Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Kamis, Oktober 13, 2011

KAMPANYE SEBAGAI WUJUD IKLAN POLITIK TERKAIT MUTU REALITAS ATAUKAH SEKEDAR IDEALISME?


Oleh: Rhesa Zuhriya B. P.

Segala sesuatu tidak akan didapat dengan begitu mudahnya tanpa adanya kekuasaan dan kewenangan. Kekuasaan dalam konteksnya mampu memberikan sebuah keleluasaan yang penuh dalam mengembangkan kemauan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Terlebih lagi, apabila hal ini berkutat dalam bidang politik yang notabene sangat berkaitan erat dengan apa yang disebut kekuasaan.
Terkait dengan gejala di atas, politik bukan hanya menciptakan tokoh-tokoh yang memiliki kekuasaan dan kewenangan, tetapi juga menawarkan adanya kelebihan yang memang lebih menjanjikan guna menjamin kehidupan yang lebih baik bagi pelakunya—tak terkecuali adanya kelebihan dalam bidang ekonomi atau finansial. Terlepas dari hal itu, tentunya penawaran ini bukan hanya menjadi suatu hal yang tidak mungkin untuk dicapai, tetapi justru memicu adanya persaingan yang dilancarkan dalam mencapai keinginan tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan guna mencapai penawaran ini adalah dengan menjadi sosok ataupun figur dalam dunia politik yang mampu mengumpulkan berbagai dukungan dan simpati dari rakyat. Untuk itu, diperlukan pula metode, instrumen, maupun strategi dalam menampilkan dan memperjuangkan idealisme serta prinsip yang dianut, yaitu kampanye.

Jumat, September 19, 2008

Menilik Kembali Efektifitas Sistem Pemilihan Langsung dalam Pilkada

Oleh: Pramuji Ari Mulyo*

Pada Januari lalu, jantung Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), sempat koma, lantaran ribuan massa pendukung salah satu calon Gubernur Sulsel meluapkan kemarahan dan kekecewaannya akibat pemerintah dinilai lamban dalam merespons terpilihnya sang calon hasil pilkada. Masa pendukung Gubernur Sulsel itu merasa khawatir akan timbul konflik yang disulut oleh pihak yang tidak bertanggung jawab jika jabatan Gubernur Sulsel itu tidak segera dikukuhkan oleh pemerintah.

Peristiwa semacam itu ternyata terjadi secara sporadis di berbagai wilayah Indonesia. Berbagai media banyak menyoroti tentang persoalan tersebut. Kita tidak bisa berkilah, karena memang itulah kenyataan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Peristiwa-peristiwa yang membuat mata kita nanar tersebut merupakan salah satu contoh dari keterpurukan moral demokrasi elite politik yang enggan mengalah.

Menurut penuturan Anggota KPU Endang Sulastri, yang dilansir dari Indonesia Views menyebutkan bahwa, “Perilaku politik yang kurang siap menerima kekalahan menjadi salah satu penyebab munculnya sengketa pilkada. Sikap ini membuat tim sukses dan peserta pilkada selalu mencari celah untuk melakukan gugatan sehingga apa pun hasil pilkada, akan terus menuai gugatan.” Kita sendiri, dengan keterbatasan yang ada, kadang menyeletuk penilaian yang keluar dari lisan kita dan menilai bahwa ada ketidaktransparanan dalam mekanisme pilkada, terutama dalam hal transparansi penghitungan suara. Asumsi kita ternyata tidak sepenuhnya keliru. Buktinya dalam beberapa pemberitaan di koran-koran dituliskan beberapa kasus-kasus yang merujuk kesana.

Budaya yang tidak mau mengalah dari elite politik menjadi salah satu penyebab mencuatnya konflik pilkada di beberapa wilayah. Ditambah lagi, unsur tidak mau rugi dari para calon semakin memperuncing permasalahan. Antara pemenang dan yang kalah dalam pemilihan pikada tersebut hanya tipis perbedaannya. Jika kalah dalam pemilihan, terbayanglah kerugian finansial yang cukup besar calon tersebut, betapa tidak, untuk bisa menjadi calon yang unggul, setidaknya diperlukan coast yang tidak sedikit. Sementara yang menang dalam pemilihan, pasti berusaha untuk mencari jalan agar uang yang dikeluarkan dalam jumlah besar itu kembali di tangannya.

Maka, ketika mengalami kekalahan, sang calon tidak akan rela begitu saja melepaskan kekalahannya itu. Dewasa ini terlahir sebuh tren baru dengan modus yang memanfaatkan kekuatan hukum itu sendiri. Di mana rata-rata, calon yang kalah selalu melayangkan gugatan hasil pilkada melalui Mahkamah Agung (MA). Dengan harapan, tentunya, hasil pilkada dapat diubah melalui kewenangan dan putusan MA itu sendiri. Kondisi ini memunculkan stigma bahwa hasil pilkada dapat diutak-atik dengan menyerahkan kasus pilkada di tangan MA. Ini yang bahaya karena hasil pilkada ada di tangan MA. Sementara mainstream dalam pikiran kita muncul stigma bahwa lembaga hukum kita lemah, lekat dengan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Biar bagaimanapun tak pelik melihat awal persoalan itu.

Sejak 2005 hingga 2008 ini, setidaknya tercatat sudah 340 pilkada digelar di berbgai daerah. Bahkan, sepanjang 2008 akan digelar sebanyak 160 pilkada di beberapa daerah. Bisa kita bayangkan berapa banyak uang yang kita hambur-hamburkan untuk menyukseskan pilkada itu. Toh pada kenyataannya di bilang sukses ya tidak sukses-sukses amat. Pilkada yang sudah digelar itu mayoritas justru membawa kerugian, ujung-ujungnya menimbulkan masalah atau konflik. Kisruh pilkada memang sudah go public terjadi di negeri yang sedang membangun sistem demokrasi.

Premanisme Politik dalam Pilkada
Strategi politik kini seakan dikendalikan oleh penyewa preman bayaran. Campur tangan mereka dianggap dapat memberikan kelancaran dalam meraih target politik. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selama pilkada berlangsung, disinyalir tak lepas dari ulah para preman. Mereka disewa oleh pihak yang tidak fair menerima kekalahan, agar membuat kericuhan yang berbuntut pada tindak brutal pengrusakan-pengrusakan. Anehnya siapa yang terlibat atau siapa yang menjadi dalang di balik kerusuhan itu benar-benar tidak terlacak. Atau mungkin sebenarnya sudah terlacak, tetapi tak berani menindak. Kericuhan itu dibiarkan berlalu dan selesai dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Alangkah mudahnya menyulut emosi dan melempar fitnah di saat menjelang pemilihan. Di saat orang ingin memperjuangkan aspirasi mereka. Bagi pemilik target yang berkepentingan dalam pilkada, secara logika penggunaan tenaga preman jauh lebih memberikan efisiensi. Tak ayal, sering terjadi pemaksaan aspirasi yang digulirkan melalui teror dan kerusuhan kepada rakyat biasa. Bukankah pelaku teror dan kerusuhan itu melanggar hukum dan seharusnya dihukum? Kenapa pembuat teror tersebut jarang untuk bisa ditangkap atau diadili?

Mungkin mereka--“preman-preman politik”-- itu memiliki taring yang lebih tajam dibandingkan dengan lembaga hukum kita. Singkatnya sindikat preman-preman politik itu lebih canggih. Barangkali dalam blue print program pencapaian dan pematangan dari strategi politik teror mereka telah dipersiapkan antisipasi untuk mengelabuhi berbagai pihak yang mencium kecurigaan terhadap apa yang telah mereka lakukan. Sehingga jika ada bahaya mengancam mereka sudah bersiap siaga sebelumnya.

Bangsa kita ini telah mengalami deregulasi tatanan hukum dan deregulasi pembinaanhukum. Kita ini sedang kehilangan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Persangkaan adanya mafiaperadilan pada kenyataannya mafia peradilan itu kini semakin jauh berdampak dan telahmerebak menjadi mafia politik,
seperti kutil yang telah menjadi kanker. Mereka yang menyewa jasa para preman-preman itu berarti kejahatannya jauh melebihi preman yang ia sewa.

Artinya, fungsional dari premanisme itu telah menjalar sampai kepada masalah sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Mereka hadir dalam ranah kehidupan yang paling kecil hingga kehidupan bernegara yang kompleks. Bayangan mafia politik ini sangat menakutkan karena kriminalitas itu telah menjarah sampai ke berbagai lini persoalan masyarakat.

Coba bayangkan, kala tokoh kriminal menjadi wakil rakyat. Apa yang akan terjadi selanjutnya. Peranan mereka dalam pemerintahan telah menjadi panutan bagi para pencoleng-pencoleng kecil. Mana mungkin pemimpin yang buruk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bijaksana. Cara-cara keliru yang digunakan sebagai mekanisme politik pada akhirnya tetap akan berbalik menciptakan kemudaratan yang lebih besar bagi sistem itu sendiri.

Mungkinkah menindak mereka, bapak yang terhormat, yang juga punya title preman itu, sedangkan mereka itu telah menjadi anggota DPR yang mulia? Mereka terkenal di mana-mana. Mereka sering muncul di televisi. Mereka punya banyak relasi dan punya power yang besar. Membayangkan hal itu, bulu kuduk pasti menegang, hati menjadi ciut dan nafas tersengal. Merinding rasanya, belum terjadi apa yang ingin dilakukan untuk menuntut keadilan, belum-belum sudah terbayang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi. Setiap perkataan yang ingin diutarakan kepada mereka, tertelan kembali sebelum sempat bersua. Siapa yang berani mengutik-utik mereka.

Demikianlah premanisme politik semakin diminati. Tak ayal preman-preman naik daun. Preman kampung mulai bergengsi dengan hand phone, semakin brutal, semakin disegani, semakin sibuk, semakin laris. Kini orang bangga menjadi preman, apalagi menjadi tokoh preman.

Cermin Politik dalam Pilkada
Menurut hemat saya, perilaku partai politik dan politisi itu tak lain dan tak bukan adalah cerminan peradaban kita sendiri sebagai bangsa secara keseluruhan. Dan karenanya, menjadi tanggung jawab kita semua juga secara tanggung renteng. Masalah kepartaian mendasar yang kita hadapi adalah tidak adanya belahan ideologis yang jelas dan relevan, terkait dengan bagaimana mengelola republik ini menuju kemakmuran.

Kita yang berada di daerah, sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh agar didengarkan oleh banyak orang meskipun dengan cara yang tidak benar. Segala cara dihalalkan yang penting untuk memenangkan prosesi pemilihan. Sementara, hal ini lah yang menggejala di berbagai daerah. Dimanakah letak hati nurani kita semua.

Parpol seharusnya berfungsi sebagai perwakilan yang gigih memperjuangkan nasib rakyat. Namun demikian, dalam tataran politik kita , sosok parpol sangat parah, perilakunya belum jadi solusi melainkan jadi bagian dari masalah. Melihat realitasnya, tuduhan pun muncul, mereka telah menjadikan lembaga legislatif sebagai sarana memuluskan keinginan pemerintah dan tempat bargain untuk mendapatkan sesuatu. Tidak sensitif terhadap problem-problem yang tengah dihadapi rakyat. Begitulah inti dari berbagai artikel yang telah dimuat di berbagai media.

Masalah dunia politik kita melulu diwarnai oleh kepentingan politik kekuasaan (state politic) dan sedikit sekali berbicara kepentingan politik pemilih (people’s politics). Kemudian konstalasi pemilih kita di era reformasi cenderung tidak berubah dan mengulang situasi tahun 1955. Sebagai rakyat kecil, kita patut prihatin dengan parpol yang duduk di dewan perwakilan yang dengan gampangnya menghambur-hamburkan uang negara. Uang negara ya berarti uang rakyat juga. Berbagai bencana yang melanda negeri ini, mulai dari kemiskinan, busung lapar dan bencana alam seharusnya menjadi perhatian utama, karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pilihan langsung dalam pilkada ini merupakan potret mental para pemimpin kita. Jika ada kesempatan yang baik, tidak mereka gunakan untuk melakukan kebaikan. Buktinya kekuasaan yang mereka miliki tidak digunakan untuk membantu orang kecil. Mereka lupa akan tujuan reformasi. Itu artinya, elit politik lokal terbukti belum siap menghadapi perubahan sistem demokrasi tersebut.

*Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2005

Selasa, April 29, 2008

Seratus Tahun Kebangkitan Nasional: Satu Abad Kebangkitan Pemuda

Oleh: Retno

Terlalu cepat memang berbicara masalah kebangkitan nasional di bulan April ini, tapi tidak ada salahnya jika kita menggunakan pola pikir ‘hulu’ semacam ini. Toh yang namanya moment juga tidak ada pakem yang mengharuskan seperti trend yang sedang marak-maraknya. Biarlah bulan April digembor-gemborkan dengan Kartini, emansipasi, gender, feminisme dan tetek bengeknya oleh yang lain, kita persiapkan saja bulan perjuangan, pergerakan, reformasi dan revolusi ini. MEI.

Menilik sejarah masa lalu, bulan Mei tentu saja menjadi salah satu bulan ‘keramat’ terutama bagi mereka yang punya sense of revolusi. ‘Revolusi ?!’ mungkin terlalu berlebihan. Tapi itulah kata yang bisa mewakili perjuangan-perjuangan di bulan Mei. Ada banyak peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Mei, dan Kebangkitan Nasional adalah salah satu peristiwa yang paling identik dengan bulan Mei, terutama masa pra kemerdekaan. 20 Mei 1908 berdiri sebuah organisasi yang bernama Budi Utomo. Sebuah organisasi pergerakan nasional pertama yang didirikan oleh para pelajar STOVIA atas gagasan dr. Wahidin Sudirohusodo dan diketuai oleh dr. Soetomo.

Jika melihat pergerakan Budi Utomo, pada mulanya memang oganisasi ini dipimpin oleh anak-anak muda dan mendapat simpati dari orang-orang yang berjiwa muda. Walaupun pada akhirnya organisasi ini lebih banyak dikelola oleh orang-orang priyayi, sehingga banyak kaum muda yang mengundurkan diri karena dalam pergerakannya Budi Utomo sudah mulai kehilangan idealisme seperti saat diawal pembentukkan. Pendirian Budi Utomo inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya beragam organisasi pergerakan nasional dengan tokoh-tokoh muda didalamnya. Soekarno dengan PNInya, Moh. Hatta dengan Perhimpunan Indonesianya, dan Dowes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat (Tiga Serangkai) dengan Indische Partijnya. Kesemuanya adalah pemuda.

Begitu besar semangat dan pemikiran para pemuda di era pra kemerdekaan dalam melakukan pergerakan awal menuju Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Dan dari pemuda-pemuda inilah kelak kemerdekaan Indonesia berhasil dikumandangkan. Dan dari pemuda-pemuda inilah nantinya saat Indonesia sudah merdeka, mereka menjadi pemimpin-pemimpin besar bangsa yang sampai sekarang pun nama mereka masih terus saja bergema.

Tidak hanya bulan Mei pada masa pra kemerdekaan saja yang menjadikan bulan Mei sebagai bulan perjuangan, pergerakan, reformasi dan revolusi. Pasca kemerdekaan pun bulan Mei juga diisi oleh peristiwa bersejarah lain yang lagi-lagi melibatkan pemuda di dalamya. Tentu masih jelas dalam ingatan kita terjadinya tragedi Peristiwa Semanggi I di bulan Mei 1998, ketika empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak (entah tertembak atau ditembak) oleh aparat keamanan saat berdemonstrasi di sekitar Jembatan Semanggi. Mereka adalah Elang Mulya Lesmana, Herry Hartanto, Hendriawan Lesamana, dan Hafidhin Royan.

Pada awalnya demonstrasi ini hanyalah suatu bentuk tuntutan dari kalangan intelektual dan kelompok oposisi kepada pemerintahan Orde Baru agar melakukan reformasi total di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tapi pada akhirnya peristiwa ini justru menjadi awal dari bentrokan masal yang terjadi hampir diseluruh wilayah di Indonesia. Dan dari sinilah awal dimulainya babak baru dalam pemerintahan Indonesia setelah selama 32 tahun di cengkeram oleh kekuasaan Orde Baru. 21 Mei 1998 pemerintahan Orde Baru berakhir berganti dengan era Reformasi. Lagi-lagi pemuda mempunyai andil dalam terwujudnya perubahan.

Dua peristiwa yang dipaparkan diatas hanyalah sedikit dari peran pemuda dalam membawa iklim perubahan bagi bangsa Indonesia. Jika sembilan puluh tahun setelah Kebangkitan Nasional pemuda Indonesia bisa menunjukkan eksistensi dan kebangkitannya dengan menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Lalu apa yang bisa diberikan oleh pemuda sekarang dalam menunjukkan perannya sebagai Agen of Change??? Tanpa bermaksud untuk membanding-bandingkan peran pemuda di tiap eranya. Tapi sudah sewajarnyalah jika sekarang muncul pertanyaan

“Apa yang telah dilakukan pemuda setelah satu abad kebangkitan nasional?” Walaupun kondisi saat ini memang berbeda dengan tahun 1908 ataupun 1998, tapi pergerakan pemuda belum berakhir. Reformasi belum menjadi akhir dari tujuan pendahulu-pendahulu kita. Reformasi masih harus direformasi ulang. Sudah siapkah pemuda sekarang berjuang dan berfikir untuk melanjutkan agenda reformasi?
“Jika reformasi tak mampu membawa perubahan, maka jalan satu-satunya adalah revolusi atau mati!!!”