BY : YULIA NOOR WIBAWATI
“Masalah paling
mendasar bukanlah jumlah jam yang dilewatkan si anak untuk
menonton televisi,
melainkan program-program yang ia tonton…”
(Keith W.
Mielke)
Media massa merupakan
salah satu hal yang saat ini sangat pesat perkembangannya. Melalui media,
segala hal bisa tersampaikan dengan cepat. Ada beberapa macam media, mulai dari
media cetak, media elektronik, hingga cyberspace.
Berbicara mengenai media elektronik, televisi
merupakan salah satu media yang paling efektif dalam menyampaikan pesannya.
Televisi mampu menjangkau khalayak yang relative besar. Pengaruh televisi begitu vital dalam
masyarakat karena televisi mempunyai beberapa fungsi sebagai bagian dari
komunikasi massa. Adapun fungsi tersebut (De Vito, 1997:515–517) adalah: menghibur,
meyakinkan, menginformasikan, menganugrahkan status, membius dan menciptakan
rasa kebersatuan.
Kebanyakan aktifitas menonton televisi
berawal dari sebuah kebutuhan akan informasi yang kemudian berpola dan menjadi
semacam ritual keseharian. Aktivitas menonton televisi adalah suatu proses yang
rumit, terjadi dalam praktik domestik, yang hanya dapat dipahami dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Kini, menonton televisi telah menjadi salah satu
aktivitas keseharian yang paling digemari di kalangan anak-anak. Televisi
mempunyai tempat dan daya tarik tersendiri bagi mereka. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa rata-rata anak usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30
hingga 35 jam setiap minggu. Artinya, seorang anak menghabiskan waktunya di depan
televisi sekitar 5 sampai 6 jam setiap harinya[1]. Pendek
kata, praktik menonton televisi sudah menjadi praktik rutin dalam kehidupan
sehari-hari (everyday life culture) yang mana hampir setiap hari
anak-anak memiliki waktu tersendiri untuk menonton program televisi.
Sementara itu, anak-anak sedang dalam
proses sosialisasi nilai-nilai dan pembelajaran untuk menjadi manusia dewasa.
Masa anak-anak adalah suatu tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam
kehidupan seseorang dimana pada masa itu seseorang mengalami suatu proses
perubahan baik secara fisik maupun psikis. Untuk itu, anak-anak
berkomunikasi dengan orang tua, teman sebaya, dan orang lain di sekitarnya (significant
others) di dalam aktivitas kesehariannya melalui institusi-institusi yang
kemudian di identifikasikan sebagai agen-agen sosialisasi utama, yakni keluarga,
kelompok bermain, sekolah dan media massa, tempat dimana dia berinteraksi.
Menonton televisi adalah sebuah sosialisasi yang dialami anak-anak sebagai bentuk
penyesuaian diri mereka terhadap lingkungannya. Tentu saja, kehadiran televisi,
di dalam praktik menontonnya pada anak-anak, membawa sejumlah implikasi
tertentu yang tak jarang menimbulkan berbagai perdebatan, dan relasi anak
dengan televise sering menjadi persoalan yang problematik.
Kebanyakan kalangan bersikap apatis dan
pesimis terhadap posisi anak sebagai audiens televisi. Bahkan, cenderung
menegasikan anak-anak di dalam interaksinya dengan televisi. Neil Postman[2]
dalam bukunya “The Disappearance of Childhood” (Lenyapnya Masa
Kanak-Kanak), menyebutkan bahwa sejak tahun 1950, televisi di Amerika telah
menyiarkan program-program yang seragam, dan anak-anak sama seperti anggota
masyarakat lainnya, menjadi korban gelombang visual yang ditunjukkan televisi.
Penelitian lainnya seperti penelitian Hery Wahyuningtyastuti[3] telah
menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara kebiasaan anak menonton film-film
keras di media televisi dengan kenakalan anak. Siti Wahyu Iryani dan Sumarwi
Astuti[4]
juga menemukan pengaruh menonton acara televisi bagi anak. Dalam hal ini,
anak-anak cenderung dalam posisi penerima pesan yang pasif.
Dampak negative menonton televisi pada
anak merupakan hal yang saat ini sangat sering ditemukan. Hal tersebut salah
satunya dikarenakan waktu penayangan program televisi. Dewasa ini, kebanyakan
stasiun televisi hanya mementingkan rating, program acara yang menghibur,
ditonton oleh segala usia, di isi banyak iklan, dan semata-mata hanya
mementingkan keuntungan dari pihak stasiun televisi tersebut. Kebanyakan
program acara televisi nyatanya tidak memenuhi standar batas tayang program. Dalam
buku Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran terdapat penempatan program yang harus mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
Program klasifikasi “A” hanya dapat disiarkan pada :
- pukul 07.00 – 09.00 dan 15.00– 18.00 di hari Senin-Sabtu
- pukul 07.00 – 11.00 dan 15.00 – 18.00 di hari Minggu/libur
nasional
Program dan promo program klasifikasi “R” hanya dapat disiarkan
pada :
- pukul 09.00 – 20.00 namun harus di luar jam yang khusus
diperuntukkan bagi anak ( 15.00 – 18.00)
Program klasifikasi ‘SU’ dapat disiarkan pada:
-
seluruh jam siar
Program dan promo program klasifikasi ‘D’ hanya dapat disiarkan
pada:
- pukul 22.00 – 04.00
Keterangan Klasifikasi penggolongan program :
- A : Tayangan untuk Anak, yakni khalayak berusia di bawah 11 tahun
- R : Tayangan untuk Remaja, yakni khalayak berusia 12-18 tahun
- D : Tayangan untuk Dewasa
- SU : Tayangan untuk Semua Umur
*sumber:
buku Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang
terdapat pula pembahasannya pada Undang-Undang Penyiaran Republik Indonesia
Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran dengan persetujuan DPR dan Presiden RI[5]
Dari data tersebut terlihat jelas
waktu penayangan yang ideal untuk program acara apa saja yang ditujukan pada
anak-anak, remaja, hingga dewasa. Namun masih ada pula stasiun-stasiun televisi
swasta yang melanggar batas waktu penayangan klasifikasi, khususnya untuk
anak-anak. Seperti misalnya, MNC TV. Stasiun televisi ini memang cukup terkenal
untuk program acara anak. Salah satu program acara untuk anak yang saat ini
sedang digemari adalah “Shaun The Sheep”. Tayangan kartun ini ditayangkan
setiap hari pada pukul 17.30-18.30 WIB. Padahal,
untuk klasifikasi program anak-anak seharusnya ditayangkan maksimal pukul
18.00. Pada kenyataannya, tidak hanya program acara “Shaun The Sheep” yang
melanggar etika waktu penayangan. Di stasiun televisi seperti Global TV, kartun
“Spongebob Squarepants” juga masih menjadi “primadona”. Acara kartun itu bahkan
tidak hanya muncul sekali dalam sehari, melainkan sudah dimunculkan sejak pagi
hari pukul 05.00 WIB dan hadir lagi pada pukul 17.00-18.30 WIB.
Jika melihat lagi ketentuan dalam buku Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, program
acara “Shaun The Sheep” dan “Spongebob Squarepants” sebenarnya telah melanggar etika
jam tayang untuk program acara anak-anak. Dalam kasus “Spongebob Squarepants”
jadwal penayangan terlalu “mencuri start” jam tayang untuk anak. Padahal, di
pagi hari, anak-anak seharusnya mempersiapkan diri untuk ke sekolah. Sementara
itu, dengan kehadiran “Spongebob Squarepants” bisa jadi mengakibatkan anak-anak
malas untuk sekolah. Disamping itu, tayangan “Shaun The Sheep” dan “Spongebob
Squarepants” (petang) juga melanggar batas maksimum penayangan program anak. Pada
jam tersebut seharusnya anak-anak diarahkan untuk belajar, bukan justru
menonton televisi. Namun, dengan kehadiran kartun-kartun tersebut anak-anak
yang seharusnya belajar menjadi tersita perhatiannya karena lebih memilih
menonton televisi.
Program – program acara yang ditayangkan dalam televisi sebenarnya tidak
semuanya menyalahi etika jam tayang. Salah satu contohnya adalah acara “Mata Lelaki”
di Trans7. “Mata Lelaki” adalah sebuah program klasifikasi dewasa yang berisi
tentang persepsi laki-laki mengenai segala hal yang menjadi trend, segala hal
yang ada disekitar laki-laki, dan segala hal tentang wanita. Acara ini
menampilkan keseksian wanita dan segala hal yang mengelilinginya. Program ini
menyajikan cara pandang laki-laki terhadap wanita. Program acara ini tayang
setiap hari Selasa pukul 00.15 WIB di stasiun televisi Trans7.
Program acara “Mata Lelaki” merupakan salah satu acara yang sudah
memenuhi standar jam tayang dari televise. Acara berlangsung pada dini hari,
sesuai dengan segmentasi audiens yang dituju, yakni orang dewasa. Penempatan
waktu jam tayang program acara ini dirasa sudah tepat karena biasanya pada jam
tersebut anak-anak sudah tidur terlelap, dan tinggal orang dewasa yang masih
bangun untuk melihat program acara tersebut.
Pada dasarnya, jam
tayang dan konten program acara pada televisi adalah hal yang tidak bisa
dipisahkan. Konten merupakan isi atau konsep program acara televise. Hal ini
misalnya menyangkut jenis program acara dan tujuan program acara. Sementara jam
tayang televisi adalah waktu yang ideal untuk sebuah tayangan. Penayangan
program televisi harus memperhatikan konten acara yang akan disiarkan. Begitu
juga sebaliknya, jam tayang suatu program acara selayaknya sesuai dengan konten
acara yang dibuat oleh media. Jadwal penayangan maupun konten acara merupakan
hal yang tidak boleh terabaikan satu sama lain. Sebab ketika jadwal penayangan
tidak sesuai dengan konten acara, bukan tidak mungkin acara tersebut “salah
alamat” dan memberikan efek negatif bagi khalayak yang menontonnya, terlebih
untuk anak-anak.
Kehadiran
televisi sebagai media edukasi maupun hiburan nampaknya belum sepenuhnya
berjalan dengan ideal. Masih banyak konten yang tidak mendidik dalam beberapa
tayangan televisi. Masih banyak pula acara yang kurang mendidik namun belum
tersentuh tindak lanjut dari Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). Televisi swasta banyak mendapatkan perhatian
khalayak karena aspek hiburan dari televise swasta tersebut. Namun, dalam
praktiknya, televisi swasta lebih banyak dikembangkan sebagai what the people want bukan what the people need. Ini pun pada
akhirnya berorientasi “pasar”[6].
Suatu
program yang dianggap tepat jam tayangnya, sesungguhnya belum sepenuhnya
diangap ideal. Boleh jadi sebuah acara sudah memenuhi ketentuan jam tayang,
namun tidak dalam konten acaranya. Sebuah acara yang ditayangkan di tengah
malam pun belum bisa menjamin acara itu tidak “salah alamat” karena bias jadi
anak-anak pun belum tidur ketika program dewasa sedang ditayangkan. Hal
tersebut harus diwaspadai pula oleh para pengelola media televisi karena jika
tayangan untuk segmen dewasa tanpa di sensor dilihat oleh anak-anak, dapat
berakibat negatif pula pada pemikiran anak-anak yang tidak sengaja menontonnya.
Oleh sebab itu, sebuah program selayaknya memperhatikan keduanya, baik konten maupun
waktu penayangan. Lembaga pemantau media seperti Komisi Penyiaran Indonesia harus
tegas dalam membuat peraturan dan tegas dalam menindaklanjuti setiap
pelanggarannya. Disamping itu, para orang tua juga harus jeli mengawasi anaknya
dalam menonton televise. dengan demikian, efek negatif akibat menonton televise
dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Chen,
Milton. 1996. Anak-Anak dan Televisi.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Effendy,
Heru. 2008. Industry Pertelevisian
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Nurudin.
1997. Televisi Agama Baru Masyarakat
Modern. Malang: UMM Press.
Sastro,
Subroto Darwanto. 1992. Televisi Sebagai
Media Pendidikan. Jogjakarta: Duta Wacana University Press
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Guntarto
dalam artikel Tayangan di Wilayah Abu-abu yang dimuat dalam majalah
Tempo edisi 14-20 Maret 2005, hal 141.
Summary penelitian oleh Arista
Pitriawanti dengan judul : Pengaruh
Intensitas Menonton Televisi dan KomunikasiOrang tua – Anak terhadap
Kedisiplinan Anak dalam Mentaati Waktu Belajar. 2010. Semarang.
[1] Sebagaimana
yang diungkapkan oleh ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Guntarto
dalam artikel Tayangan di Wilayah Abu-abu yang dimuat dalam majalah
Tempo edisi 14-20 Maret 2005, hal 141.
[2] Neil
Postman, seorang penulis Amerika, menulis bahwa jika sudah tidak ada batas
antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa, tidak akan ada lagi apa yang
dinamakan sebagai dunia kanak-kanak. Ia menekankan bahwa televisi telah
memusnahkan dinding pemisah antara dunia kanak-kanak dan dunia orang dewasa.
[3] Dipaparkan
dalam media informasi penelitian kesejahteraan sosial, edisi 177 tahun ke 28,
Januari-Maret 2004 yang diterbitkan oleh badan pelatihan dan pengembangan
sosial, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan
Sosial,Yogyakarta. Dalam penelitian ditemukan bahwa 63% (63 anak) setuju sampai
sangat setuju sehari ratarata menonton televisi dua jam, 37% (37anak)
mengatakan kurang setuju dan tidak setuju bila hanya dua jam menonton televisi,
karena acaranya bagus dan menarik. Dan penelitian ini juga menunjukkan 78% (78)
anak cukup sampai sangat ingin mempraktikkan trik-trik dalam film keras apabila
berkelahi dengan temannya, dan 22% (22) anak menyatakan kurang samapai tidak
ingin mempraktikkannya apabila berkelahi dengan temannya.
[4] Keduanya
adalah peneliti muda dari B2P3KS Yogyakarta yang hasil penelitiannya ini dimuat
dalam jurnal penelitian kesejahteraan sosial, Juni 2004. Hasil Penelitian data
dari 143 responden yaitu 49,65 % menunjukkan bahwa anak rata-rata menonton
televisi antara 3 6jam. Ada 92,34 % menunjukkan bahwa anak-anak kadang-kadang
sampai tidak pernah didampingi orang tua waktu menonton. Acara televisi yang
paling disukai adalah film keras (action) 36,36 %, film horror 18,18%,
film telenovela atau sinetron 13,29%. Terakhir, 55,25% anak-anak menirukan juga
tokoh yang ada di televise dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
[5] Heru Effendy (2008), 88-124
[6] Nurudin (1997), televise agama baru masyarakat modern. Hal 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar