(Kurnia Catur Wardani)
Prinsip
keenam dalam sembilan elemen jurnalisme yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan
Thomas Rosenstiel adalah jurnalisme sebagai forum publik atau biasa juga
disebut jurnalisme publik. Elemen ini menandakan bahwa media seharusnya dapat
menyediakan forum kritik maupun dukungan terhadap informasi ataupun berita yang
disampaikan oleh media. Jurnalisme publik lahir sebagai reaksi atas praktik
media yang kerap menyingkirkan publik. Jurnalisme ini mengisi ruang publik yang
kehilangan media diskusi. Muncul dari kalangan wartawan sendiri yang jenuh
dengan politik, kapitalisme, media market
system, serta tatanan apathy dan cynicism (Santana, 2005: 27). Denis
McQuaill sebagaimana dikutip Santana (2005) dalam Jurnalisme Kontemporer mengatakan bahwa “The Public Jurnalism is made for a purpose”. Tujuan di sini adalah
sebagai upaya merevitalisasi kualitas civic
life, melalui partisipasi dan debat masyarakat.
Prinsip
jurnalisme sebagai forum publik mengadopsi gaya storytelling yang menyatakan bahwa publik tidak hanya diletakkan
dalam statement, melainkan masuk ke dalam
event persoalan sehari-hari mereka.
Akan tetapi, pada perkembangannya, media di Indonesia ketika memberitakan
perihal peristiwa atau kejadian jarang meruntut sebuah kejadian itu secara kronologis dan detail. Kebanyakan
kejadian disampaikan hanya berdasarkan hasil pengamatan wartawan sepintas dan berhenti pada statement narasumber saja. Media tidak berusaha
mengorek informasi lebih mendalam dan menyentuh suara-suara publik yang
bersangkutan agar memperoleh rekaman peristiwa secara utuh dari awal hingga
peristiwa itu terjadi karena alasan deadline.
Padahal, Kovach dan Rosenstiel menyebutkan bahwa forum publik seharusnya
dibangun dari fakta yang disusun berdasarkan “standard of truthfulness” atau “allegiance
to public interest” (Santana, 2005: 34). Gaya storytelling berusaha untuk memberikan gambaran secara utuh, seluk
beluk kehidupan terungkap, sehingga publik dapat menilai dan memutuskan sendiri
bagaimana mereka seharusnya bersikap. Dengan demikian, suara publik yang “bukan
siapa-siapa” tidak termarginalkan.
Dalam
konsep jurnalisme publik, jelaslah bahwa orientasi utamanya adalah kesetiaan
pada kepentingan publik. Idealnya, media tidak hanya sebagai penyaji informasi,
melainkan juga menyediakan ruang debat ataupun diskusi dalam pemberitaannya.
Dengan munculnya jurnalisme publik, maka sekaligus menjalankan amanat demokrasi
di mana partisipasi rakyat dalam proses sosial-politik diperhatikan. Ruang
publik dalam media diharapkan mampu menjadi media untuk berinteraksi, bertukar
pikiran, membahas masalah sosial dan politik tanpa harus merisaukan intervensi
dari penguasa.
Belakangan
di Indonesia, media khususnya
televisi ramai memfasilitasi forum untuk publik. Beberapa program news memberikan kesempatan pada audiens
untuk menyampaikan aspirasi, gagasan, komentar, kritik, maupun dukungan mereka
terkait suatu pemberitaan. Salah satu program news yang menyediakan forum ini adalah Suara Anda di Metro TV. Program Suara
Anda dipandu oleh seorang penyaji berita dan menghadirkan topik-topik
pemberitaan yang sedang hangat
dibicarakan. Melalui telepon interaktif, audiens dapat memilih pemberitaan yang
diinginkan dan kemudian menyampaikan komentarnya terhadap pemberitaan tersebut.
Selain
program Suara Anda di Metro TV, ada
pula program televisi yang memberikan fasilitas dialog langsung sekaligus
telepon interaktif. TVOne, stasiun televisi yang juga mengidentikkan dirinya
dengan program news ini mengusung
program bernama Apa Kabar Indonesia.
Jika publik dalam Suara Anda hanya
bisa menyampaikan komentarnya tanpa ada feedback,
maka TVOne lewat Apa Kabar Indonesia
menyajikannya dengan sedikit berbeda karena acara ini menghadirkan narasumber yang
bisa dimintai tanggapannya secara langsung.
Forum
publik yang dihadirkan dalam Suara Anda
(Metro TV) dan Apa Kabar Indonesia (TVOne)
boleh jadi memberikan kesempatan pada khalayak untuk ikut aktif berpartisipasi
dalam proses sosial-politik. Dengan forum ini, suara khalayak dapat didengar,
khususnya oleh para stakeholder kunci
(pihak yang memiliki wewenang legal dalam mengambil keputusan). Namun demikian,
telepon interaktif tidak memberikan ruang yang luas untuk audiens menyampaikan
gagasannya karena terbatasi oleh durasi yang minim. Meskipun program televisi menyediakan forum untuk menyampaikan
dukungan ataupun kritik seperti melalui dialog interaktif,
namun perlu diingat bahwa reaksi itu disampaikan
setelah proses komunikasi berlangsung,
(tidak
seperti komunikasi tatap muka—red) artinya terjadi delayed feedback (Fajar, 2009: 227). Terlebih jika kita cermati, acara Apa Kabar Indonesia di TVOne kerapkali justru membuat “gerah”
pemirsa dengan ulah narasumber yang ribut sendiri. Entah ada skenario atau
tidak, yang jelas media (TVOne) seolah sengaja membuatnya “heboh” agar pemirsa
penasaran. Lihat saja orang-orang yang diundang, seringkali itu-itu
saja—orang-orang yang terkenal mudah tersulut emosinya.
Jika
forum dialog interaktif dinilai kurang representatif dalam mewakili suara
publik, maka stasiun-stasiun televisi swasta pun kembali menghadirkan forum
publik dengan format baru, yaitu forum diskusi. Salah satu forum diskusi yang
saat ini sedang “naik daun” adalah Indonesian
Lawyers Club yang sebelumnya bernama Jakarta
Lawyers Club. Program ini diusung oleh TVOne. Format acaranya adalah
diskusi publik dengan memperbincangkan permasalahan yang sedang hangat di
masyarakat. Acara ini melibatkan wartawan senior, Karni Ilyas, sebagai host sekaligus moderator yang mengatur
arus pembicaraan dalam diskusi. Sementara peserta diskusi terdiri dari
orang-orang yang sengaja dipilih (selected
groups) dan dianggap mengetahui masalah yang diperbincangkan.
Acara
Indonesian Lawyers Club di TVOne bisa
dibilang menjadi tontonan yang cukup atraktif. Dengan menghadirkan pihak-pihak
yang dianggap ahli, masing-masing mengemukakan gagasan dan idenya terhadap
topik yang dibicarakan. Namun, dalam pelaksanaannya, para peserta yang
seharusnya mewakili suara khalayak tersebut justru asyik dengan perdebatan
mereka sendiri. Tak jarang satu sama lain saling sindir dan memprovokasi. Karni
Ilyas sebagai moderator yang seharusnya dapat meng-handle acara pun seringkali tidak mampu mengendalikan. Forum yang
seharusnya dapat memberikan ‘pencerahan’ pada masyarakat tentang topik yang
sedang dibicarakan berubah menjadi debat kusir yang tidak ada ujungnya.
Selain
format dialog interaktif dan forum diskusi, televisi juga hadir dengan program
yang ‘dianggap’ dapat menjadi pemantau kekuasaan sekaligus menjadi forum publik,
yaitu lewat parodi politik. Salah satu acara parodi politik yang cukup menarik
perhatian penonton di kisaran tahun 2007-an adalah Republik BBM (Baru Biasa
Mimpi) di Indosiar. Acara tersebut kemudian berubah menjadi Republik Mimpi dan diusung oleh Metro
TV. Republik Mimpi didesain dengan setting suasana sidang kabinet. Dengan
menampilkan sang ‘Presiden’ (alm) Taufik Savalas didampingi ‘Wakil Presiden’
serta ‘Menteri Sekretaris Negara’, mereka membahas berbagai persoalan bangsa
untuk dipecahkan dengan joke-joke
segar dan banyolan-banyolan yang sangat menggelitik. Berselang kemudian,
penggagas melakukan perubahan skenario. Taufik Savalas tidak lagi menjadi maskot.
Forumnya tetap sidang kabinet, namun Taufik Savalas tidak lagi tampil. Ia
digantikan Si Butet Yogya (SBY) yang menjadi ‘Presiden’ dan Jarwo Kuat sebagai ‘Wakil
Presiden’. Selain itu, juga ditampilkan beberapa ‘tokoh bangsa’ seperti
Suharta, Habudi, Gus Pur, dan Megakarti.
Pelakon
‘tokoh bangsa’ tersebut dirias sedemikian rupa sehingga dari raut wajah, mimik,
aksen, dan warna suara seolah-olah mirip dengan tokoh yang dilakoninya.
Misalnya, pelaku yang melakoni Suharta dibuat mirip dengan mantan Presiden RI kedua,
Soeharto. Gur Pur mirip dengan mantan Presiden keempat Gus Dur (Abdurrahman
Wahid), serta Habudi mirip dengan mantan Presiden ketiga BJ. Habibie.
Baik
acara Republik BBM maupun Republik Mimpi awalnya disajikan untuk
membahas dan mendiskusikan permasalahan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.
Dalam acara tersebut, juga terdapat penonton yang hadir di studio dan diberi
kesempatan untuk memberikan pertanyaan maupun tanggapan terkait persoalan yang
dibicarakan. Berbagai persoalan yang dimunculkan dibawakan dengan gaya jenaka
sehingga mengundang gelak tawa, baik dari penonton yang hadir di studio maupun
pemirsa di rumah.
Pada
akhirnya, di setiap ending tetap
menyampaikan bahwa acara tersebut semata-mata hanya khayalan, tidak bermaksud
menyinggung seseorang ataupun tokoh. Namun demikian, realitas yang disajikan
dalam acara tersebut merupakan “parodi politik” dengan materi siaran yang
mengandung sindiran dan kritikan politik yang dialamatkan kepada para tokoh yang
ditampilkan. Dan pada gilirannya, hal tersebut menjadi bahan tertawaan.
Melihat
fenomena yang terjadi dalam industri pertelevisian tersebut, Kovach dan
Rosenstiel mengungkapkan bahwa jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus
dibedakan dengan “jurnalisme semu”, yang mengadakan debat secara artifisial
dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi. Jurnalisme semu muncul karena
gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya
membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa perdebatan tapi
lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi
(Harsono, 2010: 27-28).
Dalam
program Apa Kabar Indonesia dan Indonesian Lawyers Club, jelas terlihat
bahwa pengelola media tidak lagi mengutamakan tujuan dari diskusi tersebut. Idealnya,
diskusi publik harus mampu melayani masyarakat dengan baik. Dan kalaupun dalam
acara tersebut tidak dapat menghadirkan ‘masyarakat awam’, namun suara mereka
seharusnya dapat terwakili dengan baik. Sebuah
debat yang hanya berfokus pada argumen yang sangat saling bertentangan tidaklah
melayani publik. Forum publik, seperti yang disarankan Kovach dan
Rosenstiel, harus menyertakan gagasan solutif sebagai ‘pencerahan’ atas
permasalahan yang telah diperbincangkan panjang lebar. Dengan demikian, forum
diskusi dan debat itu tidak menjadi sia-sia.
Sementara
itu, acara parodi politik seperti Republik
BBM dan Republik Mimpi bisa
dikatakan sebagai “jurnalisme semu” belaka. Program-program tersebut hanya
berorientasi untuk menghibur pemirsa. Tayangan parodi politik seperti Republik BBM dan Republik Mimpi pada kenyataanya justru menghadirkan masalah tanpa
jalan keluar. Tanggapan-tanggapan yang disampaikan oleh penonton di studio
ujung-ujungnya hanya ditimpali dengan bahan bercandaan. Seperti yang kita
ketahui, para pemeran dalam acara ini hanyalah komedian, jelas bukan orang yang
tepat dimintai tanggapan terkait isu-isu yang diangkat. Tidak ada pesan maupun
aspek pendidikan di dalamnya. Padahal, yang diharapkan dari program yang
berdalih sebagai ‘forum publik’ selayaknya meramu materi yang informatif dan
edukatif, meski disajikan dengan gaya dan bahasa yang ringan.
Di
sisi lain, ditinjau dari segi peraturan, program parodi politik nyatanya
berseberangan dengan Undang-Undang Nomor: 8 tahun 1987 tentang protokol, serta
peraturan pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 62 tahun 1990. Peraturan
tersebut mengatur tata kehormatan, tata tempat (setting arrangement),
serta perlakukan terhadap seseorang, sesuai kedudukan/martabat jabatannya dalam
negara, pemerintahan, dan masyarakat. Dalam ketentuan itu dijelaskan bahwa Presiden/Wakil
Presiden serta mantan presiden/mantan wakil presiden mendapat kehormatan di
tempat utama dan penghormatan sebagai pejabat negara. Bahkan, dalam aturan
keprokolan mereka disebut sebagai VVIP (Very Very Important Person) (http://www.waspada.co.id).
Mengacu
kepada ketentuan tersebut, pengelola acara parodi politik Republik BBM
maupun Republik Mimpi bisa dikatakan telah melanggar etika protokol. Presiden,
wakil presiden, maupun menteri adalah simbol suatu negara dalam tata pergaulan
internasional. Mereka merupakan “representasi negara”. Begitu signifikannya
kedudukan dan penghormatan terhadap simbol-simbol dan representasi negara,
sehingga mengolok-olok dan mempermainkan harkat serta martabat mereka berarti
melecehkan negara.
Industri
pertelevisisan dewasa ini memang menjadi industri yang menjanjikan, baik untuk
pengelola media maupun pemasang iklan. Rayuan bisnis seolah menjadi “senjata
pembenaran” mereka dalam mengelola televisi, termasuk menciptakan acara dengan
kemasan “jurnalisme semu”. Televisi yang digawangi oleh para pemilik modal kian
hari semakin mendewakan rating di
atas kepentingan publik. Kebutuhan publik akan ruang untuk bersuara menyatakan
kritik ataupun dukungan terhadap persoalan yang melanda negeri ini seolah
menjadi hal klise untuk direalisasikan. Praktik penyelenggaraan forum debat
maupun diskusi bukan lagi hal yang murni demi kesetiaan pada kepentingan
publik, melainkan lebih pada komersialisasi. Pada kenyataanya, konsep ‘ruang
publik’ di televisi kerapkali hanya menempatkan publik sebagai konsumen, bukan
sebagai warga negara yang berhak menuntut perlakuan yang sama dalam
memberitakan urusan-urusan publik tanpa memandang siapa yang berbicara atau
siapa yang tengah dibicarakan (http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/10107121131.pdf). Hal ini pada
gilirannya justru menyingkirkan esensi dari ‘ruang publik’ itu sendiri.
Kehadiran
jurnalisme publik seharusnya dapat menjadi ‘nyawa’ dari demokrasi. Media,
khususnya televisi, dalam
praktiknya tidak boleh melupakan publik. Program televisi yang memfasilitasi
forum debat maupun diskusi selayaknya dapat menjadi media bagi khalayak sebagai
warga negara agar terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan (decision making). Adanya ruang publik
juga mestinya dapat membangun awareness
bagi warga negara untuk peduli dengan persoalan bangsa dan ikut berkontribusi
mencari solusinya. Bukan sebaliknya, membuat persoalan yang sudah “ruwet”
semakin “ruwet” dan ujung-ujungnya malah melahirkan apatisme.
Di
sisi lain, implementasi jurnalisme publik dalam program acara televisi seyogyanya
dapat berjalan beriringan dengan norma-norma etis lainnya. Pengelola media, di
samping berpedoman pada prinsip dasar jurnalisme, juga wajib menghormati
konstitusi maupun norma dan nilai lain yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Namun demikian, perlu diingat bahwa praktik penyelenggaraan itu tidak akan
disebut ideal jika hanya terlaksana dalam sebuah media saja. Oleh sebab itulah
sistem media secara keseluruhan harus mampu menyediakan akses ruang publik yang
mudah bagi khalayak, sehingga pelaksanaan jurnalisme publik bukanlah sebuah
‘fatamorgana’.
DAFTAR PUSTAKA
Santana K., Septiawan. 2005.
Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fajar, Marhaeni. 2009. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Harsono, Andreas. 2010. ‘Agama’
Saya adalah Jurnalisme.
Yogyakarta:
Kanisius.
Umri, Irham
Taufik. Setahun “Republik Mimpi”.
(http://www.waspada.co.id diakses pada 28 mei 2012 pukul 21.14)
Sobur, Alex. Jurnalisme Publik: Merebut Ruang
Yang Hilang dalam Jurnal Penelitian Komunikasi Vol.
10 No. 1.
(http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/10107121131.pdf diakses pada 26 mei 2012 pukul 9.43)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar