Rahma Yudi Amartina
“Bahwa negara
dan bangsa yang tidak menghormati kaum perempuannya
tidak akan pernah menjadi besar, baik di saat
ini maupun di masa depan.
Satu alasan
mendasar sebagai penyebab kejatuhan bangsa Anda secara drastis
adalah karena Anda tidak memiliki rasa hormat
pada
kehidupan
perempuan yang dilukiskan sebagai shakti (istri).
Jika Anda
tidak membangkitkan kaum perempuan
yang merupakan
perwujudan dari Ibu Pertiwi,
apakah Anda
pikir Anda memiliki cara lain untuk bangkit?”
(Swami Vivekananda, dalam Mahatma Gandhi (2002),
Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 15.)
“No two of us think
alike about it, and yet it is clear to me, that question underlies the whole
movement, and our little skirmishing for better laws, and the right to vote,
will yet be swallowed up in the real question, viz: Has a woman a right to
herself? It is very little to me to have the right to vote, to own property,
etc. if I may not keep my body, and its uses, in my absolute right. Not one
wife in a thousand can do that now.”
(Lucy
Stone, dalam sebuah surat untuk Antoinette Brown, 11 Juli 1855)
Apa yang terlintas pertama kali dalam pikiran kita ketika
membaca surat di atas? Apa yang dapat kita tangkap? Bagaimanakah kita
meresponnya?
Secara tersirat, terdapat dua poin yang dapat ditangkap. Pertama, itu adalah sebuah ungkapan hati
tentang bagaimana seorang perempuan mempertanyakan
hak atas dirinya sendiri. Kedua,
seperti sebuah kegelisahan yang tak dapat dikatakan kepada penguasanya, bahwa
dirinya—Lucy Stone, sangat ingin memiliki hak layaknya lelaki, seperti hak
untuk bersuara (vote) dan juga hak
untuk memiliki properti.
Dalam artikel Carole J. Sheffield yang
berjudul Sexual Terrorism, terorisme
tak melulu soal bom bunuh diri atau keterkaitan dengan suatu jaringan teroris
pengancam negeri. Terorisme, seperti kata Hacker yang dikutip dalam buku Feminist Philosophies (1999:47), “adalah bertujuan untuk menakuti, dan dengan
menakuti, untuk kemudian mendominasi dan mengendalikan”. Yang artinya bahwa
terorisme dapat dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, ketika sang istri
akan tunduk setelah diancam. Ancaman atau kekerasan yang sering terjadi dan
menimpa para perempuan, atau seperti disebutkan di atas tentang pengekangan
hak-hak perempuan, menjadi suatu bentuk praktik sistem patriarki untuk
membantah bahwa perempuan mempunyai hak yang sama seperti lelaki.
Kasus lain di dalam negeri tercinta
Indonesia, misalnya, banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin
akibat program pertanian Revolusi Hijau yang hanya memfokuskan pada petani
laki-laki. Atas dasar itu banyak pertani perempuan tergusur dari sawah dan
pertanian, bersamaan dengan tergusurnya ani-ani,
kredit untuk petani yang artinya petani laki-laki, serta pelatihan pertanian
yang hanya ditujukan kepada petani laki-laki. Jadi yang dimasalahkan adalah
pemiskinan petani perempuan akibat dari bias gender (Fakih, 1987:73).
Dua contoh di atas merupakan sedikit
dari banyak kasus yang terjadi di jagad raya yang mempunyai kesamaan: merugikan
hak-hak kaum perempuan. Perempuan selalu dinilai sebagai kaum lemah yang
mempunyai sejuta permintaan dan keluhan, seorang yang membuang-buang waktu
ketika berbicara karena basa-basi yang panjang, atau juga pihak yang selalu
dirugikan ketika terdapat suatu pemikiran mesum di benak para pria. Belum lagi
jika menyangkut status, di mana upah perempuan akan berada di bawah laki-laki
meski sama-sama bekerja sebagai petani, misalnya. Lalu, bagaimana seharusnya
sikap yang layak ditunjukkan untuk memperjuangkan hak-hak para perempuan?
