Minggu, Juli 29, 2012

Jilbab dan Media


(Fauziah Nurlina)

            Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Bahkan di bandingkan dengan negara seperti Arab, populasi penduduk muslim di Indonesia sangatlah besar. Jadi tidak heran, bila wanita muslim Indonesia banyak yang  menggunakan jilbab atau sejenis penutup kepala untuk menutupi aurot mereka dan sekaligus sebagai penanda bahwa mereka adalah seorang muslimah. Karena dalam Al-Quran tertulis bahwa, wanita islam hendaknya menggunakan kain kerudung untuk menutupi aurotnya, dalam surat An-Nur 31.
            Disisi lain, dengan adanya kebebasan tentang berjilbab saat ini membuat masyarakat Indonesia memilih untuk menambahkan jilbab, sebagai atribut yang wajib untuk dikenakan dalam aktivitasnya. Berbeda dengan pada jaman Soeharto, yang menyulitkan masyarakat muslim di Indonesia untuk menggunakan jilbab di instansi maupun di sekolah. Hal itu juga menjadikan faktor banyaknya wanita berjilbab pada zaman ini. Bahkan Saat ini, mudah sekali menemukan wanita berjilbab di lingkungan masyarakat Indonesia. Hal ini juga tidak telepas dari peran dari gerakan feminisme.
Merujuk pada Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan dalam Feminisme dan Relevansinya diungkap bahwa, feminisme tidak hanya sekedar menuntut perbaikan hubungan untuk mengakhiri diskriminasi, namun juga untuk emansipasi perempuan. Feminisme masa kini meliputi perjuangan menentang subordinasi perempuan terhadap laki-laki di lingkungan rumah tangga mereka; melawan pemerasan oleh keluarga; menentang status yang terus menerus rendah di tempat kerja, serta dalam agama di negerinya, dan menentang beban rangka yang mereka derita dalam produksi dan reproduksi.[1] Kesadaran akan feminisme ini membuka mata wanita untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Termasuk di dalamnya hak untuk mengenakan jilbab di dalam kesehariannya.
Perkembangan jilbab yang ada di masyarakat Indonesia saat ini, tentunya tidak lepas dari perkembangan media itu sendiri. Dan jika kita membicarakan tentang jilbab dan media, tentunya mata kita tidak lepas dari media televisi yang merupakan media audio visual. Masih teringat di benak kita, bahwa penggunaan jilbab di media televisi pada jaman dahulu hanyalah saat bulan ramadhan menuju ke hari raya idul fitri. Selebihnya, pada hari biasa baik sinetron, acara TV lain maupun iklan di penuhi oleh sosok-sosok wanita yang cantik, putih, tinggi, langsing dan berambut panjang.
            Jika kita berbicara tentang televisi, maka televisi merupakan media yang paling di gemari oleh masyarakat. Bahkan merupakan media yang ampuh menanamkan suatu pemikiran terhadap masyarakat. Televisi sebagai media elektronik mempunyai kelebihan dibandingkan dengan media lainnya. Kelebihan daripada televisi yaitu “Kemampuan dalam menyajikan komentar atau pengamatan langsung pada saat suatu kejadian berlangsung.[2] Disamping itu, menurut Jurnal Perempuan No. 37/ 2004:47 menyebutkan bahwa 90% rumah tangga Indonesia memiliki TV dengan jam tayang anak-anak mencapai 5 jam/ hari.[3] Hal ini membuktikan bahwa betapa efektifnya televisi sebagai media massa bagi masyarakat.
            Di dalam pertelevisian Indonesia saat ini, terdapat kesempatan pemakaian jilbab di media secara terbuka. Seperti pada iklan kosmetik Wardah yang menggunakan Ineke Koesherawati, artis berkerudung sebagai brand ambasador, shampo Sunsilk, dan iklan-iklan lain yang memunculkan wanita berjilbab dalam tayangannya. Hal ini merupakan suatu pencitraan bagi wanita berjilbab, bahwa saat ini berjilbab tidak akan mengganggu aktifitas, tetap dapat tampil cantik selayaknya wanita-wanita lainnya. Fenomena ini jelas menimbulkan daya tarik serta menimbulkan pemikiran, antara jilbab dan media terjadi hubungan yang baik.
            Adanya kebebasan pemakaian jilbab di media ini, juga merupakan suatu pengaplikasian dari hak yang dimiliki setiap orang. Dimana mereka memiliki hak beragama dan mendapatkan perlakuan yang sama bahkan di media itu sendiri. Hak perlakuan sama menyangkut latar belakang hidup, bahkan penggunaan jilbab yang melambangkan bahwa dia merupakan seorang muslimah.
            Jadi tidak heran bila menemukan sosok berjilbab di televisi. Bukan hanya di iklan ataupun acara berbau hiburan yang dikemas secara santai, tetapi juga pada berita televisi nasional yang melibatkan newscaster berjilbab. Tercatat Andi Kumala @ kabarPagi (tvOne), Tika Ghaffar @ topikPagi (anTv), Lisa Namuri Arif @ reportasePagi (transTv). Selain itu juga terdapat Lisyaannurrahmi finalis Putri Indonesia perwakilan Aceh yang merupakan mahasiswi kedokteran Universitas Syiah Kuala, tampil mencuri perhatian dengan baju muslim lengkap dengan jilbabnya.  Ini merupakan suatu revolusi yang baik, di mana jilbab tidak menghalangi seseorang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
            Banyak kabar simpang siur yang sering beredar, bahwa dengan menggunakan jilbab seseorang akan susah mendapatkan posisi di pekerjaannya. Dan ternyata melalui media yang menampilkan sosok-sosok wanita berjilbab dengan berbagai karakter dan pekerjaan itu telah menepis keberadaan kabar tersebut. Karena dalam teori komunikasi terdapat agenda setting di mana media mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi kognisi khalayak. Apa yang diungkapkan oleh media akan menjadi penting untuk khalayak. Selain itu juga suatu kenyataan yang tak terbantahkan yaitu masyarakat memiliki pola pikir, rasa dan penilaian berdasarkan apa yang pernah mereka lihat di televisi. Dalam menilai komunitas dirinya pun, televisi dijadikan referensi utama.[4]
Selain itu, kelompok-kelompok hijab yang saat ini sedang naik daun di kalangan masyarakat,  juga turut aktif dalam penyebaran ilmu tentang jilbab. Mereka memperkenalkan jilbab sebagai suatu yang baik, modern, cantik, dan dapat diterima di kalangan masyarakat umum. Dengan gaya yang modis, casual, modern, dikombinasikan dengan berbagai pernak-pernik,  komunitas hijabers mampu menarik minat banyak wanita untuk mengenakan jilbab sesuai dengan apa yang mereka buat. Dan tentu saja, pengenalan dari kelompok ini melalui media massa, baik cetak maupun internet yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. Mulai dari itu, banyak media yang digunakan untuk menyampaikan pesan jilbab kepada masyarakat. Dan tentang paradigma jilbab yang dulunya orang sangat berat memutuskan untuk mengenakannya karena berbagai faktor ini, berubah menjadi jilbab yang modis, gaul, menyenangkan dan cantik.
            Membahas tentang jilbab dan media, maka kita juga tidak terlepas dari etika dalam islam dan etika yang ada di televisi sebagai satu media yang paling efektif untuk digunakan. Belum lepas dari benak kita tentang kontes yang diadakan oleh SCTV yaitu “Boyband dan Girlband Indonesia” yang melibatkan beberapa wanita berjilbab sebagai pesertanya. Sunni, begitulah nama girlband mereka. Dengan gaya yang atraktif dengan koreografi serta suara yang bisa dibilang lumayan untuk didengarkan ini, menarik perhatian masyarakat Indonesia. Hingga mengantarkan mereka menjadi juara 1 dalam kontes tersebut.
            Hal ini memberikan realitas baru, bahwa wanita berjilbab dapat melakukan hal yang sama dengan wanita yang tidak berjilbab. Bahkan mereka membuktikan bahwa mereka dapat melakukan lebih. Bisa dikatakan bahwa penampilan mereka merupakan yang pertama kalinya sekelompok orang mengatas namakan GirlBand yang mengenakan jilbab. Sebelumnya, juga terdapat penyanyi dangdut berjilbab yaitu Feti Vera. Dengan adanya penampilan mereka di atas panggung yang  menggunakan jilbab, memakai pakaian yang tergolong ketat atau pakaian standard untuk show menari-nari dan melonjak-lonjak diatas panggung menimbulkan pro dan kontra terhadap penampilan mereka.
            Pro dan kontra ini dapat terjadi karena adanya jilbab di media melibatkan dua etika yang berbeda yaitu telah disebutkan sebelumnya yaitu etika islam dan etika dalam televisi. Apabila fenomena girlband dan penyanyi dangdut berjilbab ini dilihat dari konteks etika dalam media, maka fenomena ini tidak menimbulkan suatu permasalahan. Karena jelas sekali, tidak ada unsur yang dapat menyebabkan perdebatan di dalam media itu sendiri. Namun apabila fenomena ini dilihat dari konteks etika agama, maka akan berbeda. Di mana dalam agama islam terdapat batasan dalam pergaulan di kehidupan sehari-hari. Dan terdapat banyak ketentuan untuk muslimah itu sendiri. Dalam buku Muslimah Modern dalam Bingkai Alquran dan Al-hadist dituliskan bahwa pakaian yang dikenakan muslimah akan mengantarkan mereka pada kemuliaan dan kesucian mereka. Pakaian yang dikehenaki islam adalah yang tidak tipis, dan tidak ketat hingga kelihatan lengkuk-lengkuk postur tubuh.[5] Dan tidak selayaknya seorang wanita berjilbab bernyanyi, menari-nari dan melonjak-lonjak di depan orang-orang yang kebanyakan dari mereka bukan muhrimnya. dan jelas fenomena ini menimbulkan reaksi tersendiri, bahwa orang-orang yang tidak menyetujui akan penampilan mereka tidak akan mengakui eksistensi mereka.
            Dalam agama islam tidak melarang untuk setiap pemeluknya mengembangkan potensi diri mereka, namun dalam mengembangkan potensi tentunya akan ada suatu batasan untuk pemeluk agama islam agar tidak berlebihan dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dalam hal ini, etika media dan etika beragama harus saling beriringan. Dan selayaknya untuk diketahui bahwa pengetahuan tentang etika ini harus dimiliki oleh setiap orang. Etika memang diciptakan untuk memberikan gambaran tentang baik dan buruk, benar dan salah. Jadi sudah sewajarnya media juga memperhatikan etika-etika lain, tidak hanya berfokus pada etika media dan mengesampingkan etika yang lainnya. Karena kita hidup dalam masyarakat yang memiliki banyak kebudayaan dan juga agama yang berlainan.
            Seperti contohnya, suatu gambaran adanya ketidaksesuaian tentang orang berjilbab di media. Penulis pernah mengamati tentang beberapa tayangan sinetron yang menurut penulis sendiri itu tidak sesuai, dan dapat menanamkan suatu gambaran yang menyesatkan. Sebagai contoh yaitu pada adegan dalam sinetron Melodi Cinta yang pernah tayang di Indosiar sekitar tahun 2010-2011 lalu. Dalam tayang tersebut pernah terdapat adegan, dimana beberapa anak remaja yang sedang dalam misinya masuk ke dalam toko perhiasan dan mengenakan jilbab beserta cadarnya untuk menghilangkan identitas mereka. Sampai pada akhirnya meraka dikejar-kejar oleh petugas keamanan karena telah melakukan tindakana yang merugikan toko tersebut. Hal ini jelas telah memunculkan suatu anggapan yang negatif kepada masyarakat akan keberadaan masyarakat yang menggunakan jilbab bercadar.
            Selain itu juga di stasiun TV yang sama, pernah terdapat sinetron yang menggambarkan tentang kehidupaan seorang alim yang kaya raya yang memiliki 4 istri. Dalam cerita tersebut juga terdapat tokoh berjilbab dan antagonis. Dengan berbagai tipu muslihatnya berusaha menyingkirkan tokoh protagonis. Hal itu juga merupakan suatu penggambaran yang buruk di dalam masyarakat tentang wanita berjilbab.
            Karena dalam teori komunikasi yaitu agenda setting, di mana dalam teori tersebut mengemukakakn bahwa media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kognisi khalayak. Sehingga apa yang media gambarkan, apa yang media anggap berikan dan apa yang dianggap oleh media penting kepada khalayak, akan menjadi penting pula untuk khalayak.
            Tentunya, tayangan-tayangan yang menggambarkan wanita berjilbab secara negatif akan berpengaruh terhadap pola pikir khalayak itu sendiri. Mereka juga dapat berpikiran negatif tentang sosok seseorang yang berjilbab sesuai dengan apa yang digambarkan oleh media. Walaupun kita juga mengetahui bahwa orang berjilbab tidak sempurna, mereka juga memiliki sifat selayaknya manusia biasa yang memiliki kekurangan. Namun, apa yang digambarkan oleh media itu terlalu berlebihan dan malah mungkin mengakibatkan khalayak memiliki kecurigaan dan sikap hati-hati pada wanita yang berjilbab lebar dengan menggunakan cadar. 
            Ini jelas merugikan orang yang termasuk dalam kelompok tersebut. Maka, diperlukan adanya kehati-hatian dari media untuk menayangkan acara yang dapat menimbulkan kesalahpahaman di dalam masyarakat. Suatu etika dibuat tidak untuk saling menjatuhkan dengan etika lain. Namun dibuat untuk saling menguatkan. Jadi tidak heran, bila etika satu dengan etika yang lain sedikit berbeda dalam penyajiannya. Hal itu semua tergantung bagaimana seseorang menilai dan menyikapi suatu etika yang menurut dia sesuai dengan apa yang dia percaya, namun perlu ditekankan lagi bahwa tetap harus saling beriringan dan saling menghormati serta menghargai. Mengingat negara kita yang merupakan negara beragam kebudayaan dan agama, sikap saling menghormati dan menghargai lah yang akan menjadikan kehidupan akan lebih bermakna. Tanpa ada kekerasan, tanpa ada sikap saling menjatuhkan, yang ada hanya duduk bersama dengan pemikiran yang terbuka untuk menerima perbedaan yang ada.

           


[1] Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Feminisme dan Relevansinya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 7.
[2] McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar,  Gramedia,  Jakarta, 1994 , Hlm. 15.
[3] Yosal Iriantara. Media Relation, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2005, hlm. 8.


[4] Nurudin. Televisi agama baru masyarakat modern, UMM Press, Malang, 1997, hlm. 11.
[5] A. Mudjab Mahalli. Muslimah Modern dalam Bingkai Al-Quran dan Al-Hadist, leKPIM, Yogyakarta, 1998, hlm. 146.

Tidak ada komentar: