look good on the dance floor”. Tidak disangka-tidak dinyana lagu tersebut menjadi lagu yang paling banyak di-download di dunia dan merajai tangga lagu Inggris dalam waktu singkat, jadi engak heran kalau mereka mendapat Mercury Prize, sebuah penghargaan musik bergengsi di Inggris.
Belum lama ini juga ada suatu inovasi baru yang dilakukan pemusik di dunia internet. Radiohead melakukan sebuah langkah yang cukup gila, mereka keluar dari major label dan memutuskan untuk menjual album terbaru mereka In Rainbow di internet dan menjualnya dengan harga “sak karepmu dewe” alias terserah pengunduh yang ingin mengunduh lagu tersebut. Edan po piye tho mas Thom?? Hal tersebut, menurut Thom yorke pentolan Radiohead sebagai reaksi bandnya atas pengekangan yang dilakukan oleh labelnya yang tidak suka atas ide penjualan musik yang diusulkan Radiohead.
Pemusik dalam negeri juga melakukan ada yang booming karena internet. Salah satunya Gaby yang konon dia meninggal setelah meng-up load lagunya jauh kau pergi. Lagu tersebut terkenal setelah banyak orang mssengunduhnya dari situs blog. Berbagai cerita juga menyelimuti lagu yang semakin meroket itu, bahkan ada yang bilang kalau dia sempat “dihantui” oleh Gaby setelah mendengar lagu tersebut, ada juga stasiun radio yang enggan memutar lagu tersebut di malam hari, katanya banyak kejadian mistis kalau hal itu dilakukan. Hii.. Terlepas dari hal itu, saya salut atas kesuksesan lagu tersebut, dan teman-teman juga bisa menguduh lagu tersebut dengan mudah karena sudah banyak situs di internet yang menyediakan lagu tersebut secara gratis.
Orang-orang akan makin kreatif bila mereka memanfaatkan segenap fasilitas yang ada, walaupun hal itu merupakan hal yang baru yang belum dicoba orang lain. Selama hal tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku, kenapa tidak?
Hal inilah yang menjadi kunci sukses tokoh-tokoh diatas. Bagaimana mereka berani mencoba, bagaimana mereka melihat peluang baru, dan bagaimana mereka melawan pakem yang ada. Hal tersebut bisa dijadikan suatu pelajaran buat kita yang ingin keberadaan kita diketahui oleh orang banyak.
Yups... Patut dicoba. Secara internet dapat diakses oleh setiap orang di planet ini. Kamu bisa menuangkan segala buah pikiranmu kepada khalayak, daripada terpendam terus dan tidak membawa faedah sama sekali. Lebih baik tuangkan segala kreasimu di dunia virtual ini. Jadi, selamat ber-surfing internet ria.
KAPITALISME, KOMERSIALISME, DAN MORALITAS
Oleh: Indah Suryani
Merujuk pernyataan Joseph Pulitzer, ‘ketika komersialisme telah menjadi tujuan utama dalam industri media, maka saat itu media kehilangan kekuatan moral.’ Kapitalisme sebagai suatu bagian dari gerakan besar individualisme rasionalis yang kemudian merambah kedalam hampir setiap aspek kehidupan, termasuk media informasi dan komunikasi. Globalisasi sebagai wujud dunia dalam satu wilayah tanpa batas(the borderless world), semakin mempermudah laju kapitalisme global komuniukasi dan informasi yang berujud komersialisme.
Pada saat ini komersialisme telah menjadi alasan utama setiap media dalam menghadapi wujud moralitas yang mungkin tak pernah diketahui apa batasannya. Moralitas hanya menjadi sebuah wacana tanpa wujud yang nyata, dan uang sebagai wujud nyata komersialitas telah menjadi ujung tombak utama. Setiap orang hanya berpikir untuk memakmurkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Kapitalisme telah mengambil tempat yang sempurna dengan memakai peran media massa dalam era globalisasi ini, karena setiap negara tidak mungkin ingin tertinggal dari negara lain, dan disanalah para kapitalis menempatkan diri untuk menguasai ekonomi.
Komunikasi dan informasi sangat berkembang seiring laju globalisasi yang juga telah berhasil meruntuhkan Uni Soviet dengan Glasnot dan Perestroika-nya. Mereka hanya memikirkan untuk maju tanpa menyaring informasi yang masuk ke negara tersebut, sebagai bekas negara komunis tentu saja masyarakat yang sebelumnya dikungkung tiba-tiba mendapat informasi yang secara ekstrim menyerang kebudayaan mereka, padahal mereka belum siap untuk menghadapinya, karena memang mereka tidak mempersiapkannya, pada akhirnya keruntuhan Uni Soviet-pun tiba.
Dalam kondisi sekarang yang serba terbuka, baik mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, ekonomi, serta yang lainnya, memungkinkan setiap orang dapat mengakses informasi secara cepat dan mudah. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi memberi dampak positif bagi prkembangan iptek, namun bagi budaya kita mungkin harus sedikit menaruh perhatian, kecenderungan untuk meniru budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sangat terbuka lebar, dan disana nilai kapitalisme telah dikomunikasikan dan secara tidak langsung, untuk kemudian tertanam pada pribadi secara tidak sadar.
Kapitalisme global
Paham kebebasan yang kini berkembang dengan nama liberalisme, merupakan salah satu wujud kapitalisme, meskipun muncul dalam nama yang berbeda. Dalam hal ini kebebasan sebagai corong liberalisme telah menjadi jalan mulus kapitalisme untuk menjamah seluruh kawasan belahan dunia manapun, baik negara kaya maupun miskin, berkembang, maju, dan terbelakang.
Media informasi komunikasi harus senantiasa mengikuti perkembangan zaman yang kian cepat berubah dan terus menuntut pembaharuan informasi. Media komunikasi dan informasi harus senantiasa dinamis mengikuti perkembangan untuk terus menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Dinamisasi komunukasi dan informasi senantiasa menjadi hal penting dalam lingkup perkembangan kapitalisme global. Dinamisasi komunukasi dan informasi memberikan peran yang sangat penting dalam kapitalisme global, di mana media komunukasi dan informasi mampu menyebarkan informasi atau paham-paham secara luas dan menanamkannya pada pemikiran manusia.
Media komunikasi dan informasi mampu mempersuasi pemirsanya dengan informasi yang secara tidak langsung akan tertanam pada benak pemirsanya, dan kapitalisme menjual informasi dan lebih tepatnya paham kapitalis mereka pada media untuk disebarluaskan ke seluruh dunia secara terselubung. Dinamisasi media komunikasi dan informasi diharapkan tetap mengikuti alur yang baik dimana komunikasi dan informasi tetap menjalakan fungsi mereka sebagaimana mestinya, berimbang, dan tidak saling merugikan maupun memberi pengaruh buruk dalam masyarakat. Hal ini mengingat pentingnya peran media sebagai transmisi budaya dan mendorong kohesi sosial, media komunikasi dan informasi memiliki peluang untuk menciptakan integrasi sosial maupun sebailknya, dapat menciptakan disintegrasi sosial. Dinamisasi komunikasi dan informasi dibutuhkan untuk mempermudah kehidupan umat manusia, bukan menghancurkannya.
Kapitalisme global bukan suatu hal yang harus dihindari, karena mau atau tidak mau kita tetap harus menghadapinya, dominasi terhadap media, pekerja media, dan konsumen media, dalam analisis ekonomi-politik, media lebih dikaitkan dengan capitalist mode of production. Karenanya, analisis kelas memegang peranan kunci dalam mengamati suatu struktur dominasi. Kebutuhan untuk melakukan ekspansi ekonomi itulah yang kemudian mendorong pemerintah untuk lebih mengintegrasikan diri pada tatanan kapitalis global. Namun langkah tersebut juga semakin membatasi kekuatan oemarintah terhadap media, sehingga dalam hal ini pemerintah sama sekali tidak punya kuasa untuk melakukan pembatasan terhadap apa-apa yang diberitakan media.
Merujuk pernyataan Joseph Pulitzer, ‘ketika komersialisme telah menjadi tujuan utama dalam industri media, maka saat itu media kehilangan kekuatan moral.’ Kapitalisme sebagai suatu bagian dari gerakan besar individualisme rasionalis yang kemudian merambah kedalam hampir setiap aspek kehidupan, termasuk media informasi dan komunikasi. Globalisasi sebagai wujud dunia dalam satu wilayah tanpa batas(the borderless world), semakin mempermudah laju kapitalisme global komuniukasi dan informasi yang berujud komersialisme.
Pada saat ini komersialisme telah menjadi alasan utama setiap media dalam menghadapi wujud moralitas yang mungkin tak pernah diketahui apa batasannya. Moralitas hanya menjadi sebuah wacana tanpa wujud yang nyata, dan uang sebagai wujud nyata komersialitas telah menjadi ujung tombak utama. Setiap orang hanya berpikir untuk memakmurkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Kapitalisme telah mengambil tempat yang sempurna dengan memakai peran media massa dalam era globalisasi ini, karena setiap negara tidak mungkin ingin tertinggal dari negara lain, dan disanalah para kapitalis menempatkan diri untuk menguasai ekonomi.
Komunikasi dan informasi sangat berkembang seiring laju globalisasi yang juga telah berhasil meruntuhkan Uni Soviet dengan Glasnot dan Perestroika-nya. Mereka hanya memikirkan untuk maju tanpa menyaring informasi yang masuk ke negara tersebut, sebagai bekas negara komunis tentu saja masyarakat yang sebelumnya dikungkung tiba-tiba mendapat informasi yang secara ekstrim menyerang kebudayaan mereka, padahal mereka belum siap untuk menghadapinya, karena memang mereka tidak mempersiapkannya, pada akhirnya keruntuhan Uni Soviet-pun tiba.
Dalam kondisi sekarang yang serba terbuka, baik mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, ekonomi, serta yang lainnya, memungkinkan setiap orang dapat mengakses informasi secara cepat dan mudah. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi memberi dampak positif bagi prkembangan iptek, namun bagi budaya kita mungkin harus sedikit menaruh perhatian, kecenderungan untuk meniru budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sangat terbuka lebar, dan disana nilai kapitalisme telah dikomunikasikan dan secara tidak langsung, untuk kemudian tertanam pada pribadi secara tidak sadar.
Kapitalisme global
Paham kebebasan yang kini berkembang dengan nama liberalisme, merupakan salah satu wujud kapitalisme, meskipun muncul dalam nama yang berbeda. Dalam hal ini kebebasan sebagai corong liberalisme telah menjadi jalan mulus kapitalisme untuk menjamah seluruh kawasan belahan dunia manapun, baik negara kaya maupun miskin, berkembang, maju, dan terbelakang.
Media informasi komunikasi harus senantiasa mengikuti perkembangan zaman yang kian cepat berubah dan terus menuntut pembaharuan informasi. Media komunikasi dan informasi harus senantiasa dinamis mengikuti perkembangan untuk terus menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Dinamisasi komunukasi dan informasi senantiasa menjadi hal penting dalam lingkup perkembangan kapitalisme global. Dinamisasi komunukasi dan informasi memberikan peran yang sangat penting dalam kapitalisme global, di mana media komunukasi dan informasi mampu menyebarkan informasi atau paham-paham secara luas dan menanamkannya pada pemikiran manusia.
Media komunikasi dan informasi mampu mempersuasi pemirsanya dengan informasi yang secara tidak langsung akan tertanam pada benak pemirsanya, dan kapitalisme menjual informasi dan lebih tepatnya paham kapitalis mereka pada media untuk disebarluaskan ke seluruh dunia secara terselubung. Dinamisasi media komunikasi dan informasi diharapkan tetap mengikuti alur yang baik dimana komunikasi dan informasi tetap menjalakan fungsi mereka sebagaimana mestinya, berimbang, dan tidak saling merugikan maupun memberi pengaruh buruk dalam masyarakat. Hal ini mengingat pentingnya peran media sebagai transmisi budaya dan mendorong kohesi sosial, media komunikasi dan informasi memiliki peluang untuk menciptakan integrasi sosial maupun sebailknya, dapat menciptakan disintegrasi sosial. Dinamisasi komunikasi dan informasi dibutuhkan untuk mempermudah kehidupan umat manusia, bukan menghancurkannya.
Kapitalisme global bukan suatu hal yang harus dihindari, karena mau atau tidak mau kita tetap harus menghadapinya, dominasi terhadap media, pekerja media, dan konsumen media, dalam analisis ekonomi-politik, media lebih dikaitkan dengan capitalist mode of production. Karenanya, analisis kelas memegang peranan kunci dalam mengamati suatu struktur dominasi. Kebutuhan untuk melakukan ekspansi ekonomi itulah yang kemudian mendorong pemerintah untuk lebih mengintegrasikan diri pada tatanan kapitalis global. Namun langkah tersebut juga semakin membatasi kekuatan oemarintah terhadap media, sehingga dalam hal ini pemerintah sama sekali tidak punya kuasa untuk melakukan pembatasan terhadap apa-apa yang diberitakan media.
Jumat, Mei 09, 2008
Media Massa dan Kehancuran Individu
Oleh: Haris Firdaus
Di Kopenhagen, Denmark, ada suatu masa ketika kerja media massa tidak dimulai dari sebuah sikap ingin tahu. Di kota itu, sekitar tahun 1840-an, kerja sebuah media dimulai dengan sebuah kebencian dan berakhir dengan berita skandal yang mencemooh.
Syahdan, di tahun-tahun itu, terdapat sebuah majalah mingguan bernama Corsair yang dengan menggebu terus-menerus memuat berita skandal. Hampir semua tokoh di Kopenhagen telah jadi sasaran cemooh dari majalah tersebut.
Anehnya, berkala itu segera saja berkembang pesat. Selama lima tahun awal penerbitannya, Corsair yang dipimpin Meyer Goldschmidt itu menjadi majalah yang paling luas penyebarannya di seluruh pelosok Denmark.
Soren Aabye Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis terkemuka dari Denmark, semasa hidupnya pernah punya pengalaman buruk dengan Corsair. Kierkegaard yang awalnya mendapat pujian dari majalah itu, pada satu waktu mengatakan bahwa dirinya lebih suka mendapat cemooh dari mingguan itu. Mendengar keinginan Kierkegaard, Corsair pun mengabulkannya.