Adalah Feminisme yang memperjuangkannya.
Berakhiran –isme, bukan berarti
feminisme merupakan suatu paham sama halnya dengan komunisme, nasionalisme,
atau kolonialisme. Feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoritisnya
dari suatu rumusan teori tunggal. Oleh karena itu, tidak ada definisi abstrak
yang khusus tentang feminisme yang dapat diterapkan bagi semua perempuan pada
segenap waktu. Dengan demikian, definisnya memang dapat—dan pada kenyataannya
memang—berubah-ubah, karena feminisme
berdasarkan atas realitas kultural dan kenyataan sejarah yang konkret, maupun
atas tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi, serta tindakan (Bashin dan
Khan, 1995:4).
Feminis, sebutan bagi mereka yang aktif
dalam mendukung kegiatan feminisme, pada suatu masa menyadari bahwa
ketidakadilan yang dirasakan seorang perempuan akan hak-haknya yang seringkali
dilanggar oleh laki-laki dan untuk itulah mereka memperjuangkan hak-haknya
sendiri agar hidupnya juga dapat dihargai dan dihormati.
Feminisme merupakan sebuah gerakan
emansipasi. Feminisme memperjuangkan emansipasi yang menuntut kesetaraan
derajat antara laki-laki dan perempuan, baik di mata hukum maupun lingkungan
sosial di mana kaki mereka berpijak. Melalui persamaan hak dan kedudukan sosial
yang ditentukannya, kaum perempuan mengharapkan akan mendapat peluang untuk
turut menentukan dalam kegiatan pengambilan keputusan sehubungan dengan peletakan
dasar-dasar kenegaraan yang akan menciptakan iklim yang lebih menguntungkan,
sehingga kaum Hawa mendapat kebebasan yang lebih leluasa untuk tampil sebagai
individu. Demikian pula, dengan tercapainya keseragaman hak dalam perolehan
pendidikan dan tingkat kecerdasan yang tinggi, perempuan akan mendapat
kesempatan untuk memperkembangkan secara optimal segala potensi yang ada dalam
dirinya, sehingga mereka akan lebih mampu mengambil keputusan-keputusan penting
bagi dirinya sendiri serta untuk tampil sebagai individu yang terhormat.
Pada awalnya, ketika feminisme lahir
pada abad ke-17, para feminis menuntut hak-hak demokrasi yang meliputi hak atas
pendidikan dan pekerjaan, hak pemilikan, hak pilih, hak menjadi anggota
parlemen, hak atas pengaturan kelahiran, hak atas perceraian, dan sebagainya,
yang dengan kata lain adalah berjuang demi perbaikan hukum, demi kedudukan yang
sama di mata hukum dan masyarakat. Namun, semakin berkembangnya jaman, maka
perjuangan dan gerakan kaum feminis pun makin berkembang. Kini, tak hanya
perbaikan hukum yang dituntut, melainkan juga tuntutan bagi penghapusan
diskriminasi dan perjuangan bagi emansipasi. Kini, feminis lebih jauh menuntut
adanya kesetaraan dalam upah di lapangan kerja, penghargaan yang sama dengan
laki-laki dalam masyarakat, serta perlawanan terhadap patriarki atau dominasi
pria dalam keluarga dan lingkungan.
Dengan demikian, pada hakikatnya,
feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesederajatan/ kesetaraan,
harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan
tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga (Bashin dan Khan, 1995: 8).
Namun, feminisme bukanlah gerakan anti laki-laki atau gerakan pengubah
kekuasaan laki-laki menjadi kekuasaan perempuan. Karena banyak dari para pegiat
feminisme yang mempunyai keluarga yang bahagia, dengan melahirkan anak-anaknya
sendiri dan dengan kepatuhan terhadap suami yang masih dalam koridornya.
Praktik feminisme bisa dilihat dari
banyak pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan. Yang sangat mencolok
adalah diangkatnya Margareth Thatcher sebagai perdana menteri perempuan pertama
Inggris. Kepemimpinannya yang tegas dan adil menghadirkan decak kagum sekaligus
keseganan para anggota parlemen dan rakyat negeri Ratu Elizabeth tersebut. Juga
Angela Markel, kanselor Jerman yang masih menjabat hingga kini. Dan tak akan
terlupa yaitu mantan presiden Megawati yang menjadi pemimpin negara ini dari
pihak perempuan. Beliau berhasil mengalahkan semua kompetitornya yang tak lain
adalah datang dari kaum Adam. Mereka telah mampu mencapai puncak tertinggi
kedudukan sosial di negaranya. Prestasi semacam itu akan sulit dibayangkan bisa
terjadi di dalam iklim masyarakat seperti sebelumnya.
Lalu, apakah feminis hanya beranggotakan
perempuan? Jawabnya, para feminis tak hanya beranggotakan perempuan, namun juga
merambah pada para laki-laki yang sadar akan kedudukan perempuan dalam
kehidupan. Menurut seorang pegiat feminisme bernama Myra Diarsi dalam Jurnal
Perempuan Edisi XII (1999), feminis adalah seseorang yang mempunyai sudut
pandang dan visi yang memfokuskan pada kepedulian terhadap perempuan. Individu
yang peduli tidak dibatasi kultur dan gender. Yang terpenting adalah bahwa
perbedaan tersebut tidak bersikap menjatuhkan perempuan.
Siapapun bisa menjadi feminis, mulai
dari penjual hingga dokter asal indikatornya adalah kepedulian untuk membela
perempuan di dalam konteksnya. Banyak juga pendukung feminisme berasal dari
kaum laki-laki karena sensitivitasnya yang sangat besar terhadap
masalah-masalah perempuan, dari berbagai segi, misalnya dari tulisan atau dari
karya-karya sastra.
Kemudian, bagaimana perjalanan gerakan
feminisme itu? Apakah mulus-mulus saja seperti jalan tol? Jawabnya tentu tidak.
Gerakan feminisme memang sudah sejak lama dimulai. Indira Gandhi merupakan
salah satu penggerak perjuangan hak-hak perempuan. Gaungnya makin terdengar
ketika memasuki awal abad 20, di mana tokoh seperti R.A Kartini lahir. R.A
Kartini merupakan contoh lain tokoh perempuan yang berjuang bagi pembebasan
kaumnya dari pengekangan yang banyak dilakukan oleh laki-laki di masa hidupnya
yang pendek. Ia mempelopori gerakan emansipasi dan feminisme di Indonesia
dengan surat-surat yang ia kirimkan bagi sahabatnya di Belanda, yang menyerukan
tentang pentingnya pembebasan dari tindakan pengekangan atau pengendalian.
Pikiran Kartini sangat dikuasai oleh
keinginan untuk menyejajarkan perempuan dengan laki-laki meskipun ia sendiri
tidak mampu membebaskan dirinya dari budaya patrarki yang kokoh, di mana saat
itu perempuan Jawa, utamanya bangsawan, harus dipingit agar tetap tinggal di
dalam rumah. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke negeri Belanda, atau
tentang penentangannya terhadap poligami, akhirnya sirna di bawah kehendak
orang tua dan adat Jawa yang senantiasa membelenggunya.
“Aku ingin, dan aku harus berjuang untuk kebebasanku. Aku
ingin, aku ingin Stella, kau dengar aku? Bagaimana aku meraih kemenangan jika
aku tidak berjuang? Bagaimana aku akan menemukannya jika aku tidak berusaha
mencari? Tanpa perjuangan tidak akan ada kemenangan; aku harus berjuang Stella,
aku ingin menggapai kebebasanku. Aku tidak peduli akan segala rintangan dan
kesulitan, aku merasa cukup kuat untuk mengatasi semua...“ (Jepara, 20 Agustus
1900)
Kartini memang telah menyudahi masa
kekalutan panjangnya di usia 25 tahun, namun pemikiran-pemikiran maju dan
revolusioner miliknya tetap hidup hingga kini. Pemikiran-pemikiran itulah yang
senantiasa memotivasi para pejuang hak-hak perempuan untuk selalu ingat bahwa
perjuangan mereka saat ini mungkin tidak ada apa-apanya dengan yang pernah
(berusaha) diperjuangkan oleh Kartini. Dan karenanya, Kartini akan selalu
menjadi inspirator gerakan perempuan Indonesia.
Berkat orang-orang seperti Indira
Gandhi, Swami Vivekananda, dan R.A Kartini jugalah feminisme sebagai gerakan
sosial dalam dua dasawarsa terakhir telah menunjukkan dampaknya secara
kuantitatif spektakuler. Secara kuantitatif dan praktis dampak tersebut
terlihat dalam dua puluh tahun terakhir dengan terjadinya perubahan yang
menyangkut nasib kaum perempuan secara global (Fakih, 1987: 157).
Dan feminisme merupakan pengaplikasian
dari penghargaan setiap hak yang dimiliki oleh setiap orang. Dan menghargai hak
tiap individu merupakan bagian dari etika yang selalu berlaku dalam masyarakat.
Karena setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis. Dalam
masyarakat yang homogen dan agak tertutup—masyarakat tradisional,
katakanlah—nilai-nilai dan norma-norma itu praktis dan tidak bisa disalahkan
(Bertens, 2004: 29).
Keberadaan Kementrian Pemberdayaan Perempuan
merupakan suatu bentuk adanya aplikasi etika dan kepedulian terhadap hak-hak
perempuan yang patut diperjuangkan, yang dalam beberapa kasus masih sering
dilanggar oleh laki-laki. Oleh sebab itu, etika harus berdampingan dengan hukum
agar keberjalanannya makin jelas dan bisa ditaati oleh setiap masyarakat.
Melalui praktik penerapan etika yang
menghargai hak-hak perempuan, maka dewasa ini tidak ada tingkat pendidikan
manapun yang menolak kehadiran perempuan. Semua jenjang pendidikan terbuka bagi
kaum Hawa, asal bisa memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan terlebih
dahulu dan berlaku secara umum. Sama halnya dengan lapangan pekerjaan yang kini
makin mudah untuk dijangkau oleh perempuan. Posisi sekretaris, manajer, guru,
dan para pekerja di bidang sosial kini banyak yang berasal dari pihak perempuan
karena bidang pekerjaan semacam itu memang lebih membutuhkan ketelitian,
ketekunan, kesabaran, dan dedikasi yang banyak dimiliki oleh perempuan.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa ada
bukti kemajuan yang nyata yang dialami perempuan. Namun ada pula cukup bukti
dan fakta yang berbicara bahwa tak sepenuhnya perempuan itu bebas dari istilah
diskriminasi, pengekangan, eksploitasi, pelecehan, serta kekerasan. Oleh karena
itu, menurut Muhadjir M. Darwin (2005), perjuangan kesetaraan gender perlu
mengalami revitalisasi. Perjuangan tersebut harus diletakkan dalam konteks
keadilan sosial yang lebih luas. Dan diharapkan pula, semakin tingginya tingkat
kesadaran masyarakat untuk menghargai dan memperjuangkan persamaan hak dalam
kaitannya dengan etika dan hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,
K. 2004. Etika. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bhasin,
Kamla, Nighat Said Khan. 1995. Persoalan
Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Darwin, Muhadjir M. 2005. Negara
dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penerbit Grha
Guru.
Fakih, Mansour. 1987. Analisis
Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gandadiputra,
Mulyono, dkk. 1985. Emansipasi dan Peran
Ganda Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Psikologis. Jakarta: UI-Press.
Kourany,
Janet A., James P. Sterba, Rosemarie Tong. 1999. Feminist Philosophies (Second Edition). New Jersey: Prentice Hall.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar