Pro dan kontra pasca disahkannya Rancangan Undang-Undang(RUU) Pornografi menjadi Undang-Undang masih saja mewarnai dinamika masyarakat.Khususnya para pekerja media dan lingkupnya.Adanya kesimpang siuran arus informasi mengenai apa sebenarnya isi dari Undang-undang ini menjadikan mereka beranggapan UU tersebut nantinya akan menghambat kinerja mereka di dalam bentuk penanyangan cetak,visual,ataupun audio-visual.Aturan baku dari pemerintah ini tentu saja nantinya akan menjadi batu sandung tersendiri dalam kebebasan pers itu sendiri.Spekulasi-spekulasi yang mengarah pada kontra pasca pengesahan RUU Pornografi semacam ini memang santer terdengar di telinga penulis.
Ketakutan-ketakutan semacam ini muncul seiring adanya arus globalisasi di dunia media.Banyak media-media massa yang ikut larut terjerembab ke dalam arus pornografi daripada mempertahankan idealis mereka sebagai mediator informasi.Sebagai faktanya,tidak sedikit dari program-program visual yang mempertontonkan adegan-adegan vulgar(-dimana syarat berbau pornografi) yang menjamur di ranah media elektronik semacam televisi.Meskipun di sudut kiri atau kanan atas telah tercantum kode “Dewasa” ataupun “Bimbingan Orang tua(BO)”, toh tentu penonton tidak akan menggubrisnya.Dapat diibaratkan setali tiga uang dengan tayangan film-film yang diawal adegan terpampang jelas tulisan peringatan:”Tujuh belas tahun keatas”.Akan sangat bodoh sekali jika pemerintah tetap mempertahankan peringatan dini tersebut.Bukan bermaksud membandingkan,akan tetapi bukanlah lebih baik pemberian peringatan pada label Obat nyamuk cair,”Waspada:Tidak untuk diminum”.Bukankah begitu?Obat nyamuk cair tentu tidak akan diminum karena ada indikasi membahayakan bila menelannya.Harusnya masyarakat juga mampu membedakan mana yang layak untuk dikonsumsi dan mana yang tidak dari media-media yang bergerak di bidang jurnalistik tersebut.
Nampaknya opini-opini semacam yang disampaikan penulis di awal topic harus segera dibuang jauh-jauh dari pemikiran kita.Pers merupakan lembaga sosial dan sekaligus wahana komunikasi massa.Memang didalam kinerjanya dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 mengenai kemerdekaan berpendapat.Lantas hendaknya kita tinjau kembali dan aplikasikan pada Kode Etik Jurnalistik pasal 2 poin 3 tentang pertanggungjawaban,yang berbunyi:
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan:
a.hal-hal yang sifatnya destruktif dan dapat merugikan negara dan bangsa;
b.hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan;
c.hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila,agama dan kepercayaan atau keyakinan seseorang atau sesuatu golongan yang dilindungi undang-undang.
Beranjak dari isi pasal tersebut,pekerja-pekerja media harusnya segera membuang ketakutan-ketakutan adanya pengekangan akibat akan adanya batu sandung dalam kebebasan penayangan program jurnalis.Pornografi dalam pokok bahasan ini,tentu akan berbenturan dengan Kode etik diatas jika penayangannya dilanjutkan.Tatanan kehidupan bangsa akan kacau dan timbul dampak pelecehan kesusilaan di masyarakat.
Segala macam bentuk penayangan yang berhubungan dengan pelanggaran batasan Undang-undang Pornografi ini tentulah mendapatkan sanksinya tersendiri.Seringkali dalam perumusan kebijakan akan menuai konsekuensi.Begitu pula dengan undang-undang ini yang perlu diwaspadai penyelenggaraannya.Ada indikasi adanya Pungutan liar(Pungli) dan penegakan hukum oleh massa jika pengawasannya tidak dilakukan oleh oknum yang berwajib.Inilah bentuk ketakutan-ketakutan lain dari para pekerja media.
Hendaknya kita menaggapi permasalahan pasca disahkannya UU pornografi ini dengan pemikiran positif.Tentu pemerintah telah mempunyai kebijakan dan penelusuran konsekuensi adanya undang-undang ini jauh-jauh sebelum disahkannya.Sebagai pekerja media ataupun masyarakat awam hendaknya pula menilik balik pengertian pers pancasila di negara kita.Pada sidang pleno ke 25 Dewan Pers di Solo tanggal 7 dan 8 Desember 1981 merumuskan pengertian pers pancasila,yakni: pers yang orientasi,sikap,dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Beranjak dari pengertian tersebut,marilah kita bersama-sama memulai pembersihan media dari virus-virus pornografi yang tentu akan mengganggu kehidupan kesusilaan bangsa beradab ini.Jika pemerintah melalui pejabat-pejabatnya rela menahan kantuk demi menggodok Undang-undang ini,seyogyanya kita sebagai masyarakat yang taat hukum hendaklah ikut menaatinya sekaligus mengenalkannya dari lingkungan terdekat disamping berperan didalam pengawasannya.Di sinilah sebenarnya fungsi kontrol dari pers ataupun media masa diperlukan.Lantas,masih relevankah ketakutan-ketakutan itu ada?
JOHAN BHIMO SUKOCO
*)Penulis adalah Staff Bidang Usaha LPM VISI FISIP UNS
dan pecinta kebebasan kepenulisan.
1 komentar:
Saya kira bung terlalu infantil katakan ketakutan. Apakah ketakutan banyak orang tentang pengesahan UUP tidak berdasar? Saya kira letaknya di situ. Kalu anda mau realistis dengan pelbagai kondisi NKRI kita yang tercinta ini, kita sepakat mengatakan NKRI diambang kehancuran karena pelbagai produk UU yang diskriminatif. Apa artinya multikulturalis jika ada pemaksaan kepada monokultur.
Posting Komentar