The
Key
“Meeeeoooonnggg…”
“Sebentar
sayang, bapak lagi ada kerjaan, nanti sore kamu juga bakal makan enak”. Sahutku
sambil mengelus kucing yang sudah kuanggap anak sendiri. Kucing kampung yang
kuberi nama monki. Aneh bukan, kucing kok diberi nama monyet.
“Tiga buah lima belas ribu” sambil menyerahkan hasil
pekerjaanku kepada pelangganku. Ya, aku seorang tukang kunci. Hanya seorang
tukang kunci. Banyak asam pahit yang kutelan karena aku menjadi seorang tukang
kunci. Karena aku tukang kunci, aku bisa membantu orang-orang kembali membuka
pintunya yang terpisah dengan kunci aslinya. Walaupun hanya dengan satu tangan
aku mengerjakannya. Karena aku tukang kunci, aku berpisah dengan istri dan anak
perempuanku yang katanya tidak tahan menahan rasa malu memiliki seorang suami
maupun bapak sepertiku. Cacat dan berkawan dengan kunci yang tidak bisa
menentukan pintu masa depan.