Oleh: Indah Suryani
Merujuk pernyataan Joseph Pulitzer, ‘ketika komersialisme telah menjadi tujuan utama dalam industri media, maka saat itu media kehilangan kekuatan moral.’ Kapitalisme sebagai suatu bagian dari gerakan besar individualisme rasionalis yang kemudian merambah kedalam hampir setiap aspek kehidupan, termasuk media informasi dan komunikasi. Globalisasi sebagai wujud dunia dalam satu wilayah tanpa batas(the borderless world), semakin mempermudah laju kapitalisme global komuniukasi dan informasi yang berujud komersialisme.
Pada saat ini komersialisme telah menjadi alasan utama setiap media dalam menghadapi wujud moralitas yang mungkin tak pernah diketahui apa batasannya. Moralitas hanya menjadi sebuah wacana tanpa wujud yang nyata, dan uang sebagai wujud nyata komersialitas telah menjadi ujung tombak utama. Setiap orang hanya berpikir untuk memakmurkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Kapitalisme telah mengambil tempat yang sempurna dengan memakai peran media massa dalam era globalisasi ini, karena setiap negara tidak mungkin ingin tertinggal dari negara lain, dan disanalah para kapitalis menempatkan diri untuk menguasai ekonomi.
Komunikasi dan informasi sangat berkembang seiring laju globalisasi yang juga telah berhasil meruntuhkan Uni Soviet dengan Glasnot dan Perestroika-nya. Mereka hanya memikirkan untuk maju tanpa menyaring informasi yang masuk ke negara tersebut, sebagai bekas negara komunis tentu saja masyarakat yang sebelumnya dikungkung tiba-tiba mendapat informasi yang secara ekstrim menyerang kebudayaan mereka, padahal mereka belum siap untuk menghadapinya, karena memang mereka tidak mempersiapkannya, pada akhirnya keruntuhan Uni Soviet-pun tiba.
Dalam kondisi sekarang yang serba terbuka, baik mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, ekonomi, serta yang lainnya, memungkinkan setiap orang dapat mengakses informasi secara cepat dan mudah. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi memberi dampak positif bagi prkembangan iptek, namun bagi budaya kita mungkin harus sedikit menaruh perhatian, kecenderungan untuk meniru budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sangat terbuka lebar, dan disana nilai kapitalisme telah dikomunikasikan dan secara tidak langsung, untuk kemudian tertanam pada pribadi secara tidak sadar.
Kapitalisme global
Paham kebebasan yang kini berkembang dengan nama liberalisme, merupakan salah satu wujud kapitalisme, meskipun muncul dalam nama yang berbeda. Dalam hal ini kebebasan sebagai corong liberalisme telah menjadi jalan mulus kapitalisme untuk menjamah seluruh kawasan belahan dunia manapun, baik negara kaya maupun miskin, berkembang, maju, dan terbelakang.
Media informasi komunikasi harus senantiasa mengikuti perkembangan zaman yang kian cepat berubah dan terus menuntut pembaharuan informasi. Media komunikasi dan informasi harus senantiasa dinamis mengikuti perkembangan untuk terus menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Dinamisasi komunukasi dan informasi senantiasa menjadi hal penting dalam lingkup perkembangan kapitalisme global. Dinamisasi komunukasi dan informasi memberikan peran yang sangat penting dalam kapitalisme global, di mana media komunukasi dan informasi mampu menyebarkan informasi atau paham-paham secara luas dan menanamkannya pada pemikiran manusia.
Media komunikasi dan informasi mampu mempersuasi pemirsanya dengan informasi yang secara tidak langsung akan tertanam pada benak pemirsanya, dan kapitalisme menjual informasi dan lebih tepatnya paham kapitalis mereka pada media untuk disebarluaskan ke seluruh dunia secara terselubung. Dinamisasi media komunikasi dan informasi diharapkan tetap mengikuti alur yang baik dimana komunikasi dan informasi tetap menjalakan fungsi mereka sebagaimana mestinya, berimbang, dan tidak saling merugikan maupun memberi pengaruh buruk dalam masyarakat. Hal ini mengingat pentingnya peran media sebagai transmisi budaya dan mendorong kohesi sosial, media komunikasi dan informasi memiliki peluang untuk menciptakan integrasi sosial maupun sebailknya, dapat menciptakan disintegrasi sosial. Dinamisasi komunikasi dan informasi dibutuhkan untuk mempermudah kehidupan umat manusia, bukan menghancurkannya.
Kapitalisme global bukan suatu hal yang harus dihindari, karena mau atau tidak mau kita tetap harus menghadapinya, dominasi terhadap media, pekerja media, dan konsumen media, dalam analisis ekonomi-politik, media lebih dikaitkan dengan capitalist mode of production. Karenanya, analisis kelas memegang peranan kunci dalam mengamati suatu struktur dominasi. Kebutuhan untuk melakukan ekspansi ekonomi itulah yang kemudian mendorong pemerintah untuk lebih mengintegrasikan diri pada tatanan kapitalis global. Namun langkah tersebut juga semakin membatasi kekuatan oemarintah terhadap media, sehingga dalam hal ini pemerintah sama sekali tidak punya kuasa untuk melakukan pembatasan terhadap apa-apa yang diberitakan media.
Tampilkan postingan dengan label Media Massa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Media Massa. Tampilkan semua postingan
Kamis, Mei 15, 2008
Jumat, Mei 09, 2008
Media Massa dan Kehancuran Individu
Oleh: Haris Firdaus
Di Kopenhagen, Denmark, ada suatu masa ketika kerja media massa tidak dimulai dari sebuah sikap ingin tahu. Di kota itu, sekitar tahun 1840-an, kerja sebuah media dimulai dengan sebuah kebencian dan berakhir dengan berita skandal yang mencemooh.
Syahdan, di tahun-tahun itu, terdapat sebuah majalah mingguan bernama Corsair yang dengan menggebu terus-menerus memuat berita skandal. Hampir semua tokoh di Kopenhagen telah jadi sasaran cemooh dari majalah tersebut.
Anehnya, berkala itu segera saja berkembang pesat. Selama lima tahun awal penerbitannya, Corsair yang dipimpin Meyer Goldschmidt itu menjadi majalah yang paling luas penyebarannya di seluruh pelosok Denmark.
Soren Aabye Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis terkemuka dari Denmark, semasa hidupnya pernah punya pengalaman buruk dengan Corsair. Kierkegaard yang awalnya mendapat pujian dari majalah itu, pada satu waktu mengatakan bahwa dirinya lebih suka mendapat cemooh dari mingguan itu. Mendengar keinginan Kierkegaard, Corsair pun mengabulkannya.
Kierkegaard kemudian jadi salah satu tokoh Kopenhagen yang selalu dicemooh. Selama delapan bulan berturut-turut Corsair terus-menerus menyerang Kierkegarard dengan tulisan maupun karikatur mereka. Secara dramatis, berkala lain pun kemudian ikut terpancing untuk turut serta dalam aksi penyerangan tersebut.
Pada titik paling ekstrem, Kierkegaard merasa bahwa ia tak mungkin lagi memerbaiki opini umum tentang dirinya. Ia beranggapan tak bakal bisa tampil di hadapan umum kecuali dalam citra sebagai korban cemoohan Corsair. Meski begitu, Kierkegaard diam dan hanya sekali saja menulis bantahan.
Tapi di luar sikapnya secara pribadi, ia kemudian mengembangkan sebuah pemikiran yang menganggap pers dan media adalah sebuah “demoralisasi”. Pers baginya adalah sebuah mesin pembentuk pendapat umum yang meniadakan pendapat individu sebagai pribadi yang berdaulat.
Dalam sebuah karyanya, Kierkegaard memeringatkan tentang sebuah jaman yang cenderung menyamaratakan manusia. Ketika jaman itu tiba, manusia sebagai individu akan mengalami kehancuran, digantikan oleh manusia sebagai bagian dari massa yang anonim.
Pada masa itu, masifikasi dan kolektivisme menjadi hantu-hantu beterbangan yang akan memusnahkan ketunggalan eksistensi manusia. Kesejatian individu tercerabut, digantikan oleh identitas kolektif yang sebenarnya tak menyentuh eksistensi manusia sebagai pribadi.
Sebagai seorang eksistensialis, Kierkegaard beranggapan bahwa individu seharusnya menjadi pribadi yang bebas dan independen. Pada titik tertentu, filsuf itu menolak bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok bila persatuan itu terjadi hanya lantaran individu tersebut gagal tampil dengan kesejatiannya dan dengan tanggung jawabnya sendiri.
Bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok, baik nyata maupun “imajiner”, hanya bisa diterima jika penggabungan itu bukan merupakan sebuah pelarian atas tanggung jawab manusia untuk menemukan eksistensinya yang sejati, dan jika penggabungan itu tak serta merta menghilangkan eksistensi manusia sebagai individu.
Di sinilah Kierkegaard berkeberatan dengan pers atau media massa. Baginya, pers hanya akan menyatukan individu ke dalam sebuah “abstraksi” yang menghilangkan eksistensinya secara individual. Pers akan menjadikan individu sebagai kumpulan yang anonim, tanpa identitas yang sejati.
Di jaman ini, kita bisa melihat sebagian argumen Kierkegaard menjadi nyata. Cuma, kita juga melihat bahwa sebagian yang lain ternyata tak sepenuhnya benar. Benar bahwa pers punya kemampuan untuk memengaruhi manusia sebagai individu, tapi individu pun punya sikap yang tak serta merta bisa didekte. Pendeknya, media massa dan individu, selalu ada dalam tarikan yang tak simpel untuk dilukiskan.
Selain itu, pesimisme Kierkegaard terhadap pers juga tak selamanya tepat. Setidaknya, kalau kita mengingat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, pesimisme itu tak akan menjadi-jadi.
Dalam “The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Expect”, kedua wartawan itu justru menegaskan sesuatu yang sepenuhnya berkebalikan dengan Kierkegaard: media massa—melalui jurnalisme—punya peluang untuk membebaskan warga masyarakat sebagai individu.
Tujuan utama jurnalisme, kata Kovach dan Rosenstiel, adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.
Tepat di sinilah perpisahan jalan keduanya dengan Kierkegaard.
Kalau Kierkegaard memandang pers akan selamanya mengekang individu, Kovach dan Rosenstiel justru beranggapan bahwa pers bisa dan memang seharusnya membebaskan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya sendiri dalam rangka proses pengaturan hidupnya.
Saya kira, itulah kenapa jurnalisme berbeda dengan khotbah. Jurnalisme, kata Goenawan Mohammad, tidak bermula dan berakhir dengan sebuah berita. Sikap ingin tahu justru menjadi awal sekaligus dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut dengan fondasi sebuah lorong.
Bagi Goenawan, setelah fondasi itu rampung, maka jurnalisme—melalui wartawan tentu saja—harus menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin, serta membutuhkan kecerdikan dan ketrampilan tertentu.
Tapi, bukan hanya itu: jurnalisme juga membutuhkan semacam kesediaan dan kemampun dari praktisinya untuk menjadi polisi lalu-lintas, jaksa, dan hakim bagi dirinya sendiri yang awas terhadap tiap bentuk pelanggaran. Jadi, terdakwa pertama dalam jurnalisme bukan orang lain, tapi diri kita sendiri.
Di sinilah pentingnya sebuah sikap rendah hati: semacam kesadaran dari seorang reporter bahwa dirinya memang hanya seorang “pelapor”, dan bukan seorang penceramah yang sedang menasehati masyarakat, juga bukan ilmuwan yang sudah meneliti obyeknya dengan seksama. Seorang reporter adalah seorang terdakwa bagi dan oleh dirinya sendiri.
Saya rasa, jurnalisme yang rendah hati akan menghindarkan pers dari kecenderungan melakukan “demoralisasi”. Jurnalisme yang rendah hati bukan menggiring individu pada sebuah sikap yang seragam tapi memberi pilihan-pilihan pada mereka untuk mengambil sikap secara mandiri.
Sukoharjo, 1 April 2008
Di Kopenhagen, Denmark, ada suatu masa ketika kerja media massa tidak dimulai dari sebuah sikap ingin tahu. Di kota itu, sekitar tahun 1840-an, kerja sebuah media dimulai dengan sebuah kebencian dan berakhir dengan berita skandal yang mencemooh.
Syahdan, di tahun-tahun itu, terdapat sebuah majalah mingguan bernama Corsair yang dengan menggebu terus-menerus memuat berita skandal. Hampir semua tokoh di Kopenhagen telah jadi sasaran cemooh dari majalah tersebut.
Anehnya, berkala itu segera saja berkembang pesat. Selama lima tahun awal penerbitannya, Corsair yang dipimpin Meyer Goldschmidt itu menjadi majalah yang paling luas penyebarannya di seluruh pelosok Denmark.
Soren Aabye Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis terkemuka dari Denmark, semasa hidupnya pernah punya pengalaman buruk dengan Corsair. Kierkegaard yang awalnya mendapat pujian dari majalah itu, pada satu waktu mengatakan bahwa dirinya lebih suka mendapat cemooh dari mingguan itu. Mendengar keinginan Kierkegaard, Corsair pun mengabulkannya.
Kierkegaard kemudian jadi salah satu tokoh Kopenhagen yang selalu dicemooh. Selama delapan bulan berturut-turut Corsair terus-menerus menyerang Kierkegarard dengan tulisan maupun karikatur mereka. Secara dramatis, berkala lain pun kemudian ikut terpancing untuk turut serta dalam aksi penyerangan tersebut.
Pada titik paling ekstrem, Kierkegaard merasa bahwa ia tak mungkin lagi memerbaiki opini umum tentang dirinya. Ia beranggapan tak bakal bisa tampil di hadapan umum kecuali dalam citra sebagai korban cemoohan Corsair. Meski begitu, Kierkegaard diam dan hanya sekali saja menulis bantahan.
Tapi di luar sikapnya secara pribadi, ia kemudian mengembangkan sebuah pemikiran yang menganggap pers dan media adalah sebuah “demoralisasi”. Pers baginya adalah sebuah mesin pembentuk pendapat umum yang meniadakan pendapat individu sebagai pribadi yang berdaulat.
Dalam sebuah karyanya, Kierkegaard memeringatkan tentang sebuah jaman yang cenderung menyamaratakan manusia. Ketika jaman itu tiba, manusia sebagai individu akan mengalami kehancuran, digantikan oleh manusia sebagai bagian dari massa yang anonim.
Pada masa itu, masifikasi dan kolektivisme menjadi hantu-hantu beterbangan yang akan memusnahkan ketunggalan eksistensi manusia. Kesejatian individu tercerabut, digantikan oleh identitas kolektif yang sebenarnya tak menyentuh eksistensi manusia sebagai pribadi.
Sebagai seorang eksistensialis, Kierkegaard beranggapan bahwa individu seharusnya menjadi pribadi yang bebas dan independen. Pada titik tertentu, filsuf itu menolak bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok bila persatuan itu terjadi hanya lantaran individu tersebut gagal tampil dengan kesejatiannya dan dengan tanggung jawabnya sendiri.
Bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok, baik nyata maupun “imajiner”, hanya bisa diterima jika penggabungan itu bukan merupakan sebuah pelarian atas tanggung jawab manusia untuk menemukan eksistensinya yang sejati, dan jika penggabungan itu tak serta merta menghilangkan eksistensi manusia sebagai individu.
Di sinilah Kierkegaard berkeberatan dengan pers atau media massa. Baginya, pers hanya akan menyatukan individu ke dalam sebuah “abstraksi” yang menghilangkan eksistensinya secara individual. Pers akan menjadikan individu sebagai kumpulan yang anonim, tanpa identitas yang sejati.
Di jaman ini, kita bisa melihat sebagian argumen Kierkegaard menjadi nyata. Cuma, kita juga melihat bahwa sebagian yang lain ternyata tak sepenuhnya benar. Benar bahwa pers punya kemampuan untuk memengaruhi manusia sebagai individu, tapi individu pun punya sikap yang tak serta merta bisa didekte. Pendeknya, media massa dan individu, selalu ada dalam tarikan yang tak simpel untuk dilukiskan.
Selain itu, pesimisme Kierkegaard terhadap pers juga tak selamanya tepat. Setidaknya, kalau kita mengingat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, pesimisme itu tak akan menjadi-jadi.
Dalam “The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Expect”, kedua wartawan itu justru menegaskan sesuatu yang sepenuhnya berkebalikan dengan Kierkegaard: media massa—melalui jurnalisme—punya peluang untuk membebaskan warga masyarakat sebagai individu.
Tujuan utama jurnalisme, kata Kovach dan Rosenstiel, adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.
Tepat di sinilah perpisahan jalan keduanya dengan Kierkegaard.
Kalau Kierkegaard memandang pers akan selamanya mengekang individu, Kovach dan Rosenstiel justru beranggapan bahwa pers bisa dan memang seharusnya membebaskan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya sendiri dalam rangka proses pengaturan hidupnya.
Saya kira, itulah kenapa jurnalisme berbeda dengan khotbah. Jurnalisme, kata Goenawan Mohammad, tidak bermula dan berakhir dengan sebuah berita. Sikap ingin tahu justru menjadi awal sekaligus dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut dengan fondasi sebuah lorong.
Bagi Goenawan, setelah fondasi itu rampung, maka jurnalisme—melalui wartawan tentu saja—harus menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin, serta membutuhkan kecerdikan dan ketrampilan tertentu.
Tapi, bukan hanya itu: jurnalisme juga membutuhkan semacam kesediaan dan kemampun dari praktisinya untuk menjadi polisi lalu-lintas, jaksa, dan hakim bagi dirinya sendiri yang awas terhadap tiap bentuk pelanggaran. Jadi, terdakwa pertama dalam jurnalisme bukan orang lain, tapi diri kita sendiri.
Di sinilah pentingnya sebuah sikap rendah hati: semacam kesadaran dari seorang reporter bahwa dirinya memang hanya seorang “pelapor”, dan bukan seorang penceramah yang sedang menasehati masyarakat, juga bukan ilmuwan yang sudah meneliti obyeknya dengan seksama. Seorang reporter adalah seorang terdakwa bagi dan oleh dirinya sendiri.
Saya rasa, jurnalisme yang rendah hati akan menghindarkan pers dari kecenderungan melakukan “demoralisasi”. Jurnalisme yang rendah hati bukan menggiring individu pada sebuah sikap yang seragam tapi memberi pilihan-pilihan pada mereka untuk mengambil sikap secara mandiri.
Sukoharjo, 1 April 2008
Langganan:
Postingan (Atom)