Oleh: Annisa Rohmah
Meski UU Pemilu sudah mengatur segala bentuk kampanye peserta partai politik (parpol) Pemilu 2009, namun seperti yang diprediksikan sebelumnya, hanya partai besarlah yang merajai halaman iklan berbagai media cetak dan slot televisi. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Hanura, sampai Partai Gerindra. Pasalnya, media tak mungkin menampik gelimpang rupiah yang bisa diterima dari parpol berduit yang rela menghambur-hamburkan uang demi sebuah tujuan: popularitas.
Dalam Pasal 97 UU Pemilu disebutkan, media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Jika ditelisik lebih jauh, kata “adil dan seimbang” sungguh multitafsir dan rancu.
Adil dan seimbang bisa diartikan memberi porsi yang sama kepada seluruh peserta parpol untuk menayangkan iklannya pada halaman atau slot iklan media yang bersangkutan. Masalahnya, “porsi” ukuran, jumlah, warna, letak pun tak bisa serupa. Tak mungkin setiap hari media cetak memuat iklan seluruh peserta parpol pada halaman, ukuran, warna yang sama. Terlebih lagi pada media televisi yang penayangannya terbatas oleh waktu. Dilain pihak Parpol pun biasanya memiliki standar tersendiri untuk iklan politiknya. Nah, lagi-lagi standar parpol berduitlah yang pasti jauh lebih tinggi dari parpol “biasa”.
Kalau sudah begini, media tak mungkin benar-benar bisa berlaku obyektif. Masalah keuangan perusahaan adalah pertimbangan utama mengapa hal ini bisa terjadi dan terus berulang. Jika media yang bersangkutan selevel dengan Kompas, mungkin tak akan menjadi masalah besar karena tanpa perhelatan Pemilu pun banyak iklan yang telah mengantre. Lain halnya jika media yang ditunggangi parpol adalah media lokal atau media yang secara realistis “butuh dukungan dana”.
Namun, lepas dari segala permasalahan keuangan perusahaan media, media massa sebenarnya memang memiliki kecenderungan untuk tidak obyektif. Bukan berarti media massa menjadi sebuah kendaraan politik atau juru kampanye parpol tertentu. Namun, sebagai “watch dog”, media justru menjadi pihak yang bisa melihat secara jernih siapa yang sebenarnya paling “pantas” unggul dalam pertarungan politik.
Seperti yang diungkapkan Wartawan Senior Kompas Budiarto Shambazy, "Pers itu obyektif tetapi sikap pers tidak bisa netral. Obyektifitas pers bukan berarti tidak memilih. Hal itu akan melatih media untuk bersikap atas kepentingan parpol dan capres dalam pemilu''.
Selamat berpolitik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar