(Fauziah Nurlina)
Indonesia
merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia.
Bahkan di bandingkan dengan negara seperti Arab, populasi penduduk muslim di
Indonesia sangatlah besar. Jadi tidak heran, bila wanita muslim Indonesia
banyak yang menggunakan jilbab atau
sejenis penutup kepala untuk menutupi aurot mereka dan sekaligus sebagai
penanda bahwa mereka adalah seorang muslimah. Karena dalam Al-Quran tertulis
bahwa, wanita islam hendaknya menggunakan kain kerudung untuk menutupi aurotnya,
dalam surat An-Nur 31.
Disisi lain, dengan adanya kebebasan
tentang berjilbab saat ini membuat masyarakat Indonesia memilih untuk
menambahkan jilbab, sebagai atribut yang wajib untuk dikenakan dalam
aktivitasnya. Berbeda dengan pada jaman Soeharto, yang menyulitkan masyarakat
muslim di Indonesia untuk menggunakan jilbab di instansi maupun di sekolah. Hal
itu juga menjadikan faktor banyaknya wanita berjilbab pada zaman ini. Bahkan Saat
ini, mudah sekali menemukan wanita berjilbab di lingkungan masyarakat
Indonesia. Hal ini juga tidak telepas dari peran dari gerakan feminisme.
Merujuk
pada Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan dalam Feminisme dan Relevansinya diungkap bahwa, feminisme tidak hanya
sekedar menuntut perbaikan hubungan untuk mengakhiri diskriminasi, namun juga
untuk emansipasi perempuan. Feminisme masa kini meliputi perjuangan menentang
subordinasi perempuan terhadap laki-laki di lingkungan rumah tangga mereka;
melawan pemerasan oleh keluarga; menentang status yang terus menerus rendah di
tempat kerja, serta dalam agama di
negerinya, dan menentang beban rangka yang mereka derita dalam produksi dan
reproduksi.[1]
Kesadaran akan feminisme ini membuka mata wanita untuk memperjuangkan hak-hak
mereka. Termasuk di dalamnya hak untuk mengenakan jilbab di dalam
kesehariannya.
Perkembangan
jilbab yang ada di masyarakat Indonesia saat ini, tentunya tidak lepas dari
perkembangan media itu sendiri. Dan jika kita membicarakan tentang jilbab dan
media, tentunya mata kita tidak lepas dari media televisi yang merupakan media
audio visual. Masih teringat di benak kita, bahwa penggunaan jilbab di media
televisi pada jaman dahulu hanyalah saat bulan ramadhan menuju ke hari raya
idul fitri. Selebihnya, pada hari biasa baik sinetron, acara TV lain maupun
iklan di penuhi oleh sosok-sosok wanita yang cantik, putih, tinggi, langsing
dan berambut panjang.
Jika kita berbicara tentang televisi,
maka televisi merupakan media yang paling di gemari oleh masyarakat. Bahkan
merupakan media yang ampuh menanamkan suatu pemikiran terhadap masyarakat. Televisi
sebagai media elektronik mempunyai kelebihan dibandingkan dengan media lainnya.
Kelebihan daripada televisi yaitu “Kemampuan dalam menyajikan komentar atau
pengamatan langsung pada saat suatu kejadian berlangsung.[2] Disamping
itu, menurut Jurnal Perempuan No. 37/
2004:47 menyebutkan bahwa 90% rumah tangga Indonesia memiliki TV dengan jam
tayang anak-anak mencapai 5 jam/ hari.[3]
Hal ini membuktikan bahwa betapa efektifnya televisi sebagai media massa bagi
masyarakat.
Di dalam pertelevisian Indonesia
saat ini, terdapat kesempatan pemakaian jilbab di media secara terbuka. Seperti
pada iklan kosmetik Wardah yang menggunakan Ineke Koesherawati, artis
berkerudung sebagai brand ambasador, shampo
Sunsilk, dan iklan-iklan lain yang memunculkan wanita berjilbab dalam
tayangannya. Hal ini merupakan suatu pencitraan bagi wanita berjilbab, bahwa
saat ini berjilbab tidak akan mengganggu aktifitas, tetap dapat tampil cantik
selayaknya wanita-wanita lainnya. Fenomena ini jelas menimbulkan daya tarik
serta menimbulkan pemikiran, antara jilbab dan media terjadi hubungan yang
baik.
Adanya kebebasan pemakaian jilbab di
media ini, juga merupakan suatu pengaplikasian dari hak yang dimiliki setiap
orang. Dimana mereka memiliki hak beragama dan mendapatkan perlakuan yang sama
bahkan di media itu sendiri. Hak perlakuan sama menyangkut latar belakang
hidup, bahkan penggunaan jilbab yang melambangkan bahwa dia merupakan seorang
muslimah.
Jadi tidak heran bila menemukan
sosok berjilbab di televisi. Bukan hanya di iklan ataupun acara berbau hiburan yang
dikemas secara santai, tetapi juga pada berita televisi nasional yang
melibatkan newscaster berjilbab.
