Tampilkan postingan dengan label Jurnalisme Warga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnalisme Warga. Tampilkan semua postingan

Rabu, April 16, 2008

Nilai Esensial Jurnalisme Warga

oleh Ana Nadhya Abrar*

Klarifikasi istilah
Terdapat banyak istilah yang menggunakan kata “jurnalisme”. Setiap istilah tersebut mengandung konsep. Maka bagi para mahasiswa yang sedang menekuni jurnalisme, yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah konsep yang dikandung oleh istilah tersebut. Kalau konsepnya tidak jelas, lebih baik mereka tidak menggunakan istilah tersebut.
Dalam buku pintar tentang jurnalisme, misalnya The Elements of Journalism (terbit tahun 2001) dan Key Concept in Journalism Studies (terbit tahun 2005), belum ada istilah “citizen journalism”. Yang tercatat adalah istilah “civic journalism” yang sering dipertukarkan dengan istilah “public journalism”. Padahal gerakan “citizen journalism’, menurut Wikipedia, telah muncul pada peliputan kampanye Presiden Amerika Serikat tahun 1988.

Tidak ada yang tahu secara persis mengapa istilah “citizen journalism” tidak masuk ke dalam buku pintar tentang jurnalisme. Hanya saja, akal sehat akan mengatakan: bila “citizen journalism” memang merupakan jurnalisme khusus, tentu ia akan menghiasi buku pintar jurnalisme. Apalagi ia sudah dipraktekkan sejak tahun 1988!
Lepas dari posisinya, “citizen journalism”, menurut Wikipedia, merupakan “public journalism” atau “participatory journalism”. Ia berarti “the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing and disseminating news and information” (Wikipedia, 2008:1). Ini memperlihatkan bahwa “citizen journalism” (selanjutnya disebut jurnalisme warga) merupakan jurnalisme yang dipraktekkan oleh warga masyarakat yang selama ini hanya menjadi masyarakat media.

Persoalan yang kemudian muncul adalah, media apa yang dipakai warga untuk menyiarkan informasi yang mereka peroleh lewat praktek jurnalisme warga? Pertanyaan ini masuk akal mengingat informasi yang diperoleh lewat jurnalisme warga tidak akan berdaya guna bila tidak disiarkan. Banyak ahli, seperti Mark Glasser dan J.D. Lassica, mengatakan bahwa media yang paling efektif untuk menyiarkan berita yang diperoleh lewat jurnalisme warga adalah internet dengan segala sumber daya yang ada di dalamnya, mulai dari e-mail hingga blog (Wikipedia, 2008:3). Bertolak dari sini, sesungguhnya jurnalisme warga tersebut mengacu kepada online journalism.

Dalam pada itu, TOR seminar ini, dengan mengutip pendapat Steve Outing, meneguhkan bahwa media yang dipakai untuk memuat informasi yang diperoleh lewat jurnalisme warga adalah internet (TOR, 2008:1). Ini meneguhkan bahwa jurnalisme warga yang dimaksud oleh Panitia Seminar lebih dekat kepada jurnalisme online daripada jurnalisme publik. Berdasarkan pemahaman inilah uraian berikut saya tulis.
Bukan “barang” baru

Tahun 2003, saya menerbitkan sebuah buku berjudul Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Dalam buku ini, pada halaman 47 saya menulis antara lain:
“Sesungguhnya jurnalisme online lahir tanggal 19 Januari 1998, ketika Mark Drudge membeberkan cerita perselingkuhan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky atau yang disebut “monicagate” (Grossman, 1999:17). Ketika itu, Drudge, berbekal sebuah laptop dan modem, menyiarkan berita tentang “monicagate” lewat internet. Semua orang yang menerima kiriman berita tersebut mengetahui rincian cerita “monicagate”.

Berpangkal pada kenyataan di atas, jurnalisme online itu seolah-olah bukan jurnalisme. Jonathan Dube, seorang wartawan jurnalisme online, bahkan merasakan bahwa jurnalisme online tidak seseru jurnalisme biasa (1999: 37). Ini terasa logis. Sebab, orang yang tidak memiliki keterampilan jurnalisitik yang memadaipun bisa bercerita lewat jurnalisme online. Orang yang tidak mengenal seluk-beluk jurnalisme biasa pun bisa menyampaikan idenya kepada orang-orang di berbagai belahan bumi melalui internet.

Kenyataan ini menyiratkan bahwa jurnalisme warga bisa dipraktekkan oleh siapa saja yang memiliki informasi dan ingin menyampaikannya kepada orang lain. Mereka yang selama ini menjadi konsumen berita mendadak bisa jadi produsen berita. Mereka yang selama ini tidak pernah punya pengalaman dan pengetahuan tentang jurnalisme bisa langsung mempraktekkan jurnalisme warga. Yang penting dia punya informasi yang akan disampaikan, punya juga fasilitas untuk menyampaikannya dan sudi membagikan informasi tersebut kepada orang lain.

Di samping itu, jurnalisme warga memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (i) Audience Control. Masyarakat bisa lebih leluasa memilih berita yang ingin mereka peroleh; (ii) Nonlienarity. Memungkinkan setiao berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri sehingga masyarakat tidak harus membaca secara berurutan untuk memahaminya; (iii) Storage and retrieval. Berita bisa disimpan dan kelak bisa diakses kembali dengan mudah oleh masyarakat; (iv) Unlimited Space. Berita yang disampaikan kepada masyarakat bisa menjadi jauh lebih lengkap ketimbang media lainnya; (v) Immediacy. Berita bisa segera disampaikan secara langsung kepada masyarakat; (vi) Multimedia Capability. Memungkinkan pelaku jurnalisme warga menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita yang akan diterima oleh masyarakat; dan (vii) Interactivity. Mengundang peningkatan partisipasi masyarakat dalam setiap berita.

Dalam posisi seperti ini, sesungguhnya pelaku jurnalisme warga tidak usah bingung mempertimbangkan etika jurnalistik, objektivitas, akurasi berita dan sebagainya. Bukankah mereka merupakan orang-orang yang menafikan pelembagaan profesionalisme jurnalistik? Bukankah mereka berniat melawan kemapanan jurnalisme as usual yang dipraktekkan media pers mainstream? Justru “kebebasan” itulah yang menjadi tumpuan perkembangan jurnalisme warga!

Tidak menyembunyikan informasi
Sesungguhnya jurnalisme warga memberikan kemudahan bagi pelakunya maupun masyarakatnya untuk membuat peralihan waktu penerbitan, pengaksesan dan jumlah berita yang disampaikan. Pelaku jurnalisme warga bisa menerbitkan maupun mengarsip artikel-artikel yang bisa dilihat saat ini maupun nanti. Memang hal ini bisa juga dilakukan oleh pelaku jurnalisme konvensional, tetapi jurnalisme warga dilakukan dengan lebih mudah dan cepat, yaitu pada satu waktu tertentu. Sedangkan pada jurnalisme konvensional, pelakunya membutuhkan waktu lebih lama dan space yang terbatas.

Selain kenyataan di atas, produk informasi jurnalisme warga yang diterima masyarakatnya sangat ditentukan oleh preferensi yang disusun dan dimiliki oleh masyarakatnya. Kalau masyarakat punya perangkat yang lebih canggih, maka informasi yang diterima juga akan lebih menarik. Tegasnya, tampilan produk informasi jurnalisme warga bisa berbeda-beda pada masing-masing masyarakat. Ini jelas berbeda dengan produk informasi yang dihasilkan jurnalisme konvensional, yang diterima sama oleh semua masyarakatnya.

Berdasarkan keterangan tentang kelebihan jurnalisme warga di atas, masyarakat jadi punya kesempatan lebih luas untuk memperoleh informasi. Setiap individu bisa menceritakan sebuah kejadian secara gamblang, tanpa khawatir harus dituntut. Masyarakat pun jadi mengetahui berbagai realitas sosial. Pada titik inilah sebenarnya kita mengatakan bahwa jurnalisme warga tidak menyembunyikan informasi.
Kendati begitu, masyarakat harus bisa menyaring berita yang dihasilkan oleh jurnalisme warga. Mereka harus kritis dan skeptis terhadap segala berita yang disiarkan jurnalisme warga. Kalau tidak, mereka bisa mengalami kecemasan informasi (information anxiety).

Berawal dari reformasi pers
Reformasi pers Indonesia mencapai puncaknya tanggal 23 September 1999, ketika Presiden Indonesia ketika itu, B.J. Habibie, mengesahkan UU No. 40 Tahun 1999. Inilah UU Pers pertama di Indonesia yang menjamin kemerdekaan pers di Indonesia. Pasal 4 Ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Pasal 5 Ayat 1 UU ini malah menyatakan bahwa pers Indonesia wajib memberitakan peristiwa dan pendapat dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Kalau nasihat ini sudah dipatuhi oleh pers Indonesia, maka sesungguhnya pers Indonesia sudah dapat disebut berusaha menghormati hak-hak asasi manusia.

Pengganti B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, melanjutkan reformasi pers Indonesia. Dia membubarkan Departemen Penerangan bulan November 1999. Pembubaran Departemen Penerangan ini membawa satu konsekuensi yang tidak pernah dibayangkan insan pers Indonesia selama ini: tidak ada lagi lembaga pemerintah yang mengawal kehidupan surat kabar Indonesia. Kalau mengacu pada teori pers, sesungguhnya apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid adalah mempraktikkan teori media “democratic participant”. Menurut teori ini, pers tidak boleh tunduk pada pengendalian pemerintah dan kelompok atau organisasi masyarakat lokal boleh memiliki surat kabar sendiri (McQuail, 1994:132).

Mungkin saja Abdurrahman Wahid tidak pernah mengenal teori media “democratic participant”. Tetapi, keputusannya untuk membubarkan Departemen Penerangan memperlihatkan keinginannya untuk menciptakan masyarakat yang lebih demokratis. Betapa tidak, siapa saja bisa menerbitkan surat kabar. Surat kabar Indonesia yang berskala kecil, tetapi interaktif dan partisipatif bisa lahir. Ini, tentu saja, menguntungkan masyarakat. Keperluan informasi masyarakat, baik kelompok mayoritas dan minoritas, akan terlayani oleh surat kabar Indonesia.

Agaknya pasca diundangkannya UU Pers No.40/1999 dan dibubarkannya Departemen Peneranganlah yang membuat masyarakat bebas mempraktekkan jurnalisme warga. Sebab pasca kedua kejadian itulah, masyarakat bebas menerbitkan media pers. Kebebasan ini, menurut akal sehat, akan mengundang kebebasan juga untuk mempraktekkan jurnalisme warga. Tapi, kapan persisnya jurnalisme warga mulai berkembang di Indonesia, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kini jurnalisme sudah menjadi salah satu alternatif pilihan di Indonesia.

Menciptakan alternatif pilihan pemberdayaan masyarakat
Di atas sudah disebutkan bahwa jurnalisme warga memberikan peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh informasi. Masyarakat juga punya pilihan informasi yang semakin beragam. Itulah sebabnya jurnalisme warga punya potensi untuk: (i) menyediakan informasi publik untuk penguatan civil society?; (ii) memfasilitasi diskusi politik; dan (iii) membangun data base untuk kepentingan pendidikan politik publik. Kalau ini benar-benar terjadi, maka sesungguhnya jurnalisme warga sudah menciptakan alternatif pilihan bagi masyarakat untuk memberdayakan mereka.

Agar potensi tersebut benar-benar terwujud, jurnalisme warga perlu memperhatikan tiga perkara berikut. Pertama, menyiarkan informasi publik. Informasi publik sesungguhnya mengandung isu publik. Isu publik sendiri, seperti ditulis Ashadi Siregar, adalah informasi tentang masalah yang berasal dari masyarakat dan respons masyarakat terhadap kekuasaan umum dan kekuasaan negara pada umumnya (2003:xviii). Respons terhadap kekuasaan negara, seperti ditulis C Steinberg adalah respons masyarakat terhadap segala informasi tentang kegiatan berbagai departemen yang ada dalam pemerintahan (McNair, 2003:157).

Kedua, menyiarkan pertukaran pikiran antara komponen yang terdapat dalam masyarakat. Dalam konteks ini, jurnalisme warga seolah-olah menjadi forum yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk bertukar pikiran, bahkan kalau perlu bersilang pendapat, mengenai berbagai masalah yang menyangkut kepentingan publik.

Ketiga, menciptakan proses perubahan sikap dan perilaku individu dalam usaha memberdayakan dirinya dalam bidang politik. Politik mengacu pada pendapat Immanuel Kant, yang mengatakan bahwa pelaksana kekuasaan, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif harus tunduk pada hukum. Pelaksaan ketiga kekuasaan tersebut hendaklah terkait dengan pengembangan kerangka kerja hukum yang menjadikan setiap individu menjalani hidup bermoral sebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan (Dalam Sihotang, 2002:33-34). Maka proses perubahan sikap tersebut mengacu pada pelaksanaan kekuasaan berdasarkan hukum dan menjadikan mereka hidup bermoral sebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan.

Bisakah jurnalisme warga memenuhi ketiga kriteria ini? Entahlah! Yang jelas saya belum punya data penelitian tentang itu. Tetapi, menurut hasil penelitian yang dilakukan Ariska Setyawati (2007: 109), surat kabar elektronik (SKE) di Indonesia bisa memperkuat civil society secara bulat dan tidak utuh. Hasil analisis terhadap data yang dikumpulkannya melalui rubrik Opini di Detik.com dan di Okezone.com serta rubrik Surat Pembaca di Kompas.com dalam kurun waktu 17 Agustus hingga 16 September 2007 memperlihatkan: (i) ketiga SKE terteliti tidak menyediakan banyak isu publik dalam rubrik yang mereka ciptakan untuk publik. Semua isu publik ini tidak direspons oleh publik yang lain, sehingga forum diskusi tidak ada; (ii) ketiga SKE terteliti tidak memiliki data base tentang semua opini dan surat pembaca yang pernah mereka siarkan. Akibatnya, publik tidak bisa mengakses informasi tersebut, katakanlah, setahun setelah informasi tersebut disiarkan. Dengan kondisi seperti ini ketiga SKE terteliti tidak bisa memperkuat civil society.

Kendati begitu, ketiga SKE terteliti memfasilitasi diskusi publik dalam rubrik opini dan surat pembaca yang mereka miliki. Ini menunjukkan bahwa mereka ingin publik memperoleh informasi yang bisa dipakai untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Informasi ini akan membentuk pemahaman yang baik mengenai pilihan atau tawaran politik. Pemahaman ini, selanjutnya, akan menaikkan posisi tawar publik dengan negara dan pengusaha. Dalam konteks ini, ketiga SKE terteliti bisa memperkuat civil society.

Catatan akhir
Mengikuti uraian di atas, jurnalisme warga, setidaknya, mengandung empat nilai esensial, yaitu: (i) bisa dilakukan oleh siapa saja yang ingin menyampaikan informasi yang dimilikinya kepada masyarakat tanpa harus memiliki keterampilan jurnalistik yang memadai; (ii) sebaiknya menggunakan sumber daya internet untuk menciptakan efisiensi pelaksanaannya; (iii) mampu membeberkan segala informasi yang penting, relevan dan bermanfaat buat masyarakat; dan (iv) menciptakan alternatif pilihan untuk memberdayakan masyarakat.

Kalau kemudian Panitia Seminar mempertanyakan apakah jurnalisme warga menjadi ancaman bagi media massa, maka jawabannya tegas: tidak dan tidak akan pernah. Sebab, tidak semua individu betah mengakses berita yang diproduksi oleh jurnalisme warga. Bagi mereka yang tidak kritis dan skeptis terhadap informasi yang dihasilkan jurnalisme warga, mengakses media massa akan terasa lebih nyaman. Lebih dari itu masyarakat yang mengakses media massa punya karakteristik yang berbeda dengan mereka yang mengakses berita yang dihasilkan jurnalisme warga.

Lalu, pesan apa yang dikandung jurnalisme warga? Pesannya singkat saja: jurnalisme warga melengkapi jurnalisme konvensional yang dipraktekkan media massa.***

Referensi

Abrar, Ana Nadhya. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Lesfi.
Franklin, Bob, Hamer, Martin, Hanna, Mark, Kinsey, Marie adn Richardson, John E. 2005. Key Concepts in Journalism Studies. London: Sage Publications.
Kovach, Bill and Rosenstiel, Tom. 2001. The Elements of Journalism. New York: Three Rivers Press.
Lembaga Pers Mahasiswa FISIP UNS. 2008. TOR Seminar Nasional.
McNair, Brian. 2003. An Introduction To Political Communication. London, New York: Routledge.
McQuail, Dennis. 1994. Mass Communication Theory: An Introduction, third edition. London: Sage Publications.
Setyawati, Ariska. 2007. Penguatan Civil Society Melalui Surat Kabar Elektronik. Penelitian Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Depkominfo.
Sihotang, Kasdin. 2002. “Etika Politik Menurut Perspektif Immanuel Kant”. Dalam Respons, Jurnal Etika Sosial, Volume 7, Nomor 01-Juli 2002. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Siregar, Ashadi. 2003. “Pengantar”. Dalam Tim Redaksi LP3ES, Politik Editorial Media Indonesia: Analisis Tajuk Rencana 1998-2001. Jakarta: LP3ES.
Internet
Google http://www.google.com/Jurnalisme Online-Kiat Jurnalisme (online).htm, diakses tanggal 12 Juni 2007.
Wikipedia http://en.wikipedia.or/wiki/Citizen_journalism, diakses 19 Februari 2008.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi UGM

(Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Jurnalisme Warga: Ancaman Bagi Media Massa?” yang diadakan LPM VISI FISIP UNS pada Kamis, 28 Februari 2008)

Surat Pembaca, Si Buntut Panjang dan Jurnalisme Warga

Oleh : Bambang Haryanto*

Membrangus Suara Warga ! Penulis surat pembaca, waspadalah. Terlebih lagi bila Anda menekuni panggilan hidup sebagai seorang epistoholik alias pencandu penulisan surat-surat pembaca, berhati-hatilah terus. Karena Anda dapat tersandung kasus yang bersifat anomali di Indonesia. Termasuk ancaman gugatan milyaran rupiah !

Simak kisah Abidin Taher, Ketua BPD Desa Kanibungan, Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru. Ia menulis surat pembaca dan dimuat di Banjarmasin Pos, 2 Oktober 2003. Isinya berupa keluhan terhadap penambangan batu bara oleh PT BCS. Ia tuliskan, PT bersangkutan melakukan perusakan sungai dan hutan mangrove desanya. Hal itu bisa dikatakan sebagai tindakan kejahatan lingkungan karena tanpa perijinan atau dokumen seperti AMDAL dan dokumen lainya. Buntut surat pembaca itu Abidin Taher harus menjalani pemeriksaan polisi, dituduh PT BCS melakukan pencemaran nama baik. Bahkan dirinya ditetapkan jadi tersangka.

Kasus kedua, situs berita detik.com (23/8/2007) mewartakan "Penulis Surat Pembaca Digugat PT Duta Pertiwi Rp 17 Miliar.” Gara-garanya, Khoe Seng Seng, penulis surat pembaca bersangkutan, telah menulis surat pembaca di Kompas, Suara Pembaruan dan Warta Kota. Dalam surat pembaca itu ia mengaku tertipu oleh pengembang karena harga dan kondisi kios yang dibelinya tidak sesuai dengan perjanjian awal.

Dalam emailnya kepada saya (21/1/2008) Khoe Seng Seng menceritakan, “tujuan utama dari gugatan atau pun mempidanakan penulis surat pembaca umumnya agar konsumen yang lain selain penulis surat pembaca menjadi takut dan tidak berani mengkorek-korek kecurangannya. Hal diatas lah yang saya tangkap dari kasus saya ini dan ternyata memang benar di mana dari 3000-an orang yang dirugikan yang berani bicara hanya beberapa orang (19 orang) dan ke 19 orang ini semua diperdatakan dengan gugatan berkisar 11 m - 17 m rupiah.

Dan yang menulis surat pembaca ada 4 orang yang salah satunya adalah saya. Cerita dari 4 orang ini berbeda-beda. Masing masing menceritakan lingkungannya sendiri-sendiri. Karena pelaku usaha ini punya banyak produk yang sebagian besar bermasalah, inilah yang diceritakan ke 4 orang tersebut. Akibat cerita di surat pembaca inilah yang kemudian menyeret 4 orang ini ke pengadilan dengan nilai gugatan miliaran rupiah.”

Kalau Anda ingin memberikan dukungan moral kepada Bapak Khoe Seng Seng, silakan kontak via email ke : surat_sengseng@yahoo.co.id.

Kasus ketiga, termuat penuturan Lim Ping Kiat di Seputar Indonesia, 9/10/2007. Gara-gara menulis surat pembaca berisi keluhannya memakai jasa perantara properti Era Indonesia, pada September 2005 ia dilaporkan secara pidana oleh perusahaan itu. Kasus dihentikan polisi karena bukan merupakan kasus pidana. Lim Ping Kiat sekarang melaporkan balik secara pidana fihak Era Indonesia karena telah membuat laporan tidak benar tentang dirinya melalui laporan kepolisian tahun 2007 ini.


Intimidasi Kepada Penulis Surat Pembaca. Ketiga kasus di atas merupakan contoh buruk betapa partisipasi warga dalam ikut menegakkan kehadiran pers sebagai pilar keempat demokrasi, mengundang resiko bagi dirinya. Cerita sejenis tak kurang banyaknya dialami kaum epistoholik. Dilempari surat kaleng, pesan pendek bernada cemoohan sampai didatangi fihak yang kena kritik dengan alasan untuk memperoleh verifikasi, bisa diartikan sebagai bentuk-bentuk halus intimidasi untuk penulis surat pembaca.

Resiko-resiko itu disadari para penulis surat pembaca yang oleh Emanuel Rosen dalam The Anatomy of Buzz : How To Create Word-of-Mouth Marketing (2000) disebutkan merupakan golongan berpengaruh di Amerika Serikat. Mereka dianggap sebagai warga negara pilihan karena keterlibatannya dalam kegiatan publik, politik atau pun sosial.

Warga negara pilihan itu dalam merentangkan otot-otot hak demokrasinya, menurut saya, sebenarnya lebih mempunyai masalah dengan media tempat mereka ingin menunjukkan partisipasinya. Karena idealisasi Triyono Lukmantoro di artikel berjudul “Rubrik Partisipatoris, Akses bagi Publik Lokal,” (Kompas Jawa Tengah, 8/10/2007) bahwa tulisan di kolom Surat Pembaca dan Suara Warga (melalui SMS) merupakan cikal bakal berita-berita partisipatoris, masih jauh panggang dari api.

Kendala utamanya, terletak pada keterbatasan fisik koran yang berbasis atom, alias kertas. Selain itu karena topiknya beragam, sulit up to date (akibat kelamaan antri menunggu pemuatan ?) dan juga akibat kekurangan visi para penulis surat pembaca sehingga tidak mampu menulis topik hangat dan relevan, menjadikan surat pembaca kurang berkilat untuk diangkat sebagai berita partisipatoris.

Topik-topik keluhan terhadap produk/layanan lembaga pemerintah/swasta, kritik terhadap kebijakan pemerintah di daerah tertentu, permintaan sumbangan buku perpustakaan, sampai permintaan bantuan agar bisa kuliah atau memperoleh pekerjaan, merupakan topik –topik sempit yang kurang “seksi,” jauh dari nilai heboh sebagai berita. Belum lagi kecenderungan “abadi” pemberitaan media yang lebih bersifat searah, dari atas ke bawah (top down) dan dari elite politik ke masyarakat luas (one-to-many).


Fenomena Si Buntut Panjang. Beragam kendala di atas kini bisa didobrak berkat teknologi. Gregory P. Gerdy, pakar Internet Dow Jones, dikutip Mary J. Cronin (ed.) dalam The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996) menjabarkan bahwa media cetak membuat aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi terpisah-pisah.

Kini berkat kehadiran Internet, semua proses tersebut terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari konsumen sebagai bagian integral isi situs itu sendiri. Perubahan konteks maha vital inilah yang banyak tidak disadari para pengelola media cetak dan situs di Indonesia.

Chris Anderson, editor majalah gaya hidup Internet, Wired, dalam bukunya The Long Tail: Why the Future of Business is Selling Less of More (Hyperion : 2006), menyajikan gambaran menarik mengenai lanskap bisnis (termasuk media) masa depan (kini sudah terjadi), di mana saya ingin menempatkan kedudukan para penulis surat pembaca dalam konstelasi bisnis masa depan tersebut.



Dalam grafik di atas, media cetak berada di ranah kepala, head (merah), yang merupakan potret diri dunia kelangkaan, the world of scarcity. Para pengelola media dalam bahasanya Anderson, melaksanakan apa yang disebut prinsip hit-driven economics, ekonomi pembuat hit, dengan memfokuskan bisnisnya hanya menggarap sajian-sajian informasi yang menurut mereka memiliki potensi jual.

Ekonomi pembuat hit merupakan kreasi di mana tidak cukup ruang untuk menampung segala hal dan tidak mampu memenuhi kebutuhan setiap orang pula. Karena tidak cukup kolom di media cetak untuk memuat segala berita yang ada. Tidak cukup ruang di rak-rak toko untuk menampung semua CD, DVD atau games yang diproduksi. Tidak cukup layar bioskop untuk menayangkan semua film yang ada. Tidak cukup saluran untuk menyiarkan semua acara televisi yang ada. Tidak cukup pula gelombang radio untuk mengudarakan seluruh ciptaan musik yang ada, dan tidak cukup jam setiap harinya bagi kita untuk menyapu semuanya itu di pelbagai slot-slot yang tersedia.

Dewasa ini, berkat Internet yang membuka distribusi dan eceran secara online, kita memasuki jaman limpah ruah, a world of abundance. Dan perbedaannya sangatlah dahsyat. Chris Anderson menunjukkan bahwa masa depan dunia bisnis bukan bertumpu pada produk-produk best seller, alias pembuat hit di bagian kepala, head, bagian paling tebal dalam kurva permintaan tradisional. Melainkan pada produk-produk yang sampai belum lama ini dianggap gagal atau sampah, yaitu produk-produk di bagian buntut panjang, the long tail, yang tak ada habisnya, pada kurva yang sama.

Dalam bahasa industri musik, bagian kepala adalah ranahnya major label dan bagian buntut merupakan lahan kiprahnya kaum indie, kaum yang berkarya sesuai kata hati mereka. Dan tidak sedikit dari mereka yang menuai sukses besar pula.

Pendobrakan media, dengan tersedianya media ekspresi bagi semua orang melalui fasilitas blog (weblog) di Internet dewasa ini, yang berada di ranah “buntut panjang” (kuning) menghadirkan heboh praksis jurnalisme warga atau jurnalisme partisipatoris. Karena di ranah ini warga dibuka selebar-lebarnya akses untuk memainkan peran aktif dalam proses menghimpun informasi, melaporkan, menganalisis sampai menyebarkan berita dan informasi. Kalau penulis Amerika Serikat, A. J. Liebling (1904–1963) pernah berkata bahwa “freedom of the press is guaranteed only to those who own one,” kini berkat hadirnya media blog (weblog), atau fasilitas jurnal di Internet, membuat setiap orang mampu memiliki kebebasan pers, dengan menjadi penerbit di muka dunia.


Berita Adalah Dialog. Saya mengenal blog pada tahun 2003 yang membangkitkan niat kembali untuk mendirikan komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia. Saya yakin, kegetolan menulis surat pembaca bila dipadukan dengan teknologi blog di Internet akan mampu memberi otot dan bobot yang hebat bagi eksistensi Epistoholik Indonesia sebagai salah satu pilar demokrasi.

Dalam berinteraksi dengan media cetak, di tengah revolusi dunia digital yang terjadi, kami sedang berusaha mencari peran yang lebih progresif untuk menyuarakan aspirasi pembaca. Mengingat media cetak selama ini juga terlalu journalist-centered, berpendekatan top-down, kini kami sedang mengetuk-etuk pintu digital mereka. Seru kami, “libatkan kami, jadikan kami sebagai sumber diskusi koran Anda, karena itu bermakna bagi masyarakat kami !”, sesuai tesis dari Dan Gillmor, pelopor citizen journalism yang kini marak di Amerika Serikat.

Sinergi antara peran kaum epistoholik dengan media-media baru berbasis digital berpeluang merombak eksistensi isi media secara revolusioner. Kita tahu, orang-orang media yang belum mempunyai mindset dunia digital pasti berpikir bahwa berita sampai iklan di media berbasis atom, alias kertas, merupakan terminal akhir suatu informasi. Padahal, agar pesan informasi tersebut makin komprehensif dan tidak bias, pemuatan itu hanyalah awal.

Sedang lanjutannya merupakan percakapan, interaksi langsung, antara pencetus dengan konsumen informasi. Di sinilah dunia digital kemudian tampil mengambil peran vital. “Markets are conversations”, begitu kredo Rick Levine, Christopher Locke , Doc Searls dan David Weinberger dalam Cluetrain Manifesto : The End of Business as Usual (1999), manifesto baru dan radikal untuk dunia bisnis dalam era digital.

“News are conversations, too ! ” begitulah juga yang seharusnya terjadi dalam lanskap media. Percakapan itu tidak hanya terjadi antara wartawan dan pembaca (sementara di Indonesia kebanyakan wartawan ogah berdiskusi, ogah membalas email yang dikirimkan pembaca !), tetapi juga antarpara pembaca itu sendiri. Dinamika interaksi antarpembaca atau antarwarga itu belum disadari pentingnya oleh kebanyakan para pengambil keputusan dan pemilik media.

Di ranah buntut panjang yang tak terbatas itu, Epistoholik Indonesia bercita-cita memberdayakan setiap insan sebagai sumber pengetahuan dan kearifan yang terintegrasi dalam jaringan untuk kesejahteraan kehidupan bersama. Saya impikan, EI kelak akan seperti amuba, yang membelah dan terus membelah. Saya impikan, misalnya si A akan mandiri untuk menghimpun para penulis surat pembaca khusus topik X, si B melakukan hal sama dengan spesialisasi topik Y, dan begitulah seterusnya.

Memanglah, di Internet warga EI tersebut ibarat hadir sebagai pulau-pulau cendekia, yang kecil-kecil, banyak sekali, meronai isi bagian “buntut panjang”-nya Chris Anderson. Tetapi antarmereka mudah sekali bisa saling tersambung dan tanpa hirarki. Pulau-pulau cendekia itu diharapkan membentuk gugus-gugus cendekia yang memiliki minat sama. Semua gugus itu, juga gugus minat yang lainnya, saling terhubung dalam suatu jaringan maya.

Sehingga bila seseorang yang membutuhkan informasi sampai bimbingan tertentu akan dirujuk kepada ahlinya, sekaligus “kebun-kebun” tulisannya, atau bahkan berdiskusi dengan yang bersangkutan beserta komunitasnya. Inilah aplikasi dari manajemen ilmu pengetahuan (knowledge management) yang diterapkan untuk masyarakat luas.

Kalau dalam konstelasi media cetak kita terbiasa untuk tergantung kepada opini yang ditulis satu-dua orang pakar, di Internet pakar itu bisa banyak sekali. Hal ini jelas memberikan lebih banyak sudut pandang, karena seringkali pencari solusi lebih mencari perspektif dibanding solusi yang baku.


Mutiara Yang Hilang. Epistoholik Indonesia berkeyakinan bahwa tulisan surat pembaca hanyalah puncak dari gunung es harta karun si penulisnya. Di bawah puncak itu sebenarnya tersembunyi khasanah ilmu pengetahuan, pengalaman dan kearifan tiap-tiap individu yang dapat digali dan dikomunikasikan.

Hanya karena selama ini mereka dibatasi oleh media yang ada, membuat mereka sulit berekspresi, membuat gembolan atau ilmu simpanan, baik pengetahuan, pengalaman sampai wisdom milik mereka, sulit keluar atau diaktualisasikan. Mutiara-mutiara ilmu pengetahuan itu banyak sekali terpendam, sulit untuk diketahui orang lain. Mungkin hanya jadi sekadar bahan omongan, secara lisan, juga tidak terdokumentasikan, sehingga akhirnya mudah sekali hilang ditelan jaman.

Dalam World Summit on Information Society (WSIS) II di Tunisia (16-19/11/2005) telah tercetus kredo, “apabila Anda tidak dapat berekspresi maka eksistensi Anda dianggap tidak ada” Merujuk hal eksistensial itu maka semua warga EI saya dorong untuk memulai hal yang sama : mengelola blog masing-masing di Internet sebagai sarana berekspresi, menulis, mengaktualisasikan diri dan mempublikasikannya sehingga karya olah budi mereka mampu memberikan kontribusi kepada sesama.

Kalau selama ini para penulis surat pembaca ibarat tali pusarnya, umbilical cord, selalu tersambung kepada media massa cetak, maka kehadiran blog mampu membuat penulis-penulis surat pembaca memutus tali pusar tersebut. Ibarat bayi, terputusnya tali pusar tersebut merupakan prasyarat untuk menuju kedewasaan, kemandirian dan kemerdekaan.

Wartawati Deborah Branscum (Newsweek, 12/3/2001 : hal. 53) telah mengutip pendapat Dave Wiener tentang blog. Wiener adalah seorang veteran entrepreneur Lembah Silikon dan pendiri perusahaan peranti lunak Userland Software yang mengutak-atik situs blog Scripting.com miliknya sejak 1997.

Wiener mengibaratkan, blog baginya merupakan suatu perang suci. Katanya, saya tertarik menciptakan bentuk jurnalisme baru. Saya tidak mempercayai sumber-sumber media, seperti jaringan televisi dan majalah-majalah. Kita butuh memperoleh kesadaran sebagai sebuah masyarakat dan salah satu cara terbaik untuk hal penting tersebut kita harus mulai bicara dan juga mendengar. Kini terdapat 6 milyar penghuni dunia dan bila mereka semua memiliki blog, dunia bakal menjadi lebih baik karenanya.

Di tahun 1970-an duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu “Sound of Silence” tergurat lirik menarik, berbunyi : the words of the prophets are written on the subway walls. Nubuat para nabi-nabi tertulis di tembok-tembok stasiun trem bawah tanah.

Siapa tahu, di era blog dewasa ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru, tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam kolom-kolom surat pembaca. Juga pada situs-situs blog masa kini.

Siapkah koran-koran kita segera merealisasikan praksis jurnalisme warga yang menggairahkan itu ? Kalau siap, usul saya : urusi dulu baik-baik para penulis surat pembaca koran Anda. Karena merekalah pionir dan praktisi jurnalisme warga !

Wonogiri, 30 Januari 2008

*Penulis adalah Ketua Epistoholik Indonesia
(Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Jurnalisme Warga: Ancaman Bagi Media Massa?” yang diadakan LPM VISI FISIP UNS pada Kamis, 28 Februari 2008)

Citizen Journalism: Keamatiran Bukan Ancaman

Oleh Aulia A Muhammad*

BULLETIN, majalah yang telah menjadi "otak" warga Australia, akhirnya padam juga. Scott Lorson, pemimpin majalah itu, dengan sedikit terbata, mengumumkan edisi "Mhy We Love Australia" sebagai cetakan terakhir, di awal Februari lalu. Padahal, kata Lorson, "The Bulletin has been an institution in Australian publishing and has provided... the best quality, in-depth news and current affairs analysis in the country.

"The Bulletin has often set the political agenda, broken many important stories and won many award for journalism over the years."
Apa yang membuat majalah dengan sejarah 128 tahun itu tumbang? Harold Mitchell, analis media, punya jawaban. "Bulletin tidak menemukan jalan untuk menjadi bagian dari Australia yang modern, dan bagian dari kehidupan kami," ucapnya. "Bulletin gagal memodernisasi diri dan bersaing dengan internet."

Majalah yang modern, bagi Mitchell, adalah yang menjadikan internet bukan semata "corong baru" untuk perluasan pasar, melainkan "telinga" untuk mendengar suara warga, dan kanal untuk saling bertukar kuasa produksi-distribusi berita. Itulah yang disebut Mitchell, "Bagian dari kehidupan kami."
******


Internet. Suara warga. Bertukar kuasa produksi dan distribusi berita. Semua kosa kata tadi mengacu pada satu hal: citizen journalism atau jurnalisme warga, sebuah "gerakan" yang muncul sebagai wujud "ketidakpuasan" pada jurnalisme mainstream. Dalam citizen journalism, warga adalah konsumen sekaligus produsen berita. Tugas editor, yang biasanya melakukan penyelarasan berita untuk pembaca yang dituju, ditampik. Dalam jurnalisme warga, subjektivitas dibiarkan, kaidah baku penulisan ditanggalkan, sudut pandang boleh bercecabang, opini dan hasutan kadang berkelindan. Semua "dibolehkan" karena citizen journalism adalah warga yang menulis, bukan wartawan, warga yang bercerita, karena berita adalah percakapan.

Dan karena citizen journalism merayakan kebebasan warga untuk membuat berita, di sini, istilah itu pun cepat meraih gempita. Warga kini punya kuasa, punya justifikasi untuk melakukan hal yang sama dengan wartawan. Ucapan sejumlah pakar disiarkan, Jay Rossen menjadi nabi baru, Tim Porter sebagai khalifah, dan ohmynews didudukkan sebagai surga yang dituju. Pesta Blogger 2007 pun mengklaim sebagai suara baru, dan media mewartakannya sebagai "ajang berkumpulnya pewarta warga". Tak ada yang salah memang, karena sebagai istilah, citizen journalism memang susah ditentukan, batasnya, juga arahnya. 11 kategori yang dijabarkan Steve Outing dalam "The 11 Layers of Citizen Journalism" kian menegaskan luasnya ranah --sekaligus tidak jelasnya-- istilah ini. Jay Rosen yang menolak mendefenisikan, kian membuat siapa pun warga yang menulis dapat mengklaim diri menjadi bagian dari kegempitaan ini.

Lalu, sebenarnya, siapakah mereka yang dapat disebut sebagai pewarta warga? Apakah blog-blog yang berisi curahan hati dan atau resep masakan? Atau blog berisi puluhan tips, kutipan bijak dari berbagai buku, ratusan opini berupa kritik terhadap "penguasa"? Dan manakah situs yang sungguh menjalankan "prinsip" citizen journalism?
*******

Aceh, akhir 2004. Tak ada yang mengira tsunami akan menerakakan negeri Serambi Mekah ini. Luluh-lantak. Aceh lebur, tapi media tak bisa mewartakannya. Wartawan sibuk menyelamatkan diri dan atau mencari keluarganya yang hilang. Tak ada gambaran yang jernih bagaimana sebenarnya muasal penderitaan akibat tsunami itu. Media, karena keterbatasan data, sibuk menduga, berspekulasi, dan hanya bercerita tentang korban. Awal kejadian, tak tergambarkan.

Lalu, muncullah video dokumenter itu. Jelaslah kini semuanya: bumi yang mendapat getaran pertama, wajah-wajah yang pias-cemas, gerak air pasang, terjangan gelombang, jeritan, doa, pekikan Allahuakbar! Selebihnya adalah tangis.

Cut Putri yang berada di belakang kamera itu. Dia bukan wartawan, cuma warga, yang ingin merekam sejak getar pertama dirasakan keluarganya. Dia semula tak menyangka gempa itu akan menjadi neraka, dan merekam tanpa maksud untuk disiarkan. Karena itu, berkali-kali kameranya goyang, membuat sudut pandang bercecabang. Suara yang terekam pun, bukan nada-nada yang enak didengarkan. Cut Putri jelas amatir. Tapi yang amatir ini, yang merekam suasana apa yang ingin dia lihat, dan bukan apa yang dia bayangkan penonton ingin lihat, meniadakan jarak. Rimbun air mata, lolongan putus asa, demikian jelasnya. Putri tanpa sadar, telah membuat pengalaman personalnya menjadi pengalaman publik. Publik melalui "kacamatanya" mendapatkan sesuatu yang murni, tanpa "frame", tanpa tendensi, juga bunga kata-kata. Sudut-sudut yang ditangkap kameranya adalah jejak yang tak biasa, yang pasti tak akan mendapat tempat dalam kamera jurnalisme biasa; papan yang hanyut, gerak air meninggi, patahan pelepah kelapa, kata-kata cemas dan juga desis harap, kronologi yang semula tak mungkin tampil di televisi karena alasan durasi. Kamera putri adalah mata orang yang terlibat, yang tak berjarak dengan peristiwa. Dia mengalami dan bukan melaporkan.

Tapi, sampai kini, siapa yang "mengikuti" jejak Putri? Ada berapa banyak pewarta warga yang mampu melihat dan menjadikan "pengalaman personal menjadi milik publik"? Atau sebaliknya, pengetahuan publik menjadi pengalaman personal, sebagaimana yang dilakukan warga Kanada, ketika merekam polisi yang memerasnya di Bali? Pemerasan, pungli yang dilakukan polisi adalah rahasia umum, tapi sampai kini, "rahasia" itu tidak menyentuh, tidak menggerakkan karena tidak "dikelola" menjadi situasi yang personal. Citizen Journalism, karena dari warga, seharusnya menangkap secara utuh denyut urat nadi warga, yang mampu membangun jalinan emosi, dan kalau bisa, menggerakkan warga.

Putri juga menunjukkan satu aspek yang sangat penting, lokalitas. Yang tampil adalah wajah orang-orang terdekatnya, lingkungan sekitar rumahnya, kecemasan dan dengung Allahuakbar ninikmamaknya. Lokalitas, subjektivitas, ketakberjarakan. Itulah yang coba ditampik jurnalis "tulen", dan mendapat tempat di pewarta warga. Tapi, manakah situs atau media yang secara ketat mengadopsi tiga hal itu?
******

Di mana video Cut Putri ditayangkan? Di MetroTV. Media mana yang memuat video pungli yang dilakukan polisi Bali? Youtube, dan kemudian dikutip detik.com, dan juga Suara Merdeka. Situs yang mengusung khusus kredo citizen jornalisme, berapa hitnya atau cepatkah up-date-nya? Lebih banyak mana hit dan kecepatan beritanya, di bandingkan dengan "citizen journalism" yang juga dikelola media umum seperti kompas.com dan suaramerdeka.com? Darimana sumber pembiayaan mereka? Sudahkah dilirik pengiklan? Apakah "percakapan" terjadi secara alamiah, dengan keterlibatan yang intens?

Di Australia, Majalah Bulletin yang berusia 128 tahun memang runtuh, karena gagal beradaptasi dengan internet, tidak berbagi kuasa dalam pendistribusian berita, yang seperti kata Mitchell, "Bagian dari kehidupan kami." Dan di sini harus kita akui, internet justru belum menjadi bagian dari kehidupan kita. Karena itu, citizen journalisme belum akan menjadi ancaman bagi media mainstream. Kita mungkin lebih baik untuk menyetiainya, mengembangkannya, merayakannya, karena warga memang punya kuasa atas produksi dan distribusi berita.**

*) Pemimpin Redaksi Suara Merdeka CyberNews (http://suaramerdeka.com)

(Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Jurnalisme Warga: Ancaman Bagi Media Massa?” yang diadakan LPM VISI FISIP UNS pada Kamis, 28 Februari 2008)