Jumat, Februari 26, 2010

Hidup di Dunia Maya

Saat ini manusia seakan hidup di dua dunia yang berbeda, yaitu dunia nyata dan dunia maya. Setujukah anda dengan pendapat saya tersebut?

Dunia maya yang saya maksud tentu saja adalah cyberspace, dunia internet, dimana semua informasi tersebar dan seluruh orang di dunia dapat terhubung hanya melalui suatu jaringan teknologi. Dengan memanfaatkan situs – situs yang tersedia, setiap orang bisa memenuhi kebutuhan akan informasi, berkomunikasi, bahkan menyuarakan aspirasinya kepada publik tanpa harus repot. Sejatinya, dunia maya adalah dunia yang sunyi dimana orang hanya beraktivitas di belakang layar komputer, laptop, ataupun ponsel. Sunyi, tetapi punya daya tekan yang luar biasa. Internet adalah dunia sunyi yang bisa menjadi kekuatan perubahan. Namun di sisi lain, jika dunia sunyi itu kita usik dengan tindakan tak bertanggung jawab, maka bukan tidak mungkin akan membawa kehidupan kita kocar – kacir tidak karuan.

Masih ingatkah Anda, bagaimana para netter (sebutan bagi pengguna internet) melakukan aksinya untuk mendukung kasus Prita Mulyasari vs RS Omni Internasional, serta kasus yang menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah? Ya, mereka menggalang aspirasinya atas keprihatinan mereka terhadap kasus - kasus tersebut melalui situs jejaring sosial Facebook. Bahkan tak segan – segan, sebutan parlemen online pun disematkan kepada mereka atas keberhasilannya membawa demokrasi ke dunia maya. Tindakan yang tentunya juga membawa perubahan terhadap kasus – kasus tersebut.Namun, tentu anda juga tahu bagaimana para artis seperti Luna Maya dan Mario Teguh sempat tersandung kasus karena menulis kata – kata yang dianggap tidak pantas dalam Twitter mereka, yang berbuntut penutupan akun mereka. Serta seorang mahasiswi yang harus berurusan dengan polisi karena dianggap telah menjelek – jelekkan kepolisian di status facebooknya. Bahkan jika kita ingat lagi, kasus Prita Mulyasari pun berasal dari tulisan email yang dikirimkan untuk temannya. Sungguh ironis bukan? Bagaimana internet bisa begitu membawa pengaruh besar kepada seseorang jika kita menggunakannya tanpa pertimbangan.

Saya sendiri sempat heran dengan kasus yang terjadi dari dunia maya, seperti remaja putri yang dikabarkan hilang bersama teman facebooknya. Padahal hubungan mereka hanya berasal dari dunia maya, tetapi mau – maunya percaya dan kabur bersama orang yang baru saja ditemuinya. Apakah ini menandakan kehidupan di dunia maya telah merasuk sampai sebegitu jauhnya dalam kehidupan mereka sehingga mereka tidak lagi bisa memisahkan antara hidup di dunia nyata dengan dunia maya?

Memang tidak bisa dipungkiri lagi jika saat ini internet telah menembus segala bidang kehidupan dan memudahkan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Sehingga mau tidak mau, internet menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dari berbelanja lewat e-buy, mencari teman lama atau bahkan pacar baru, menjalin hubungan bisnis, kampanye politik, bahkan informasi terakhir yang saya dapat, perang pun bisa dilakukan lewat dunia maya. Hal ini benar – benar terjadi antara blogger Indonesia dengan Malaysia beberapa waktu yang lalu. Sungguh mengejutkan bahwa kita telah hidup di dunia maya sebesar kita hidup di dunia nyata.

Oleh karena itu, diperlukan kecerdasan dan kehati – hatian dalam menjalani kehidupan di dunia maya. Jangan sampai kita lalai bahwa sebenarnya kita ini hidup di dunia nyata, bukan dunia maya.

Oleh: Okie Enno

Selasa, Februari 23, 2010

Solo versus Surakarta

Tema ini menjadi perdebatan publik Solo atau Surakarta baru-baru ini. Tentang penamaan kota Surakarta yang diubah menjadi Solo. Tentu saja ini bukan masalah yang remeh temeh karena menyinggung jati diri kota Surakarta sendiri.
Penamaan “Solo” dinilai lebih mudah dikenal publik. Dalam rubrik Kring Solopos edisi Sabtu (20/02) lalu, sebagian besar responden lebih memilih nama “Solo“ untuk menggantikan Surakarta. Sebagian besar beralasan bahwa penamaan Solo lebih mudah diingat orang. Nantinya ini akan berpengaruh brand kota Solo yang mudah diingat. Selain itu penamaan kota Solo juga dinilai lebih praktis dan lebih mengena di benak masyarakat.
Namun beberapa responden masih bersikukuh bahwa penamaan Surakarta adalah yang tebaik. Surakarta dipandang sebagian kalangan lebih mempunyai nilai historis. Sejarah kota Surakarta dimulai pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono II di Kraton Kartosuro.Pada masa itu terjadi pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) dibantu oleh kerabat-kerabat Keraton yang tidak setuju dengan adanya kerjasama dengan Belanda. Pangeran Sambernyowo (RM. Said) adalah salah satu pendukungnya yang merasa kecewa karena daerah Sukowati yang dulu diberikan oleh Keraton Kartosuro kepada Ayahandanya dipangkas. Karena terdesak, Pakubowono mengungsi kedaerah Jawa Timur (Pacitan dan Ponorogo) Dengan bantuan Pasukan Kompeni dibawah pimpinan Mayor Baron Van Hohendrof serta Adipati Bagus Suroto dari Ponorogo, pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah Keraton Kartosuro hancur, Paku Buwono II memerintahkan Tumenggung Tirtowiguno, Tumenggung Honggowongso, dan Pangeran Wijil untuk mencari lokasi ibu kota Kerajaan yang baru. ada tahun 1745, dengan berbagai pertimbangan fisik dan supranatural.
Paku Buwono II memilih desa Sala -sebuah desa di tepi sungai Bengawan Solo- sebagai daerah yang terasa tepat untuk membangun istana yang baru. Sejak saat itulah, desa Sala segera berubah menjadi Surakarta Hadiningrat.
Baik nama Surakarta atau Solo, mempunyai nilai positif masing-masing. Berkaca dari sisi sejarah, jelas nama Surakarta mempunyai nilai lebih tinggi. Namun untuk masalah branding, penamaan kota “Solo” dinilai lebih mudah diingat publik luas. Bahkan dalam komentar di Kring Solopos, ada responden yang menjelaskan bahwa kerabatnya di luar daerah lebih mengenal kata Solo dibanding Surakarta.
Sekarang tinggal publik sendiri yang dapat menentukan. Entah itu “Solo” atau “Surakarta”, hal yang paling esensial adalah jiwa kejawen yang ada pada tiap individu. Jangan sampai semangat itu luntur hanya karena masalah penamaan kota. Branding memang penting namun jangan sampai kita menjadi orang yang tidak mengerti sejarah.

Oleh: Nanda Bagus Prakosa

Jumat, Februari 12, 2010

Open Recrutmen LPM VISI FISIP UNS

Formasi Baru VISI 2009-2010

Setelah melalui proses panjang mulai dari Musyawarah Besar (Mubes) XX, dimana di dalamnya menentukan pula formatur dan mid formatur, pada akhirnya melahirkan personel yang menduduki kepengurusan LPM VISI FISIP UNS periode 2009/2010. Kepengurusan tersebut disahkan pada pelantikan pengurus tanggal 22 Desember 2009 lalu, melalui Surat Keputusan Dewan Formatur No: 01/SK/DEWAN FORMATUR/LPM VISI/XII/2009. Berikut ini adalah personel-personel yang menduduki kepengurusan LPM VISI FISIP UNS periode 2009/2010:

Pemimpin Umum : Nanda Bagus Prakosa
Sekretaris Umum : Yulia Widayani
Staf Sekretaris Umum : Faiznurbaety Fauziana & Siti Rofiqoh
Bendahara Umum : Fairuz Uyun Azizah
Staf Bendahara Umum : Indira Dwi Kusumatuti
Pemimpin Redaksi : Alina Dewi Hartanti
Sekretaris Redaksi Majalah : Triyani
Sekretaris Redaksi Terbitan Lain : Okie Enno Rindasih
Pemimpin Usaha : Sesar Ramadani Aji
Staf Produksi dan Sirkulasi : Nositaria Devia Hariefka & Leni Trihastuti
Staf Iklan dan Penggalian Dana Mandiri : Wahyu,Akhfatul Elfata Nurul, & Siti Rohana
Pemimpin Penelitian dan Pengembangan : Johan Bhimo Sukoco
Staf Departemen Pendukung Penerbitan : Adinda Nusantari & Rizky Pratama Nusantara
Staf Departemen Pewacanaan Eksternal : Ansyor & Duratun Nafisah
Pemimpin Kaderisasi : Ema Yuliani Utami
Staf Departemen Kajian dan
Diskusi Internal : Istiqomah & Mei Safitri
Staf Departemen Skill dan Leadership : Andy Mashudi & Mbajeng Putri Utami

Semoga kepengurusan baru ini dapat menjaga amanah seoptimal mungkin. Mari mempererat pondasi untuk menjadikan LPM VISI sebagai Lembaga Pers Mahasiswa yang kritis, kreatif, dan dinamis.
Selamat berparsisipasi kembali pada blog ini setelah cukup lama vakum dalam masa transisi. Salam persma!

Selasa, April 07, 2009

KPU DIHARAPKAN TIDAK SEKEDAR BERSOSIALISASI

Oleh : Rizky Pratama N

Kekhawatiran tingginya angka golongan putih (golput) dan angka suara yang tidak sah dalam Pemilihan Umum (Pemilu) membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja keras melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Namun hal itu dirasa tidak cukup, kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh KPU sendiri dapat menyebabkan banyak suara tidak sah dalam pemilu esok.
Persiapan menjelang Pemilu legislatif yang akan dilaksanakan pada 9 April 2009 esok masih meninggalkan beberapa kendala. Mulai dari distribusi logistik untuk pemilu di beberapa daerah tersendat hingga sosialisasi yang dilakukan oleh KPU yang terhambat. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan tingginya angka suara tidak sah pada hasil pemilu.
KPU sendiri selaku organisasi yang diserahi tanggung jawab dalam hal penyelenggaraan Pemilu telah memutuskan beberapa putusan baru mengenai teknis pemilu. Putusan mengenai tata cara memilih dengan cara mencrontreng dirasa menjadi putusan yang sempat menjadi kontroversi. Tata cara yang selama ini digunakan yaitu dengan cara mencoblos kertas suara dirasa sudah tidak efektif. KPU sendiri beranggapan bahwa dengan cara mencoblos rentan dengan kecurangan. Namun, yang perlu diingat masyarakat kita sudah terlanjur terbiasa dengan cara tersebut. Dikhawatirkan adanya perubahan ini tanpa disertai dengan sosialisasi yang tidak maksimal akan menyebabkan tingginya angka tidak sah.
Maka disinilah peran penting sosialisasi dalam pemilu esok. Dengan sosialisasi yang tepat guna diharapkan dapat menekan angka golput dan suara tidak sah. Sosialisasi juga dapat berperan sebagai sarana untuk mencerdaskan masyarakat. Dalam hal ini sosialisasi yang dilakukan oleh KPU dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan dalam berpolitik bagi masyarakat.
Pendidikan berpolitik bagi masyarakat dirasa penting disaat sekarang. Ini dikarenakan perubahan yang telah dilakukan oleh KPU baik mengenai putusan suara terbanyak dan tata cara pencontrengan. Dengan adanya sosialisasi yang tepat guna menjelang pemilu diharapkan masyarakat tidak mengalami kebingungan mengenai cara memilih.
Sampai saat ini pendidikan politik yang dilakukan oleh KPU sangatlah kurang. KPU baru melaksanakan sosialisasi Pemilu kepada masyarakat ketika satu bulan menjelang Pemilu. Idealnya sosialisasi dilakukan sejak dua sampai tiga bulan menjelang Pemilu. Selama ini justru partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg) yang notebene adalah peserta pemilu yang berperan lebih aktif dalam hal sosialisasi pemilu ini. Hal ini terlihat dari banyaknya himbauan untuk memilih parpol atau caleg tersebut dengan cara yang benar. Himbauan tersebut dapat berupa iklan, spanduk, dan baliho yang banyak bertebaran belakangan ini. Bahkan ada caleg yang melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat.
Namun, unsur kenetralan dalam sosialisasi yang dilakukan baik oleh parpol maupun caleg ini masih dipertanyakan. Dalam sosialisasi yang dilakukan memang mengajarkan masyarakat untuk memilih dengan cara yang sesuai dengan keputusan KPU, tapi yang dipilih adalah parpol atau caleg yang bersangkutan. Jadi ketika sosialisasi ini dilakukan oleh KPU sosialisasi tersebut bisa benar-benar netral.
Diharapkan ke depannya KPU dapat melakukan sosialisasi yang benar-benar tepat guna, yang dapat mencerdaskan masyarakat dalam hal berpolitik. Sehingga dalam pelaksanaan pemilu esok dapat berjalan dengan sukses dan dapat menekan angka golput dan suara yang tidak sah.



Senin, April 06, 2009

Butuh Aturan Ketat untuk Penyederhanaan Parpol

Oleh : Nur Heni Widyastuti

Betapa ribet-nya proses pencontrengan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 9 April 2009 esok. Dengan bilik pemilihan berukuran rata-rata hanya 60 x 40 cm, sedangkan ukuran kertas suara 84 x 63 cm, pemilih dituntut untuk memilih 1 nama diantara ratusan nama-nama calon anggota legislatif (caleg) di dalamnya. Jumlah partai politik (parpol) peserta pemilu yang lebih banyak dari pemilu sebelumnya menyebabkan pelebaran ukuran kertas suara tersebut. Apalagi jika calon anggota legislatif yang diusulkan tiap partai juga bertambah banyak di tiap daerah, semakin lebar pula unkuran kertas suaranya.
Perjalanan pemilihan langsung baik di tingkat kebupaten, provinsi, presiden, bahkan sampai anggota parlemen, memang menandakan kemajuan dan keterbukaan dalam demokrasi di Indonesia. Pemilihan caleg secara langsung memang dinilai lebih baik daripada hanya memilih partai. Bisa diibaratkan sudah tidak memilih kucing dalam karung lagi. Namun, selain memiliki nilai positif, ada juga hal-hal yang menjadi permasalahan antara lain :
Biaya membengkak. Baik biaya penyelenggaraan pemilu (penyediaan logistik, sosialisasi, dll) atau biaya yang dikeluarkan tiap partai atau tiap caleg untuk kampanye dan sosialisasi.
Kampanye kurang efektif. Semakin banyak partai, maka jadwal kampanye semakin padat. Dengan banjirnya informasi kampanye, maka lambat laun kampanye hanya menjadi angin lalu, karena masyarakat terlalu jengah dijejali janji-janji dan iklan-iklan tiap partai, bahkan tiap caleg.
Persaingan yang ketat. Persaingan ini tidak hanya terjadi antar partai, tetapi juga persaingan antar caleg di internal partai.
Perhitungan harus akurat. Karena pemilihan kali ini yang dihitung adalah tiap individu maka perhitungan harus akurat. Untuk cara penentuan suara sah atau tidak sah juga harus diperhatikan secara seksama. Atau kalau tidak akan menimbulkan konflik.
Rawan konflik. Tak dapat dihindari lagi jika setiap pemilihan akan menimbulkan konflik. Ketika jumlah peserta pemilu semakin besar, maka kecenderungan rawan konflik juga akan semakin besar.
Wacana penyerderhanaan partai politik (parpol) menjadi salah satu materi penting dalam proses pembahasan RUU Pemilu Legislatif. Secara teoritis, dalam sistem presidensial yang dianut di Indonesia lebih cocok dengan sistim partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan saat ini, hanya cocok bila diterapkan dalam sistem parlementer.
Seperti yang sudah ditetapkan oleh KPU, pemilu 2009 ini diikuti 34 parpol. Jumlah ini lebih banyak dari pemilu 2004 yang diikuti 24 parpol. Namun lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemilu 1999 yang diikuti 48 parpol. Berkaca dari dua pemilu sebelumnya, sebagian menyebutkan bahwa idealnya jumlah partai politik peserta pemilu 2009 adalah 12 atau 13 parpol melalui perhitungan dengan pendekatan kualitatif, atau 8 sampai 9 parpol melalui perhitungan kuantitatif. (lebih lengkapnya baca indonesianmuslim.com). Dengan adanya pembengkakan jumlah partai peserta pemilu, makanaya aturan ketat untuk pendaftaran partai pemilu perlu diberlakukan secara konsisten.

Pemberlakuan ET atau PT dan Perketat Pendirian Partai Baru
Secara teoritis, dalam sistem presidensial yang dianut di Indonesia lebih cocok dengan sistim partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan saat ini, hanya cocok bila diterapkan dalam sistem parlementer.
Konsep penyerderhanaan parpol masih menggunakan konsep Electoral Threshold (ET). ET adalah ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya. Dalam pasal 9 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu, mengatur untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya parpol peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi di DPR, empat persen jumlah kursi di DPRD Provinsi yang tersebar di setengah provinsi di Indonesia, dan empat persen jumlah kursi di Kabupaten yang tersebar di setengah Kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Sedangkan Parliamentary Threshold (PT) adalah ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi partai politik (parpol) untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen dari total jumlah suara dalam pemilu. Dengan ketentuan ini, parpol yang tak beroleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus.
Melalui PT sebuah partai tidak perlu membubarkan atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. PT dinilai lebih efektif menjaring parpol yang serius memperjuangkan aspirasi masyarakat. Karena selama ini banyak elite politik mendirikan parpol hanya untuk merebut posisi politik.
Selain menggunakan PE dan PT, untuk membatasi jumlah peserta yang ikut dalam pemilu ke depannya adalah dengan memperketat aturan pembentukan partai. Misalnya dengan memperbesar jumlah syarat anggota pembentukan parpol di tiap daerah. Jika memungkinkan malah bisa jadi, pemilu mendatang hanya partai yang lolos PE dan PT yang diperbolehkan ikut pemilu mendatang. Hal ini bukan membatasi hak berkumpul dan berbicara, tetapi agar lebih mengefektifkan pemilu di Indonesia.



Senin, Februari 16, 2009

Iklan Parpol di Media Massa Tak (Mungkin) Bisa Obyektif

Oleh: Annisa Rohmah

Meski UU Pemilu sudah mengatur segala bentuk kampanye peserta partai politik (parpol) Pemilu 2009, namun seperti yang diprediksikan sebelumnya, hanya partai besarlah yang merajai halaman iklan berbagai media cetak dan slot televisi. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Hanura, sampai Partai Gerindra. Pasalnya, media tak mungkin menampik gelimpang rupiah yang bisa diterima dari parpol berduit yang rela menghambur-hamburkan uang demi sebuah tujuan: popularitas.

Dalam Pasal 97 UU Pemilu disebutkan, media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Jika ditelisik lebih jauh, kata “adil dan seimbang” sungguh multitafsir dan rancu.

Adil dan seimbang bisa diartikan memberi porsi yang sama kepada seluruh peserta parpol untuk menayangkan iklannya pada halaman atau slot iklan media yang bersangkutan. Masalahnya, “porsi” ukuran, jumlah, warna, letak pun tak bisa serupa. Tak mungkin setiap hari media cetak memuat iklan seluruh peserta parpol pada halaman, ukuran, warna yang sama. Terlebih lagi pada media televisi yang penayangannya terbatas oleh waktu. Dilain pihak Parpol pun biasanya memiliki standar tersendiri untuk iklan politiknya. Nah, lagi-lagi standar parpol berduitlah yang pasti jauh lebih tinggi dari parpol “biasa”.
Kalau sudah begini, media tak mungkin benar-benar bisa berlaku obyektif. Masalah keuangan perusahaan adalah pertimbangan utama mengapa hal ini bisa terjadi dan terus berulang. Jika media yang bersangkutan selevel dengan Kompas, mungkin tak akan menjadi masalah besar karena tanpa perhelatan Pemilu pun banyak iklan yang telah mengantre. Lain halnya jika media yang ditunggangi parpol adalah media lokal atau media yang secara realistis “butuh dukungan dana”.

Namun, lepas dari segala permasalahan keuangan perusahaan media, media massa sebenarnya memang memiliki kecenderungan untuk tidak obyektif. Bukan berarti media massa menjadi sebuah kendaraan politik atau juru kampanye parpol tertentu. Namun, sebagai “watch dog”, media justru menjadi pihak yang bisa melihat secara jernih siapa yang sebenarnya paling “pantas” unggul dalam pertarungan politik.

Seperti yang diungkapkan Wartawan Senior Kompas Budiarto Shambazy, "Pers itu obyektif tetapi sikap pers tidak bisa netral. Obyektifitas pers bukan berarti tidak memilih. Hal itu akan melatih media untuk bersikap atas kepentingan parpol dan capres dalam pemilu''.

Selamat berpolitik!