Selasa, April 07, 2009

KPU DIHARAPKAN TIDAK SEKEDAR BERSOSIALISASI

Oleh : Rizky Pratama N

Kekhawatiran tingginya angka golongan putih (golput) dan angka suara yang tidak sah dalam Pemilihan Umum (Pemilu) membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja keras melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Namun hal itu dirasa tidak cukup, kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh KPU sendiri dapat menyebabkan banyak suara tidak sah dalam pemilu esok.
Persiapan menjelang Pemilu legislatif yang akan dilaksanakan pada 9 April 2009 esok masih meninggalkan beberapa kendala. Mulai dari distribusi logistik untuk pemilu di beberapa daerah tersendat hingga sosialisasi yang dilakukan oleh KPU yang terhambat. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan tingginya angka suara tidak sah pada hasil pemilu.
KPU sendiri selaku organisasi yang diserahi tanggung jawab dalam hal penyelenggaraan Pemilu telah memutuskan beberapa putusan baru mengenai teknis pemilu. Putusan mengenai tata cara memilih dengan cara mencrontreng dirasa menjadi putusan yang sempat menjadi kontroversi. Tata cara yang selama ini digunakan yaitu dengan cara mencoblos kertas suara dirasa sudah tidak efektif. KPU sendiri beranggapan bahwa dengan cara mencoblos rentan dengan kecurangan. Namun, yang perlu diingat masyarakat kita sudah terlanjur terbiasa dengan cara tersebut. Dikhawatirkan adanya perubahan ini tanpa disertai dengan sosialisasi yang tidak maksimal akan menyebabkan tingginya angka tidak sah.
Maka disinilah peran penting sosialisasi dalam pemilu esok. Dengan sosialisasi yang tepat guna diharapkan dapat menekan angka golput dan suara tidak sah. Sosialisasi juga dapat berperan sebagai sarana untuk mencerdaskan masyarakat. Dalam hal ini sosialisasi yang dilakukan oleh KPU dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan dalam berpolitik bagi masyarakat.
Pendidikan berpolitik bagi masyarakat dirasa penting disaat sekarang. Ini dikarenakan perubahan yang telah dilakukan oleh KPU baik mengenai putusan suara terbanyak dan tata cara pencontrengan. Dengan adanya sosialisasi yang tepat guna menjelang pemilu diharapkan masyarakat tidak mengalami kebingungan mengenai cara memilih.
Sampai saat ini pendidikan politik yang dilakukan oleh KPU sangatlah kurang. KPU baru melaksanakan sosialisasi Pemilu kepada masyarakat ketika satu bulan menjelang Pemilu. Idealnya sosialisasi dilakukan sejak dua sampai tiga bulan menjelang Pemilu. Selama ini justru partai politik (parpol) dan calon legislatif (caleg) yang notebene adalah peserta pemilu yang berperan lebih aktif dalam hal sosialisasi pemilu ini. Hal ini terlihat dari banyaknya himbauan untuk memilih parpol atau caleg tersebut dengan cara yang benar. Himbauan tersebut dapat berupa iklan, spanduk, dan baliho yang banyak bertebaran belakangan ini. Bahkan ada caleg yang melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat.
Namun, unsur kenetralan dalam sosialisasi yang dilakukan baik oleh parpol maupun caleg ini masih dipertanyakan. Dalam sosialisasi yang dilakukan memang mengajarkan masyarakat untuk memilih dengan cara yang sesuai dengan keputusan KPU, tapi yang dipilih adalah parpol atau caleg yang bersangkutan. Jadi ketika sosialisasi ini dilakukan oleh KPU sosialisasi tersebut bisa benar-benar netral.
Diharapkan ke depannya KPU dapat melakukan sosialisasi yang benar-benar tepat guna, yang dapat mencerdaskan masyarakat dalam hal berpolitik. Sehingga dalam pelaksanaan pemilu esok dapat berjalan dengan sukses dan dapat menekan angka golput dan suara yang tidak sah.



Senin, April 06, 2009

Butuh Aturan Ketat untuk Penyederhanaan Parpol

Oleh : Nur Heni Widyastuti

Betapa ribet-nya proses pencontrengan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 9 April 2009 esok. Dengan bilik pemilihan berukuran rata-rata hanya 60 x 40 cm, sedangkan ukuran kertas suara 84 x 63 cm, pemilih dituntut untuk memilih 1 nama diantara ratusan nama-nama calon anggota legislatif (caleg) di dalamnya. Jumlah partai politik (parpol) peserta pemilu yang lebih banyak dari pemilu sebelumnya menyebabkan pelebaran ukuran kertas suara tersebut. Apalagi jika calon anggota legislatif yang diusulkan tiap partai juga bertambah banyak di tiap daerah, semakin lebar pula unkuran kertas suaranya.
Perjalanan pemilihan langsung baik di tingkat kebupaten, provinsi, presiden, bahkan sampai anggota parlemen, memang menandakan kemajuan dan keterbukaan dalam demokrasi di Indonesia. Pemilihan caleg secara langsung memang dinilai lebih baik daripada hanya memilih partai. Bisa diibaratkan sudah tidak memilih kucing dalam karung lagi. Namun, selain memiliki nilai positif, ada juga hal-hal yang menjadi permasalahan antara lain :
Biaya membengkak. Baik biaya penyelenggaraan pemilu (penyediaan logistik, sosialisasi, dll) atau biaya yang dikeluarkan tiap partai atau tiap caleg untuk kampanye dan sosialisasi.
Kampanye kurang efektif. Semakin banyak partai, maka jadwal kampanye semakin padat. Dengan banjirnya informasi kampanye, maka lambat laun kampanye hanya menjadi angin lalu, karena masyarakat terlalu jengah dijejali janji-janji dan iklan-iklan tiap partai, bahkan tiap caleg.
Persaingan yang ketat. Persaingan ini tidak hanya terjadi antar partai, tetapi juga persaingan antar caleg di internal partai.
Perhitungan harus akurat. Karena pemilihan kali ini yang dihitung adalah tiap individu maka perhitungan harus akurat. Untuk cara penentuan suara sah atau tidak sah juga harus diperhatikan secara seksama. Atau kalau tidak akan menimbulkan konflik.
Rawan konflik. Tak dapat dihindari lagi jika setiap pemilihan akan menimbulkan konflik. Ketika jumlah peserta pemilu semakin besar, maka kecenderungan rawan konflik juga akan semakin besar.
Wacana penyerderhanaan partai politik (parpol) menjadi salah satu materi penting dalam proses pembahasan RUU Pemilu Legislatif. Secara teoritis, dalam sistem presidensial yang dianut di Indonesia lebih cocok dengan sistim partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan saat ini, hanya cocok bila diterapkan dalam sistem parlementer.
Seperti yang sudah ditetapkan oleh KPU, pemilu 2009 ini diikuti 34 parpol. Jumlah ini lebih banyak dari pemilu 2004 yang diikuti 24 parpol. Namun lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemilu 1999 yang diikuti 48 parpol. Berkaca dari dua pemilu sebelumnya, sebagian menyebutkan bahwa idealnya jumlah partai politik peserta pemilu 2009 adalah 12 atau 13 parpol melalui perhitungan dengan pendekatan kualitatif, atau 8 sampai 9 parpol melalui perhitungan kuantitatif. (lebih lengkapnya baca indonesianmuslim.com). Dengan adanya pembengkakan jumlah partai peserta pemilu, makanaya aturan ketat untuk pendaftaran partai pemilu perlu diberlakukan secara konsisten.

Pemberlakuan ET atau PT dan Perketat Pendirian Partai Baru
Secara teoritis, dalam sistem presidensial yang dianut di Indonesia lebih cocok dengan sistim partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan saat ini, hanya cocok bila diterapkan dalam sistem parlementer.
Konsep penyerderhanaan parpol masih menggunakan konsep Electoral Threshold (ET). ET adalah ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya. Dalam pasal 9 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu, mengatur untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya parpol peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi di DPR, empat persen jumlah kursi di DPRD Provinsi yang tersebar di setengah provinsi di Indonesia, dan empat persen jumlah kursi di Kabupaten yang tersebar di setengah Kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Sedangkan Parliamentary Threshold (PT) adalah ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi partai politik (parpol) untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen dari total jumlah suara dalam pemilu. Dengan ketentuan ini, parpol yang tak beroleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus.
Melalui PT sebuah partai tidak perlu membubarkan atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. PT dinilai lebih efektif menjaring parpol yang serius memperjuangkan aspirasi masyarakat. Karena selama ini banyak elite politik mendirikan parpol hanya untuk merebut posisi politik.
Selain menggunakan PE dan PT, untuk membatasi jumlah peserta yang ikut dalam pemilu ke depannya adalah dengan memperketat aturan pembentukan partai. Misalnya dengan memperbesar jumlah syarat anggota pembentukan parpol di tiap daerah. Jika memungkinkan malah bisa jadi, pemilu mendatang hanya partai yang lolos PE dan PT yang diperbolehkan ikut pemilu mendatang. Hal ini bukan membatasi hak berkumpul dan berbicara, tetapi agar lebih mengefektifkan pemilu di Indonesia.



Senin, Februari 16, 2009

Iklan Parpol di Media Massa Tak (Mungkin) Bisa Obyektif

Oleh: Annisa Rohmah

Meski UU Pemilu sudah mengatur segala bentuk kampanye peserta partai politik (parpol) Pemilu 2009, namun seperti yang diprediksikan sebelumnya, hanya partai besarlah yang merajai halaman iklan berbagai media cetak dan slot televisi. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Hanura, sampai Partai Gerindra. Pasalnya, media tak mungkin menampik gelimpang rupiah yang bisa diterima dari parpol berduit yang rela menghambur-hamburkan uang demi sebuah tujuan: popularitas.

Dalam Pasal 97 UU Pemilu disebutkan, media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Jika ditelisik lebih jauh, kata “adil dan seimbang” sungguh multitafsir dan rancu.

Adil dan seimbang bisa diartikan memberi porsi yang sama kepada seluruh peserta parpol untuk menayangkan iklannya pada halaman atau slot iklan media yang bersangkutan. Masalahnya, “porsi” ukuran, jumlah, warna, letak pun tak bisa serupa. Tak mungkin setiap hari media cetak memuat iklan seluruh peserta parpol pada halaman, ukuran, warna yang sama. Terlebih lagi pada media televisi yang penayangannya terbatas oleh waktu. Dilain pihak Parpol pun biasanya memiliki standar tersendiri untuk iklan politiknya. Nah, lagi-lagi standar parpol berduitlah yang pasti jauh lebih tinggi dari parpol “biasa”.
Kalau sudah begini, media tak mungkin benar-benar bisa berlaku obyektif. Masalah keuangan perusahaan adalah pertimbangan utama mengapa hal ini bisa terjadi dan terus berulang. Jika media yang bersangkutan selevel dengan Kompas, mungkin tak akan menjadi masalah besar karena tanpa perhelatan Pemilu pun banyak iklan yang telah mengantre. Lain halnya jika media yang ditunggangi parpol adalah media lokal atau media yang secara realistis “butuh dukungan dana”.

Namun, lepas dari segala permasalahan keuangan perusahaan media, media massa sebenarnya memang memiliki kecenderungan untuk tidak obyektif. Bukan berarti media massa menjadi sebuah kendaraan politik atau juru kampanye parpol tertentu. Namun, sebagai “watch dog”, media justru menjadi pihak yang bisa melihat secara jernih siapa yang sebenarnya paling “pantas” unggul dalam pertarungan politik.

Seperti yang diungkapkan Wartawan Senior Kompas Budiarto Shambazy, "Pers itu obyektif tetapi sikap pers tidak bisa netral. Obyektifitas pers bukan berarti tidak memilih. Hal itu akan melatih media untuk bersikap atas kepentingan parpol dan capres dalam pemilu''.

Selamat berpolitik!



Selasa, Januari 13, 2009

Solo dan Geliatnya di Bidang Pariwisata

oleh: Rizky Pratama

Kota Solo memang terkenal dengan keunggulan di bidang pariwisata dan budayanya. Oleh karena itu, saat ini pemerintah Kota Solo terus berupaya membangun Kota Solo menjadi kota wisata. Geliat pertumbuhan ekonomi pun kini terlihat di Kota Solo. Pengembangan Kota Solo sendiri mengacu pada konsep “Solo ke Depan adalah Solo Tempo Dulu.” Artinya, pengembangan kepariwisataan Kota Solo tidak boleh menyimpang dari karakter atau ciri khas yang membentuk kota ini sejak awal hingga sekarang.
Adanya konsep pembangunan ini juga menunjukan bahwa yang akan “dijual” dari Solo adalah kekayaan di bidang budaya dan di bidang pariwisata. Hal ini lah yang akan menarik setiap orang untuk masuk ke Solo dan diharapkan Solo memiliki perbedaan dengan kota-kota yang lain.
Kota Solo sendiri sudah banyak menggelar beberapa event budaya baik yang berskala daerah bahkan internasional. Event-event tersebut biasanya digelar di beberapa tempat-tempat yang ada, misalnya Gedung Wayang Orang Sriwedari dan Teater Budaya Solo (TBS) yang sekarang berubah nama menjadi Teater Budaya Jawa Tengah (TBJT). Perubahan nama ini memiliki arti bahwa Solo mendapatkan kepercayaan lebih dalam bidang kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dengan penempatan pusat kebudayaan Jawa tengah yang sekarang berada di Solo bukan di Semarang yang notabene adalah ibukota Jawa Tengah.
Beberapa bulan yang lalu pula Kota Solo dipercaya untuk menggelar beberapa event-event budaya yang berskala internasional. Dimulai dari pergelaran Solo International Music Etnic (SIEM) pada 2007 dan 2008, pergelaran World Heritage Cities Conference and Expo pada 2008 serta pergelaran International Keroncong Festival pada tahun 2008. Hal ini membuktikan bahwa Solo memang sudah dipercaya untuk menggelar event-event yang berskala internasional.
Banyaknya event yang berskala internasional yang diadakan di Solo berdampak positif juga bagi kota Solo. Di bidang ekonomi, event-event yang ada nantinya akan menarik banyak wisatawan untuk datang ke Kota Solo. Selain itu, keuntungan lain yang didapat adalah dari segi image dan branding Kota Solo sendiri. Event-event tersebut merupakan sarana promosi gratis kota Solo di mata masyarakat luas.
Kedepannya Solo sendiri akan membuat beberapa proyek-proyek yang bersinergi dengan branding kota Solo di bidang budaya. Misalnya seperti proyek City Walk, Galabo, Night Market Nagrsopuran, serta Etnic and Antique Street. Salah satu rencan dari pemkot Solo yang paling dinanti adalah pengoprasiannya kereta kota yang nantinya akan diopersikan sepanjang 20 km. Dan ada selentingan bahwa nantinya di Solo akan membangun Opera House yang nantinya akan mengakomodir banyaknya event-event yang akan di gelar di Solo. Semoga semua ini dapat membuat kota Solo menjadi lebih baik lagi.



Minggu, Desember 28, 2008

Solo, Kota (Komersialisasi) Budaya

Oleh : Nanda Bagus Prakosa


Sebutan Solo sebagai Kota Budaya, tentunya tidak asing lagi di telinga. Memang tidak bisa dipungkiri, kekayaan budaya di Solo sangat melimpah ruah. Sebut saja batik yang sedang booming di dunia fesyen, situs-situs budaya yang eksotik hingga buaian wisata kulinernya, Solo pantas dengan image kota wisata budaya.
Budaya sebagai kekuatan pariwisata di Solo akhirnya diperhatikan juga oleh Pemerintah. Pemerintah sudah melakukan usaha-usaha untuk memajukan pariwisata di Solo melalui event-event berskala lokal, nasional maupun internasional.
Perhelatan besar seperti BSF (Bengawan Solo Festival), WHCC (World Heritage Cities and Conference), SIEM (Solo International Ethnic Music) hingga IKF (International Keroncong Festival) sedikit banyak dapat menunjukkan eksistensi kota Solo sebagai kota Budaya yang berkembang. Bahkan ketika Solo dinobatkan sebagai salah satu Heritage Cities (kota pusaka) di dunia. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Solo adalah salah satu kota Budaya yang mempunyai nilai lebih.
Namun hal itu seakan tercoreng ketika kita melihat apa yang terjadi di Solo beberapa waktu terakhir. Masih segar dalam ingatan kita saat Museum Radya Pustaka geger. Beberapa arca berharga dipalsukan sedang yang asli diperjualbelikan seenaknya. Hal ini sempat menjadi sorotan beberapa media-media besar di Indonesia. Solo yang notabene kota budaya, malah “menjajakan” aset-aset budayanya sendiri.
Hal yang di atas juga dialami oleh benteng Vastenburg. Benteng peninggalan masa penjajahan ini direncanakan berubah fungsi sebagai hotel berbintang. Bahkan kenyataan yang lebih mengejutkan Benteng Vastenburg tersebut telah diprivatisasi. Benteng Vastenburg menjadi satu-satunya dari 300 benteng bersejarah di Indonesia yang dimiliki secara privat.
Kemudian ketika mucul lagi kasus Sriwedari yang bukan milik Negara lagi, seakan masyarakat Solo menjadi kebal terhadap permasalahan ini. Dulu ketika Vastenburg akan dibangun hotel masyarakat berbondong-bondong menolakhal itu dengan tegas. Namun ketika Sriwedari yang merupakan taman budayanya orang Solo diprivatisasi, orang-orang seakan menutup mata. Jangankan untuk prihatin tentang masalah ini, sekedar “mempermasalahkannya” saja itu hanya segelintir orang.
Budaya di kota Solo nampaknya sedang diberi cobaan yang berat. Di tengah terangkatnya nama Solo dengan aset budayanya, kota Solo malah menuai keprihatinan tentang hilangnya aset-aset budaya tersebut satu per satu.
Masalah privatisasi bukanlah satu-satunya rintangan. Beberapa tahun lagi Solo akan lebih “bewarna” dengan gedung-gedung apartemen yang (tentu saja) disertai mall-mall yang menjadi pusat lifestyle. Kehadiran mall-mall tersebut tentunya akan berdampak besar bagi geliat kota Solo. Jika hal ini keterusan maka tak ayal identitas kota Solo sebagai kota Budaya akan menghilang perlahan.
Jadi mulai saat ini cintailah budaya, cintailah Solo apa adanya. Walaupun banyak pemoles yang berdatangan namun tetapkan Solo sebagai identitas kita.



Senin, Desember 22, 2008

WISATA SOLO: PERENCANAAN DAN SUMBER DAYA

Oleh: Johan Bhimo Sukoco
Berbicara masalah pariwisata memang tidak akan ada habisnya jika dikaitkan dengan Kota kecil bernama Surakarta. Diasumsikan kecil oleh penulis karena luas wilayahnya hanya sekitar 44 Km2 saja.Orang lebih fasih mengucapkan Kota kecil ini, Kota Solo. Kota yang terletak diantara 110 45’15’’-110 45’35’’ Bujur timur dan 70’56’’ Lintang selatan ini bahkan memiliki slogan Kota Budaya. Sesuai dengan slogannya, masyarakat di dalamnya memang masih menguri-uri budaya yang ada, khusunya budaya jawa meskipun arus globalisasi mulai bermunculan di dalamnya.Tidak akan terasa kecil lagi jika kita melihat lebih jauh perkembangan pariwisata di kota budaya ini. Mulai dari pusat perbelanjaan, penginapan sekelas hotel berbintang, wisata kuliner atau bahkan keraton atau museum yang ada. Kita lihat saja dari Hotel berbintang yang menyediakan fasilitas penginapan mulai dari bintang satu sampai dengan tiga. Hotel Novotel, Quality, Sahid Kusuma, Sahid Raya Solo, Agas Internasional, Comfort Inn, Riyadi, Asia, Grand Orchid, sampai hotel bintang satu Grand Setia Kawan. Obyek pariwisata yang disediakan tak jauh-jauh dari kebudayaan masyarakat Solo sendiri. Mulai dari Keraton Kasunanan yang dibangun tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono II, Istana Mangkunegaran, Kampung Batik Kauman yang memiliki 30an Home Industri batik dimana telah menjalin kerjasama dengan wisatawan mancanegara(Jepang,Eropa,Asia Tenggara,dan Amerika serikat), Kampung Batik Laweyan, Museum Batik Wuryaningratan, Pasar Triwindu,Pasar Klewer,Taman Rekreasi Sriwedari,sampai Museum Radya Pustaka yang akhir-akhir ini menjadi topic terhangat di dunia berita pertelevisian karena masalah didalamnya. Bagaimana dengan wisata kuliner?Kota ini menyediakan berbagai resto yang akan memanjakan lidah anda. Aria Resto CafĂ©, Diamond, Gudeg Adem ayem, Pecel Solo,Rumah Koe, Nasi liwet Keprabon Banjarsari, dan Galabo (Gladag Langen Boga),merupakan contoh beberapa resto yang dapat anda kunjungi sebagai pecinta makanan.
Kota Surakarta yang terbagi menjadi lima wilayah kecamatan ini memang tengah digodok dalam proses pengembangan pariwisatanya.Mulai menjamurnya pusat perbelanjaan besar di Solo merupakan salah satu bukti betapa sangat dinamisnya kota kecil ini menanggapi adanya arus globalisasi.Mulai dari Matahari Singosaren,Makro,Solo Square,Sami Luwes,Pusat Grosir Solo (PGS),sampai yang paling dibanggakan,Solo Grand Mall atau lidah lebih mengenalnya SGM.Setelah berwisata budaya,wisata kuliner,melepas lelah di hotel dan mengunjungi pusat perbelanjaan,lantas oleh-oleh apa yang hendak dibawa untuk saudara di rumah?Jangan khawatir,Kota ini memiliki beberapa oleh-oleh khas yang dapat “di cangking” untuk orang terdekat anda.Seperti roti lapis Orion Mandarin,Cemilan Ganep’s,aneka jajanan pasar semisal ampyang yang dapat dibeli di pasar-pasar tradisional Solo,sampai yang tidak boleh ditinggalkan dan paling khas,Srabi Notosuman.
Aneka wisata budaya yang ada di kota Solo memang menjadi asset tersendiri bagi pemerintah daerah tentunya.Lantas,apakah kesemuanya itu sudah dikelola dengan baik pemanfaatannya? Berikut ini kutipan yang diambil penulis dari harian Suara Merdeka edisi Rabu,26 Juli 2006:
Semua Berjalan Sendiri-sendiri
 Pengembangan Wisata Solo
SOLO-- Rapat kerja pengembangan pariwisata Solo yang difasilitasi Komisi IV DPRD kemarin menjadi ajang saling menyalahkan antara pelaku wisata dan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya. Para pelaku wisata menilai selama ini kebijakan pengembangan pariwisata tidak jelas. Bahkan setiap instansi berjalan sendiri-sendiri. Biro perjalanan, Asita, perusahaan penerbangan, dan hotel juga berjalan sendiri sehingga upaya menarik wisatawan ke Solo terkendala.
Nah,inilah yang menimbulkan PR besar bagi petinggi-petinggi pemerintahan Kota yang berbatasan utara dengan Karanganyar dan Boyolali ini.Apakah arti beragam wisata Budaya yang penulis sebutkan rinci di atas apabila pengelolaannya asal-asalan saja?Tentu kesemuanya itu tidak akan ada artinya apa-apa jika pengelolaannya tidak terkoordinasi dengan baik.Untuk mencapai tujuan yang efektif tentunya ada perencanaan dan pertimbangan di dalamnya.Begitu pula dengan masalah pariwisata ini.Dengan tujuan menggaet wisatawan sebesar-besarnya untuk menambah pendapatan daerah,tentu pemerintah harus lebih giat dan matang dalam proses perencanaan,termasuk tata kota ataupun koordinasi yang baik antar instansi.
Ternyata ada iktikad yang baik dari pemerintah setempat dalam perencanaan pengelolaan pariwisata di Kota yang terkenal ramah ini.Dalam artikel berita di harian yang sama,tertulis:
Kasubdin Bina Program pada Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Drs Dwiniatno MM mengatakan sudah melakukan upaya untuk meningkatkan industri pariwisata Surakarta.
Pihaknya juga melibatkan para pelaku wisata dalam pengambilan kebijakan. Selain itu, membuat web site pariwisata, pengadaan one touch screen , serta inventarisasi objek wisata.
Berita yang penulis kutip dari Harian Suara Merdeka tersebut memang bertahun edisi 2006.Ini membuktikan perencanaan yang lebih memadai dari pemerintah daerah Surakarta terhadap pengelolaan pariwisata memang berawal di tahun tersebut.Sekarang menginjak akhir tahun 2008 dan menuju 2009.Dapatkah kita melihat perubahan pariwisata yang memadai?bagaimana dengan arus informasi mengenai asset wisata di dalamnya?apakah pengelolaannya telah memperhitungkan asas pengelolaan bebasis focus pengembangan yang bukan berjalan sendiri-sendiri lagi?Hanya kita yang dapat menilainya.




Kamis, Desember 18, 2008

Penegakan Presidensialisme dan Capres Independen

Oleh Adinda Nusantari

Secara konstitusional, sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Namun, sistem yang dijalankan saat ini agaknya masih belum sesuai dengan apa yang tertuang dalam konstitusi. Ada posisi yang saling overlapping antara presidensial dan parlementer.

Hal ini barangkali tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa ini. Dalam perjalanannya, sistem politik Indonesia mengalami beberapa kali pergantian model sistem politik. Antara presidensial dan parlementer. Kekacauan yang pernah timbul akibat kelemahan kedua sistem tersebut tampaknya memunculkan trauma tersendiri bagi bangsa ini. Hingga akhirnya tidak pernah tegas untuk memilih sistem mana yang dijalankan.
Ketika negara ini menganut sistem parlementer di tahun 1950-an, terjadi kekacauan sistem dengan maraknya politik “dagang sapi”. Kala itu Indonesia berganti-ganti pemerintahan. Dari satu pemerintahan perdana menteri ke perdana menteri yang lain.

Pun begitu dengan sistem kendali presiden. Kekuasaan presiden menjadi begitu besar, sampai-sampai menyerupai diktator. Alhasil, meski dalam konstitusi jelas diamanatkan bahwa sistem yang dianut adalah presidensial, namun selalu ada usaha untuk membatasi kekuasaan presiden. Akhirnya, parlemen seakan menjadi pihak oposan bagi presiden. Dan seolah-olah presiden tidak memiliki kuasa di hadapan parlemen.

Padahal dalam sebuah sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, seorang presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer. Di mana dalam sebuah sistem parlementer berlaku adanya moshi tidak percaya dan di sana parpol memegang peranan yang kuat.
Dalam konstruksi presidensialisme peranan parpol tidak sekuat seperti dalam sistem parlementer, sehingga memungkinkan adanya pencalonan kandidat presiden independen. Tradisi capres independen salah satunya ditemukan dalam presidensialisme di Amerika Serikat. Munculnya kandidat di luar parpol dominan - Partai Republik dan Partai Demokrat - pernah terjadi pada masa Presiden Roosevelt tahun 1912, John B Anderson tahun 1980, dan Ross Perot tahun 1992 yang popularitasnya sempat menyaingi kandidat Partai Demokrat Bill Clinton.
Di Indonesia, logika pemerintahan tersebut (antara parlementer dan presidensial) masih tumpang tindih penerapannya dalam sistem politik. Presidensialisme yang diamanatkan konstitusi masih sangat lemah, karena dalam praktiknya tidak jarang justru lebih menonjol seperti parlementarisme. Di sana, suara presiden seringkali kalah oleh parlemen.
Padahal, presiden itu adalah presiden terpilih yang didukung oleh parpol besar. Tapi kenyataannya, ketika memimpin ia seringkali tidak mendapat dukungan dari parpol yang lain. Kebijakan presiden sangat sulit mendapat dukungan politik di parlemen ketika harus bekerjasama dengan lembaga legislatif.
Jika nantinya ada capres independen, bagaimana mereka akan mendapat dukungan parlemen setelah terpilih? Tentu saja akan jauh lebih sulit untuk mendapat dukungan parlemen. Bahkan, bukan tidak mungkin presiden independen akan menjadi bulan-bulanan ketika harus berhadapan dengan parlemen. Meski sebenarnya dalam logika presidensialisme hal ini tidak dibenarkan. Namun, prakteknya itulah yang terjadi di Indonesia.
Sehingga, penguatan sistem presidensial di Indonesia menjadi semacam prasyarat sebelum melangkah lebih jauh dengan membuka peluang bagi capres independen. Tetapi agaknya para “pejuang” capres independen lebih senang langsung memperjuangkannya tanpa prasyarat tersebut.
Saat ini keberadaan capres independen diperjuangkan dengan melakukan uji materiil (judicial review ) UU No. 23/2003. Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dianggap penghalang bagi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden dari jalur independen. Khususnya pasal 1 ayat (6), pasal 5 ayat (1), dan pasal 5 ayat (4), - yang menutup kemungkinan pasangan capres dan cawapres independen - dianggap telah melanggar UUD 1945 pasal 6A ayat (2).
Di tengah pembahasan tersebut, parpol mulai menyatakan ketidaksetujuannya dengan capres independen. Memang belum semua parpol, tetapi setidaknya telah ada tiga parpol besar seperti Golkar, PPP, dan PAN yang lantang menolak. Dan, setidaknya ketiga parpol ini memiliki pengaruh yang besar untuk menghambat laju capres independen.
Penolakan tersebut mengacu pada Pasal 6 UUD 1945. Pasal itu mengharuskan capres melalui parpol. Selain itu, ada anggapan bahwa capres independen tidak mau bersusah payah untuk bersaing dalam Pemilu lantaran tidak perlu bergabung dengan parpol tertentu.
Dengan beragam alasan tersebut, agaknya capres independen menemui jalan yang terjal dalam perjuangannya. Bahkan ketika nanti disahkan, capres independen tetap saja akan menemui masalah dalam posisinya dengan parlemen. Selama landasan presidensialisme belum cukup tegas untuk menjamin kelangsungan “kehidupan” presiden.