JANGAN
PERGI
Dengan mata berkaca-kaca dan wajah pilu, Sinta menatap rintikan
air hujan di hadapannya. Pikirannya terbang menjelajahi mesin waktu dan
membuatnya teringat akan masa itu.
”Rheno! Mau pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku!” Sinta
berteriak sembari berlari mengejar saudara kembarnya. Mendengar teriakan saudaranya,
Rheno berhenti sejenak dan menoleh ke belakang.
”Heh, Sin! Dengarkan baik-baik! Aku tidak tahan dengan
kelakuanmu itu! Kekanak-kanakan, sok tahu, dan selalu ingin mengatur. Jadi, biarkan
aku meninggalkan tempat ini!” Setelah selesai berbicara, Rheno segera berpaling
meninggalkan Sinta tanpa menggubris tanggapan saudaranya yang sebenarnya sangat
peduli padanya.
Sinta hanya terpaku melihat sosok yang sangat disayanginya
berpaling meninggalkan dirinya, semakin jauh, jauh, dan akhirnya hilang entah
ke mana. Hatinya kini terpenuhi dengan perasaan kesal, kecewa, dan sedih. Perasaan
itu bukan ditujukan pada Rheno yang telah pergi meninggalkannya melainkan pada
dirinya sendiri yang belum mampu memperbaiki sikapnya seperti yang dikehendaki
saudaranya.
Sebenarnya Sinta dan Rheno adalah sepasang anak yang
hidup rukun dan saling mengasihi satu sama lain. Tetapi itu semua sebelum orang
tua mereka bercerai karena ibu mereka tidak ingin ayahnya memiliki seorang
istri yang tidak akan lama lagi hidupnya. Ayahnya menuruti keinginan ibunya
untuk menikah lagi. Niat hati ingin membahagiakan sang istri. Namun, takdir berkata
lain. Rheno justru menganggap bahwa ayahnya tidak ingin mempertahankan hubungan
keluarga mereka.
Dua bulan setelah perceraian, ibunya meninggal. Rheno dan
Sinta tak kuasa menahan kesedihan mereka. Ayahnya hanya diam terpaku menatap
jenazah istrinya yang kini telah terkubur, hanya batu nisan yang tampak di
matanya.
Kini mereka hidup bersama ayah dan ibu baru mereka. Akan
tetapi, hal yang paling disayangkan ketika hubungan Rheno dan orang tuanya
semakin tidak harmonis. Sinta berusaha untuk memberikan pengertian bahwa semua
ini demi kebaikan keluarga mereka. ”Ini adalah keinginan terakhir ibu kita,
Rhen.” Sinta dengan sabar membujuk Rheno untuk kembali akur dengan orang
tuanya, terutama ayahnya.
Sinta terbangun dari lamunannya. ”Aku harus membuat Rheno
pulang ke rumah. Aku tidak ingin kehilangan satu anggota keluargaku lagi!” Kembali
Sinta menelusuri pikirannya. Ia harus menemukan Rheno secepatnya, ia harus tahu
bagaimana keadaannya sekarang. Sudah satu minggu Rheno meninggalkan rumah tanpa
kabar.
”Tapi aku harus mencari ke mana?” Sekali lagi Sinta
berpikir sembari melangkahkan kakinya perlahan mengarah pada sebuah gang kecil yang
dulunya tempat mereka berpisah. Tepat saat kakinya menginjak jalan gang itu,
Sinta berhenti sejenak seolah sedang mengingat, lalu secepat kilat berlari ke arah
jalan besar lalu melambaikan tangannya pada sebuah taksi.
Di tengah derasnya hujan, Sinta menemukan Rheno dalam
keadaan terkujur lemas di makam ibunya. Dengan wajah panik Sinta berteriak
minta tolong. Untunglah sopir taksi itu belum beranjak meninggalkan tempat.
Dibawalah Rheno ke rumah sakit di mana dulu ibunya dirawat.
Apa yang dikhawatirkan selama ini benar terjadi, Sinta
tak bisa menahan rasa kekesalannya saat ini. ”Kamu harus banyak-banyak
istirahat! Jangan suka meluapkan amarah yang berlebihan. Nanti ka...”. ”Cukup,
Sin! Aku bosan dengan kata-katamu itu. Sejak ibu meninggal, kamu selalu ingin
mengaturku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan!” Rheno memotong ucapan Sinta
karena sebenarnya dia benar-benar tidak tahan akan keadaan dirinya sendiri.
Sinta terkenang saat pertama mereka berselisih dan
sekarang terpaku melihat tubuh Rheno direbahkan dalam tempat tidur dan penuh
dengan alat-alat medis. Ia tak kuasa meneteskan air matanya, demi saudaranya Sinta
akan melakukan segala sesuatu. Sikap Sinta selama ini adalah demi menjaga
kesehatan Rheno. Ia tidak ingin saudaranya mengalami keadaan seperti apa yang
telah menimpa ibunya.
Dalam keadaan basah kuyup Sinta berada di samping
saudaranya dan memegang erat tangannya. Dan terus berdoa sambil menunggu kedua
orang tuanya sampai di rumah sakit.
Tak lama kemudian Rheno tersadar, ia melihat Sinta dan
kedua orang tuanya yang begitu menyayanginya berada di dekatnya. Rheno
berbicara dengan lirih kepada Sinta. ”Maafkan aku karena selama ini selalu
menyusahkanmu, bukan kamu yang kekanak-kanakan tapi aku. Aku tahu kamu sangat
menyayangiku.” Begitu deras air mata membasahi pipi Sinta. Rheno juga meminta
maaf kepada kedua orang tuanya.
”Aku sangat sayang padamu, Sin.” Rheno menatap mata Sinta
dalam-dalam dan perlahan-lahan matanya mulai menutup. ”Rheno! Jangan pergi!”
Sinta menangis dan memeluk saudaranya yang telah tiada.
Rheno meninggal karena penyakit kanker.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar