Lagi-lagi antara pemerintah dan pers bersitegang, kali ini tentang pro-kontra Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Porno Aksi. RUU ini, konon katanya memiliki celah di beberapa pasal yang nantinya akan membuat kebebasan beberapa kelompok terbelenggu, termasuk pegiat pers.
Hal tersebut diamini oleh Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara. Hal itu, menurut Sabam, karena adanya beberapa pasal karet yang bersifat menjebak, dan sewaktu-waktu bisa menjerat pekerja pers ke dalam perkara hukum pidana. (Harian Sinar Harapan, Jumat, 31 Oktober 2008)
Lebih lanjut, Sabam merujuk pada Pasal 1 ayat 1 sebagai pasal yang harus dicermati oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam industri media massa. Pada Pasal 1 ayat 1 UU Pornografi, jelas tertulis: Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal demikian menurut Sabam adalah pasal yang masih sangat bias dan dapat mengundang beragam penafsiran terhadap definisi pornografi, kecabulan dan eksploitasi seksual.
Saya mengerti apa yang dirisaukan oleh beliau. Terkadang pers menggunakan daya tarik seks dalam memuat beritanya untuk menjaring konsumennya. Kebiasan pengertian pornografi, kecabulan dan eksploitasi seksual ini jelas-jelas sangat membentur pihak pers, karena secara otomatis pers yang menyebarluaskan hal itu, akan langsung terjerat pasal 1.
Pemerintah membuat UU tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan masukan dari masyarakat, DPR dalam hal ini sebagai legislator menggodok peraturan absurd—UU Anti pornografi dan Pornoaksi—tersebut yang berdasarkan tinjauan langsungnya ke lapangan dan mendapatkan banyak penyimpangan yang dilakukan pers dalam hal pelanggaran norma kesusilaan.
Mungkin kita masih dapat mengingat beberapa judul ini : tabloid Lipstick, Bos, WOW, Playboy, X-File, Blitz, Selebriti Indonesia, Sexy, Populer, Liberty, Male Emporium, FHM, EHM, Maxim, dll. Sekelumit bacaan—siapa juga yang baca, bukannya melihat gambarnya saja??—yang bisa dibilang melanggar noma kesusilaan tadi.
Kalau dipikir-pikir, apa sih maunya pemerintah?? Bukankah mereka yang mengizinkan tabloid tersebut beredar—semacam playboy dan sejenisnya—walau banyak pihak yang menentang. Namun sekarang, pemerintah membuat UU yang absurd tadi dengan alasan terjadi pelanggaran norma-norma—kau yang mulai kau yang mengakhiri (lirik “jatuh-bangun”, sebuah tembang dangdut)—. Bak menelan ludah sendiri. Bukankah lebih efektif bila pemerintah langsung menonaktifkan perusahan tersebut dan perkara Habis.
Meminjam kata milik Thomas Jefferson, “Jika disuruh memilih antara pemerintah tanpa pers atau pers tanpa pemerintah, maka sedikit pun tidak ragu, saya akan memilih terakhir”. Mungkin agak klise, namun cukup relevan dengan kondisi negeri pada saat ini.
Masyarakat masih cerdas
Saya percaya akan kemampuan masyarakat dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya. Perlahan namun pasti, masyarakat mampu memilih yang, masyarakat mampu memilih yang terbaik untuk mereka. Kalimat barusan saya tulis bukan tanpa alasan, lho. Menurut data SPS (maaf saya lupa singkatan dari apa) dari 800 media cetak yang mengantongi izin (sejak pembuatan SIUP dipermudah, 1999), namun yang bertahan sampai sekarang hanya sekitar setengahnya, yaitu 400 perusahaan. Kesimpulan yang dapat saya ambil, pasar—dalam hal ini adalah masyarakat—masih memiliki kendali dalam menyaring media yang masih layak untuk beredar. Seperti miniatur hukum rimba.
Hal itu juga saya rasakan. Sekitar tahun 2001-2004 (zaman saya masih SMP-pertengahan SMA), dengan mudah saya dapati tabloid-tabloid “mesum” seperti Lipstick, Bos, WOW, X-File, Sexy, Populer, dan Liberty terpampang secara gamblang di pinggir jalan pasar Pondok Gede. Namun, secara tidak sadar, perlahan jumlah tabloid tersebut makin lama semakin mundur teratur. Sampai dari yang biasanya tabloid tersebut menjadi display di kaki lima, alih-alih malah hilang dari peredaran—sekitar 2004 ke atas--. Apalagi yang menyebabkan hal ini terjadi selain hukum rimba.
Pasar terbukti berkuasa, masyarakat lebih cerdas dari yang dikira. Silent majority memiliki kemampuan kontrol tanpa harus mengeluarkan peraturan perundangan atau memerlukan aparat yang garang untuk mengawasi atau bersikap sewenang-wenang.
Pers yang beredar mengambarkan tingkat intelektualitas masyarakat di dalamnya, maka dari itu mari kita berikan produk yang berkualitas untuk masyarakat Indonesia. VIVA LA VISI!!!!
Oleh : Wahyu Amaru Shakur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar