Lima tahun terakhir di Indonesia, sepeda nampaknya telah
menjadi kendaraan hemat anti polusi yang sedang tren. Setiap ada pelaksanaan Car Free Day di berbagai kota, ratusan sepeda turun
ke jalan ikut meramaikan acara rutin mingguan tersebut. Kegiatan hidup sehat
dengan bike to work pun mulai ramai dilakukan mengingat
minimnya efek polusi dari sepeda. Sementara itu, di Belanda bersepeda bahkan
telah menjadi gaya hidup sejak tahun 1970an. Orang Belanda dan sepeda adalah
dua hal yang tak terpisahkan. Belanda
juga punya reputasi yang baik soal bersepeda, hingga kini telah menjadi tren
luas di seluruh dunia.
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Jumat, Juni 14, 2013
Senin, Mei 20, 2013
Inovasi Koran Ala Belanda
Koran atau yang dalam bahasa Belanda disebut
krant adalah suatu penerbitan yang ringan dan biasanya dicetak di kertas koran
dengan biaya yang cukup murah. Koran berisi berita-berita terkini dalam
berbagai macam topik. Koran terdiri dari
beberapa kolom dan terbit setiap hari atau secara periodik. Ukuran dari koran
pun berbeda-beda, tergantung dari kebijakan perusahaan media cetak itu sendiri.
Koran menjadi sebuah media yang memiliki peranan penting tidak hanya sebagai
media penyebaran informasi ke masyarakat namun juga sebagai media yang
menampung opini dan aspirasi dari masyarakat. Walaupun saat ini muncul banyak
portal-portal berita atau koran digital, namun tidak membuat eksistensi dari
media cetak terlebihnya koran itu surut.
Selasa, Oktober 16, 2012
PERANAN TELEVISI TERHADAP PERMASALAHAN KORUPSI DI INDONESIA
Ilham Fariq Maulana
Sebagai pilar keempat
di negara demokrasi, televisi sebagai salah satu media massa diharapkan dapat menjadi anjing penjaga (watch dog)
terhadap berbagai praksis sosial termasuk upaya pemberantasan korupsi. Apalagi
secara umum orang akan mengingat 85 persen dari apa yang mereka lihat di
televisi setelah tiga jam kemudian dan bahkan orang akan mengingat 65 persen
tayangan televisi yang mereka saksikan setelah tiga hari ditayangkan (Alkhajar,
2011). Political and Economic Risk Consultancy (PERC) awal Maret 2010
menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se-Asia Pasifik
dengan skor 8,32.
Kelebihan televisi
untuk menampilkan pesan secara audio-visual menjadikan televisi semakin kuat
kedudukannya di tengah keluarga. Selain itu, kekuatan media televisi dalam
membentuk pemikiran, sikap, maupun perilaku masyarakat juga menjadikan berbagai
peranan televisi, khususnya terhadap permasalahan korupsi di Indonesia semakin
menguat.
Mengoreksi Kembali Keberadaan SNMPTN Undangan
Fauziah Nurlina
Menilik
kembali tentang keberjalanan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri
(SNMPTN) undangan pada tahun 2012 lalu, sebanyak 53.401 siswa yang berhasil
lolos dalam verifikasi data. Sehingga tanpa menggunakan test tertulis mereka
sudah mendapatkan kursi di bangku Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dari
perhitungan, bahwa angka ini naik 9% dari tahun 2011. Diketahui bahwa, siswa
yang lolos dalam SNMPTN undangan merupakan siswa yang berprestasi dalam nilai
akademisnya. Karena, rapor selama 5 semester di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
sederajat merupakan syarat yang diajukan untuk mendaftar SNMPTN undangan.
Senin, Oktober 08, 2012
Feminisme
Rahma Yudi Amartina
“Bahwa negara
dan bangsa yang tidak menghormati kaum perempuannya
tidak akan pernah menjadi besar, baik di saat
ini maupun di masa depan.
Satu alasan
mendasar sebagai penyebab kejatuhan bangsa Anda secara drastis
adalah karena Anda tidak memiliki rasa hormat
pada
kehidupan
perempuan yang dilukiskan sebagai shakti (istri).
Jika Anda
tidak membangkitkan kaum perempuan
yang merupakan
perwujudan dari Ibu Pertiwi,
apakah Anda
pikir Anda memiliki cara lain untuk bangkit?”
(Swami Vivekananda, dalam Mahatma Gandhi (2002),
Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 15.)
“No two of us think
alike about it, and yet it is clear to me, that question underlies the whole
movement, and our little skirmishing for better laws, and the right to vote,
will yet be swallowed up in the real question, viz: Has a woman a right to
herself? It is very little to me to have the right to vote, to own property,
etc. if I may not keep my body, and its uses, in my absolute right. Not one
wife in a thousand can do that now.”
(Lucy
Stone, dalam sebuah surat untuk Antoinette Brown, 11 Juli 1855)
Apa yang terlintas pertama kali dalam pikiran kita ketika
membaca surat di atas? Apa yang dapat kita tangkap? Bagaimanakah kita
meresponnya?
