Selasa, Februari 23, 2010

Solo versus Surakarta

Tema ini menjadi perdebatan publik Solo atau Surakarta baru-baru ini. Tentang penamaan kota Surakarta yang diubah menjadi Solo. Tentu saja ini bukan masalah yang remeh temeh karena menyinggung jati diri kota Surakarta sendiri.
Penamaan “Solo” dinilai lebih mudah dikenal publik. Dalam rubrik Kring Solopos edisi Sabtu (20/02) lalu, sebagian besar responden lebih memilih nama “Solo“ untuk menggantikan Surakarta. Sebagian besar beralasan bahwa penamaan Solo lebih mudah diingat orang. Nantinya ini akan berpengaruh brand kota Solo yang mudah diingat. Selain itu penamaan kota Solo juga dinilai lebih praktis dan lebih mengena di benak masyarakat.
Namun beberapa responden masih bersikukuh bahwa penamaan Surakarta adalah yang tebaik. Surakarta dipandang sebagian kalangan lebih mempunyai nilai historis. Sejarah kota Surakarta dimulai pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono II di Kraton Kartosuro.Pada masa itu terjadi pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) dibantu oleh kerabat-kerabat Keraton yang tidak setuju dengan adanya kerjasama dengan Belanda. Pangeran Sambernyowo (RM. Said) adalah salah satu pendukungnya yang merasa kecewa karena daerah Sukowati yang dulu diberikan oleh Keraton Kartosuro kepada Ayahandanya dipangkas. Karena terdesak, Pakubowono mengungsi kedaerah Jawa Timur (Pacitan dan Ponorogo) Dengan bantuan Pasukan Kompeni dibawah pimpinan Mayor Baron Van Hohendrof serta Adipati Bagus Suroto dari Ponorogo, pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah Keraton Kartosuro hancur, Paku Buwono II memerintahkan Tumenggung Tirtowiguno, Tumenggung Honggowongso, dan Pangeran Wijil untuk mencari lokasi ibu kota Kerajaan yang baru. ada tahun 1745, dengan berbagai pertimbangan fisik dan supranatural.
Paku Buwono II memilih desa Sala -sebuah desa di tepi sungai Bengawan Solo- sebagai daerah yang terasa tepat untuk membangun istana yang baru. Sejak saat itulah, desa Sala segera berubah menjadi Surakarta Hadiningrat.
Baik nama Surakarta atau Solo, mempunyai nilai positif masing-masing. Berkaca dari sisi sejarah, jelas nama Surakarta mempunyai nilai lebih tinggi. Namun untuk masalah branding, penamaan kota “Solo” dinilai lebih mudah diingat publik luas. Bahkan dalam komentar di Kring Solopos, ada responden yang menjelaskan bahwa kerabatnya di luar daerah lebih mengenal kata Solo dibanding Surakarta.
Sekarang tinggal publik sendiri yang dapat menentukan. Entah itu “Solo” atau “Surakarta”, hal yang paling esensial adalah jiwa kejawen yang ada pada tiap individu. Jangan sampai semangat itu luntur hanya karena masalah penamaan kota. Branding memang penting namun jangan sampai kita menjadi orang yang tidak mengerti sejarah.

Oleh: Nanda Bagus Prakosa

4 komentar:

Unknown mengatakan...

pertama kali datang ke kota ini,bingung mana yg bner..solo ato surakerta. di tempatku Solo lbih terkenal drpd surakarta. baiknya emang Solo. Brandnya sdh terbntuk. Masalah nama Surakarta memang warisan masa lampau, tetapi tidak ada salahnya masyarakat setempat merubahnya. Bukankah juga bisa menjadi warisan budaya untuk generasi mendatang. Zaman terus berubah tentunya..

Nanda Bagus mengatakan...

ya kadang membingungkan. Jangankan anda yang pendatang, saya orang pribumi kadang suka bingung. Baik Solo atau Surakarta tidak masalah, masing-masing punya plus minus sendiri. Tinggal bagaimana kita membawa kota Solo (atau Surakarta) menjadi lebih baik.

Ema Utomo mengatakan...

kalo kata saya sih, orang solo aja yang membranding diri bernama SOLO bukan SURAKARTA. lihat saja dari beberapa event berkala nasional atau internasional seperti SIPA, SIEM dan yang lainnya, hampir semuanya memakai nama SOLO. ada juga beberapa slogan yang dicanangkan pemkot Solo utk jadi slogan di beberapa instansi, macam Solo Kreatif Solo Sejahtera.
yaaaaa, aneh saja ketika banyak polemik tentang Solo atau Surakarta, padahal nama Solo lebih bergaung dimana-mana. (ema)

Anonim mengatakan...

Solo. Surakarta. Ah, ini hanya soal nama. Coba bandingkan dengan: DIY Yogyakarta. Jogjakarta. Yogyakarta. Jogja. Yogya. Yang penting, maju!
-Litbang