Dekan terpilih periode 2007-2011 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tepat satu tahun menjabat pada 16 Mei 2008. Dalam satu tahun kinerjanya, sejumlah mahasiswa belum merasakan adanya progres yang berarti terhadap FISIP.
Novi Kurniawati, mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (AN) 2005 ketika ditemui di depan gedung Keluarga Mahasiswa (KM) FISIP (13/6) mengungkapkan bahwa selama satu tahun ini Dekanat sudah melakukan perbaikan di FISIP, tetapi masih belum terasa progress-nya. ”Di Bidang I saja masih belum jelas kurikulum yang dipakai, Bidang II meskipun sudah ada pembenahan sarana prasarana, tetapi kebersihan belum terwujud. Bidang III soal jaringan alumni FISIP juga belum kuat,” tambahnya
Masih menurut Novi, selama ini Dekanat dirasa kurang menyerap aspirasi mahasiswa dan berimbas pada kurang terinternalisasikannya visi dan misi mereka. Senada dengan Novi, Dian Kukuh Purnandi, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2006 ketika diwawancarai Acta Diurna (16/6) di aula FISIP menyatakan, secara umum kinerja Dekanat sudah cukup baik meskipun masih ada beberapa kekurangan.
”Manajerial dan prasarana sudah baik, misalnya saja pembagian job desk birokrasi FISIP dan ruang perpustakaan yang tertata disertai AC, dan peraturan ujian yang sudah tegas. Namun masih ada kekurangan, seperti pernyataan yang berbeda dari dekan maupun pembantu dekan yang lain sehingga membingungkan mahasiswa. Ini berarti arus informasi dari Dekanat masih kurang,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Mufti Anas mahasiswa AN 2005 ketika ditemui pada Rabu (18/6), bahwa kinerja Dekanat satu tahun pertama masih perlu perbaikan. ”Sebenarnya sudah cukup bagus, namun dalam pelaksanaan kebijakan masih kurang melibatkan mahasiswa, padahal mahasiswa adalah objek dari kebijakan tersebut,” ujarnya.
Dekanat: Sudah Lakukan Pembenahan
Menanggapi mahasiswa yang menyatakan bahwa Dekanat belum memiliki progress yang berarti, Dekan FISIP Drs. Supriyadi, SN. SU yang ditemui di ruangannya (14/6) mengatakan, ”Kami baru menjabat satu tahun, jadi memang masih ada kekurangan di sana-sini yang semuanya itu terbentur pada masalah waktu dan biaya, sehingga progres masih belum terlihat jelas.”
Sedangkan untuk internalisasi visi dan misi yang dikeluhkan mahasiswa, Supriyadi mengaku sudah memberikan solusi melalui sharing dan diskusi dengan mahasiswa. ”Saya sering diundang sharing dan diskusi dengan mahasiswa, yang dari sinilah saya menyerap aspirasi mereka untuk kemudian saya gunakan dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan,” ujarnya.
Kurangnya kesadaran baik dari dosen, karyawan, dan mahasiswa diakui Supriyadi juga menjadi salah satu kendala dalam melaksanakan program kerjanya. ”Ketika dosen, karyawan, dan mahasiswa menyadari akan peran dan tanggung jawab mereka, saya pikir program kerja ini akan berjalan lancar,” ujar Supriyadi.
Menanggapi pernyataan dari Supriyadi, Wahyu Setya Budi mahasiswa Ilmu Komunikasi 2005 ketika ditemui di Public Space (24/6) mengatakan bahwa mahasiswa jangan terlalu disalahkan. ”Bagaimana yang di belakang, tergantung yang di depan. Bagaimana mahasiswa, tergantung pihak Dekanat dalam memimpin,” ujarnya.
Budi juga mengatakan bahwa sharing yang diadakan pihak Dekanat hanya dilakukan pada awal kinerjanya saja, selanjutnya tidak ada tindak lanjut lagi. Ia pun menambahkan bila masalah biaya dan waktu seharusnya tidak menjadi kendala. ”Seharusnya biaya tidak dijadikan permasalahan karena mereka tidak bekerja kepada mahasiswa melainkan mengabdi kepada mahasiswa, kalau kerja kan kepada negara,” tuturnya.
Selain Budi, Arnold Meka mahasiswa AN 2005 ketika ditemui di gedung KM (24/6) menyatakan bahwa seharusnya Dekanat jangan menyalahkan mahasiswa, tapi lebih introspeksi dengan apa yang sudah Dekanat berikan untuk mahasiswa. ”Harmonisasi antara dekan dan pembantu dekan dalam pelaksanaan kebijakan saja masih kurang padahal kinerja Dekanat belum bisa dimulai tanpa tim yang solid,” tambahnya.
Pernyataan mengenai salah satu kendala dalam mewujudkan program kerja Dekanat yang berasal dari mahasiswa juga dibenarkan oleh Suyatmi. Ketika ditemui di ruangannya (13/6) ia menyatakan kendala yang dibidanginya justru dari mahasiswa sendiri. ”Susah sekali menggerakkan mahasiswa, apalagi untuk terlibat dalam lomba-lomba ilmiah,” paparnya.
Menyikapi pernyataan Suyatmi, Arnold mengatakan bila mahasiswa tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. ”Dekanat masih kurang dalam mensosialisasikan kegiatan-kegiatan ilmiah, jadi jangan terus menyalahkan mahasiswa, apalagi hanya segelintir dosen saja yang mengarahkan mahasiswa untuk melakukan kegiatan ilmiah seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM),” ungkapnya.
Sedangkan terkait dengan kebersihan yang dipermasalahkan mahasiswa, PD II Drs. Marsudi M.S menyatakan mahasiswa lah yang kurang bertanggung jawab dalam penggunaan fasilitas yang disediakan. ”Seharusnya mahasiswa bisa menjaga fasilitas yang sudah ada, misalnya tidak mencoret-mencoret dinding dan kursi,” tegasnya.
Menjawab tentang penjagaan kebersihan fasilitas kampus, Arnold pun mengiyakan bila kesadaran mahasiswa masih kurang. ”Memang kesadaran mahasiswa dalam menjaga kebersihan masih kurang, tapi saya harap perawatan kebersihan fasilitas kampus untuk mahasiswa dan birokrat tidak dibedakan,” ujarnya.
FISIP EMAS Entah Kapan Akan Terwujud
Salah satu Visi Dekanat adalah menuju FISIP EMAS (Acta Diurna No 6/VII/2007). Namun, melihat banyaknya keluhan dari mahasiswa untuk tahun pertama kinerja Dekanat, ternyata menyisakan tanda tanya di benak mahasiswa tentang kapan terwujudnya FISIP EMAS tersebut.
FISIP EMAS seperti yang dicita-citakan Supriyadi yaitu keadaan masyarakat kampus yang ideal dan harmonis di bidang akademik dan non akademik, menurut mahasiswa ternyata juga belum terealisasi.
”Menurut saya FISIP EMAS ini belum terwujud. Di bidang akademik dan non akademik saya rasa tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Kita lihat saja bidang akademik tidak ada kemajuan yang jelas, non akademik juga sama kondisinya,” ungkap Novi.
Ke depannya, mahasiswa berharap agar Dekanat bisa lebih baik dari sebelumnya. ”Dekanat bisa lebih kreatif dan inovatif untuk mengembangkan FISIP, mengenai jaringan alumni juga dikuatkan dulu, karena para alumni ini adalah aset besar FISIP yang bisa dimanfaatkan,” kata Novi.
Bahkan di sisi lain Supriyadi pun tak tahu kapan FISIP EMAS akan terwujud. ”Saya sendiri juga belum bisa menentukan kapan FISIP EMAS terwujud. Fondasi FISIP EMAS ini mulai saya terapkan misalnya dengan penertiban dan pendisiplinan dosen, karyawan dan mahasiswa sehingga ini bisa menjadi salah satu cara saya untuk mencapai FISIP EMAS itu,” tegasnya.
Semoga saja dengan adanya masukan ataupun keluhan dari mahasiswa, pihak Dekanat melakukan perbaikan guna mewujudkan FISIP EMAS dan menjadikan FISIP lebih baik lagi kedepannya. Menjaring aspirasi mahasiswa dapat menjadi salah satu cara untuk melakukan pembenahan. “Aspirasi dari mahasiswa dan Jurusan harus didengar dan disatukan serta diadakan dialog terbuka agar semua permasalahan jelas dan tidak menimbulkan perdebatan, dan saya harap arus informasi dari Dekanat diperbaiki agar tidak membingungkan mahasiswa,” ujar Kukuh.
Tidak jauh berbeda dengan Kukuh, Anas pun juga berharap untuk pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, diharapkan Dekanat agar lebih sering mengadakan hearing dengan mahasiswa. ”Saya harap Dekanat lebih sering melakukan hearing agar setiap kebijakannya tidak merugikan pihak yang lainnya,” ungkapnya. (Alina, Wynna, Imas)
Tampilkan postingan dengan label Problematika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Problematika. Tampilkan semua postingan
Jumat, September 19, 2008
Minggu, Mei 18, 2008
Mahasiswa AN dan Sosiologi Ragukan Dana Laboratorium
Penarikan dana laboratorium (lab) yang harus dibayarkan tiap semester bagi mahasiswa Administrasi Negara (AN) dan Sosiologi angkatan 2007 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) menimbulkan keraguan bagi mahasiswa bersangkutan. Mereka merasa keberatan atas penarikan dana tersebut karena sebagian besar dari mereka mengaku belum mendapat sosialisasi mengenai kejelasan penggunaan lab.
Sebagian mahasiswa AN dan Sosiologi angkatan 2007 mengeluhkan tentang penarikan dana lab sebesar Rp 75.000,- yang harus dibayarkan setiap awal semester. Hal ini seperti diungkapkan oleh mahasiswa Sosiologi 2007 Diyah Hardiyati Khasanah saat ditanyai Acta Diurna di mushola FISIP, Rabu (26/3). “Iya, angkatan 2007 ini memang harus bayar uang lab tiap semester, tidak seperti tahun-tahun yang lalu,” jelas Diyah.
Diyah mengaku sudah menggunakan lab pada semester pertama, mata kuliah Komputer Dasar. Namun dirinya menjadi ragu mengenai pemanfaatan dana lab untuk semester ke dua ini dan semester berikutnya. Karena sejauh ini, Diyah mengaku belum mendapat sosialisasi apa pun perihal pemanfaatan dana lab yang mesti ia bayarkan tiap semester itu.
Pada saat bersamaan Acta Diurna berhasil meliput mahasiswa Sosiologi 2005 Anik Yunianingsih. “Angkatan saya hanya membayar dana lab sebesar Rp 75.000,- pada semester pertama saja kok,” ungkap Anik saat ditemui di mushola FISIP, Rabu (26/3). Sistem pembayaran dana lab yang berbeda ini membuat Diyah merasa keberatan. “Ya iyalah keberatan, mendingan masuk kantong sendiri, kan belum tahu nanti menggunakan lab lagi atau gak,” keluh Diyah.
Tidak jauh berbeda dengan mahasiswa Sosiologi angkatan 2007, mahasiswa AN angkatan 2007 juga mengeluhkan hal demikian. “Saya merasa keberatan mengenai pembayaran uang lab yang mesti dibayar tiap semester. Padahal angkatan sebelumnya hanya semester satu, keberatannya karena implementasinya kurang jelas,” ungkap mahasiswa AN 2007 Nuuraeni Matina, saat ditemui di depan Ruang Dosen Sosiologi, Senin (21/3).
Ditambah lagi dengan pernyataan mahasiswa Administrasi Negara 2007 Farisda Nurjayanti saat ditemui di mushola FISIP, Senin (21/3). “Kalau memang lab itu ada, sebenarnya tidak keberatan. Tapi kalaupun ada, lab AN itu berupa apa ya?” tanyanya dengan keraguan. Perbedaan pembayaran dana lab angkatan 2007 dengan angkatan sebelumnya dan ketidakoptimalan penggunaan lab inilah yang menimbulkan keraguan dalam diri mahasiswa. Mereka meminta kejelasan tentang alokasi dana sebesar Rp 75.000,- yang dibayarkan tiap semester tersebut.
Dana Lab Merupakan Kebijkakan Pusat
Menurut buku Pedoman Fakultas 2005/2006, laboratorium/studio merupakan perangkat penunjang pelaksanaan pendidikan pada Jurusan dalam pendidikan akademik dan atau profesional. Laboratorium/studio mempunyai tugas melakukan kegiatan dalam cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian tertentu sebagai penunjang pelaksanaan tugas pokok Jurusan sesuai dengan ketentuan bidang yang bersangkutan.
Masih dalam buku tersebut, di FISIP UNS keberadaan laboratorium/studio mengacu pada Jurusan, oleh karena itu setiap Jurusan mempunyai laboratorium/studio yang dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggungjawab kepada Ketua Jurusan (Kajur).
Ketika Acta Diurna mengkonfirmasi perihal dana lab ini kepada Kajur AN Drs. Sudarto, M. Si. di ruang kerjanya, Senin (1/4), dia menanggapi penarikan dana lab tersebut bukan merupakan kebijakan Jurusan. “Saya belum bisa menjawab secara tuntas karena saya tidak mengajukan dana laboratorium tersebut pada saat itu,” jelas Sudarto.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Dekan FISIP UNS Drs. Supriyadi, SN., SU ketika dikonfirmasi di ruang Dekanat, Rabu (2/4). “Dana lab itu kan yang menarik Pusat, bukan Fakultas. Jadi artinya persoalan lab itu yang mengurus Pusat,” jelasnya. Fakultas, kata Supriyadi, tidak ikut campur tangan mengenai dana tersebut.
Ia juga mengatakan Fakultas hanya menyelenggarakan dan merawat apa yang telah dibangun oleh Universitas saja. Misalnya, tutur Supriyadi, untuk merawat laboratorium komputer, dibutuhkan biaya untuk membeli perlengkapan seperti tinta, kertas dan sebagainya.
Namun Kajur Sosiologi Dra. Hj. Trisni Utami, M. Si. menyatakan hal yang berbeda saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (15/4). Ia dengan tegas mengatakan kewenangan untuk merealisasikan lab tersebut diserahkan pada Jurusan masing-masing. Kebijakan ini, jelas Trisni, berlaku untuk semua Jurusan dan Program Studi (Prodi) yang ada di UNS, bukan hanya Jurusan AN dan Sosiologi. “Dana ini dibayarkan melalui rekening Rektor dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan Jurusan dan Prodi masing-masing. Agar semua Jurusan dan Prodi memiliki laboratorium untuk aktualisasi ilmu,” paparnya.
Trisni juga mengungkapkan bahwa mahasiswa Sosiologi angkatan 2007 ini memang direncanakan berbeda dengan angkatan sebelumnya. “Angkatan kali ini akan diberikan praktek lapangan ke masyarakat agar memiliki pengalaman ke luar selain kuliah di kelas,” jelasnya.
Karena itulah dana tersebut dibutuhkan untuk membuat laboratorium yang menurut Trisni akan direaliasasikan secara bertahap. Mengenai laboratorium Jurusan Sosiologi yang direncanakan tersebut, Trisni menyebutkan berupa Laboratorium Pemberdayaan, Perkotaan, Politik dan Permasalahan Sosial. “Selain itu ada juga praktik pendampingan bagi mahasiswa,” tuturnya.
Sedangkan untuk Jurusan AN, Sudarto belum dapat menjelaskan tujuan dari penarikan dana laboratorium tersebut. Sudarto hanya menghimbau agar mahasiswa tidak memandang pengertian laboratorium terbatas pada suatu ruangan dengan segala peralatannya. “Laboratorium itu yang penting ada kegiatan, misalnya desa binaan, mendatangkan pakar mata kuliah tertentu dan sebagainya,” tegasnya.
Terkait dengan hal ini Pembantu Dekan II Drs. Marsudi, MS juga membenarkan lab itu tidak hanya berupa ruang yang dapat dilihat secara fisik saja. Namun, kata Marsudi, juga bisa berupa terjun ke masyarakat. “Misalnya saja Laboratorium Kebijakan Publik dan Laboratorium Kajian Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat,” paparnya saat ditemui di Ruang Dekanat, Rabu (23/4).
Marsudi yang dulu juga pernah menjabat menjadi Kajur AN mengatakan ke dua lab tersebut bukan berwujud ruangan di FISIP, namun ada di dalam masyarakat. “Kegiatan tersebut lebih banyak diwujudkan pada penelitian-peneltian di masyarakat,” tutur Marsudi
Pengadaan Lab Harap Segera Direalisasikan
Ketika ditanya mengenai harapannya, Farisda mengungkapkan agar pengadaan lab segera direalisasikan. “Jika laboratorium itu tidak segera direalisasikan, mungkin sebaiknya kebijakan tersebut dihilangkan saja, dan dikembalikan seperti tahun-tahun sebelumnya,” tutur Farisda. Hal senada juga disampaikan Nuuraeni yang mengharapkan agar dana lab yang ia bayarkan tiap semester tersebut benar-benar di realisasikan untuk kepentingan mahasiswa.
Menanggapi hal ini Sudarto menjelaskan dana lab memang harus dialokasikan. Karena, kata Sudarto, kalau tidak dipakai dana tersebut akan menjadi hak milik negara. “Kalau tidak dipakai, ya dananya akan hangus dan menjadi hak milik negara,” jelas Sudarto.
Trisni menambahkan pada Acta Diurna bahwa dana lab tersebut dari mahasiswa dan dalam penggunaannya sepenuhnya untuk kepentingan mahasiswa. Ia juga mengatakan setiap angkatan pasti akan mendapat kesempatan menggunakan Laboratorium. Trisni juga menegaskan, “Dana itu tidak akan lari ke mana-mana kok.” (Wida, Intan, Ansyor)
Sebagian mahasiswa AN dan Sosiologi angkatan 2007 mengeluhkan tentang penarikan dana lab sebesar Rp 75.000,- yang harus dibayarkan setiap awal semester. Hal ini seperti diungkapkan oleh mahasiswa Sosiologi 2007 Diyah Hardiyati Khasanah saat ditanyai Acta Diurna di mushola FISIP, Rabu (26/3). “Iya, angkatan 2007 ini memang harus bayar uang lab tiap semester, tidak seperti tahun-tahun yang lalu,” jelas Diyah.
Diyah mengaku sudah menggunakan lab pada semester pertama, mata kuliah Komputer Dasar. Namun dirinya menjadi ragu mengenai pemanfaatan dana lab untuk semester ke dua ini dan semester berikutnya. Karena sejauh ini, Diyah mengaku belum mendapat sosialisasi apa pun perihal pemanfaatan dana lab yang mesti ia bayarkan tiap semester itu.
Pada saat bersamaan Acta Diurna berhasil meliput mahasiswa Sosiologi 2005 Anik Yunianingsih. “Angkatan saya hanya membayar dana lab sebesar Rp 75.000,- pada semester pertama saja kok,” ungkap Anik saat ditemui di mushola FISIP, Rabu (26/3). Sistem pembayaran dana lab yang berbeda ini membuat Diyah merasa keberatan. “Ya iyalah keberatan, mendingan masuk kantong sendiri, kan belum tahu nanti menggunakan lab lagi atau gak,” keluh Diyah.
Tidak jauh berbeda dengan mahasiswa Sosiologi angkatan 2007, mahasiswa AN angkatan 2007 juga mengeluhkan hal demikian. “Saya merasa keberatan mengenai pembayaran uang lab yang mesti dibayar tiap semester. Padahal angkatan sebelumnya hanya semester satu, keberatannya karena implementasinya kurang jelas,” ungkap mahasiswa AN 2007 Nuuraeni Matina, saat ditemui di depan Ruang Dosen Sosiologi, Senin (21/3).
Ditambah lagi dengan pernyataan mahasiswa Administrasi Negara 2007 Farisda Nurjayanti saat ditemui di mushola FISIP, Senin (21/3). “Kalau memang lab itu ada, sebenarnya tidak keberatan. Tapi kalaupun ada, lab AN itu berupa apa ya?” tanyanya dengan keraguan. Perbedaan pembayaran dana lab angkatan 2007 dengan angkatan sebelumnya dan ketidakoptimalan penggunaan lab inilah yang menimbulkan keraguan dalam diri mahasiswa. Mereka meminta kejelasan tentang alokasi dana sebesar Rp 75.000,- yang dibayarkan tiap semester tersebut.
Dana Lab Merupakan Kebijkakan Pusat
Menurut buku Pedoman Fakultas 2005/2006, laboratorium/studio merupakan perangkat penunjang pelaksanaan pendidikan pada Jurusan dalam pendidikan akademik dan atau profesional. Laboratorium/studio mempunyai tugas melakukan kegiatan dalam cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian tertentu sebagai penunjang pelaksanaan tugas pokok Jurusan sesuai dengan ketentuan bidang yang bersangkutan.
Masih dalam buku tersebut, di FISIP UNS keberadaan laboratorium/studio mengacu pada Jurusan, oleh karena itu setiap Jurusan mempunyai laboratorium/studio yang dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggungjawab kepada Ketua Jurusan (Kajur).
Ketika Acta Diurna mengkonfirmasi perihal dana lab ini kepada Kajur AN Drs. Sudarto, M. Si. di ruang kerjanya, Senin (1/4), dia menanggapi penarikan dana lab tersebut bukan merupakan kebijakan Jurusan. “Saya belum bisa menjawab secara tuntas karena saya tidak mengajukan dana laboratorium tersebut pada saat itu,” jelas Sudarto.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Dekan FISIP UNS Drs. Supriyadi, SN., SU ketika dikonfirmasi di ruang Dekanat, Rabu (2/4). “Dana lab itu kan yang menarik Pusat, bukan Fakultas. Jadi artinya persoalan lab itu yang mengurus Pusat,” jelasnya. Fakultas, kata Supriyadi, tidak ikut campur tangan mengenai dana tersebut.
Ia juga mengatakan Fakultas hanya menyelenggarakan dan merawat apa yang telah dibangun oleh Universitas saja. Misalnya, tutur Supriyadi, untuk merawat laboratorium komputer, dibutuhkan biaya untuk membeli perlengkapan seperti tinta, kertas dan sebagainya.
Namun Kajur Sosiologi Dra. Hj. Trisni Utami, M. Si. menyatakan hal yang berbeda saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (15/4). Ia dengan tegas mengatakan kewenangan untuk merealisasikan lab tersebut diserahkan pada Jurusan masing-masing. Kebijakan ini, jelas Trisni, berlaku untuk semua Jurusan dan Program Studi (Prodi) yang ada di UNS, bukan hanya Jurusan AN dan Sosiologi. “Dana ini dibayarkan melalui rekening Rektor dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan Jurusan dan Prodi masing-masing. Agar semua Jurusan dan Prodi memiliki laboratorium untuk aktualisasi ilmu,” paparnya.
Trisni juga mengungkapkan bahwa mahasiswa Sosiologi angkatan 2007 ini memang direncanakan berbeda dengan angkatan sebelumnya. “Angkatan kali ini akan diberikan praktek lapangan ke masyarakat agar memiliki pengalaman ke luar selain kuliah di kelas,” jelasnya.
Karena itulah dana tersebut dibutuhkan untuk membuat laboratorium yang menurut Trisni akan direaliasasikan secara bertahap. Mengenai laboratorium Jurusan Sosiologi yang direncanakan tersebut, Trisni menyebutkan berupa Laboratorium Pemberdayaan, Perkotaan, Politik dan Permasalahan Sosial. “Selain itu ada juga praktik pendampingan bagi mahasiswa,” tuturnya.
Sedangkan untuk Jurusan AN, Sudarto belum dapat menjelaskan tujuan dari penarikan dana laboratorium tersebut. Sudarto hanya menghimbau agar mahasiswa tidak memandang pengertian laboratorium terbatas pada suatu ruangan dengan segala peralatannya. “Laboratorium itu yang penting ada kegiatan, misalnya desa binaan, mendatangkan pakar mata kuliah tertentu dan sebagainya,” tegasnya.
Terkait dengan hal ini Pembantu Dekan II Drs. Marsudi, MS juga membenarkan lab itu tidak hanya berupa ruang yang dapat dilihat secara fisik saja. Namun, kata Marsudi, juga bisa berupa terjun ke masyarakat. “Misalnya saja Laboratorium Kebijakan Publik dan Laboratorium Kajian Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat,” paparnya saat ditemui di Ruang Dekanat, Rabu (23/4).
Marsudi yang dulu juga pernah menjabat menjadi Kajur AN mengatakan ke dua lab tersebut bukan berwujud ruangan di FISIP, namun ada di dalam masyarakat. “Kegiatan tersebut lebih banyak diwujudkan pada penelitian-peneltian di masyarakat,” tutur Marsudi
Pengadaan Lab Harap Segera Direalisasikan
Ketika ditanya mengenai harapannya, Farisda mengungkapkan agar pengadaan lab segera direalisasikan. “Jika laboratorium itu tidak segera direalisasikan, mungkin sebaiknya kebijakan tersebut dihilangkan saja, dan dikembalikan seperti tahun-tahun sebelumnya,” tutur Farisda. Hal senada juga disampaikan Nuuraeni yang mengharapkan agar dana lab yang ia bayarkan tiap semester tersebut benar-benar di realisasikan untuk kepentingan mahasiswa.
Menanggapi hal ini Sudarto menjelaskan dana lab memang harus dialokasikan. Karena, kata Sudarto, kalau tidak dipakai dana tersebut akan menjadi hak milik negara. “Kalau tidak dipakai, ya dananya akan hangus dan menjadi hak milik negara,” jelas Sudarto.
Trisni menambahkan pada Acta Diurna bahwa dana lab tersebut dari mahasiswa dan dalam penggunaannya sepenuhnya untuk kepentingan mahasiswa. Ia juga mengatakan setiap angkatan pasti akan mendapat kesempatan menggunakan Laboratorium. Trisni juga menegaskan, “Dana itu tidak akan lari ke mana-mana kok.” (Wida, Intan, Ansyor)
Rabu, April 09, 2008
Spesialisasi Menuntut Kompetensi
Program mata kuliah spesialisasi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebalas Maret (UNS) Surakarta menuntut kompetensi dosen dan mahasiswa dalam menguasai materi spesialisasi. Namun, kurangnya dosen praktisi dan kekurangan dalam hal pengevaluasian tugas dikeluhkan oleh beberapa mahasiswa.
Program mata kuliah spesialisasi di Jurusan Ilmu Komunikasi sudah berlangsung sejak tahun 2001. Seperti dijelaskan oleh mantan Ketua Jurusan (Kajur) Ilmu Komunikasi Dra. Hj. Sofiah, M.Si, “Sebelum tahun 2001 kurikulum yang dipakai masih belum fokus dan tidak ada pembagian spesialisasi.” Menurut Sofiah saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (19/2), kelemahan kurikulum tersebut materi yang diterima mahasiswa masih secara umum saja.
Karena ada beberapa kelemahan di kurikulum yang terdahulu maka diadakan pembaharuan kurikulum yaitu memfokuskan mata kuliah dengan program spesialisasi. ”Mengingat konsentrasi Jurusan Ilmu Komunikasi adalah komunikasi massa, maka mahasiswa diharapkan memiliki fokus kompetensi untuk menguasai tiga hal yaitu audio, visual, dan audio visual,” tutur Dosen Pengampu mata kuliah spesialisasi Video Drs. Ariyanto Budi S., M.Si.
Untuk itu dipilih mata kuliah spesialisasi yang fokus pada tiga hal tersebut. Aryanto menambahkan, mata kuliah spesialisasi tersebut yaitu Radio yang mewakili audio, Jurnalistik dan Desain grafis (desgraf) yang mewakili visual, serta Public Relation (PR)/periklanan dan Video yang mewakili audio visual.
Kompetensi Dosen Spesialisasi
Berdasarkan data di Buku Pedoman FISIP 2006/2007, klasifikasi tingkat pendidikan ilmu komunikasi adalah Strata 1 (S1) delapan orang, Strata 2 (S2) 22 orang, dan Stata 3 (S3) tiga orang. Dari 23 dosen yang dimiliki Jurusan Ilmu Komunikasi, sekitar 18 dosen mengampu mata kuliah spesialisasi. “Untuk dosen mata kuliah spesialisasi, kita memakai dosen spesialisasi intern jurusan, yang telah difasilitasi dari pihak jurusan sebagai bekal mengajar,” ungkap Sofiah. Dia menjelaskan bentuk pembekalan tersebut misalnya dikursuskan di Pusat Pengembangan dan Pelatihan (Puskat) audio visual, diikutkan trainning, atau diikutkan seminar-seminar.
Sedangkan pembagian tim dosen spesialisasi Kajur Ilmu Komunikasi Prahastiwi mengungkapkan mereka dipilih berdasarkan kompetensi yang dimiliki dosen dalam teori dan terapan. Dosen Pengampu mata kuliah spesialisasi Jurnalistik Drs. Sri Hartjarjo Ph.D menambahkan, dalam proses rekomendasi dosen spesialisasi tidak terdapat proses pengangkatan. “Semua sudah terplotkan. Siapa dosen yang sering mengikuti training, punya track record, atau suka menulis di koran, itu yang diutamakan,” tambah Hartjarjo saat diwawancarai di Lobi Depan FISIP, Jumat (18/01). Selain itu latar belakang dosen tersebut juga mempengaruhi, salah satu contohnya penempatan Dra. Sri Urip, M.Si sebagai dosen radio karena ia pernah menjadi penyiar radio.
Namun ada beberapa mahasiswa yang menilai kompetensi dosen spesialisasi masih kurang, khususnya dalam praktek. Seperti diungkapkan oleh mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2006 Dian Kukuh Purnandi, “Dulu Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) pernah mengadakan polling. Dan terungkap bahwa mahasiswa menilai kompetensi dosen spesialisasi masih kurang, karena proporsional prosentase teori dan praktek yang kurang.”
Menaggapi hal itu Prahastiwi menjelaskan, untuk mengimbangi kompetensi dosen intern yang kurang dalam masalah praktek, pihak jurusan juga mendatangkan dosen tamu dari luar sebagai praktisi. Hartjarjo menambahkan, pihak jurusan tak jarang mengambil dosen tamu praktisi seperti Mulyanto Utomo yang aktif sebagai Pemimpin Redaksi Solopos.
Mahasiswa juga setuju apabila dosen spesialisasi lebih banyak yang telah berkecimpung dalam dunia media. Seperti yang diungkapkan oleh mahasiswa Komunikasi angkatan 2004 Bagus Sandi Tratama, “Dosen yang akademisi secara teoritis mampu dalam hal etika dan filsafat media. Tetapi, dosen praktisi aktif akan lebih mengerti kesulitan yang ada pada dunia kerja.” Namun kurang intensnya dosen praktisi tersebut untuk mengajar di kelas juga menjadi kendala. Seperti yang diungkapkan mahasiswa Komunikasi angkatan 2005 Eko Setiawan, ”Meskipun terdapat beberapa dosen praktisi aktif, tetapi mereka tidak intens dalam memberikan kuliah.” Harapan Eko, dengan adanya dosen praktisi yang lebih berkompeten, mahasiswa dapat mengetahui perkembangan terbaru di dunia kerja yang sebenarnya.
Menanggapi keluhan mahasiswa mengenai kurangnya dosen praktisi, Sofiah mengakui terdapat kendala dalam pencarian praktisi aktif sebagai dosen tamu. “Dosen tamu tidak bisa berpartisipasi aktif dalam mengajar, karena mereka juga memiliki job lain. Padahal, spesialisasi sendiri memerlukan loyalitas dan dedikasi dosen yang tinggi dalam mengajar,” jelas Sofiah. Selain itu, dari pihak jurusan sendiri hanya bisa memberikan kompensasi yang sangat sedikit dan tidak memadai kepada dosen tamu.
“Permasalahan apakah dosen spesialisasi praktisi maupun bukan praktisi bukanlah masalah besar, asal dosen tersebut benar-benar menguasai bidang yang diajarkan,” tutur mahasiswa Ilmu Komunikasi 2002 Liestria Permana. Pendapat senada juga diungkapkan Harstjarjo, “Dengan adanya dosen praktisi, belum menjamin kualitas belajar mengajar,” tegas Hastjarjo yang pernah magang di Pikiran Rakyat dan Bernas. Sofiah menambahkan “Insyaallah dengan basic spesialisasi yang diberikan di kampus, mahasiswa sudah bisa menyesuaikan dengan dunia kerja,” tandas Sofiah saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (19/2).
Pembelajaran dan Pengevaluasian
Untuk proporsi pembelajaran di Jurusan Ilmu Komunikasi sekarang ditingkatkan menjadi 60% teori dan 40% praktek, dibandingkan dulu yang 70% teori dan sisanya praktek. ”Hal ini sudah ideal, karena jika praktek lebih tinggi lagi, sama saja dengan Diploma,” ujar Sofiah.
Dengan proporsi seperti itu, sistem pembelajaran yang dilakukan tiap dosen mata kuliah spesialisasi berbeda-beda. Liestria selaku Asisten Dosen Desgraf menuturkan metode yang diterapkan dalam mata kuliah Desain Grafis seperti klien dan desainer. ”Dosen memposisikan dirinya sebagai klien dan mahasiswa sebagai pihak yang harus memuaskan desain pesanan klien. Jadi, diposisikan seperti dalam dunia kerja yang sesungguhnya.” ungkapnya.
Dalam penyampaian materi Sri Urip selaku dosen radio cenderung menghidupkan kondisi pembelajaran dengan sistem sharing. ”Dimana dalam sharing tersebut metode tanya jawab lebih dikondusifkan,” tambahnya.
Dalam hal praktek, mata kuliah seperti radio, video dan juranlistik menggunakan metode learning by doing. Metode ini menekankan pada evaluasi untuk mengetahui kekurangan yang dilakukan mahasiswa. Namun menurut Sandi proses pengevaluasian tugas oleh beberapa dosen mata kuliah spesialisasi dirasa kurang maksimal. “Kita sudah membuat tugas berat-berat, tetapi pengevaluasian saya rasa kurang efektif,” tambahnya. Keluhan yang sama diungkapkan Eko pada mata kuliah jurnalistik 1, ”Sepertinya dosen kualahan mengevaluasi tugas mahasiswa yang terlalu banyak di Jurnalistik Media Cetak (JMC) Online.”
Pernyataan lain datang dari Ekanada Shofa Al-Khajar, Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi, “Mungkin yang perlu diperbaiki adalah tingkat apresiasi dan evaluasi hasil karya mahasiswa secara komprehensif.” Eka menambahkan, untuk itu perlu adanya formula pengevaluasian yang efektif dan efisien baik dariu dosen dan mahasiswa itu sendiri.
Dari pihak dosen juga menginginkan mahasiswa juga mencari ilmu diluar perkuliahan salah satunya membaca buku referensi. Seperti yang diungkapkan Prahastiwi, ”Tapi mahasiswa terkadang enggan membaca buku referensi terutama yang berbahasa Inggris, padahal buku di perpustakaan menunjang perkuliahan.” Selain itu mengingat intensitas tatap muka di kelas yang terbatas, maka mahasiswa harus lebih aktif di dalam maupun di luar perkuliahan. “Misalnya mahasiswa berkonsultasi dengan dosen spesialisasi di luar kelas,” saran Bagus Sandi. (Imas, Putri, Bhimo, Nosi)
Program mata kuliah spesialisasi di Jurusan Ilmu Komunikasi sudah berlangsung sejak tahun 2001. Seperti dijelaskan oleh mantan Ketua Jurusan (Kajur) Ilmu Komunikasi Dra. Hj. Sofiah, M.Si, “Sebelum tahun 2001 kurikulum yang dipakai masih belum fokus dan tidak ada pembagian spesialisasi.” Menurut Sofiah saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (19/2), kelemahan kurikulum tersebut materi yang diterima mahasiswa masih secara umum saja.
Karena ada beberapa kelemahan di kurikulum yang terdahulu maka diadakan pembaharuan kurikulum yaitu memfokuskan mata kuliah dengan program spesialisasi. ”Mengingat konsentrasi Jurusan Ilmu Komunikasi adalah komunikasi massa, maka mahasiswa diharapkan memiliki fokus kompetensi untuk menguasai tiga hal yaitu audio, visual, dan audio visual,” tutur Dosen Pengampu mata kuliah spesialisasi Video Drs. Ariyanto Budi S., M.Si.
Untuk itu dipilih mata kuliah spesialisasi yang fokus pada tiga hal tersebut. Aryanto menambahkan, mata kuliah spesialisasi tersebut yaitu Radio yang mewakili audio, Jurnalistik dan Desain grafis (desgraf) yang mewakili visual, serta Public Relation (PR)/periklanan dan Video yang mewakili audio visual.
Kompetensi Dosen Spesialisasi
Berdasarkan data di Buku Pedoman FISIP 2006/2007, klasifikasi tingkat pendidikan ilmu komunikasi adalah Strata 1 (S1) delapan orang, Strata 2 (S2) 22 orang, dan Stata 3 (S3) tiga orang. Dari 23 dosen yang dimiliki Jurusan Ilmu Komunikasi, sekitar 18 dosen mengampu mata kuliah spesialisasi. “Untuk dosen mata kuliah spesialisasi, kita memakai dosen spesialisasi intern jurusan, yang telah difasilitasi dari pihak jurusan sebagai bekal mengajar,” ungkap Sofiah. Dia menjelaskan bentuk pembekalan tersebut misalnya dikursuskan di Pusat Pengembangan dan Pelatihan (Puskat) audio visual, diikutkan trainning, atau diikutkan seminar-seminar.
Sedangkan pembagian tim dosen spesialisasi Kajur Ilmu Komunikasi Prahastiwi mengungkapkan mereka dipilih berdasarkan kompetensi yang dimiliki dosen dalam teori dan terapan. Dosen Pengampu mata kuliah spesialisasi Jurnalistik Drs. Sri Hartjarjo Ph.D menambahkan, dalam proses rekomendasi dosen spesialisasi tidak terdapat proses pengangkatan. “Semua sudah terplotkan. Siapa dosen yang sering mengikuti training, punya track record, atau suka menulis di koran, itu yang diutamakan,” tambah Hartjarjo saat diwawancarai di Lobi Depan FISIP, Jumat (18/01). Selain itu latar belakang dosen tersebut juga mempengaruhi, salah satu contohnya penempatan Dra. Sri Urip, M.Si sebagai dosen radio karena ia pernah menjadi penyiar radio.
Namun ada beberapa mahasiswa yang menilai kompetensi dosen spesialisasi masih kurang, khususnya dalam praktek. Seperti diungkapkan oleh mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2006 Dian Kukuh Purnandi, “Dulu Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) pernah mengadakan polling. Dan terungkap bahwa mahasiswa menilai kompetensi dosen spesialisasi masih kurang, karena proporsional prosentase teori dan praktek yang kurang.”
Menaggapi hal itu Prahastiwi menjelaskan, untuk mengimbangi kompetensi dosen intern yang kurang dalam masalah praktek, pihak jurusan juga mendatangkan dosen tamu dari luar sebagai praktisi. Hartjarjo menambahkan, pihak jurusan tak jarang mengambil dosen tamu praktisi seperti Mulyanto Utomo yang aktif sebagai Pemimpin Redaksi Solopos.
Mahasiswa juga setuju apabila dosen spesialisasi lebih banyak yang telah berkecimpung dalam dunia media. Seperti yang diungkapkan oleh mahasiswa Komunikasi angkatan 2004 Bagus Sandi Tratama, “Dosen yang akademisi secara teoritis mampu dalam hal etika dan filsafat media. Tetapi, dosen praktisi aktif akan lebih mengerti kesulitan yang ada pada dunia kerja.” Namun kurang intensnya dosen praktisi tersebut untuk mengajar di kelas juga menjadi kendala. Seperti yang diungkapkan mahasiswa Komunikasi angkatan 2005 Eko Setiawan, ”Meskipun terdapat beberapa dosen praktisi aktif, tetapi mereka tidak intens dalam memberikan kuliah.” Harapan Eko, dengan adanya dosen praktisi yang lebih berkompeten, mahasiswa dapat mengetahui perkembangan terbaru di dunia kerja yang sebenarnya.
Menanggapi keluhan mahasiswa mengenai kurangnya dosen praktisi, Sofiah mengakui terdapat kendala dalam pencarian praktisi aktif sebagai dosen tamu. “Dosen tamu tidak bisa berpartisipasi aktif dalam mengajar, karena mereka juga memiliki job lain. Padahal, spesialisasi sendiri memerlukan loyalitas dan dedikasi dosen yang tinggi dalam mengajar,” jelas Sofiah. Selain itu, dari pihak jurusan sendiri hanya bisa memberikan kompensasi yang sangat sedikit dan tidak memadai kepada dosen tamu.
“Permasalahan apakah dosen spesialisasi praktisi maupun bukan praktisi bukanlah masalah besar, asal dosen tersebut benar-benar menguasai bidang yang diajarkan,” tutur mahasiswa Ilmu Komunikasi 2002 Liestria Permana. Pendapat senada juga diungkapkan Harstjarjo, “Dengan adanya dosen praktisi, belum menjamin kualitas belajar mengajar,” tegas Hastjarjo yang pernah magang di Pikiran Rakyat dan Bernas. Sofiah menambahkan “Insyaallah dengan basic spesialisasi yang diberikan di kampus, mahasiswa sudah bisa menyesuaikan dengan dunia kerja,” tandas Sofiah saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (19/2).
Pembelajaran dan Pengevaluasian
Untuk proporsi pembelajaran di Jurusan Ilmu Komunikasi sekarang ditingkatkan menjadi 60% teori dan 40% praktek, dibandingkan dulu yang 70% teori dan sisanya praktek. ”Hal ini sudah ideal, karena jika praktek lebih tinggi lagi, sama saja dengan Diploma,” ujar Sofiah.
Dengan proporsi seperti itu, sistem pembelajaran yang dilakukan tiap dosen mata kuliah spesialisasi berbeda-beda. Liestria selaku Asisten Dosen Desgraf menuturkan metode yang diterapkan dalam mata kuliah Desain Grafis seperti klien dan desainer. ”Dosen memposisikan dirinya sebagai klien dan mahasiswa sebagai pihak yang harus memuaskan desain pesanan klien. Jadi, diposisikan seperti dalam dunia kerja yang sesungguhnya.” ungkapnya.
Dalam penyampaian materi Sri Urip selaku dosen radio cenderung menghidupkan kondisi pembelajaran dengan sistem sharing. ”Dimana dalam sharing tersebut metode tanya jawab lebih dikondusifkan,” tambahnya.
Dalam hal praktek, mata kuliah seperti radio, video dan juranlistik menggunakan metode learning by doing. Metode ini menekankan pada evaluasi untuk mengetahui kekurangan yang dilakukan mahasiswa. Namun menurut Sandi proses pengevaluasian tugas oleh beberapa dosen mata kuliah spesialisasi dirasa kurang maksimal. “Kita sudah membuat tugas berat-berat, tetapi pengevaluasian saya rasa kurang efektif,” tambahnya. Keluhan yang sama diungkapkan Eko pada mata kuliah jurnalistik 1, ”Sepertinya dosen kualahan mengevaluasi tugas mahasiswa yang terlalu banyak di Jurnalistik Media Cetak (JMC) Online.”
Pernyataan lain datang dari Ekanada Shofa Al-Khajar, Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi, “Mungkin yang perlu diperbaiki adalah tingkat apresiasi dan evaluasi hasil karya mahasiswa secara komprehensif.” Eka menambahkan, untuk itu perlu adanya formula pengevaluasian yang efektif dan efisien baik dariu dosen dan mahasiswa itu sendiri.
Dari pihak dosen juga menginginkan mahasiswa juga mencari ilmu diluar perkuliahan salah satunya membaca buku referensi. Seperti yang diungkapkan Prahastiwi, ”Tapi mahasiswa terkadang enggan membaca buku referensi terutama yang berbahasa Inggris, padahal buku di perpustakaan menunjang perkuliahan.” Selain itu mengingat intensitas tatap muka di kelas yang terbatas, maka mahasiswa harus lebih aktif di dalam maupun di luar perkuliahan. “Misalnya mahasiswa berkonsultasi dengan dosen spesialisasi di luar kelas,” saran Bagus Sandi. (Imas, Putri, Bhimo, Nosi)
Langganan:
Postingan (Atom)