Satu Kerjaan Dalam Satu Waktu vs Banyak Pekerjaan Dalam Satu Waktu
Oleh Munadhifah (Staf Redaksi)
Lihat juga
jurnalsidigva.blogspot.com
Tahukah anda kenapa pria hanya dapat
melakukan satu pekerjaan dalam satu waktu sedangkan wanita dapat melakukan
banyak pekerjaan dalam satu Waktu?
Otak pria dibuat untuk pekerjaan
khusus. Otak mereka juga terbagi-bagi dan disusun untuk memusatkan perhatian
pada satu hal khusus, yang hanya dapat terikat pada satu pekerjaan dalam satu
waktu. Dan umumnya pria akan mengaku bahwa ia hanya dapat melakukan satu
pekerjaan dalam satu waktu.
Selasa, Oktober 02, 2012
Kesetaraan Gender atau Jenis Kelamin?
Santi Dwi
Jayanti D0110099
Gagasan
“Kesetaraan Gender” menimbulkan pro dan kontra dalam pembahasan RUU Kesetaraan
dan Keadilan Gender (RUU KKG) di DPR RI. Biasanya dikenal dengan istilah
feminisme dan gender, akan memahami bahwa hanya mengutamakan salah satu jenis
kelamin saja. Yang menjadi fokusnya adalah isu ketertindasan kaum perempuan.
ideologi
feminisme sangat mendominasi RUU ini yang jauh hubungannya dari pembangunan
bangsa Indonesia yang bermartabat. Bahkan sebagiannya hanya penjelasan dari
Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women
(CEDAW). Dapat dimbil contoh mengenai definisi diskriminasi terhadap perempuan.
Selasa, September 25, 2012
REINKARNASI
Reinkarnasi,
kalau kata om Wiki (Wikipedia) adalah terlahir kembali atau merujuk kepada
kepercayaan bahwa seseorang itu nantinya pasti mati dan dilahirkan kembali,
namun dalam bentuk kehidupan lain. Yang dimaksud dengan ‘terlahir kembali’ disini
bukan dalam bentuk kasat mata (fisik) melainkan jiwa orang yang mati tersebut dan
kemudian mengambil tubuh/jasad/wujud tertentu dengan hasil perbuatannya
terdahulu. Penjelasan om Wiki lebih lanjut adalah bagian dari proses
reinkarnasi yang ternyata jiwa orang yang mati dan telah “berpindah tubuh”
membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu yang nantinya akan
menentukan nasibnya kelak, baik atau buruk. Dan jiwa tersebut anehnya tidak
akan mengingat apa yang dulu dia pernah lakukan, semacam amnesia, agar tidak
mengenang duka dia yang bertumpuk-tumpuk di masa lampau. Lebih anehnya lagi,
jiwa tadi sebelum bereinkarnasi, biasanya mampir dulu ke surge atau neraka.
Baru bisa bereinkarnasi.
Jurnalisme Publik, Sudahkah Media Kita?
(Kurnia Catur Wardani)
Prinsip
keenam dalam sembilan elemen jurnalisme yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan
Thomas Rosenstiel adalah jurnalisme sebagai forum publik atau biasa juga
disebut jurnalisme publik. Elemen ini menandakan bahwa media seharusnya dapat
menyediakan forum kritik maupun dukungan terhadap informasi ataupun berita yang
disampaikan oleh media. Jurnalisme publik lahir sebagai reaksi atas praktik
media yang kerap menyingkirkan publik. Jurnalisme ini mengisi ruang publik yang
kehilangan media diskusi. Muncul dari kalangan wartawan sendiri yang jenuh
dengan politik, kapitalisme, media market
system, serta tatanan apathy dan cynicism (Santana, 2005: 27). Denis
McQuaill sebagaimana dikutip Santana (2005) dalam Jurnalisme Kontemporer mengatakan bahwa “The Public Jurnalism is made for a purpose”. Tujuan di sini adalah
sebagai upaya merevitalisasi kualitas civic
life, melalui partisipasi dan debat masyarakat.
Senin, Juni 21, 2010
Pengaruh Rendahnya Minat Baca Dengan Kebiasaan Membaca
Oleh: Hanna
Coba anda perhatikan sejenak, seberapa banyakkah waktu yang anda habiskan untuk membaca per harinya? Mungkin tidak sampai 3 jam sehari. Hal ini menunjukkan realitas akan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Memang membaca buku secara rutin perlu dibiasakan sejak dini, agar kelak dapat terbiasa untuk membaca.
Coba anda perhatikan sejenak, seberapa banyakkah waktu yang anda habiskan untuk membaca per harinya? Mungkin tidak sampai 3 jam sehari. Hal ini menunjukkan realitas akan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Memang membaca buku secara rutin perlu dibiasakan sejak dini, agar kelak dapat terbiasa untuk membaca.
Dalam menindaklanjuti rendahnya minat baca pada masyarakat Indonesia, pemerintah pernah mengajukan Deklarasi Pencanangan Gerakan Membaca Nasional yang ditandangani oleh mantan Menteri Pendidikan Nasional A. Malik Fadjar dan mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno serta Kepala Perpustakaan Nasional Dady P. Rachmananta.
Mengutip hasil survei sebuah koran nasional, bahwa ternyata minat baca pada orang Indonesia amat rendah dibandingkan dengan negara- negara Asia lainnya, karena umumnya masyarakat lebih suka mengonsumsi televisi dan radio, selain lebih cepat, informasi yang juga lebih menarik karena menyajikan informasi secara audio visual pula. Sedangkan India, yang selama ini kita kenal sebagai salah satu negara miskin di dunia, menduduki peringkat satu sebagai negara yang memiliki minat baca yang tinggi.
Hasil jajak pendapat Kompas, menyatakan bahwa 70% responden mempunyai kebiasaan membaca buku minimal seminggu sekali. Jenis buku yang paling diminati oleh mereka adalah buku- buku fiksi, seperti novel dan buku sastra lainnya, dan pada urutan kedua adalah buku agama dan iptek, sedangkan pada urutan ketiga adalah komik. Namun, sebagian besar responden mengaku, tidak pernah berkunjung ke pameran buku atau menjadi anggota perpustakaan.
Mari kita lihat sejenak pada keadaan di luar negeri, yang murid SMU nya diwajibkan untuk membaca dan kemudian mendiskusikan sekitar 5- 32 judul buku per tahun. Seperti di Malaysia, mereka diharuskan untuk membaca dan mendiskusikan kurang lebih 20 buku dan di Singapura sekitar 25 buku. Sementara itu menurut Buletin Pusat Perbukuan, Depdiknas No. 1 Tahun 2000, di Jepang diberlakukan gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child untuk menanamkan kebiasaan membaca sejak dini Program ini menganjurkan seorang ibu untuk membacakan anaknya sebuah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum atau sekolah selama 20 menit sebelum si anak beranjak tidur..
Menurut Ir Abdul Rahman Saleh (Ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia), waktu membaca para mahasiswa Indonesia kurang dari satu jam, bandingkan dengan jumlah waktu menonton televisi yang lebih banyak 2 jam. Di Indonesia, pada tiap tahunnya hanya ada 6.000 judul buku yang baru. Bandingkan dengan Malaysia yang bisa mencapai angka 10.000.
Mungkin, minat baca siswa di Indonesia masih kurang, karena kurangnya sarana membaca seperti perpustakaan. Jumlah perpustakaan yang layak pakai di Indonesia, hanya sedikit jumlahnya. Dan di Indonesia hanya ada dua perpustakaan yang tergolong lengkap, besar, dan memenuhi syarat yaitu Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Yayasan Hatta di Yogyakarta. Perpustakaan Yayasan Hatta misalnya, koleksi buku yang ada disana awalnya berjumlah 410.147, namun kini telah menyusut 40% karena buku- buku tersebut ada yang tidak dikembalikan.
Sementara itu, mengutip tulisan Drs. H. Athaillah Baderi, seorang pustakawan di Perpustakaan Nasional RI yang mengatakan bahwa dalam studi yang dilakukan oleh International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun 1992 untuk mengukur kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30. Mrnyedihkan memang melihat angka- angka yang tertera dari hasil penelitian tersebut.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan minat baca, antara lain dengan menetapkan jam wajib baca di tiap keluarga atau membuat perpustakaan sederhana di rumah, hal ini dapat membiasakan anak- anak untuk mulai membaca buku, karena kebiasaan membaca memang sebaiknya dimulai sejak dini. Selain itu ada perlunya juga jika sarana dan prasarana yang menunjang untuk kegiatan membaca misalnya seperti perpustakaan di sekolah- sekolah maupun kampus dibuat senyaman mungkin agar dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan dan tidak membosankan untuk membaca. Pemerintah Indonesia bersama LSM peduli kegemaran membaca juga pernah mencanangkan Gerakan Peningkatan Minat Baca (GPMB) sejak 1986. Gerakan ini merupakan usaha penyadaran bagi orang tua tentang pentingnya membaca mulai tingkat RT, RW, desa, hingga tingkat nasional.
Mari kita lihat sejenak pada keadaan di luar negeri, yang murid SMU nya diwajibkan untuk membaca dan kemudian mendiskusikan sekitar 5- 32 judul buku per tahun. Seperti di Malaysia, mereka diharuskan untuk membaca dan mendiskusikan kurang lebih 20 buku dan di Singapura sekitar 25 buku. Sementara itu menurut Buletin Pusat Perbukuan, Depdiknas No. 1 Tahun 2000, di Jepang diberlakukan gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child untuk menanamkan kebiasaan membaca sejak dini Program ini menganjurkan seorang ibu untuk membacakan anaknya sebuah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum atau sekolah selama 20 menit sebelum si anak beranjak tidur..
Menurut Ir Abdul Rahman Saleh (Ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia), waktu membaca para mahasiswa Indonesia kurang dari satu jam, bandingkan dengan jumlah waktu menonton televisi yang lebih banyak 2 jam. Di Indonesia, pada tiap tahunnya hanya ada 6.000 judul buku yang baru. Bandingkan dengan Malaysia yang bisa mencapai angka 10.000.
Mungkin, minat baca siswa di Indonesia masih kurang, karena kurangnya sarana membaca seperti perpustakaan. Jumlah perpustakaan yang layak pakai di Indonesia, hanya sedikit jumlahnya. Dan di Indonesia hanya ada dua perpustakaan yang tergolong lengkap, besar, dan memenuhi syarat yaitu Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Yayasan Hatta di Yogyakarta. Perpustakaan Yayasan Hatta misalnya, koleksi buku yang ada disana awalnya berjumlah 410.147, namun kini telah menyusut 40% karena buku- buku tersebut ada yang tidak dikembalikan.
Sementara itu, mengutip tulisan Drs. H. Athaillah Baderi, seorang pustakawan di Perpustakaan Nasional RI yang mengatakan bahwa dalam studi yang dilakukan oleh International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun 1992 untuk mengukur kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30. Mrnyedihkan memang melihat angka- angka yang tertera dari hasil penelitian tersebut.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan minat baca, antara lain dengan menetapkan jam wajib baca di tiap keluarga atau membuat perpustakaan sederhana di rumah, hal ini dapat membiasakan anak- anak untuk mulai membaca buku, karena kebiasaan membaca memang sebaiknya dimulai sejak dini. Selain itu ada perlunya juga jika sarana dan prasarana yang menunjang untuk kegiatan membaca misalnya seperti perpustakaan di sekolah- sekolah maupun kampus dibuat senyaman mungkin agar dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan dan tidak membosankan untuk membaca. Pemerintah Indonesia bersama LSM peduli kegemaran membaca juga pernah mencanangkan Gerakan Peningkatan Minat Baca (GPMB) sejak 1986. Gerakan ini merupakan usaha penyadaran bagi orang tua tentang pentingnya membaca mulai tingkat RT, RW, desa, hingga tingkat nasional.
Selasa, April 13, 2010
Perilaku Hedonisme di Kalangan Muda

Namun sebenarnya arti dari hedonis tidaklahsesempit itu. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani, Hedone, yang berarti kesenangan. Menurut Aristippos hedonisme mengarah pada kenikmatan jasmaniah dan harus aktual. Sedangkan bagi Epikuros justru sebaliknya, kenikmatan rohaniah, yaitu ketenangan jiwa lebih luhur, dan sifatnya tidak hanya aktual, tetapi juga berlaku untuk masa lampau dan masa depan.
Akan tetapi banyak anak muda salah tafsir terhadap pengertian hedonisme yang sebenarnya. Mereka bermaksud untuk memperoleh ketenangan model Epikuros, tetapi salah mengikuti pemikiran Aristippos yang aktual dan jasmaniah belaka. Itu pun mereka hanya melihat sekilas tanpa mengerti lebih dalam tahap pemikiran filosofis tentang kebijakan dan tujuannya.
Oleh karena itu, tidak heran jika banyak generasi muda yang melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat. Sebab mereka berpikir hidup hanya untuk mencapai kenikmatan jasmani.
Mereka bergaya hidup mewah meskipun banyak diantaranya tidak berkecukupan, namun karena sedang tren akhirnya menjadi terbawa. Etika kesopanan dan norma-norma pun sudah terpinggirkan demi mencapai kesenangan tertentu. Seperti pergi ke diskotik yang akhirnya mabuk-mabukan, memakai narkoba, memakai tato dan seks bebas. Selain itu, penggunaan handphone pun tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Semakin canggih handphone semakin banyak pula dampak negatifnya. Handphone sering dijadikan sebagai media penyebaran pornografi baik berupa gambar maupun video yang dapat merusak moral bangsa. Maraknya dunia internet pun memberikan dampak negatif sebab menjadikan mereka anti sosial terhadap lingkungannya karena lebih sering menghadapi monitor daripada dengan orang-orang sekitar atau teman-temannya. Hal tersebut sangat mengkhawatirkan dan mengancam kemajuan bangsa Indonesia. Siapa lagi yang dapat membangun dan memajukan bangsa ini, jika bukan generasi muda yang sangat diharapkan mampu menjadikan bangsa Indonesia bermartabat dan memiliki dedikasi tinggi dimata dunia. Semoga kita lebih menghargai dan memaknai hidup ini agar mempunyai tujuan yang jelas serta cita-cita yang mulia.
Akan tetapi banyak anak muda salah tafsir terhadap pengertian hedonisme yang sebenarnya. Mereka bermaksud untuk memperoleh ketenangan model Epikuros, tetapi salah mengikuti pemikiran Aristippos yang aktual dan jasmaniah belaka. Itu pun mereka hanya melihat sekilas tanpa mengerti lebih dalam tahap pemikiran filosofis tentang kebijakan dan tujuannya.
Oleh karena itu, tidak heran jika banyak generasi muda yang melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat. Sebab mereka berpikir hidup hanya untuk mencapai kenikmatan jasmani.
Mereka bergaya hidup mewah meskipun banyak diantaranya tidak berkecukupan, namun karena sedang tren akhirnya menjadi terbawa. Etika kesopanan dan norma-norma pun sudah terpinggirkan demi mencapai kesenangan tertentu. Seperti pergi ke diskotik yang akhirnya mabuk-mabukan, memakai narkoba, memakai tato dan seks bebas. Selain itu, penggunaan handphone pun tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Semakin canggih handphone semakin banyak pula dampak negatifnya. Handphone sering dijadikan sebagai media penyebaran pornografi baik berupa gambar maupun video yang dapat merusak moral bangsa. Maraknya dunia internet pun memberikan dampak negatif sebab menjadikan mereka anti sosial terhadap lingkungannya karena lebih sering menghadapi monitor daripada dengan orang-orang sekitar atau teman-temannya. Hal tersebut sangat mengkhawatirkan dan mengancam kemajuan bangsa Indonesia. Siapa lagi yang dapat membangun dan memajukan bangsa ini, jika bukan generasi muda yang sangat diharapkan mampu menjadikan bangsa Indonesia bermartabat dan memiliki dedikasi tinggi dimata dunia. Semoga kita lebih menghargai dan memaknai hidup ini agar mempunyai tujuan yang jelas serta cita-cita yang mulia.
Foto dari sini
Rabu, Maret 31, 2010
Langkanya Lagu Anak-Anak
Sekitar 10-15 tahun yang lalu, lagu anak-anak masih banyak bermunculan di layar televisi kita. Kehadirannya sangat digemari oleh anak-anak pada jaman itu, seperti lagu Bolo-Bolo, Diobok-obok, Cita-Citaku dan Lumba-Lumba. Banyak dari mereka yang mengidolakan Enno Lerian, Joshua, Tina Toon, Trio Kwek-Kwek, Maissy, Bondan, dan masih banyak lagi penyanyi-penyanyi cilik lainnya. Dimana-mana kita mendengar anak-anak yang masih polos dan lugu menyanyikan lagu anak-anak dengan riang gembira.
Tetapi di era sekarang ini, fenomena tersebut nyaris tidak ada lagi di televisi. Lagu-lagu semacam itu sudah sangat jarang kita temui, bahkan mungkin sangat sedikit sekali lagu anak-anak yang baru, yang ada biasanya lagu lama yang di aransemen ulang sehingga berkesan tampak baru. Kalaupun ada, lagu tersebut tidak populer seperti dulu, akhirnya hanya menjadi angin lalu.
Yang lebih miris dari semua itu adalah penyanyi-penyanyi cilik yang seharusnya menyanyikan lagu anak-anak, justru mereka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang bertemakan cinta, patah hati, selingkuh dan sebagainya. Sebagai anak usia 6-12 tahun, mereka lebih pantas menyanyikan lagu yang bertemakan tentang kehidupan mereka, kehidupan anak-anak pada umumnya seperti bermain dengan teman sebaya, belajar di sekolah, kasih sayang pada orang tua, berkunjung ke kebun binatang dan lain-lain.
Mereka tidak seharusnyalah menyanyikan lagu-lagu dewasa, karena itu hanya akan membuat anak-anak tumbuh lebih dewasa secara tidak semestinya. Padahal lagu itu bisa menjadi stimuli otak yang baik pada anak dan berpengaruh pada tingkah laku mereka. Apabila lagu itu tidak sesuai, makan akan ada kelainan moral yang hinggap pada diri mereka. Kalau sudah begini, bagaimana generasi kita selanjutya?
Kita perlu risau pada permasalahan ini. Saya berharap akan munculnya kembali komposer-komposer lagu anak seperti Pak Kasur, AT Mahmud, Papa T Bob. Di luar itu, media massa seperti televisi dan radio juga harus turut serta dalam menggencarkan lagu anak-anak dengan memperbanyak acara-acara anak yang di dalamnya benar-benar menampilkan atau memutar lagu anak. Selain itu untuk para pendidik juga diharapkan lebih banyakdan lebih sering mendendangkan lagu anak disaat disela-sela mengajar atau pada saat pelajaran kesenian, jika perlu bapak ibu guru membuat lagu anak sendiri karena lagu anak itu cukup sederhana dalam lirik dan nada.
oleh: Sesar Ramadani Aji
image diambil dari sini
Tetapi di era sekarang ini, fenomena tersebut nyaris tidak ada lagi di televisi. Lagu-lagu semacam itu sudah sangat jarang kita temui, bahkan mungkin sangat sedikit sekali lagu anak-anak yang baru, yang ada biasanya lagu lama yang di aransemen ulang sehingga berkesan tampak baru. Kalaupun ada, lagu tersebut tidak populer seperti dulu, akhirnya hanya menjadi angin lalu.
Yang lebih miris dari semua itu adalah penyanyi-penyanyi cilik yang seharusnya menyanyikan lagu anak-anak, justru mereka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang bertemakan cinta, patah hati, selingkuh dan sebagainya. Sebagai anak usia 6-12 tahun, mereka lebih pantas menyanyikan lagu yang bertemakan tentang kehidupan mereka, kehidupan anak-anak pada umumnya seperti bermain dengan teman sebaya, belajar di sekolah, kasih sayang pada orang tua, berkunjung ke kebun binatang dan lain-lain.
Mereka tidak seharusnyalah menyanyikan lagu-lagu dewasa, karena itu hanya akan membuat anak-anak tumbuh lebih dewasa secara tidak semestinya. Padahal lagu itu bisa menjadi stimuli otak yang baik pada anak dan berpengaruh pada tingkah laku mereka. Apabila lagu itu tidak sesuai, makan akan ada kelainan moral yang hinggap pada diri mereka. Kalau sudah begini, bagaimana generasi kita selanjutya?
Kita perlu risau pada permasalahan ini. Saya berharap akan munculnya kembali komposer-komposer lagu anak seperti Pak Kasur, AT Mahmud, Papa T Bob. Di luar itu, media massa seperti televisi dan radio juga harus turut serta dalam menggencarkan lagu anak-anak dengan memperbanyak acara-acara anak yang di dalamnya benar-benar menampilkan atau memutar lagu anak. Selain itu untuk para pendidik juga diharapkan lebih banyakdan lebih sering mendendangkan lagu anak disaat disela-sela mengajar atau pada saat pelajaran kesenian, jika perlu bapak ibu guru membuat lagu anak sendiri karena lagu anak itu cukup sederhana dalam lirik dan nada.
oleh: Sesar Ramadani Aji
image diambil dari sini
Sabtu, Desember 13, 2008
Membaca Kota dalam Komik
Oleh : Nur Heni Widyastuti*
Hampir lima belas tahun saya hidup di “lingkungan rumah yang sama” dan belum pernah pindah sejak saya bersekolah di taman kanak-kanak. Sebelumnya memang berpindah pindah, tapi kala itu saya masih terlalu dini untuk mengerti apa itu bersosialisasi. Setelah saya menyadari akan hal itu, yang sering mengalami perubahan adalah “lingkungan sekolah” dimana saya menimba ilmu, itupun masih dalam ”lingkungan kota yang sama”. Atau kalaupun pergi mengunjungi sanak keluarga masih dalam “lingkungan provinsi yang sama pula”. Namun, bukan berarti saya tidak pernah “kaluar” kemana-mana, hanya saja, mobilitas keluar dari kota tempat saya tibggal, presentasinya masih sangat terbatas jika dibandingkan dominasi “tetap di lingkungan yang sama”.Dalam organisasi yang saya ikuti (LPM VISI FISIP UNS), sering sekali diadakan pemetaan permasalahan-permasalahan yang ada di kota ini, untuk dituangkan dalam sebuah terbitan (Majalah VISI). Walaupun saya sudah lama tinggal di sini, namun saya merasa (mungkin barangkali hanya saya) kurang bisa “membacanya” secara mendalam. Sebenarnya telah banyak pemberitaan, seminar atau penerbitan buku yang diselenggarakan oleh sastrawan, budayawan, lembaga atau instansi-instansi tersentu, yang kesemuanya pasti sangat menarik. Sampai suatu ketika saya menemukan sebuah skripsi yang berjudul “Ruang Publik Perkotaan dalam Komik (Studi Semiotik Representasi Ruang Publik Perkotaan dalam Jogja in Comic)”. Dari situ saya baru menyadari bahwa saya kurang pandai dalam “membaca kota” walaupun saya telah lama tinggal di sana. Dan ternyata ada sebuah media yang lebih menarik untuk membaca kota. Yakni komik.
Saya memang bukan penikmat komik. Saya lebih memilih membaca prosa (tulisan panjang dalam bentuk apapun) daripada pusing mengamati gambar berskat-skat. Terlebih, komik-komik yang ada sekarang (menurut saya) didominasi oleh komik “kekanakan”, walaupun mengangkat “tema orang dewasa”. Tetapi bukan berarti saya menggeneralisasi semuanya, ada juga komik sastra, komik pendidikan politik, atau komik lain yang mengandung unsur edukasi.
Bagi saya yang mengganggap “menggambar itu sulit”, pembuatan komik yang mengangkat tema “berat” merupakan karya yang luar biasa. Saya melihat itu dalam komik-komik yang ada dalam buku Jogja in Comic (walau saya hanya melihat sketnya dan alur ceritanya di internet dan belum membaca semuanya). Dengan imajinasi yang mendekati realita dan alur cerita ringan, membuat pembacaan terhadap kota Jogja menjadi lebih menarik.
Berikut saya cuplikkan sedikit kata pengantar dari St Sunardi** (Ketua Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) yang juga memberikan sambutan dalam Jogja In Comic Exhibition 19 November 2006 silam.
Ruang Publik Boleh Langka, Asal Jangan Ruang Komik
Buku Jogja in Comic merupakan kumpulan lima karya komik terbaik dari Kompetisi Komik yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta pada awal 2006. Komik pertama, “Gobak Sodor Sawijining Komik” menggambarkan rasa frustrasi anak-anak karena ruang ruang bermainnya semakin menyempit, kalau bukan lenyap. Dalam “Kota Seni”, komik kedua, dilukiskan seorang tukang bakso yang ternyata lebih melek seni daripada seorang mahasiswa yang tidak tahu apa yang dilakukan untuk mengisi waktu kosongnya kecuali sibuk membaca buku porno. Komik ketiga, “Marini, Masih Ada Jathilan Yang Lewat”, berisi cerita tentang orang yang sudah terasing dengan seni-seni tradisional. “Selamat Datang di Kota Revolusi”, komik keempat, melukiskan sejarah heroisme Kota Jogja sambil menunjukkan seakan-akan orang-orang Jogja sudah bebas dari penjajah padahal belum. Komik terakhir yang berjudul “Brondoyudo Manyun Binangun” (Plesetan dari Barata Yuda Jaya Binangun) memperlihatkan sisi lain dari Yogyakarta: konflik antar “gang” di Malioboro untuk memperebutkan lahan.
Persoalan ruang bermain anak, kedudukan Jogja yang merana sebagai kota seni, keterasingan orang jaman sekarang dengan seni-seni tradisional, krisis herorisme jaman sekarang, dan keruwetan Malioboro – semuanya bukanlah isu baru, semuanya sudah banyak dibicarakan entah di media, di ruang-ruang seminar, dalam kampanye pilkada, maupun di obrolan ringan di berbagai tempat. Kalau tema-tema itu muncul lagi dalam kumpulan komik ini, hal itu menunjukkan bahwa persoalan-persoalan tersebut memang menjadi persoalan nyata. Isu-isu diangkat kembali lewat medium komik. Hasilnya? Ada nuansa baru. Suasana gemas sangat dominan.
Suasana ini pertama-tama kita rasakan lewat ilustrasi daripada pesan tekstual. Trotoar untuk pejalan kaki sudah diserobot untuk kendaraan bermotor, hiruk pikuk biennal dan events kesenian lainnya ternyata belum berhasil menggugah warga untuk melek seni, Malioboro yang disediakan sebagai wilayah untuk rileks ternyata dikotak-kotak oleh kekuatan-kuatan invisible, dan sebagainya. Dalam perasaan gemas ini para kontributor buku ini mencoba untuk bersikap comical, mengambil jarak, menghela nafas. Jenis komunikasi inilah kiranya yang bisa kita apresiasi dari kehadiran kumpulan komik tentang Jogja….. (dst)
Ada pula kumpulan komik yang berjudul “Jogja, 5,9 skala richter”*** komik yang memuat 18 judul komik. Didalamnya memuat bagaimana para pembuat komik ini membingkai kisah-kisah yang berkaitan dengan gempa Jogja mei 2006 silam.
Keunggulan dari pembacaan kota melalui komik adalah dalam hal imajinasi dan alur plot yang mungkin hasil karangan pembuat. Berbeda dengan prosa (baik yang sastra ataupun berita) yang mengingnkan pembacaan itu secara nyata. Namun ada keinginan yang sama, yakni realitas tentang kota mereka dan pesan yang ingin disampaikan sampai kepada pembaca, walau dengan medium yang berbeda.
* Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005, salah satu pengurus LPM VISI FISIP UNS.
** http://yulibean.multiply.com/journal/item/18/JOGJA_IN_COMIC_EXHIBITION
*** http://martabakomikita.multiply.com/journal/item/94/INFOTAMU_Launching_Komik_Jogja_59_Skala_Richter)
Hampir lima belas tahun saya hidup di “lingkungan rumah yang sama” dan belum pernah pindah sejak saya bersekolah di taman kanak-kanak. Sebelumnya memang berpindah pindah, tapi kala itu saya masih terlalu dini untuk mengerti apa itu bersosialisasi. Setelah saya menyadari akan hal itu, yang sering mengalami perubahan adalah “lingkungan sekolah” dimana saya menimba ilmu, itupun masih dalam ”lingkungan kota yang sama”. Atau kalaupun pergi mengunjungi sanak keluarga masih dalam “lingkungan provinsi yang sama pula”. Namun, bukan berarti saya tidak pernah “kaluar” kemana-mana, hanya saja, mobilitas keluar dari kota tempat saya tibggal, presentasinya masih sangat terbatas jika dibandingkan dominasi “tetap di lingkungan yang sama”.Dalam organisasi yang saya ikuti (LPM VISI FISIP UNS), sering sekali diadakan pemetaan permasalahan-permasalahan yang ada di kota ini, untuk dituangkan dalam sebuah terbitan (Majalah VISI). Walaupun saya sudah lama tinggal di sini, namun saya merasa (mungkin barangkali hanya saya) kurang bisa “membacanya” secara mendalam. Sebenarnya telah banyak pemberitaan, seminar atau penerbitan buku yang diselenggarakan oleh sastrawan, budayawan, lembaga atau instansi-instansi tersentu, yang kesemuanya pasti sangat menarik. Sampai suatu ketika saya menemukan sebuah skripsi yang berjudul “Ruang Publik Perkotaan dalam Komik (Studi Semiotik Representasi Ruang Publik Perkotaan dalam Jogja in Comic)”. Dari situ saya baru menyadari bahwa saya kurang pandai dalam “membaca kota” walaupun saya telah lama tinggal di sana. Dan ternyata ada sebuah media yang lebih menarik untuk membaca kota. Yakni komik.
Saya memang bukan penikmat komik. Saya lebih memilih membaca prosa (tulisan panjang dalam bentuk apapun) daripada pusing mengamati gambar berskat-skat. Terlebih, komik-komik yang ada sekarang (menurut saya) didominasi oleh komik “kekanakan”, walaupun mengangkat “tema orang dewasa”. Tetapi bukan berarti saya menggeneralisasi semuanya, ada juga komik sastra, komik pendidikan politik, atau komik lain yang mengandung unsur edukasi.
Bagi saya yang mengganggap “menggambar itu sulit”, pembuatan komik yang mengangkat tema “berat” merupakan karya yang luar biasa. Saya melihat itu dalam komik-komik yang ada dalam buku Jogja in Comic (walau saya hanya melihat sketnya dan alur ceritanya di internet dan belum membaca semuanya). Dengan imajinasi yang mendekati realita dan alur cerita ringan, membuat pembacaan terhadap kota Jogja menjadi lebih menarik.
Berikut saya cuplikkan sedikit kata pengantar dari St Sunardi** (Ketua Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) yang juga memberikan sambutan dalam Jogja In Comic Exhibition 19 November 2006 silam.
Ruang Publik Boleh Langka, Asal Jangan Ruang Komik
Buku Jogja in Comic merupakan kumpulan lima karya komik terbaik dari Kompetisi Komik yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta pada awal 2006. Komik pertama, “Gobak Sodor Sawijining Komik” menggambarkan rasa frustrasi anak-anak karena ruang ruang bermainnya semakin menyempit, kalau bukan lenyap. Dalam “Kota Seni”, komik kedua, dilukiskan seorang tukang bakso yang ternyata lebih melek seni daripada seorang mahasiswa yang tidak tahu apa yang dilakukan untuk mengisi waktu kosongnya kecuali sibuk membaca buku porno. Komik ketiga, “Marini, Masih Ada Jathilan Yang Lewat”, berisi cerita tentang orang yang sudah terasing dengan seni-seni tradisional. “Selamat Datang di Kota Revolusi”, komik keempat, melukiskan sejarah heroisme Kota Jogja sambil menunjukkan seakan-akan orang-orang Jogja sudah bebas dari penjajah padahal belum. Komik terakhir yang berjudul “Brondoyudo Manyun Binangun” (Plesetan dari Barata Yuda Jaya Binangun) memperlihatkan sisi lain dari Yogyakarta: konflik antar “gang” di Malioboro untuk memperebutkan lahan.
Persoalan ruang bermain anak, kedudukan Jogja yang merana sebagai kota seni, keterasingan orang jaman sekarang dengan seni-seni tradisional, krisis herorisme jaman sekarang, dan keruwetan Malioboro – semuanya bukanlah isu baru, semuanya sudah banyak dibicarakan entah di media, di ruang-ruang seminar, dalam kampanye pilkada, maupun di obrolan ringan di berbagai tempat. Kalau tema-tema itu muncul lagi dalam kumpulan komik ini, hal itu menunjukkan bahwa persoalan-persoalan tersebut memang menjadi persoalan nyata. Isu-isu diangkat kembali lewat medium komik. Hasilnya? Ada nuansa baru. Suasana gemas sangat dominan.
Suasana ini pertama-tama kita rasakan lewat ilustrasi daripada pesan tekstual. Trotoar untuk pejalan kaki sudah diserobot untuk kendaraan bermotor, hiruk pikuk biennal dan events kesenian lainnya ternyata belum berhasil menggugah warga untuk melek seni, Malioboro yang disediakan sebagai wilayah untuk rileks ternyata dikotak-kotak oleh kekuatan-kuatan invisible, dan sebagainya. Dalam perasaan gemas ini para kontributor buku ini mencoba untuk bersikap comical, mengambil jarak, menghela nafas. Jenis komunikasi inilah kiranya yang bisa kita apresiasi dari kehadiran kumpulan komik tentang Jogja….. (dst)
Ada pula kumpulan komik yang berjudul “Jogja, 5,9 skala richter”*** komik yang memuat 18 judul komik. Didalamnya memuat bagaimana para pembuat komik ini membingkai kisah-kisah yang berkaitan dengan gempa Jogja mei 2006 silam.
Keunggulan dari pembacaan kota melalui komik adalah dalam hal imajinasi dan alur plot yang mungkin hasil karangan pembuat. Berbeda dengan prosa (baik yang sastra ataupun berita) yang mengingnkan pembacaan itu secara nyata. Namun ada keinginan yang sama, yakni realitas tentang kota mereka dan pesan yang ingin disampaikan sampai kepada pembaca, walau dengan medium yang berbeda.
* Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005, salah satu pengurus LPM VISI FISIP UNS.
** http://yulibean.multiply.com/journal/item/18/JOGJA_IN_COMIC_EXHIBITION
*** http://martabakomikita.multiply.com/journal/item/94/INFOTAMU_Launching_Komik_Jogja_59_Skala_Richter)
Langganan:
Postingan (Atom)