Tercatat Andi Kumala @ kabarPagi (tvOne), Tika Ghaffar
@ topikPagi (anTv), Lisa Namuri Arif @ reportasePagi
(transTv). Selain itu juga terdapat Lisyaannurrahmi
finalis Putri Indonesia perwakilan Aceh yang merupakan mahasiswi kedokteran
Universitas Syiah Kuala, tampil mencuri perhatian dengan baju muslim lengkap
dengan jilbabnya. Ini
merupakan suatu revolusi yang baik, di mana jilbab tidak menghalangi seseorang
untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Banyak kabar simpang siur yang
sering beredar, bahwa dengan menggunakan jilbab seseorang akan susah
mendapatkan posisi di pekerjaannya. Dan ternyata melalui media yang menampilkan
sosok-sosok wanita berjilbab dengan berbagai karakter dan pekerjaan itu telah
menepis keberadaan kabar tersebut. Karena dalam teori komunikasi terdapat agenda setting di mana media mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi kognisi khalayak. Apa yang diungkapkan oleh media
akan menjadi penting untuk khalayak. Selain itu juga suatu kenyataan yang tak
terbantahkan yaitu masyarakat memiliki pola pikir, rasa dan penilaian
berdasarkan apa yang pernah mereka lihat di televisi. Dalam menilai komunitas
dirinya pun, televisi dijadikan referensi utama.[4]
Selain
itu, kelompok-kelompok hijab yang saat ini sedang naik daun di kalangan
masyarakat, juga turut aktif dalam
penyebaran ilmu tentang jilbab. Mereka memperkenalkan jilbab sebagai suatu yang
baik, modern, cantik, dan dapat diterima di kalangan masyarakat umum. Dengan
gaya yang modis, casual, modern,
dikombinasikan dengan berbagai pernak-pernik, komunitas hijabers mampu menarik minat banyak
wanita untuk mengenakan jilbab sesuai dengan apa yang mereka buat. Dan tentu
saja, pengenalan dari kelompok ini melalui media massa, baik cetak maupun internet
yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. Mulai dari itu, banyak media
yang digunakan untuk menyampaikan pesan jilbab kepada masyarakat. Dan tentang
paradigma jilbab yang dulunya orang sangat berat memutuskan untuk mengenakannya
karena berbagai faktor ini, berubah menjadi jilbab yang modis, gaul,
menyenangkan dan cantik.
Membahas tentang jilbab dan media,
maka kita juga tidak terlepas dari etika dalam islam dan etika yang ada di
televisi sebagai satu media yang paling efektif untuk digunakan. Belum lepas
dari benak kita tentang kontes yang diadakan oleh SCTV yaitu “Boyband dan
Girlband Indonesia” yang melibatkan beberapa wanita berjilbab sebagai
pesertanya. Sunni, begitulah nama girlband mereka. Dengan gaya yang atraktif
dengan koreografi serta suara yang bisa dibilang lumayan untuk didengarkan ini,
menarik perhatian masyarakat Indonesia. Hingga mengantarkan mereka menjadi
juara 1 dalam kontes tersebut.
Hal ini memberikan realitas baru,
bahwa wanita berjilbab dapat melakukan hal yang sama dengan wanita yang tidak
berjilbab. Bahkan mereka membuktikan bahwa mereka dapat melakukan lebih. Bisa
dikatakan bahwa penampilan mereka merupakan yang pertama kalinya sekelompok
orang mengatas namakan GirlBand yang mengenakan jilbab. Sebelumnya, juga
terdapat penyanyi dangdut berjilbab yaitu Feti Vera. Dengan adanya penampilan
mereka di atas panggung yang menggunakan
jilbab, memakai pakaian yang tergolong ketat atau pakaian standard untuk show
menari-nari dan melonjak-lonjak diatas panggung menimbulkan pro dan kontra
terhadap penampilan mereka.
Pro dan kontra ini dapat terjadi
karena adanya jilbab di media melibatkan dua etika yang berbeda yaitu telah
disebutkan sebelumnya yaitu etika islam dan etika dalam televisi. Apabila
fenomena girlband dan penyanyi dangdut berjilbab ini dilihat dari konteks etika
dalam media, maka fenomena ini tidak menimbulkan suatu permasalahan. Karena
jelas sekali, tidak ada unsur yang dapat menyebabkan perdebatan di dalam media
itu sendiri. Namun apabila fenomena ini dilihat dari konteks etika agama, maka
akan berbeda. Di mana dalam agama islam terdapat batasan dalam pergaulan di
kehidupan sehari-hari. Dan terdapat banyak ketentuan untuk muslimah itu
sendiri. Dalam buku Muslimah Modern dalam
Bingkai Alquran dan Al-hadist dituliskan bahwa pakaian yang dikenakan
muslimah akan mengantarkan mereka pada kemuliaan dan kesucian mereka. Pakaian
yang dikehenaki islam adalah yang tidak tipis, dan tidak ketat hingga kelihatan
lengkuk-lengkuk postur tubuh.[5] Dan
tidak selayaknya seorang wanita berjilbab bernyanyi, menari-nari dan
melonjak-lonjak di depan orang-orang yang kebanyakan dari mereka bukan
muhrimnya. dan jelas fenomena ini menimbulkan reaksi tersendiri, bahwa
orang-orang yang tidak menyetujui akan penampilan mereka tidak akan mengakui eksistensi
mereka.
Dalam agama islam tidak melarang
untuk setiap pemeluknya mengembangkan potensi diri mereka, namun dalam
mengembangkan potensi tentunya akan ada suatu batasan untuk pemeluk agama islam
agar tidak berlebihan dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dalam
hal ini, etika media dan etika beragama harus saling beriringan. Dan selayaknya
untuk diketahui bahwa pengetahuan tentang etika ini harus dimiliki oleh setiap
orang. Etika memang diciptakan untuk memberikan gambaran tentang baik dan
buruk, benar dan salah. Jadi sudah sewajarnya media juga memperhatikan
etika-etika lain, tidak hanya berfokus pada etika media dan mengesampingkan
etika yang lainnya. Karena kita hidup dalam masyarakat yang memiliki banyak
kebudayaan dan juga agama yang berlainan.
Seperti contohnya, suatu gambaran
adanya ketidaksesuaian tentang orang berjilbab di media. Penulis pernah
mengamati tentang beberapa tayangan sinetron yang menurut penulis sendiri itu
tidak sesuai, dan dapat menanamkan suatu gambaran yang menyesatkan. Sebagai
contoh yaitu pada adegan dalam sinetron Melodi
Cinta yang pernah tayang di Indosiar sekitar tahun 2010-2011 lalu. Dalam
tayang tersebut pernah terdapat adegan, dimana beberapa anak remaja yang sedang
dalam misinya masuk ke dalam toko perhiasan dan mengenakan jilbab beserta
cadarnya untuk menghilangkan identitas mereka. Sampai pada akhirnya meraka dikejar-kejar
oleh petugas keamanan karena telah melakukan tindakana yang merugikan toko
tersebut. Hal ini jelas telah memunculkan suatu anggapan yang negatif kepada
masyarakat akan keberadaan masyarakat yang menggunakan jilbab bercadar.
Selain itu juga di stasiun TV yang
sama, pernah terdapat sinetron yang menggambarkan tentang kehidupaan seorang
alim yang kaya raya yang memiliki 4 istri. Dalam cerita tersebut juga terdapat
tokoh berjilbab dan antagonis. Dengan berbagai tipu muslihatnya berusaha
menyingkirkan tokoh protagonis. Hal itu juga merupakan suatu penggambaran yang
buruk di dalam masyarakat tentang wanita berjilbab.
Karena dalam teori komunikasi yaitu agenda setting, di mana dalam teori
tersebut mengemukakakn bahwa media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
kognisi khalayak. Sehingga apa yang media gambarkan, apa yang media anggap
berikan dan apa yang dianggap oleh media penting kepada khalayak, akan menjadi
penting pula untuk khalayak.
Tentunya, tayangan-tayangan yang
menggambarkan wanita berjilbab secara negatif akan berpengaruh terhadap pola
pikir khalayak itu sendiri. Mereka juga dapat berpikiran negatif tentang sosok
seseorang yang berjilbab sesuai dengan apa yang digambarkan oleh media.
Walaupun kita juga mengetahui bahwa orang berjilbab tidak sempurna, mereka juga
memiliki sifat selayaknya manusia biasa yang memiliki kekurangan. Namun, apa
yang digambarkan oleh media itu terlalu berlebihan dan malah mungkin
mengakibatkan khalayak memiliki kecurigaan dan sikap hati-hati pada wanita yang
berjilbab lebar dengan menggunakan cadar.
Ini jelas merugikan orang yang termasuk
dalam kelompok tersebut. Maka, diperlukan adanya kehati-hatian dari media untuk
menayangkan acara yang dapat menimbulkan kesalahpahaman di dalam masyarakat.
Suatu etika dibuat tidak untuk saling menjatuhkan dengan etika lain. Namun dibuat
untuk saling menguatkan. Jadi tidak heran, bila etika satu dengan etika yang
lain sedikit berbeda dalam penyajiannya. Hal itu semua tergantung bagaimana
seseorang menilai dan menyikapi suatu etika yang menurut dia sesuai dengan apa
yang dia percaya, namun perlu ditekankan lagi bahwa tetap harus saling
beriringan dan saling menghormati serta menghargai. Mengingat negara kita yang
merupakan negara beragam kebudayaan dan agama, sikap saling menghormati dan
menghargai lah yang akan menjadikan kehidupan akan lebih bermakna. Tanpa ada
kekerasan, tanpa ada sikap saling menjatuhkan, yang ada hanya duduk bersama
dengan pemikiran yang terbuka untuk menerima perbedaan yang ada.
[1]
Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Feminisme
dan Relevansinya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 7.
[2] McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Gramedia,
Jakarta, 1994 , Hlm. 15.
[4] Nurudin. Televisi agama baru masyarakat modern, UMM Press, Malang, 1997,
hlm. 11.
[5] A.
Mudjab Mahalli. Muslimah Modern dalam
Bingkai Al-Quran dan Al-Hadist, leKPIM, Yogyakarta, 1998, hlm. 146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar