The
Key
“Meeeeoooonnggg…”
“Sebentar
sayang, bapak lagi ada kerjaan, nanti sore kamu juga bakal makan enak”. Sahutku
sambil mengelus kucing yang sudah kuanggap anak sendiri. Kucing kampung yang
kuberi nama monki. Aneh bukan, kucing kok diberi nama monyet.
“Tiga buah lima belas ribu” sambil menyerahkan hasil
pekerjaanku kepada pelangganku. Ya, aku seorang tukang kunci. Hanya seorang
tukang kunci. Banyak asam pahit yang kutelan karena aku menjadi seorang tukang
kunci. Karena aku tukang kunci, aku bisa membantu orang-orang kembali membuka
pintunya yang terpisah dengan kunci aslinya. Walaupun hanya dengan satu tangan
aku mengerjakannya. Karena aku tukang kunci, aku berpisah dengan istri dan anak
perempuanku yang katanya tidak tahan menahan rasa malu memiliki seorang suami
maupun bapak sepertiku. Cacat dan berkawan dengan kunci yang tidak bisa
menentukan pintu masa depan.
Itulah alasan mengapa kini kucing kesayanganku
menjadi satu-satunya makhluk hidup yang kumiliki. Orang tuaku bahkan sudah
meninggal sejak aku berusia empat tahun. Kecelakaan mobil saat kami hendak
pindah kota mengharap rejeki. Hanya aku yang selamat tanpa satu tangan yang
terjepit saat penyelamatan.
Sudah
dua tiga puh lima tahun berlalu. Sepuluh tahun menyendiri di sebuah panti
asuhan dan sisanya tinggal Tuhan yang menentukan.
Petang menjelang, menjemputku
kembali pulang. “Pak Soki, tadi ada yang nyari, ngga tahu siapa. Laki-laki,
keliatannya masih muda, pakaiannya juga rapih. Pakai jas. Orang kantoran
kayaknya”. Seru tetanggaku yang menginfokan bahwa ada tamu tak diundang yang
sedang mencariku. “Wah, saya ngga pernah punya pelanggan pejabat, bu. Mungkin
salah alamat, tapi makasih bu buat infonya”. Sahutku sambil terheran-heran.
Polisikah?orang yang mau menuntutku kah? Atau memang terkaanku benar. Salah
alamat.
***
“Assalamualaikum!
Pak Soki. Tolong keluar, pak. Saya butuh bantuan anda!”.
Suara
asing berisik itu membangunkan tidurku. “Aaarrrggghh !!! siapa sih itu,
pagi-pagi uda ngundang emosi!! lagipula ini kan hari minggu. Saya lagi libur,
besok saja datang lagi!!”. “Tolong pak, ini darurat. Saya butuh bantuan anda”.
Balas teriakan laki-laki itu.
Setelah pintu kubuka. Tampang
seorang laki-laki yanga letih namun tetap dengan gaya berpakaian mirip dengan
yang tetanggaku bilang kemarin. Berpakaian jas. Seperti orang kantoran, namun
sudah agak kucel warnanya mungkin karena sudah bersahabat dengan panasnya
matahari. “Anda siapa? ada perlu apa datang kemari? Saya lagi libur kerja”.
“Bapak Sogi, tukang kunci itu kan?
Tolong saya pak, saya butuh keahlian anda untuk membukakan sebuah kotak besi.
Kotak berharga yang dua hari lalu saya hilangkan kuncinya. Saya tidak akan
kembali ke rumah hingga saya bisa menemukan pengganti kunci itu. Saya dengar
bapak ahli kunci di daerah sini. Mangkannya saya kesini”.
Setelah
tak tega dengan kondisi pemuda ini, akhirnya aku mempersilahkan masuk ke dalam
rumahku.”Coba ceritakan dengan pelan-pelan apa yang terjadi dan saya hanya
tukang kunci, bukan ahli. Ya, Tuhan. Sudah berapa lama kamu tidak makan?.”
Tanyaku sambil melhat badannya yang kurus kering berselimut jas yang rapih.
“Semenjak
saya tinggalkan rumah, belum menelan sesuap nasi atau makanan apapun. Minum pun
hanya satu botol yang tersisa di dalam mobil.” Dia pun mendekat ke arahku
sambil berbisik. “Saya memiliki bisnis yang saya yakin itu akan menjadi bisnis besar.
Bisnis yang bisa mengantar saya menuju orang terkaya dalam waktu lima tahun
mungkin. Namun, sebulan yang lalu, bisnis saya mengalami kerugian besar, Saya
bangkrut total, Banyak penyakit yang mulai menggerogoti badan saya. Yang paling
parah kanker paru-paru. Tidak ada uang lagi untuk berobat, hanya kotak itu yang
bisa menolong saya. Untung saja saya bisa terlepas dari kejaran orang-orang
yang menagih hutang saya. Saya kini hanya tinggal seorang diri. Jika saya
meninggal dan kotak itu sudah terbuka, semua harta milik saya akan saya berikan
ke bapak. Saya benar-benar butuh bantuan anda, pak.”
“Apa-apaan
ini. Setelah sudah mulai terbiasa dengan sakit hati sepeninggal istri dan anak.
Kini, aku berurusan dengan utang piutang?”. Tanyaku dalam hati. “Bisnis apa
anda hingga dikejar-kejar orang? Narkoba, hah?.” Sambungku.
“Saya hanya bisnis tekstil yang beruntung. Omset saya
lima pulu juta per tahun. Banyak saingan yang ingin menjatuhkan saya dan
sekarang benar-benar terjadi. Kalau Bapak baca Koran dua hari lalu tentang
kebakaran pabrik tekstil, itulah pabrik saya. Kotak besi itu diberikan ibu saya
sesaat sebelum dia meninggal. Hanya kotak besi dan rumah kedua kami yang kecil,
Tidak ada warisan apa-apa lagi. Baju yang kini saya kenakan juga satu-satunya
baju paling bagus yang saya punya sekarang. Di kotak itu tertulis: “BUKA DISAAT
KEADAAN MENDESAK.” Kotak itu kini ada di bagasi mobil saya. Berhari-hari saya
mencari tukang kunci, namun tidak ada yang mengerti cara membukanya. Mereka
bilang bapak lah mungkin orang satu-satunya yang bisa menolong saya”. Pria itu
menjelaskan sambil terbatuk-batuk. Parah keliatannya.
Aku
memang bukan hanya bisa membuat kunci, tapi aku juga bisa membukakan pintu atau
apapun yang terkunci dengan rapat. Tapi untuk sebuah kotak besi bahkan itu
misterius?belum pernah aku membayangkannya.
Setelah
memberinya makanan seadanya dan minum yang cukup, aku mengajaknya untuk melihat
seperti apa benda besi yang tertutup rapat itu. Sepuluh menit kemudian kami
sampai di mobilnya. Dan dia segera mengambil kotak besi itu lalu menyerahkannya
kepadaku. Rumit memang karena bentuk lubang kuncinya unik. Dengan alat seadanya
yang kubawa tadi dari rumah, sekuat tenaga akan kubuka kotak itu. Tetap hanya
dengan satu tangan.
Hampir setengah jam ku berkelahi dengan kotak besi
yang menguras tenaga itu. Dihancurkan pun tidak bisa. Saat aku frustasi dengan
kerjaanku, aku melirik kunci yang terikat dengan leherku. Kunci yang dulu
pernah aku buat dengan iseng. Berebentuk L, dan dengan gabungan kunci lainnya
sebagai penambah gerigi. Kesempatan terakhirku dan….akhirnya TERBUKA!!!.
Wajahku yang berkeringat dan pemuda yang matanya
berair itu pun mengiringi pesta perayaan dengan terbukanya kotak besi itu.
Segera ku lihat apa yang tersimpan di dalam kotak misterius itu. Kaget. Mungkin
sedikit bercampur dengan heran dan kesal. Setelah setengah jam lebih aku
mati-matian membukanya. Hasilnya hanya sebuah kunci lagi?dan secarik kertas
bertuliskan: “JIKA KAU MEMBUKA KOTAK INI, BERARTI AKU SUDAH MATI DAN KAU PUN
HAMPIR MATI. AMBIL KUNCINYA DAN SEGERA BUKA PINTU RUANGAN YANG ADA DI BAWAH
RUMAH”.
Kami
berdua saling bertatapan dengan wajah melas dan terheran-heran. Apa sebenarnya
maksud semua ini.
“Saya
ingat. Dulu ibuku pernah mengatakan bahwa di bawah rumah kedua kami yang kecil
itu, ada sebuah tempat yang bisa mewujudkan segala impian. Entah apapun itu
saya belum pernah mendatanginya, pak”. Entah kenapa wajah yang semula kulihat
lemah dan seperti orang kurang gizi tadi tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi
penuh antusias.
“Tidak
ada jalan lain selain…kau tahu maksudku”. Sahutku yang ikut terbawa suasana
antusiasnya.
Sejam
berlalu dan kami sudah menapakkan kaki di depan rumah pemuda itu. Pemuda yang
lupa kutanyakan siapa namanya.
“Sudah
hampir setengah hari kita bertemu dan seperti detektif yang memecahkan kasus.
Tapi aku lupa menanyakan namamu, nak.”
“Kenny,
pak. Panggil saja saya Kenny. Maaf juga sebelumnya sudah banyak merepotkan
bapak. Walaupun nanti saya mati atau tidak, janji saya tetap saya tepati, pak.”
“Saya
bukan orang yang buta harta Kenny. Memang sudah pekerjaan saya untuk mambantu
membukakan pintu atau apapun yang terkunci. Walau kondisi saya yang sebelah
tangan dan tua ini, saya senang bisa membantu anda.” Ucapku dengan nada bijaksana.
Aku memang tidak buta akan harta, tapi jujur saja, ini pengalaman pertama yang
mungkin memoriku akan terus mengingatnya. Ditengah kondisi yang tua dan
sebatang kara ini, masih ada yang butuh pertolonganku. Terima kasih, Tuhan.
Segera kami berdua menuju ruangan
yang tertulis di dalam kotak besi itu. Ruangannya berada di dalam banker yang
tertutup rapat bertahun-tahun. Setelah menghancurkan gembok karatan yang
meguncinya, kami berdua turun ke dalamnya. Gelap memang. Lorong menuju
ruangannya hanya muat untuk dua orang. Seperti bekas tambang, berdinding
lembab, tapi entah tambang apa itu. Untung saja ada obor yang tertempel di
dinding lorong. Jarak antara pintu
banker kami masuk tadi dengan ruangan yang dituju berjarak dua puluh meter.
“Kenny, kuncinya”. Pintaku sambil
menyulurkan tangan. Dalam waktu lima detik, pintu itupun terbuka. Lagi-lagi
kami kaget dibuatnya. Bukan karena kunci dan secarik kertas lagi yang kami
temukan, melainkan emas. Ya, EMAS!!!
Ruangan
itu hanya berukuran 3x3 meter. Tapi yang membuat kami takjub adalah emasnya
yang memenuhi ruangan itu. Terdiri dari sepuluh tumpukan yang masing-masing
tumpukan dihiasi emas setinggi tiga meter. Langsung saja tubuhku kaku tak
menyangka apa yang sedang terjadi.
Kenny langsung menghampiriku dengen mata
berkaca-kaca tanda bahagia. “Terima kasih, pak. Sudah banyak membantu saya. Ini
kartu nama saya. Tiga minggu lagi saya akan memberi kabar ke bapak”.
***
Tiga
minggu setelah kejadian mengesankan itu, benar nyatanya apa yang Kenny katakan.
Seseorang datang ke rumahku. Pria berjas rapih (lagi) dan berkacamata. Tampak
seperti orang berpendidikan tinggi. Seorang pengacara rupanya.
“Pak
Soki? Saya Albert. Pengacara dari Pak Kenny. Ada kabar bahagia sekaligus sedih
yang diberikan Kenny untuk Bapak. Langsung saja bapak sendiri yang membacanya”.
Ucap orang itu sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku.
Dengan
tangan yang agak gemetar, lantas aku membacanya.
“Untuk sahabat singkatku, pak Soki. Terima kasih
Bapak sudah memecahkan masalah saya tiga minggu yang lalu. Ibu saya pasti ikut
bahagia dengan Bapak. Tapi maaf, saya tidak bisa bertemu dengan Bapak karena
jika Bapak membaca surat ini, berarti nyawa saya sudah menyatakan bendera putih
kepada penyakit kanker paru-paru saya. Setelah kita berpisah, hanya sebagian
dari emas-emas itu yang saya gunakan untuk berobat. Tenang, pak Soki. Emas itu
kini aman di tempat dia berasal sebelumnya. Surat wasiat ini saya tulis untuk
menyerahkan semua emas milik saya untuk Bapak. Saya berharap ke depannya, bapak
bukan hanya sebagai tukang kunci yang membuat kunci cadangan, melainkan juga
sebagai orang yang membuka pintu bagi orang lain menuju ke arah yang lebih baik
dengan semua emas-emas itu. Sekali lagi terima kasih, pak. Anda orang yang
baik”.
Air mata tak terasa mengalir membasahi
wajahku yang tua dan lugu ini. Sedih mengetahui orang yang memang singkat,
namun terasa sangat dekat sekali meninggalkan dunia ini. Sahabat tersingkatku.
Bukan dia yang seharusnya berterima kasih, melainkan aku. Aku yang berterima
kasih untuk semua hal yang menjauhkanku dari gelapnya sendiri. Satu hal
tambahan yang bisa kupetik adalah karena
aku tukang kunci, aku bisa menuntun orang lain membuka impiannya, bukan hanya
sebuah pintu, kotak, ataupun benda terkunci lainnya, melainkan impian. Ya,
impian. Impianku juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar