Oleh: Pramuji Ari Mulyo*
Pada Januari lalu, jantung Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), sempat koma, lantaran ribuan massa pendukung salah satu calon Gubernur Sulsel meluapkan kemarahan dan kekecewaannya akibat pemerintah dinilai lamban dalam merespons terpilihnya sang calon hasil pilkada. Masa pendukung Gubernur Sulsel itu merasa khawatir akan timbul konflik yang disulut oleh pihak yang tidak bertanggung jawab jika jabatan Gubernur Sulsel itu tidak segera dikukuhkan oleh pemerintah.
Peristiwa semacam itu ternyata terjadi secara sporadis di berbagai wilayah Indonesia. Berbagai media banyak menyoroti tentang persoalan tersebut. Kita tidak bisa berkilah, karena memang itulah kenyataan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Peristiwa-peristiwa yang membuat mata kita nanar tersebut merupakan salah satu contoh dari keterpurukan moral demokrasi elite politik yang enggan mengalah.
Menurut penuturan Anggota KPU Endang Sulastri, yang dilansir dari Indonesia Views menyebutkan bahwa, “Perilaku politik yang kurang siap menerima kekalahan menjadi salah satu penyebab munculnya sengketa pilkada. Sikap ini membuat tim sukses dan peserta pilkada selalu mencari celah untuk melakukan gugatan sehingga apa pun hasil pilkada, akan terus menuai gugatan.” Kita sendiri, dengan keterbatasan yang ada, kadang menyeletuk penilaian yang keluar dari lisan kita dan menilai bahwa ada ketidaktransparanan dalam mekanisme pilkada, terutama dalam hal transparansi penghitungan suara. Asumsi kita ternyata tidak sepenuhnya keliru. Buktinya dalam beberapa pemberitaan di koran-koran dituliskan beberapa kasus-kasus yang merujuk kesana.
Budaya yang tidak mau mengalah dari elite politik menjadi salah satu penyebab mencuatnya konflik pilkada di beberapa wilayah. Ditambah lagi, unsur tidak mau rugi dari para calon semakin memperuncing permasalahan. Antara pemenang dan yang kalah dalam pemilihan pikada tersebut hanya tipis perbedaannya. Jika kalah dalam pemilihan, terbayanglah kerugian finansial yang cukup besar calon tersebut, betapa tidak, untuk bisa menjadi calon yang unggul, setidaknya diperlukan coast yang tidak sedikit. Sementara yang menang dalam pemilihan, pasti berusaha untuk mencari jalan agar uang yang dikeluarkan dalam jumlah besar itu kembali di tangannya.
Maka, ketika mengalami kekalahan, sang calon tidak akan rela begitu saja melepaskan kekalahannya itu. Dewasa ini terlahir sebuh tren baru dengan modus yang memanfaatkan kekuatan hukum itu sendiri. Di mana rata-rata, calon yang kalah selalu melayangkan gugatan hasil pilkada melalui Mahkamah Agung (MA). Dengan harapan, tentunya, hasil pilkada dapat diubah melalui kewenangan dan putusan MA itu sendiri. Kondisi ini memunculkan stigma bahwa hasil pilkada dapat diutak-atik dengan menyerahkan kasus pilkada di tangan MA. Ini yang bahaya karena hasil pilkada ada di tangan MA. Sementara mainstream dalam pikiran kita muncul stigma bahwa lembaga hukum kita lemah, lekat dengan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Biar bagaimanapun tak pelik melihat awal persoalan itu.
Sejak 2005 hingga 2008 ini, setidaknya tercatat sudah 340 pilkada digelar di berbgai daerah. Bahkan, sepanjang 2008 akan digelar sebanyak 160 pilkada di beberapa daerah. Bisa kita bayangkan berapa banyak uang yang kita hambur-hamburkan untuk menyukseskan pilkada itu. Toh pada kenyataannya di bilang sukses ya tidak sukses-sukses amat. Pilkada yang sudah digelar itu mayoritas justru membawa kerugian, ujung-ujungnya menimbulkan masalah atau konflik. Kisruh pilkada memang sudah go public terjadi di negeri yang sedang membangun sistem demokrasi.
Premanisme Politik dalam Pilkada
Strategi politik kini seakan dikendalikan oleh penyewa preman bayaran. Campur tangan mereka dianggap dapat memberikan kelancaran dalam meraih target politik. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selama pilkada berlangsung, disinyalir tak lepas dari ulah para preman. Mereka disewa oleh pihak yang tidak fair menerima kekalahan, agar membuat kericuhan yang berbuntut pada tindak brutal pengrusakan-pengrusakan. Anehnya siapa yang terlibat atau siapa yang menjadi dalang di balik kerusuhan itu benar-benar tidak terlacak. Atau mungkin sebenarnya sudah terlacak, tetapi tak berani menindak. Kericuhan itu dibiarkan berlalu dan selesai dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Alangkah mudahnya menyulut emosi dan melempar fitnah di saat menjelang pemilihan. Di saat orang ingin memperjuangkan aspirasi mereka. Bagi pemilik target yang berkepentingan dalam pilkada, secara logika penggunaan tenaga preman jauh lebih memberikan efisiensi. Tak ayal, sering terjadi pemaksaan aspirasi yang digulirkan melalui teror dan kerusuhan kepada rakyat biasa. Bukankah pelaku teror dan kerusuhan itu melanggar hukum dan seharusnya dihukum? Kenapa pembuat teror tersebut jarang untuk bisa ditangkap atau diadili?
Mungkin mereka--“preman-preman politik”-- itu memiliki taring yang lebih tajam dibandingkan dengan lembaga hukum kita. Singkatnya sindikat preman-preman politik itu lebih canggih. Barangkali dalam blue print program pencapaian dan pematangan dari strategi politik teror mereka telah dipersiapkan antisipasi untuk mengelabuhi berbagai pihak yang mencium kecurigaan terhadap apa yang telah mereka lakukan. Sehingga jika ada bahaya mengancam mereka sudah bersiap siaga sebelumnya.
Bangsa kita ini telah mengalami deregulasi tatanan hukum dan deregulasi pembinaanhukum. Kita ini sedang kehilangan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Persangkaan adanya mafiaperadilan pada kenyataannya mafia peradilan itu kini semakin jauh berdampak dan telahmerebak menjadi mafia politik,
seperti kutil yang telah menjadi kanker. Mereka yang menyewa jasa para preman-preman itu berarti kejahatannya jauh melebihi preman yang ia sewa.
Artinya, fungsional dari premanisme itu telah menjalar sampai kepada masalah sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Mereka hadir dalam ranah kehidupan yang paling kecil hingga kehidupan bernegara yang kompleks. Bayangan mafia politik ini sangat menakutkan karena kriminalitas itu telah menjarah sampai ke berbagai lini persoalan masyarakat.
Coba bayangkan, kala tokoh kriminal menjadi wakil rakyat. Apa yang akan terjadi selanjutnya. Peranan mereka dalam pemerintahan telah menjadi panutan bagi para pencoleng-pencoleng kecil. Mana mungkin pemimpin yang buruk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bijaksana. Cara-cara keliru yang digunakan sebagai mekanisme politik pada akhirnya tetap akan berbalik menciptakan kemudaratan yang lebih besar bagi sistem itu sendiri.
Mungkinkah menindak mereka, bapak yang terhormat, yang juga punya title preman itu, sedangkan mereka itu telah menjadi anggota DPR yang mulia? Mereka terkenal di mana-mana. Mereka sering muncul di televisi. Mereka punya banyak relasi dan punya power yang besar. Membayangkan hal itu, bulu kuduk pasti menegang, hati menjadi ciut dan nafas tersengal. Merinding rasanya, belum terjadi apa yang ingin dilakukan untuk menuntut keadilan, belum-belum sudah terbayang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi. Setiap perkataan yang ingin diutarakan kepada mereka, tertelan kembali sebelum sempat bersua. Siapa yang berani mengutik-utik mereka.
Demikianlah premanisme politik semakin diminati. Tak ayal preman-preman naik daun. Preman kampung mulai bergengsi dengan hand phone, semakin brutal, semakin disegani, semakin sibuk, semakin laris. Kini orang bangga menjadi preman, apalagi menjadi tokoh preman.
Cermin Politik dalam Pilkada
Menurut hemat saya, perilaku partai politik dan politisi itu tak lain dan tak bukan adalah cerminan peradaban kita sendiri sebagai bangsa secara keseluruhan. Dan karenanya, menjadi tanggung jawab kita semua juga secara tanggung renteng. Masalah kepartaian mendasar yang kita hadapi adalah tidak adanya belahan ideologis yang jelas dan relevan, terkait dengan bagaimana mengelola republik ini menuju kemakmuran.
Kita yang berada di daerah, sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh agar didengarkan oleh banyak orang meskipun dengan cara yang tidak benar. Segala cara dihalalkan yang penting untuk memenangkan prosesi pemilihan. Sementara, hal ini lah yang menggejala di berbagai daerah. Dimanakah letak hati nurani kita semua.
Parpol seharusnya berfungsi sebagai perwakilan yang gigih memperjuangkan nasib rakyat. Namun demikian, dalam tataran politik kita , sosok parpol sangat parah, perilakunya belum jadi solusi melainkan jadi bagian dari masalah. Melihat realitasnya, tuduhan pun muncul, mereka telah menjadikan lembaga legislatif sebagai sarana memuluskan keinginan pemerintah dan tempat bargain untuk mendapatkan sesuatu. Tidak sensitif terhadap problem-problem yang tengah dihadapi rakyat. Begitulah inti dari berbagai artikel yang telah dimuat di berbagai media.
Masalah dunia politik kita melulu diwarnai oleh kepentingan politik kekuasaan (state politic) dan sedikit sekali berbicara kepentingan politik pemilih (people’s politics). Kemudian konstalasi pemilih kita di era reformasi cenderung tidak berubah dan mengulang situasi tahun 1955. Sebagai rakyat kecil, kita patut prihatin dengan parpol yang duduk di dewan perwakilan yang dengan gampangnya menghambur-hamburkan uang negara. Uang negara ya berarti uang rakyat juga. Berbagai bencana yang melanda negeri ini, mulai dari kemiskinan, busung lapar dan bencana alam seharusnya menjadi perhatian utama, karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pilihan langsung dalam pilkada ini merupakan potret mental para pemimpin kita. Jika ada kesempatan yang baik, tidak mereka gunakan untuk melakukan kebaikan. Buktinya kekuasaan yang mereka miliki tidak digunakan untuk membantu orang kecil. Mereka lupa akan tujuan reformasi. Itu artinya, elit politik lokal terbukti belum siap menghadapi perubahan sistem demokrasi tersebut.
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2005
2 komentar:
pilihlah aku...
oke mbak ngatini. kalo kamu jadi calon gubernur atau bupati, pasti dipilih!
Posting Komentar