Kierkegaard kemudian jadi salah satu tokoh Kopenhagen yang selalu dicemooh. Selama delapan bulan berturut-turut Corsair terus-menerus menyerang Kierkegarard dengan tulisan maupun karikatur mereka. Secara dramatis, berkala lain pun kemudian ikut terpancing untuk turut serta dalam aksi penyerangan tersebut.
Pada titik paling ekstrem, Kierkegaard merasa bahwa ia tak mungkin lagi memerbaiki opini umum tentang dirinya. Ia beranggapan tak bakal bisa tampil di hadapan umum kecuali dalam citra sebagai korban cemoohan Corsair. Meski begitu, Kierkegaard diam dan hanya sekali saja menulis bantahan.
Tapi di luar sikapnya secara pribadi, ia kemudian mengembangkan sebuah pemikiran yang menganggap pers dan media adalah sebuah “demoralisasi”. Pers baginya adalah sebuah mesin pembentuk pendapat umum yang meniadakan pendapat individu sebagai pribadi yang berdaulat.
Dalam sebuah karyanya, Kierkegaard memeringatkan tentang sebuah jaman yang cenderung menyamaratakan manusia. Ketika jaman itu tiba, manusia sebagai individu akan mengalami kehancuran, digantikan oleh manusia sebagai bagian dari massa yang anonim.
Pada masa itu, masifikasi dan kolektivisme menjadi hantu-hantu beterbangan yang akan memusnahkan ketunggalan eksistensi manusia. Kesejatian individu tercerabut, digantikan oleh identitas kolektif yang sebenarnya tak menyentuh eksistensi manusia sebagai pribadi.
Sebagai seorang eksistensialis, Kierkegaard beranggapan bahwa individu seharusnya menjadi pribadi yang bebas dan independen. Pada titik tertentu, filsuf itu menolak bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok bila persatuan itu terjadi hanya lantaran individu tersebut gagal tampil dengan kesejatiannya dan dengan tanggung jawabnya sendiri.
Bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok, baik nyata maupun “imajiner”, hanya bisa diterima jika penggabungan itu bukan merupakan sebuah pelarian atas tanggung jawab manusia untuk menemukan eksistensinya yang sejati, dan jika penggabungan itu tak serta merta menghilangkan eksistensi manusia sebagai individu.
Di sinilah Kierkegaard berkeberatan dengan pers atau media massa. Baginya, pers hanya akan menyatukan individu ke dalam sebuah “abstraksi” yang menghilangkan eksistensinya secara individual. Pers akan menjadikan individu sebagai kumpulan yang anonim, tanpa identitas yang sejati.
Di jaman ini, kita bisa melihat sebagian argumen Kierkegaard menjadi nyata. Cuma, kita juga melihat bahwa sebagian yang lain ternyata tak sepenuhnya benar. Benar bahwa pers punya kemampuan untuk memengaruhi manusia sebagai individu, tapi individu pun punya sikap yang tak serta merta bisa didekte. Pendeknya, media massa dan individu, selalu ada dalam tarikan yang tak simpel untuk dilukiskan.
Selain itu, pesimisme Kierkegaard terhadap pers juga tak selamanya tepat. Setidaknya, kalau kita mengingat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, pesimisme itu tak akan menjadi-jadi.
Dalam “The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Expect”, kedua wartawan itu justru menegaskan sesuatu yang sepenuhnya berkebalikan dengan Kierkegaard: media massa—melalui jurnalisme—punya peluang untuk membebaskan warga masyarakat sebagai individu.
Tujuan utama jurnalisme, kata Kovach dan Rosenstiel, adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.
Tepat di sinilah perpisahan jalan keduanya dengan Kierkegaard.
Kalau Kierkegaard memandang pers akan selamanya mengekang individu, Kovach dan Rosenstiel justru beranggapan bahwa pers bisa dan memang seharusnya membebaskan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya sendiri dalam rangka proses pengaturan hidupnya.
Saya kira, itulah kenapa jurnalisme berbeda dengan khotbah. Jurnalisme, kata Goenawan Mohammad, tidak bermula dan berakhir dengan sebuah berita. Sikap ingin tahu justru menjadi awal sekaligus dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut dengan fondasi sebuah lorong.
Bagi Goenawan, setelah fondasi itu rampung, maka jurnalisme—melalui wartawan tentu saja—harus menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin, serta membutuhkan kecerdikan dan ketrampilan tertentu.
Tapi, bukan hanya itu: jurnalisme juga membutuhkan semacam kesediaan dan kemampun dari praktisinya untuk menjadi polisi lalu-lintas, jaksa, dan hakim bagi dirinya sendiri yang awas terhadap tiap bentuk pelanggaran. Jadi, terdakwa pertama dalam jurnalisme bukan orang lain, tapi diri kita sendiri.
Di sinilah pentingnya sebuah sikap rendah hati: semacam kesadaran dari seorang reporter bahwa dirinya memang hanya seorang “pelapor”, dan bukan seorang penceramah yang sedang menasehati masyarakat, juga bukan ilmuwan yang sudah meneliti obyeknya dengan seksama. Seorang reporter adalah seorang terdakwa bagi dan oleh dirinya sendiri.
Saya rasa, jurnalisme yang rendah hati akan menghindarkan pers dari kecenderungan melakukan “demoralisasi”. Jurnalisme yang rendah hati bukan menggiring individu pada sebuah sikap yang seragam tapi memberi pilihan-pilihan pada mereka untuk mengambil sikap secara mandiri.
Sukoharjo, 1 April 2008
Di Kopenhagen, Denmark, ada suatu masa ketika kerja media massa tidak dimulai dari sebuah sikap ingin tahu. Di kota itu, sekitar tahun 1840-an, kerja sebuah media dimulai dengan sebuah kebencian dan berakhir dengan berita skandal yang mencemooh.
Syahdan, di tahun-tahun itu, terdapat sebuah majalah mingguan bernama Corsair yang dengan menggebu terus-menerus memuat berita skandal. Hampir semua tokoh di Kopenhagen telah jadi sasaran cemooh dari majalah tersebut.
Anehnya, berkala itu segera saja berkembang pesat. Selama lima tahun awal penerbitannya, Corsair yang dipimpin Meyer Goldschmidt itu menjadi majalah yang paling luas penyebarannya di seluruh pelosok Denmark.
Soren Aabye Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis terkemuka dari Denmark, semasa hidupnya pernah punya pengalaman buruk dengan Corsair. Kierkegaard yang awalnya mendapat pujian dari majalah itu, pada satu waktu mengatakan bahwa dirinya lebih suka mendapat cemooh dari mingguan itu. Mendengar keinginan Kierkegaard, Corsair pun mengabulkannya.
Kierkegaard kemudian jadi salah satu tokoh Kopenhagen yang selalu dicemooh. Selama delapan bulan berturut-turut Corsair terus-menerus menyerang Kierkegarard dengan tulisan maupun karikatur mereka. Secara dramatis, berkala lain pun kemudian ikut terpancing untuk turut serta dalam aksi penyerangan tersebut.
Pada titik paling ekstrem, Kierkegaard merasa bahwa ia tak mungkin lagi memerbaiki opini umum tentang dirinya. Ia beranggapan tak bakal bisa tampil di hadapan umum kecuali dalam citra sebagai korban cemoohan Corsair. Meski begitu, Kierkegaard diam dan hanya sekali saja menulis bantahan.
Tapi di luar sikapnya secara pribadi, ia kemudian mengembangkan sebuah pemikiran yang menganggap pers dan media adalah sebuah “demoralisasi”. Pers baginya adalah sebuah mesin pembentuk pendapat umum yang meniadakan pendapat individu sebagai pribadi yang berdaulat.
Dalam sebuah karyanya, Kierkegaard memeringatkan tentang sebuah jaman yang cenderung menyamaratakan manusia. Ketika jaman itu tiba, manusia sebagai individu akan mengalami kehancuran, digantikan oleh manusia sebagai bagian dari massa yang anonim.
Pada masa itu, masifikasi dan kolektivisme menjadi hantu-hantu beterbangan yang akan memusnahkan ketunggalan eksistensi manusia. Kesejatian individu tercerabut, digantikan oleh identitas kolektif yang sebenarnya tak menyentuh eksistensi manusia sebagai pribadi.
Sebagai seorang eksistensialis, Kierkegaard beranggapan bahwa individu seharusnya menjadi pribadi yang bebas dan independen. Pada titik tertentu, filsuf itu menolak bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok bila persatuan itu terjadi hanya lantaran individu tersebut gagal tampil dengan kesejatiannya dan dengan tanggung jawabnya sendiri.
Bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok, baik nyata maupun “imajiner”, hanya bisa diterima jika penggabungan itu bukan merupakan sebuah pelarian atas tanggung jawab manusia untuk menemukan eksistensinya yang sejati, dan jika penggabungan itu tak serta merta menghilangkan eksistensi manusia sebagai individu.
Di sinilah Kierkegaard berkeberatan dengan pers atau media massa. Baginya, pers hanya akan menyatukan individu ke dalam sebuah “abstraksi” yang menghilangkan eksistensinya secara individual. Pers akan menjadikan individu sebagai kumpulan yang anonim, tanpa identitas yang sejati.
Di jaman ini, kita bisa melihat sebagian argumen Kierkegaard menjadi nyata. Cuma, kita juga melihat bahwa sebagian yang lain ternyata tak sepenuhnya benar. Benar bahwa pers punya kemampuan untuk memengaruhi manusia sebagai individu, tapi individu pun punya sikap yang tak serta merta bisa didekte. Pendeknya, media massa dan individu, selalu ada dalam tarikan yang tak simpel untuk dilukiskan.
Selain itu, pesimisme Kierkegaard terhadap pers juga tak selamanya tepat. Setidaknya, kalau kita mengingat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, pesimisme itu tak akan menjadi-jadi.
Dalam “The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Expect”, kedua wartawan itu justru menegaskan sesuatu yang sepenuhnya berkebalikan dengan Kierkegaard: media massa—melalui jurnalisme—punya peluang untuk membebaskan warga masyarakat sebagai individu.
Tujuan utama jurnalisme, kata Kovach dan Rosenstiel, adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.
Tepat di sinilah perpisahan jalan keduanya dengan Kierkegaard.
Kalau Kierkegaard memandang pers akan selamanya mengekang individu, Kovach dan Rosenstiel justru beranggapan bahwa pers bisa dan memang seharusnya membebaskan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya sendiri dalam rangka proses pengaturan hidupnya.
Saya kira, itulah kenapa jurnalisme berbeda dengan khotbah. Jurnalisme, kata Goenawan Mohammad, tidak bermula dan berakhir dengan sebuah berita. Sikap ingin tahu justru menjadi awal sekaligus dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut dengan fondasi sebuah lorong.
Bagi Goenawan, setelah fondasi itu rampung, maka jurnalisme—melalui wartawan tentu saja—harus menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin, serta membutuhkan kecerdikan dan ketrampilan tertentu.
Tapi, bukan hanya itu: jurnalisme juga membutuhkan semacam kesediaan dan kemampun dari praktisinya untuk menjadi polisi lalu-lintas, jaksa, dan hakim bagi dirinya sendiri yang awas terhadap tiap bentuk pelanggaran. Jadi, terdakwa pertama dalam jurnalisme bukan orang lain, tapi diri kita sendiri.
Di sinilah pentingnya sebuah sikap rendah hati: semacam kesadaran dari seorang reporter bahwa dirinya memang hanya seorang “pelapor”, dan bukan seorang penceramah yang sedang menasehati masyarakat, juga bukan ilmuwan yang sudah meneliti obyeknya dengan seksama. Seorang reporter adalah seorang terdakwa bagi dan oleh dirinya sendiri.
Saya rasa, jurnalisme yang rendah hati akan menghindarkan pers dari kecenderungan melakukan “demoralisasi”. Jurnalisme yang rendah hati bukan menggiring individu pada sebuah sikap yang seragam tapi memberi pilihan-pilihan pada mereka untuk mengambil sikap secara mandiri.
Sukoharjo, 1 April 2008
Selasa, Mei 06, 2008
Lelaki di Kursi Sebelah
Oleh: Imas Ayu Prafitri
Tet.. Terdengar bel pintu kosan berbunyi. Ocha yang sedang asyik bersolek kaget dan dengan cepat mengambil tas berwarna cokelat kesayangannya, lalu bergegas menuju ke pintu depan. Di luar sudah ada Robi dengan sepeda motor hitamnya. ”Udah siap, Cha? Nggak ada yang ketinggalan kan?” tanya Robi. ”Iya, yuk jalan..” jawab Ocha.
Kira-kira dua puluh menit perjalanan, mereka sudah sampai di stasiun kereta api. Bergegas Ocha mengantri untuk membeli tiket kereta tujuan Stasiun Gambir. Setelah mendapat tiket mereka duduk di kursi peron menunggu kedatangan kereta. Belum sempat mengobrol banyak, tiba-tiba kereta sudah datang. Mereka mencari tulisan kereta 7 lalu menuju ke gerbong tersebut. “Hati-hati ya, jaga diri di sana.. Kalau ada apa-apa hubungin aku saja..” ujar Robi sambil memandang wajah Ocha. “Iya, makasih udah mau nganter.. nanti aku sms deh..” jawab Ocha tersenyum sambil masuk ke kereta.
Ocha mencari kursi bernomor 4D, sesuai dengan yang tertera di tiket yang dia beli tadi. Setelah meletakan tas ia memposisikan diri dengan nyaman dan bersiap untuk tidur. Maklum semalam ia tidur larut malam, sudah menjadi kebiasaan Ocha yang suka begadang tanpa tujuan jelas. Kurang dari lima menit dia sudah terlelap.
Setelah tiga jam perjalanan, kereta berhenti di sebuah stasiun. Ocha terbangun mendengar suara gaduh, padahal dia masih belum puas tidur. Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya duduk di kursi sebelah Ocha. Kemudian laki-laki tersebut tersenyum dan menganggukkan kepala melihat Ocha, dan tanpa pikir panjang Ocha membalas dengan senyuman mautnya. Setelah setengah jam penuh dengan senyuman dan anggukan tanpa mengobrol, Ocha memberanikan diri untuk memulai percakapan.
”Mau ke mana, Pak?” tanya Ocha dengan ramah. Laki-laki tadi hanya tersenyum dan mengangguk. Ocha mengernyitkan dahi sambil melirik ke arah laki-laki tadi. ”Yah dicuekin..”, ungkap Ocha dalam hati. Merasa diacuhkan Ocha mulai mencari kesibukan, dia merogoh saku celana lalu mengambil benda keramat miliknya. Ocha mulai memencet-mencet handphone pinknya untuk sms Robi.
Sedang asyik smsan, tiba-tiba terdengar suara aneh dari laki-laki di sebelahnya, ternyata dia sedang menelpon seseorang. Setelah didengar dengan baik-baik, Ocha baru sadar kalau laki-laki tersebut berkata-kata aneh karena berbahasa asing. Setelah mengamati lagi, ocha semakin yakin kalau yang di sampingnya adalah orang berkebangsaan Cina, dan kemungkinan besar bukan Warga Negara Indonesia.
Merasa diperhatikan, laki-laki tadi menoleh ke arah Ocha dan memberikan senyumannya lagi tanpa lupa mengangguk. Kalau dihitung, mungkin sudah ke sekian puluh kalinya dia tersenyum dan menganggukan kepala. ”Nggak capek apa senyum sama ngangguk-ngangguk mulu?” tanya Ocha dalam hati sambil senyum-senyum sendiri. Setelah selesai menelpon, kemudian laki-laki tadi mengambil secarik kertas dan pulpen dari tasnya. Dia menuliskan namanya di kertas, dan di kertas itu sudah ada tulisan berukuran besar ”GAMBIR”. Kertas itu diberikan kepada Ocha, dan setelah membaca nama asing itu, Ocha berusaha mengejanya meski cukup sulit. ”Chen Liang.. Can you speak English?” tanya Ocha. Laki-laki itu menggelengkan kepala, dans Ocha merasa lega mendapati jawaban tersebut. Yah meski mengaku anak gaul, Ocha memang payah dan kurang suka dengan Bahasa Inggris.
Lalu Ocha dan laki-laki paruh baya tadi mulai akrab dan melakukan percakapan dengan menggunakan bahasa isyarat. Usut punya usut ternyata laki-laki tersebut memang warga negara Cina yang sedang ada urusan pekerjaan di Indonesia, dan dia baru sepuluh hari di Indonesia.
Tidak terasa waktu bejalan dengan cepat, akhirnya kereta sampai di Stasiun Gambir. Ocha dan Chen Liang keluar dari kereta dan langsung berpisah di stasiun karena Chen Liang sudah dijemput temannya dan Ocha bergegas ke peron sebelah untuk menunggu kereta listrik menuju Bogor, kampung halamannya.
Sesampainya di rumah, Ocha langsung berbagi cerita tentang Chen Liang dengan mama, papa, dan adik perempuanya. Mereka malah cekikikan mendengar cerita heboh Ocha.
Tet.. Terdengar bel pintu kosan berbunyi. Ocha yang sedang asyik bersolek kaget dan dengan cepat mengambil tas berwarna cokelat kesayangannya, lalu bergegas menuju ke pintu depan. Di luar sudah ada Robi dengan sepeda motor hitamnya. ”Udah siap, Cha? Nggak ada yang ketinggalan kan?” tanya Robi. ”Iya, yuk jalan..” jawab Ocha.
Kira-kira dua puluh menit perjalanan, mereka sudah sampai di stasiun kereta api. Bergegas Ocha mengantri untuk membeli tiket kereta tujuan Stasiun Gambir. Setelah mendapat tiket mereka duduk di kursi peron menunggu kedatangan kereta. Belum sempat mengobrol banyak, tiba-tiba kereta sudah datang. Mereka mencari tulisan kereta 7 lalu menuju ke gerbong tersebut. “Hati-hati ya, jaga diri di sana.. Kalau ada apa-apa hubungin aku saja..” ujar Robi sambil memandang wajah Ocha. “Iya, makasih udah mau nganter.. nanti aku sms deh..” jawab Ocha tersenyum sambil masuk ke kereta.
Ocha mencari kursi bernomor 4D, sesuai dengan yang tertera di tiket yang dia beli tadi. Setelah meletakan tas ia memposisikan diri dengan nyaman dan bersiap untuk tidur. Maklum semalam ia tidur larut malam, sudah menjadi kebiasaan Ocha yang suka begadang tanpa tujuan jelas. Kurang dari lima menit dia sudah terlelap.
Setelah tiga jam perjalanan, kereta berhenti di sebuah stasiun. Ocha terbangun mendengar suara gaduh, padahal dia masih belum puas tidur. Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya duduk di kursi sebelah Ocha. Kemudian laki-laki tersebut tersenyum dan menganggukkan kepala melihat Ocha, dan tanpa pikir panjang Ocha membalas dengan senyuman mautnya. Setelah setengah jam penuh dengan senyuman dan anggukan tanpa mengobrol, Ocha memberanikan diri untuk memulai percakapan.
”Mau ke mana, Pak?” tanya Ocha dengan ramah. Laki-laki tadi hanya tersenyum dan mengangguk. Ocha mengernyitkan dahi sambil melirik ke arah laki-laki tadi. ”Yah dicuekin..”, ungkap Ocha dalam hati. Merasa diacuhkan Ocha mulai mencari kesibukan, dia merogoh saku celana lalu mengambil benda keramat miliknya. Ocha mulai memencet-mencet handphone pinknya untuk sms Robi.
Sedang asyik smsan, tiba-tiba terdengar suara aneh dari laki-laki di sebelahnya, ternyata dia sedang menelpon seseorang. Setelah didengar dengan baik-baik, Ocha baru sadar kalau laki-laki tersebut berkata-kata aneh karena berbahasa asing. Setelah mengamati lagi, ocha semakin yakin kalau yang di sampingnya adalah orang berkebangsaan Cina, dan kemungkinan besar bukan Warga Negara Indonesia.
Merasa diperhatikan, laki-laki tadi menoleh ke arah Ocha dan memberikan senyumannya lagi tanpa lupa mengangguk. Kalau dihitung, mungkin sudah ke sekian puluh kalinya dia tersenyum dan menganggukan kepala. ”Nggak capek apa senyum sama ngangguk-ngangguk mulu?” tanya Ocha dalam hati sambil senyum-senyum sendiri. Setelah selesai menelpon, kemudian laki-laki tadi mengambil secarik kertas dan pulpen dari tasnya. Dia menuliskan namanya di kertas, dan di kertas itu sudah ada tulisan berukuran besar ”GAMBIR”. Kertas itu diberikan kepada Ocha, dan setelah membaca nama asing itu, Ocha berusaha mengejanya meski cukup sulit. ”Chen Liang.. Can you speak English?” tanya Ocha. Laki-laki itu menggelengkan kepala, dans Ocha merasa lega mendapati jawaban tersebut. Yah meski mengaku anak gaul, Ocha memang payah dan kurang suka dengan Bahasa Inggris.
Lalu Ocha dan laki-laki paruh baya tadi mulai akrab dan melakukan percakapan dengan menggunakan bahasa isyarat. Usut punya usut ternyata laki-laki tersebut memang warga negara Cina yang sedang ada urusan pekerjaan di Indonesia, dan dia baru sepuluh hari di Indonesia.
Tidak terasa waktu bejalan dengan cepat, akhirnya kereta sampai di Stasiun Gambir. Ocha dan Chen Liang keluar dari kereta dan langsung berpisah di stasiun karena Chen Liang sudah dijemput temannya dan Ocha bergegas ke peron sebelah untuk menunggu kereta listrik menuju Bogor, kampung halamannya.
Sesampainya di rumah, Ocha langsung berbagi cerita tentang Chen Liang dengan mama, papa, dan adik perempuanya. Mereka malah cekikikan mendengar cerita heboh Ocha.
Keluarga Cemara
Oleh: Nur Heni widyastuti
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah… keluarga
....
Barisan kata-kata diatas adalah sepenggal lirik lagu dari sebuah sinetron yang (mungkin) sangat kita rindu kehadiriannya, Keluarga Cemara. Sinetron yang dibuat tahun 1995 ini mengangkat sisi kehidupan yang paling dekat dengan kita dengan alur yang sederhana tapi bermakna. (Tulisan ini hanya sepenggal sisa-sisa ingatan penulis ketika dulu sering menyaksikan sinetron tersebut sewaktu kelas lima SD)
Tak dipungkiri bahwa setiap sinetron pasti memiliki dramatisasi alur cerita. Begitu pula sinetron Keluarga Cemara ini. Dalam cerita itu dikisahkan sebuah keluarga yang awalnya berkecukupan, karena suatu hal membuatnya jatuh miskin. Harus tinggal di pedesaan yang jauh dari jalan raya. Namun berkat olahan cerita sutradara Aswendo Atmowilopo, sinetron ini memiliki nilai edukasi tanpa dramatisasi yang hiperbolis. Penonton dibuat hanyut terharu dan terpana dengan natural tanpa paksaan konstruksi.
Diceritakan Si Abah (Adi Kurdi) harus menghidupi keluarganya sebagai tukang becak. Si Emak (Novia Kolopaking) si pembuat opak yang nantinya akan dijajakan oleh ketiga anakanya Euis (Cahya H.D.) yang duduk di bangku SMU, Ara yang duduk dibangku SMP dan adiknya (maaf lupa namanya) yang masih mengenyam pendidikan SD. Pemilihan tokoh-tokoh dan suasana pedesaan yang cocok membuat sinetron ini terkesan lebih ”hidup”.
Sinetron itu menawarkan kesahajaan yang dikemas tanpa rasa iba”dibuat-buat” secara berlebihan. Walaupun tidak menawarkan hedonisme kehidupan keluarga dan sekolah di remaja sekarang seperti sekarang, sinetron ini cukup menghibur. Namun mungkin jika sinetron Keluarga Cemara itu diputar di jaman sekarang seperti tertelan ditengah industri sinetron yang menawarkan percintaan, relaity show keluarga dan lain sebagainya.
Di tengah bombardir sinetron yang mengangkat hubungan keluarga sebagai objek, kehadiran dramatisasi natural sebuah keluarga tampaknya kini telah hilang. Kalaupun ada sinetron yang menawarkan dramatasisasi keluarga, namun kalau saya menilai terlalu hiperbola dan malah membuat malas untuk menonton. Apalagi ditambah acara-acara reality show yang juga menyorot hubungan keluarga yang justru kurang dalam hal edukasi kekeluargaan.
Kehadiran senetron seperti Keluarga Cemara itulah yang dibutuhkan keluarga Indonesia saat ini. Kesederhanaan dan kesahajaan natual yang dihadirkan, bukan konstruksi realitas semu.
Juga merindukan sound track yang menggugah semangat :
Selamat pagi emak
Selamat pagi abah
Mentari hari ini berseri indah...
(30 April 2008)
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah… keluarga
....
Barisan kata-kata diatas adalah sepenggal lirik lagu dari sebuah sinetron yang (mungkin) sangat kita rindu kehadiriannya, Keluarga Cemara. Sinetron yang dibuat tahun 1995 ini mengangkat sisi kehidupan yang paling dekat dengan kita dengan alur yang sederhana tapi bermakna. (Tulisan ini hanya sepenggal sisa-sisa ingatan penulis ketika dulu sering menyaksikan sinetron tersebut sewaktu kelas lima SD)
Tak dipungkiri bahwa setiap sinetron pasti memiliki dramatisasi alur cerita. Begitu pula sinetron Keluarga Cemara ini. Dalam cerita itu dikisahkan sebuah keluarga yang awalnya berkecukupan, karena suatu hal membuatnya jatuh miskin. Harus tinggal di pedesaan yang jauh dari jalan raya. Namun berkat olahan cerita sutradara Aswendo Atmowilopo, sinetron ini memiliki nilai edukasi tanpa dramatisasi yang hiperbolis. Penonton dibuat hanyut terharu dan terpana dengan natural tanpa paksaan konstruksi.
Diceritakan Si Abah (Adi Kurdi) harus menghidupi keluarganya sebagai tukang becak. Si Emak (Novia Kolopaking) si pembuat opak yang nantinya akan dijajakan oleh ketiga anakanya Euis (Cahya H.D.) yang duduk di bangku SMU, Ara yang duduk dibangku SMP dan adiknya (maaf lupa namanya) yang masih mengenyam pendidikan SD. Pemilihan tokoh-tokoh dan suasana pedesaan yang cocok membuat sinetron ini terkesan lebih ”hidup”.
Sinetron itu menawarkan kesahajaan yang dikemas tanpa rasa iba”dibuat-buat” secara berlebihan. Walaupun tidak menawarkan hedonisme kehidupan keluarga dan sekolah di remaja sekarang seperti sekarang, sinetron ini cukup menghibur. Namun mungkin jika sinetron Keluarga Cemara itu diputar di jaman sekarang seperti tertelan ditengah industri sinetron yang menawarkan percintaan, relaity show keluarga dan lain sebagainya.
Di tengah bombardir sinetron yang mengangkat hubungan keluarga sebagai objek, kehadiran dramatisasi natural sebuah keluarga tampaknya kini telah hilang. Kalaupun ada sinetron yang menawarkan dramatasisasi keluarga, namun kalau saya menilai terlalu hiperbola dan malah membuat malas untuk menonton. Apalagi ditambah acara-acara reality show yang juga menyorot hubungan keluarga yang justru kurang dalam hal edukasi kekeluargaan.
Kehadiran senetron seperti Keluarga Cemara itulah yang dibutuhkan keluarga Indonesia saat ini. Kesederhanaan dan kesahajaan natual yang dihadirkan, bukan konstruksi realitas semu.
Juga merindukan sound track yang menggugah semangat :
Selamat pagi emak
Selamat pagi abah
Mentari hari ini berseri indah...
(30 April 2008)
Jumat, Mei 02, 2008
Korelasi Antara Kemajuan Teknologi Informasi dan kehidupan Sosial
Oleh: Agata Ika FL
Tanpa disadari kita memasuki sebuah era baru dalam interaksi berbangsa dan bernegara akibat kemajuan teknologi komunikasi informasi yang sangat pesat, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita. Dalam hal ini, pengaruh yang sangat besar ini dapat mengakibatkan dua efek yang sangat berkebalikan, yaitu efek positif dan efek negatif.
Selain itu, kemajuan ini juga menyebabkan perlunya sebuah perubahan paradigma dalam menata keseluruhan kehidupan kita di tengah gemuruhnya globalisasi. Kemajuan teknologi komunikasi informasi menyebabkan hubungan-hubungan tradisional internasional maupun pelaksanaan sistem tata negara berubah total mengikuti kemajuan totalitas yang mengubah sendi-sendi kehidupan kita berpolitik, berbudaya, bersosialisasi, berdiplomasi, berdemokrasi, berbelanja, bersenang-senang, bergembira, berkepercayaan, berilmu, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perubahan – perubahan yang terjadi sebaiknya benar – benar disikapi oleh kita para peselancar dunia teknologi.
Perubahan paradigma ini menyebabkan kita selalu terkejut dengan berbagai kebijakan, keputusan, dan lain sebagainya dalam konteks berbangsa dan bernegara. Seringkali tanpa sadar kita masuk dan terjebak dalam paradigma lama yang bertentangan dengan semangat reformasi yang merombak dan menata ulang tatanan lama menuju ke sebuah tatanan yang lebih demokratik dan efisien menghadapi tantangan zaman. Dalam konteks ini, kita melihat kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai bagian penting dalam menata dan mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara digital. Kehadiran UU ITE sebenarnya memberikan makna sebagai antisipasi terjadinya kesalahan, kecurangan, manipulasi, dan berbagai tindak kejahatan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi komunikasi informasi.
Kehadiran UU ITE adalah sebuah reaksi terhadap praktik carding, menggunakan data kartu kredit orang lain untuk kepentingannya sendiri. Misal, untuk membeli barang-barang secara online. Selama bertahun-tahun, Indonesia dianggap sebagai sarang carding, menyebabkan mereka yang ingin menikmati fitur belanja online menggunakan kartu kredit dari Indonesia tidak bisa melakukannya karena ditolak di pasaran online internasional. Namun, entah bagaimana perdebatan tentang kehadiran UU ITE ini condong mengacu pada persoalan yang tidak esensial, seperti penyaringan konten-konten yang dianggap negatif. Bahkan pada suatu sisi, para penyelenggara akses jaringan internet (ISP) pun diminta menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk memblokir situs-situs negatif yang disinyalir menyebabkan terjadinya gangguan berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa kasus yang dapat diapungkan untuk menyoroti fenomena di atas. Salah Satunya adalah pemblokiran situs – situs penampil pornografi oleh pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh mengatakan rencana pemerintah untuk memblokir situs penampil pornografi dan situs kekerasan dilandasi akal sehat secara umum. Pemerintah beralasan bahwa tidak ada yang punya alasan untuk membangun negara dengan menyebarluaskan pornografi dan kekerasan. Menkominfo juga menyatakan pihaknya melakukan pemblokiran penampil pornografi karena dorongan dari masyarakat luas agar pemerintah bisa meminimalkan akses penampil pornografi dan situs kekerasan lewat internet.(Berita Antara, 25 maret 2008).
Namun, ini tidak berarti dan serta-merta, tanpa proses hukum, seorang pejabat negara bisa melayangkan surat begitu saja melakukan tindakan memerintahkan para penyelenggara akses internet untuk memblokir seluruh penampil pornografi di jaringan internet. Karena, upaya ini selain tak demokratis juga tidak efisien dan menjadi bahan pertanyaan dan lelucon kebanyakan orang dan penyelenggara akses internet.
Ada beberapa hal. Pertama, akses jaringan internet di Indonesia sekarang berkembang menjadi sebuah bisnis yang ikut menggerakkan perekonomian nasional, sehingga pelarangan dengan memerintahkan penutupan situs negatif tertentu menjadi tidak ekonomis karena dibutuhkan upaya yang sangat besar dari sisi waktu, tenaga, dan biaya.
Selain itu, kebanyakan para penyelenggara akses jaringan internet serta pemilik domain cukup sportif untuk bisa mengakomodasi keinginan pejabat negara terhadap akses sebuah situs tertentu. Cara yang dilakukan adalah dengan memberikan tanda flag, mengharuskan orang-orang yang mengakses situs tersebut mengisi nama, alamat, dan lainnya serta melakukan verifikasi bahwa pengakses sudah cukup umur secara hukum untuk memasuki situs tersebut dan juga tidak semua situs yang menampilkan poronografi adalah 100% berisi hal – hal yang porno, sebagai contoh youtube, myspace, dan rapidshare.
Sekarang tinggal bagaimana sikap mental para user untuk menanggapi warning tersebut. Kedua, cara kita berbangsa dan bernegara berubah total karena kemajuan teknologi komunikasi informasi. Artinya, siapa saja di mana saja, bisa dengan seenaknya menuduh, memanipulasi, memfitnah, serta melakukan berbagai tindakan, ucapan, atau membuat film, tanpa harus memikirkan dampaknya. Cara kita berbangsa dan bernegara pun harus ikut berubah mengikuti irama kemajuan ini dengan membuat berbagai peraturan perundang-undangan melindungi kepentingan kita. Karena menjadi hal yang sia - sia buat negara hanya untuk mengurus orang - orang yang iseng mengedarkan hal – hal yang berbau negatif, seperti film porno dan foto–foto porno.
Jadi, dari semua hal negatif yang ada di dalam internet yang harus disaring adalah lapisan-lapisan (layers) di dalam jejaring digital yang begitu rumit, sehingga keinginan penguasa untuk melakukan sesuatu terhadap jaringan internet menjadi sebuah pemborosan yang tidak perlu. Ada cara-cara efektif lain yang bisa dilakukan melalui sebuah kampanye politik menggunakan humas, menyatakan situs di jaringan internet tertentu bertentangan dengan asas kita bernegara dan berbangsa. Tidak hanya dengan serta-merta memblokir situs yang menampilkan hal – hal berbau pornografi, yang tentunya merugikan banyak pihak, termasuk kita para pencari informasi.
Selain itu, perlu juga kita ingatkan bahwa di era kemajuan teknologi komunikasi informasi, upaya penyaringan yang hanya berdasarkan common sense adalah kenistaan yang melanggar kesepakatan kita untuk bereformasi menegakkan demokrasi bagi keadilan seluruh rakyat. Apa pun tindakan kita harus selaras dan bisa disinkronisasi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kemajuan teknologi komunikasi informasi tidak bisa dibendung dengan cara-cara lama kekuasaan atas nama harmonisasi peradaban. Kita perlu belajar terus-menerus untuk menyelesaikan persoalan-persoalan digitalisasi kita secara hukum dan efektif, bukan lagi dengan pendekatan kekuasaan yang bisa merusak keseimbangan tatanan kita bernegara dan berbangsa. Cara kita menghadapi ancaman informasi yang bisa mengganggu kehidupan bernegara dan berbangsa harus berubah mengikuti kemajuan teknologi komunikasi informasi. Esensi penting reformasi membangun masyarakat demokratis tidak lagi bisa digunakan cara kekuasaan lama dengan mengirim surat untuk menghentikan dan menyensor situs internet tertentu seperti yang tertuang dalam surat Menkominfo ke APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pekan lalu. Perlu dipikirkan pendekatan baru untuk melindungi kepentingan kita di tengah kemajuan digitalisasi sekarang ini.(Kompas, 28 april 2008)
Tanpa disadari kita memasuki sebuah era baru dalam interaksi berbangsa dan bernegara akibat kemajuan teknologi komunikasi informasi yang sangat pesat, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita. Dalam hal ini, pengaruh yang sangat besar ini dapat mengakibatkan dua efek yang sangat berkebalikan, yaitu efek positif dan efek negatif.
Selain itu, kemajuan ini juga menyebabkan perlunya sebuah perubahan paradigma dalam menata keseluruhan kehidupan kita di tengah gemuruhnya globalisasi. Kemajuan teknologi komunikasi informasi menyebabkan hubungan-hubungan tradisional internasional maupun pelaksanaan sistem tata negara berubah total mengikuti kemajuan totalitas yang mengubah sendi-sendi kehidupan kita berpolitik, berbudaya, bersosialisasi, berdiplomasi, berdemokrasi, berbelanja, bersenang-senang, bergembira, berkepercayaan, berilmu, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perubahan – perubahan yang terjadi sebaiknya benar – benar disikapi oleh kita para peselancar dunia teknologi.
Perubahan paradigma ini menyebabkan kita selalu terkejut dengan berbagai kebijakan, keputusan, dan lain sebagainya dalam konteks berbangsa dan bernegara. Seringkali tanpa sadar kita masuk dan terjebak dalam paradigma lama yang bertentangan dengan semangat reformasi yang merombak dan menata ulang tatanan lama menuju ke sebuah tatanan yang lebih demokratik dan efisien menghadapi tantangan zaman. Dalam konteks ini, kita melihat kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai bagian penting dalam menata dan mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara digital. Kehadiran UU ITE sebenarnya memberikan makna sebagai antisipasi terjadinya kesalahan, kecurangan, manipulasi, dan berbagai tindak kejahatan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi komunikasi informasi.
Kehadiran UU ITE adalah sebuah reaksi terhadap praktik carding, menggunakan data kartu kredit orang lain untuk kepentingannya sendiri. Misal, untuk membeli barang-barang secara online. Selama bertahun-tahun, Indonesia dianggap sebagai sarang carding, menyebabkan mereka yang ingin menikmati fitur belanja online menggunakan kartu kredit dari Indonesia tidak bisa melakukannya karena ditolak di pasaran online internasional. Namun, entah bagaimana perdebatan tentang kehadiran UU ITE ini condong mengacu pada persoalan yang tidak esensial, seperti penyaringan konten-konten yang dianggap negatif. Bahkan pada suatu sisi, para penyelenggara akses jaringan internet (ISP) pun diminta menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk memblokir situs-situs negatif yang disinyalir menyebabkan terjadinya gangguan berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa kasus yang dapat diapungkan untuk menyoroti fenomena di atas. Salah Satunya adalah pemblokiran situs – situs penampil pornografi oleh pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh mengatakan rencana pemerintah untuk memblokir situs penampil pornografi dan situs kekerasan dilandasi akal sehat secara umum. Pemerintah beralasan bahwa tidak ada yang punya alasan untuk membangun negara dengan menyebarluaskan pornografi dan kekerasan. Menkominfo juga menyatakan pihaknya melakukan pemblokiran penampil pornografi karena dorongan dari masyarakat luas agar pemerintah bisa meminimalkan akses penampil pornografi dan situs kekerasan lewat internet.(Berita Antara, 25 maret 2008).
Namun, ini tidak berarti dan serta-merta, tanpa proses hukum, seorang pejabat negara bisa melayangkan surat begitu saja melakukan tindakan memerintahkan para penyelenggara akses internet untuk memblokir seluruh penampil pornografi di jaringan internet. Karena, upaya ini selain tak demokratis juga tidak efisien dan menjadi bahan pertanyaan dan lelucon kebanyakan orang dan penyelenggara akses internet.
Ada beberapa hal. Pertama, akses jaringan internet di Indonesia sekarang berkembang menjadi sebuah bisnis yang ikut menggerakkan perekonomian nasional, sehingga pelarangan dengan memerintahkan penutupan situs negatif tertentu menjadi tidak ekonomis karena dibutuhkan upaya yang sangat besar dari sisi waktu, tenaga, dan biaya.
Selain itu, kebanyakan para penyelenggara akses jaringan internet serta pemilik domain cukup sportif untuk bisa mengakomodasi keinginan pejabat negara terhadap akses sebuah situs tertentu. Cara yang dilakukan adalah dengan memberikan tanda flag, mengharuskan orang-orang yang mengakses situs tersebut mengisi nama, alamat, dan lainnya serta melakukan verifikasi bahwa pengakses sudah cukup umur secara hukum untuk memasuki situs tersebut dan juga tidak semua situs yang menampilkan poronografi adalah 100% berisi hal – hal yang porno, sebagai contoh youtube, myspace, dan rapidshare.
Sekarang tinggal bagaimana sikap mental para user untuk menanggapi warning tersebut. Kedua, cara kita berbangsa dan bernegara berubah total karena kemajuan teknologi komunikasi informasi. Artinya, siapa saja di mana saja, bisa dengan seenaknya menuduh, memanipulasi, memfitnah, serta melakukan berbagai tindakan, ucapan, atau membuat film, tanpa harus memikirkan dampaknya. Cara kita berbangsa dan bernegara pun harus ikut berubah mengikuti irama kemajuan ini dengan membuat berbagai peraturan perundang-undangan melindungi kepentingan kita. Karena menjadi hal yang sia - sia buat negara hanya untuk mengurus orang - orang yang iseng mengedarkan hal – hal yang berbau negatif, seperti film porno dan foto–foto porno.
Jadi, dari semua hal negatif yang ada di dalam internet yang harus disaring adalah lapisan-lapisan (layers) di dalam jejaring digital yang begitu rumit, sehingga keinginan penguasa untuk melakukan sesuatu terhadap jaringan internet menjadi sebuah pemborosan yang tidak perlu. Ada cara-cara efektif lain yang bisa dilakukan melalui sebuah kampanye politik menggunakan humas, menyatakan situs di jaringan internet tertentu bertentangan dengan asas kita bernegara dan berbangsa. Tidak hanya dengan serta-merta memblokir situs yang menampilkan hal – hal berbau pornografi, yang tentunya merugikan banyak pihak, termasuk kita para pencari informasi.
Selain itu, perlu juga kita ingatkan bahwa di era kemajuan teknologi komunikasi informasi, upaya penyaringan yang hanya berdasarkan common sense adalah kenistaan yang melanggar kesepakatan kita untuk bereformasi menegakkan demokrasi bagi keadilan seluruh rakyat. Apa pun tindakan kita harus selaras dan bisa disinkronisasi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kemajuan teknologi komunikasi informasi tidak bisa dibendung dengan cara-cara lama kekuasaan atas nama harmonisasi peradaban. Kita perlu belajar terus-menerus untuk menyelesaikan persoalan-persoalan digitalisasi kita secara hukum dan efektif, bukan lagi dengan pendekatan kekuasaan yang bisa merusak keseimbangan tatanan kita bernegara dan berbangsa. Cara kita menghadapi ancaman informasi yang bisa mengganggu kehidupan bernegara dan berbangsa harus berubah mengikuti kemajuan teknologi komunikasi informasi. Esensi penting reformasi membangun masyarakat demokratis tidak lagi bisa digunakan cara kekuasaan lama dengan mengirim surat untuk menghentikan dan menyensor situs internet tertentu seperti yang tertuang dalam surat Menkominfo ke APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pekan lalu. Perlu dipikirkan pendekatan baru untuk melindungi kepentingan kita di tengah kemajuan digitalisasi sekarang ini.(Kompas, 28 april 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)